Diambil dari 
http://roythaniago.wordpress.com/2010/04/22/sie-jin-kwie-potret-lelahnya-mengolah-teater/
 


Sie Jin Kwie, Potret Lelahnya Mengolah
Teater
Oleh: Roy Thaniago

Teater Koma, sebagai
salah satu kelompok teater di Indonesia yang punya umur panjang ini, berulah 
lagi. Kali ini ulahnya dikasih judul ‘Sie
Jin Kwie’. Pentas yang digelar di Graha Bhakti Budaya pada 5-21 Februari 2010
ini menjadi produksi ke-119 dalam usia 33 tahun Teater Koma.
 
LAKON Sie Jien Kwie, yang mengambil latar
di Cina ketika pemerintahan Dinasti Tang (618-907), memang menjadi pilihan
cerita yang menggembirakan di tengah berlangsungnya euforia perayaan
‘kembalinya’ masyarakat Cina di Indonesia. Bahwa terhitung sejak tahun 2000, di
mana pemerintah mencabut Inpres 14/1967 tentang pelarangan hal-hal yang berbau
Cina, kelompok etnis masyarakat ini kembali patut turut dicatat dalam sejarah
sebagai salah satu elemen yang membentuk Indonesia sebagai sebuah bangsa. 
Rupanya
Teater Koma pun turut ingin mencatatnya, sekaligus terlibat dalam perayaan ini.
Dan tahun ini tepat 1 dekade, di mana pemaknaan perayaan ini menjadi makin
mesra. Makin manis. Akankah lakonnya pun turut manis? 
 
Mungkin iya. Banyak penonton yang riang, dan semua media
meliput dengan girang, seolah tidak ada yang perlu dipersoalkan. Kenyataannya,
tidaklah harus demikian. Pujian yang berlebihan, hanya melahirkan seniman yang
mapan. Padahal, seniman harus terus gelisah, harus terus mencari. Ketika ia
berhenti mencari, ia sudah selesai sebagai seniman.
 
Bukan mencari-cari penyakit kalau tulisan ini mengambil
sikap berbeda dibanding ulasan-ulasan lain yang bergenit eluan tentang 
pementasan
Sie Jin Kwie. Pasalnya, di samping banyak hal positif (konsistensi berteater,
manajemen kelompok, regenerasi, kemampuan mengembangkan penonton, dan
produktivitas), demikianlah yang ada: pementasan ini memperlihatkan Teater Koma
yang kehabisan energi artistik. Inilah pementasan Teater Koma yang usang dan
tampak kelelahan.
 
Sie Jin Kwie Sebagai
Sejarah
 
Menyaksikan Sie Jin Kwie berarti membaca sejarah. Khususnya
sejarah bangsa Cina di jaman kerajaan. Sie Jin Kwie adalah seorang jendral
perang paling terkenal dari Dinasti Tang. Kisah tentangnya sudah menjadi cerita
klasik di Tiongkok, bahkan lebih sering dipahami sebagai mitos akibat 
dipopulerkan
lewat cerita fiksi yang didramatisir.
 
Sie Jin Kwie dalam dialek Mandarin dilafal Xue Ren Gui. Di
Indonesia, yang banyak dihuni pengucap berlidah Hokkian, ia dikenal sebagai Sie
Jin Kwie. Pada awalnya di Tiongkok, kisah ini ditulis oleh Tio Keng Jian, dan
kemudian disunting oleh Lo Koan Chung.
 
Adalah penerbit Kho Tjeng Bie yang punya andil dalam
mengenalkannya ke masyarakat Indonesia.
Dan Siauw Tik Kwie, yang punya nama lain Ki Oto Swastika, karena usahanya dalam
menyebarkan filsafat Ki Ageng Suryo Mentaram, semakin mempopulerkannya sebagai
komik dengan judul Sie Djin Koei yang dimuat secara bersambung di majalah
Star Weekly pada 1950-an. Pun di era 1990-an, Markus Aceng Setiawan kembali
mengangkat kisah Sie Jin Kwie untuk masyarakat Indonesia. Oleh N. Riantiarno, 
sutradara
Sie Jin Kwie, cerita ini ditulis ulang untuk kemudian ia sutradarai.
 
Pementasan lakon Sie Jin Kwie yang digelar Teater Koma kali ini,
adalah salah satu bagian dari trilogi yang kedua bagian lainnya akan
dipentaskan pada tahun-tahun pementasan berikutnya. Lakon berdurasi sekitar 4
jam ini, mengisahkan Sie Jin Kwie (Rangga Riantiarno), seorang pemuda dari
keluarga miskin yang akhirnya termashyur menjadi panglima perang dari Dinasti
Tang.
 
Dinasti Tang yang dikaisari oleh Lisibin (Prijo S. Winardi)
ini ditantang perang oleh Kerajaan Kolekok, yang merupakan salah satu daerah
kekuasaan Dinasti Tang. Tantangan perang ini dipimpin oleh Jendral Kaesobun
(Paulus Simangunsong), yang setelah sebelumnya melakukan kudeta dari Raja
Kolekok (Budi Suryadi). Dalam ancaman perang ini, Sie Jin Kwie hadir sebagai
pahlawan penyelamat dalam mimpi Lisibin, sang kaisar. Maka, segala cara Lisibin
tempuh untuk bisa bertemu dengan Sie Jin Kwie. Dari sinilah lika-liku
perjalanan Sie Jin Kwie memasuki istana menjadi pokok cerita yang disajikan.
 
Usang dan Lelah
 
Lakon ini, oleh Teater Koma, disajikan dengan alur yang amat
lambat dan bertele-tele. Ada kesan ingin menampilkan semua bagian cerita secara 
lengkap, sehingga sungkan
membuang adegan-adegan yang tidak perlu. Namun pilihan ini rupanya menampakkan
sajian lakon yang terengah-engah. Banyak adegan yang hanya memanjangkan durasi,
tapi tidak menambah esensi cerita. Pun bila dimaksudkan untuk memperkaya
cerita, strategi bertuturnya lebih banyak yang tidak berhasil.
 
Misalnya saja, keterengahan itu tampak dari pilihan plot
yang dibawakan dalam alur maju yang sangat kronologis. Penguasaan akan cerita
baru hadir ketika Sie Jin Kwie, sang tokoh utama, masuk panggung. Namun, Sie
Jin Kwie justru baru masuk belakangan setelah penonton diombang-ambingkan pada
penceritaan awal yang bertele-tele. Strategi bertutur ini sebenarnya bisa lebih
luwes kalau saja mencoba dalam alur maju mundur, juga mengetengahkan Sie Jin
Kwie lebih personal dan ditempatkan lebih awal pada mula-mula cerita.
 
Tawaran bertutur di atas timbul karena dalam lakon ini
terdapat dua peristiwa yang berjalan (seakan) bersamaan: kisah kehidupan istana
Dinasti Tang dengan tetek bengeknya ditambah mimpi Lisibin, dan kisah hidup Sie
Jin Kwie sejak kelahirannya menuju dewasa hingga kemudian bersinggungan dengan
spektrum kisah Dinasti Tang. Jadi, seperti ada dua garis yang otonom lantas
bertemu pada satu titik karena beberapa alasan, salah satunya mungkin takdir.
Masalahnya, peristiwa bertemunya dua garis ini, dalam lakon Sie Jin Kwie, 
terjadi
terlalu larut.
 
Sebenarnya ada usaha untuk mengantisipasi masalah bercerita
atau bertutur tadi. Salah satunya adalah dengan melibatkan narasi dalang yang
diaktori oleh Budi Ros dan juga melalui media wayang yang dinamai Wayang Tavip
– karena nama pencipta dan dalangnya adalah Tavip. Cara ini, memang terbukti
mampu meringkas cerita, sekaligus merekatkan potongan-potongan kisah yang
tercecer, ditambah memberi kesegaran di tengah-tengah kesesakan adegan-adegan
yang monoton. Tapi entah mengapa, konsistensi ini tidak terjaga hingga ujung
cerita. Tugas penceritaan yang semulanya diemban dalang, malah berpindah ke
pemain-pemain lain, seakan tergesa-gesa dan kikuk menghadapi durasi. Ini
terlihat jelas terutama di adegan-adegan akhir di mana sesekali Sie Jin Kwie
atau pemain lain menjadi narator baru.
 
Keusangan paling jelas dari pementasan ini adalah sisi
keaktorannya. Tidak ada greget yang cukup menonjol dari pemain-pemain yang ada.
Namun pengecualian untuk Prijo S. Winardi dan Paulus Simangunsong yang berperan
sebagai Lisibin dan Kaesobun, karena bermain baik. Terutama Prijo yang sangat
kharismatik di atas panggung. Sedang yang lain, seperti menjadi karakter usang
yang hanya berganti baju dan judul lakon. Tak pelak penonton yang setia
mengamati pementasan Teater Koma beberapa tahun terakhir, akan mendapati
karakter akting yang sudah-sudah dan tak berkembang. Lakon berubah, tapi cara
ungkapnya sama.
 
Seperti beberapa produksi sebelumnya, Teater Koma dikenal
‘royal’ dalam mengolah sisi artistik panggung. Poin ini pun tetap hadir dalam
pementasan Sie Jin Kwie. Mata penonton dimanjakan dengan visualisasi kehidupan
Cina di zaman lampau. Dari tata panggung yang detil nan megah, properti yang
esensial, hingga kostum dan tata rias. Terlihat ada usaha berbasis riset
terhadap gaya Opera Cina yang dilakukan Rima Ananda dan Sena Sukarya, Penata 
Busana dan
Penata Rias pementasan ini.
 
Sayang, usaha yang sama kurang digarap di sisi musik yang
dikomandani Idrus Madani. Pendalaman akan musik tradisi Cina hanya menyentuh
kulit-kulitnya saja, yang cukup diwakili oleh tangga nada pentatonik Cina
(dalam teori musik barat: la-do-re-mi-sol) atau bunyi perkusi berbahan logam
khas Opera Cina atau pola tabuhan beduk. Itu pun tidak membalur sepenuhnya
karena sebagian besar musik lainnya ditampilkan secara biasa saja. Namun, Idrus
sangat piawai dalam mengisi ilustrasi musik yang bukan lagu. Ia, dengan beragam
senjatanya yang bersifat perkusif, mampu mengisi ruang yang meningkahi gerak
lakon dari para pemain. Idrus pun peka untuk mengurangi porsinya atau menambal
porsinya dengan sigap.
 
Teater Koma adalah teater penuh kejutan. Selain karena
beberapa kali berurusan dengan pihak yang berwajib karena pementasannya yang
kritis terhadap pemerintah, mereka juga dikenal dengan penonton yang loyal. Dan
tiap tahun, daftar penggemarnya tampak bertambah. Tak terkecuali pementasan
kali ini yang berhasil mengundang penonton-penonton baru dengan karakteristik
yang berbeda dari yang sudah-sudah. Maka, dengan segala hormat dan tanpa
mengurangi peran Teater Koma dalam memasyaratkan teater lebih luas, harus
diakui, pementasan ini menjadi potret bagaimana lelahnya mengolah teater. Yakni
sebuah jalan budaya yang berliku, tapi penuh kedalaman ketika berhasil sampai
di ujung sana.
Roy Thaniago
Peminat  masalah seni dan budaya,bergiat di Agenda 18

Kirim email ke