Elegi Babu-babu Hong Kong
Kamis, 03 Juni 2010 | 07:36 WIB

*TEMPO Interaktif*, “Memangnya jadi TKW itu cita-citamu? Mentang-mentang
disebut pahlawan devisa, kamu mau negara menghargaimu, ya?” Ucapan yang
terlontar dari mulut Mayang (Lola Amaria) segera menghardik mimpi kawan satu
asramanya itu. Pandangan Mayang itu terdengar miris, meski ia sendiri adalah
seorang tenaga kerja wanita yang siap diberangkatkan ke Hong Kong.

Anak sulung pasangan Sukardi dan Lastri ini berasal dari desa yang
dikelilingi kebun tebu, di Gempol, Jawa Timur. Menjadi TKW jelas bukanlah
cita-cita Mayang. Namun, apa boleh buat, sang bapak memaksanya terbang ke
Hong Kong. Misi utamanya bukan jadi babu, melainkan menyusul adiknya bernama
Sekar (Titi Sjuman), yang sudah lebih dulu jadi TKW tapi belakangan tak ada
kabar. Padahal masa kontrak kerjanya telah habis, tapi Sekar tak kunjung
pulang.

Tiga bulan sudah Mayang mengabdi kepada majikan Chow dan mengasuh anak
tunggal mereka bernama Sie Jun. Namun kabar tentang Sekar tak kunjung
terembus. Hingga ia berkenalan dengan Gandhi (Donny Damara), penyuluh TKW
yang bekerja di konsulat, dan Vincent (Donny Alamsyah), sahabat Gandhi yang
bekerja sebagai pegawai pengiriman barang. Pencarian Mayang di Hong Kong ini
terekam dalam sebuah film baru karya sutradara perempuan Lola Amaria
berjudul Minggu Pagi di Victoria Park.

Inilah film yang betul-betul bertolak dari riset serius pernik-pernik
kehidupan TKW kita di Hong Kong. Apa yang ada dalam film ini bukan gambaran
yang dibuat-buat tentang kehidupan TKW, juga bukan gambaran klise.

Cerita pun bergulir. Sekar diketahui menjadi pekerja ilegal dan menumpang
pada Yati, babu lesbian. Mereka tinggal di permukiman kumuh di pojok daerah
Lion Rock Road, Kowloon. Sekar terlilit utang besar ke bank swasta yang
berbunga mencekik. Nomor paspor Sekar ditahan sebagai jaminan, sehingga
membuatnya susah bergerak, apalagi pulang kampung. Bermuaralah Sekar pada
pekerjaan hina sebagai pelacur.

“Tapi jangan sampai orang tahu aku mbakyune Sekar,” hardik Mayang--dengan
logat Jawa Timur--kepada Gandhi. Di balik pencarian itu, tersimpan kemelut
dalam batin Mayang tentang adiknya. “Aku pun enggak tahu, apa sebenarnya aku
ingin Sekar kembali apa tidak.” Sedari kecil, meski Mayang dan Sekar tumbuh
bersama, mereka mendapat perlakuan berbeda dari ayah mereka. Sekar adalah
anak emas Bapak dan Mayang dipandang sebelah mata.

Film kedua Lola ini betul-betul sangat berbeda dengan film pertamanya:
Betina. Sementara Betina bertendensi surealis, film ini sangat realis. Lola
memanfaatkan total seluruh sudut Hong Kong. Riset panjang yang dilakukannya
bersama penulis skenario, Titien Wattimena, dan kru menjadikan film ini
tampil seakurat mungkin.

Tempat kongko para TKW di Warung Bude, persis di depan Konsulat Jenderal
Republik Indonesia di Leighton Road, ditetapkan sebagai salah satu latar
syuting. “Di situ seperti Indonesia mini. Produk jualannya mayoritas dibawa
langsung dari Indonesia,” ujar Lola. Papan-papan reklame lembaga finansial
tempat TKW mengirim uang ke Indonesia pun menjadi latar. “Kirim uang ke
Indonesia, bisa diambil pakai KTP”, tulisan pada salah satu papan reklame
tersebut.

Padat dan berisi, penuh informasi yang dikemas dengan ide-ide baru yang
belum tersentuh para sineas lokal sebelumnya. Gaya hidup modern TKW
Indonesia tergambar jelas di sudut-sudut Taman Victoria. Jauh dari kampung
halaman, kita melihat, mereka bebas bergaya metropolis, tapi tetap bangga
dengan bahasa kampungnya yang medok.

Demi keakuratan, para pemain sampai diwajibkan kursus kilat bahasa Kanton.
Dalam film, Titi tampak fasih berdialog Kanton. Salah satu aktingnya yang
cemerlang adalah saat adegan di depan bar, ia memohon-mohon dalam bahasa
Kanton kepada “si kokoh” pemilik bar agar diterima bekerja. Lola pun
demikian, bekalnya bermain di film The Tour of Paradise, sebagai TKW juga,
membuat dialog Kantonnya kian lancar.

Gaya bertutur Lola pun cukup rapi, ketika ia menjahit alur kisah dan
menampilkan visualisasi serta artistik yang masuk akal. Lola terlihat ingin
menampilkan keharuan--dan ia berhasil. Penonton bisa berkaca-kaca
menyaksikan adegan bagaimana Sekar (Titi Sjuman) terpaksa menjadi pelacur
dan salah satu TKW yang lesbian bunuh diri. Namun ada sedikit yang terlupa,
tentang sebab utang yang melilit Sekar. Dugaan jawaban terkuat mungkin bisa
ditarik: gajinya yang per bulan Rp 4 juta itu habis dikirim untuk bapaknya.
Memang misi Lola di film ini adalah menyadarkan bahwa problem persoalan TKW
ada di kampung. TKW adalah sapi perah keluarga.

*Aguslia Hidayah*


Judul: Minggu Pagi di Victoria Park
Genre: Drama
Sutradara: Lola Amaria
Pemain: Lola Amaria, Titi Sjuman, Donny Damara, Donny Alamsyah

Reply via email to