Teman-teman,
 
   Kami dengan bangga ingin memperkenalkan 3 solois terbaik Indonesia yang akan 
membawakan karya virtuosik Ananda Sukarlan "Bibirku Bersujud di Bibirmu" 
(berdasarkan puisi Hasan Aspahani) yang merepresentasi bencana tsunami (untuk 
memperingati bencana tsb 5 tahun yang lalu). Mereka yang akan membawakan karya 
ini di Graha Bhakti Budaya (TIM) tanggal 3 Januari 2010 dapat anda dengarkan 
secara individual di video clips dibawah ini : 
 
Inez Raharjo (pemain biola, 15 tahun) : 
http://www.youtube.com/watch?v=hRDRgS7MZeQ 
 
Elizabeth Ashford (flute) : http://www.youtube.com/watch?v=Z1XgXw6Dcvk
 
Aning Katamsi (soprano) : http://www.youtube.com/watch?v=7DN2aTa6ASI 
 
 
Anda dapat menyimak proses kreatif karya tsb berupa percakapan Ananda Sukarlan 
dengan sang penyair Hasan Aspahani di bawah email ini, yang kami paste dari 
artikel yang sudah diterbitkan di koran2 luar Jawa seperti Batam Post, Riau 
Post, Radar Banjar dan Kaltim Post. Sampai berjumpa di Jakarta New Year Concert 
2010 ! Info lebih lanjut bisa lewat kami di y...@yahoo.com atau 0818 891038 . 
Juga bisa dicek di website Ananda Sukarlan : www.anandasukarlan.com .
 
------ 
 
* Ananda Sukarlan Gubah Sajak Hasan Aspahani 

Tajam, Pedih, dan Menggerakkan 

Bagaimana dan apa jadinya jika sebuah sajak digubah menjadi sebuah komposisi 
musik klasik, dan dipadukan pula dengan sebuah tarian? Inilah yang akan terjadi 
pada tanggal 3 Januari 2010 nanti di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki 
(TIM). 

Ananda Sukarlan akan tampil dalam konser bertajuk Jakarta New Year Concert. Ia 
akan membawakan komposisi yang ia gubah dari sajak Hasan Aspahani "Bibirku 
Bersujud di Bibirmu". Chendra Panatan, koreografer bereputasi internasional, 
akan menghiasi konser itu dengan tafsir lain atas sajak itu lewat gerak tari. 

"Bukan hanya judul sajak itu yang begitu menyentuh. Seluruh isi sajak itu 
tajam, pedih dan menggerakkan!" kata Ananda Sukarlan. 

Kompisi "Bibirku" terdiri dari dua sesi: pertama, trio untuk piano, alto flute 
dan biola. Dan bagian kedua, untuk soprano dan piano. Masing-masing bisa 
dimainkan terpisah. Chenra tampil di bagian pertama. 

"Kami tak menyebut tariannya sebagai balet. Karena memang bukan balet. 
Pokoknya, para penari tampil menyuguhkan gerakan yang kompleks dengan ratusan 
meter kain properti, yang dengan spektakuler mengesankan gerakan ombak. Ananda 
Sukarlan bermain dengan dukungan Inez Raharjo pada biola, Elizabeth Ashford 
pada alto flute, dan Aning Katamsi - penyanyi soprano. 

Berikut ini petikan wawancara Hasan Aspahani (HAH) di Batam dengan Ananda 
Sukarlan (AS) yang menetap di Spanyol, ihwal kerjasama kreatif mereka tersebut. 

HAH: Kenapa ya Anda tertarik dengan sajak itu? Saya ingat saya kirimi Anda buku 
"Orgasmaya.." Ada sajak "Bibirku... " di buku itu. Itukah pertama kali Anda 
membaca sajak tersebut? 

AS: Wah, saya lupa dimana pertama kali baca-nya. Mungkin di buku itu, mungkin 
dari blog sejuta puisi. Yang saya ingat adalah "kortsleting" yang terjadi di 
badan saya saat saya membacanya. Kadang-kadang kortsleting itu hanya sebentar 
terus hilang, tapi dalam kasus "BBDB" itu "setruman"-nya cukup lama, bahkan 
saat saya sedang utak-atik untuk bikin musik, masih saja terasa. 

HAH: Kelihatannya susah ya menafsirkan isi sajak itu ke komposisi musik. Apa 
saja tantangannya? 

AS: Yang susah bukan menafsirkannya. Menafsirkannya itu gampang, bahkan saya 
bisa bilang bahwa proses ini otomatis, karena ada beberapa puisi yg "bunyi" 
begitu saya baca (puisi-puisi lain adalah seperti "Dalam Sakit"nya SDD, "The 
young dead soldiers"nya Archibald MacLeish dll). Ini tidak ada hubungannya dgn 
panjangnya puisi ataupun struktur dll ... ada puisi yang "bunyi" di dalam diri 
saya, ada yang tidak. 

Yang sulit adalah saat menerjemahkan detail-detail bunyi yang saya dengar. Itu 
berhubungan dengan teknik komposisinya, bukan penafsiran atau inspirasinya. 

Ada bunyi-bunyi yang kompleks, dan tugas seorang komponis adalah menuliskannya 
untuk "mentransfer"-nya ke para musikus yang nanti memainkan not-not balok itu. 
Nah, bagaimana supaya bunyi itu bisa direproduksi secara akurat, itu yang 
sulit. Ini berhubungan dengan progresi harmoni-harmoni yang masih jarang 
(bahkan belum pernah) saya dengar sebelumnya, dan juga warna dari bunyi itu kan 
harus ditentukan (oleh karena itu saya menggunakan instrumen alto flute, yang 
belum pernah dipakai di Indonesia. Mungkin ini adalah karya komponis Indonesia 
pertama yang menggunakan instrumen ini). Juga hal-hal teknis lain misalnya 
proses repetitif tapi transformatif dari kata "gelombang". 

Itu sama seperti kalau sedang dibaca : diulang-ulang tapi tidak sama 
intonasinya, kan? Nah, intonasi itu diterjemahkan ke dalam progresi harmoni 
kalau di dalam musik. 

HAH: Berapa lama menggarapnya sampai merasa selesai, beres, pokoknya sampai 
Anda merasa ada sesuatu dari komposisi itu. 

AS: Ada dua proses : sketching, dan kemudian proses menuliskan detailnya. 
Sketching-nya cepet banget : 1-2 jam setelah (dan sambil) baca puisi itu sudah 
kelar. 

Sebetulnya setelah saya sketch, baru saya bikin beneran beberapa bulan 
setelahnya, karena banyak hal yang tidak bisa saya tinggalkan. Dengan sketching 
inspirasi itu tertulis dan jadinya tidak akan terlupakan. Sejak permulaan saya 
merasa bahwa ini bukan karya yang kecil (bukan hanya dari segi durasi, tapi 
juga dari kedalaman & kompleksitas ekspresinya). 

Saya selalu bawa kertas kemana-mana, karena inspirasi kadang-kadang terjadi 
pada saat yang tidak tepat, dan kalau tidak saya tulis (walaupun hanya secara 
garis besar) biasanya akan lupa. Nah, penulisan detailnya itu saya kerjakan on 
and off, di tengah kesibukan lain, dan juga karena faktor bahwa karya ini cukup 
panjang dan arah-arahnya cukup "unpredictable". Makanya saya menganggap karya 
ini penting dalam daftar karya-karya saya (yang sekarang Alhamdulilah jumlahnya 
ratusan, dan tidak semua sama "pentingnya" buat saya he he ...) karena ada 
konsep harmoni baru yang buat saya sendiri merupakan suatu "discovery". Ini 
penting buat saya sendiri dan perkembangan musik saya. 

HAH: Bisa sebutkan beberapa contoh karya anda yang "penting" dan juga yang 
"tidak penting" bagi perkembangan artistik anda ? 

AS: Yang penting adalah "Dalam Sakit" (dari puisi Sapardi Djoko Damono), The 
Young Dead Soldiers (dari puisi Archibald MacLeish) dan Requiescat (karya 
instrumental untuk english horn dan string quartet). Karya-karya tersebut buat 
saya adalah references, atau tonggak-tonggak yang menentukan jalannya 
nilai-nilai artistik saya selanjutnya. Yang tidak penting misalnya musik saya 
untuk film "Romeo & Juliet" : itu musik yang --walaupun sekarang menjadi cukup 
populer di antara banyak sekali pianis yang memainkannya karena melodinya "enak 
didengar"-- saya ciptakan semata-mata untuk menggambarkan emosi dan latar 
belakang suatu adegan saja. Juga beberapa lagu-lagu pendek yang saya ciptakan 
misalnya untuk kado ulang tahun teman-teman, dan sebagainya. Anehnya, seperti 
kasus film R & J itu, banyak musik saya yang tidak penting buat saya tapi 
justru yang paling populer .... 

HAH: Ada juga tarian nanti ditampilkan bersamaan dengan komposisi itu. Kenapa 
ada kolaborasi begitu? Bagaimana bisa muncul ide memadukan tari dan musik itu? 

AS: Saya bercerita tentang musiknya dan kemudian saya mainkan ke Chendra 
Panatan , koreografer yg saya paling kagumi di Indonesia dan sering bekerjasama 
dengan saya. 

Sebetulnya proses dia sama saja dengan proses saya dgn sebuah puisi. Kalau saya 
"mendengar" musik dari puisi itu, dia "melihat goyangan" dari musik saya. Ada 
musik saya yang "menggoyangnya", ada yang tidak, dan kebetulan "Bibirku" secara 
visual juga sangat "menonjok". Koreografi itu memakai gesture-gesture dan 
gerakan yang sangat besar, sehingga tubuh penari butuh semacam "extensions", 
makanya dia akan memakai kain-kain, efek lampu dan lain-lain. Sampai saat ini 
sih saya belum melihat koreografinya dia (yang masih juga dalam proses, belum 
selesai), tapi saya yakin efeknya akan sangat luar biasa, bukan hanya sekedar 
mencengangkan, tapi juga secara emosional sangat dalam.*** 




      

Kirim email ke