Tentang
Penyair dan Penyakit Puisi



Fahrudin Nasrulloh*



        Apa hebatnya puisi
sehingga tak lelah-lelah terus dituliskan? Penyair-penyair muda terus
bermunculan. Yang lawas-lawas kian mengukuhkan kepenyairannya. Sedang
yang lain adalah mereka yang telah kehilangan gairahnya, karena
tuntutan hidup yang riil lebih mencambuk ketimbang mengurusi puisi.
Memang, gairah pada puisi, pada belantara teks, pada kembara
pengalaman puitik, pengalaman di kedalaman bahasa, merupakan
kerahasiaan tersendiri atas segala proses itu. “The text you write
must prove to me that it desires me. This proof exists: it is
writing,” Begitu ungkap Barthes dalam The Pleasure of the Text.
Ada semacam desakan besar di sana, yakni melahirkan corak puisi
sendiri, menempanya bertahun-tahun, seperti Empu Gandring, dengan
segala cinta, dengan segala yang bakal menghilang, dan yang tak
mungkin direngkuh kembali. 

Dua
Penyair dalam kumpulan sajak Gobang Semarang (KataKita: Depok,
2009) berada pada perbatasan di “awang-awang” itu. Perbatasan, di
mana “jeda” untuk mengada tak selamanya kuasa menemukan “tanda”.
Puisi seperti makhluk asing yang mengandung daya tersendiri tapi juga
sebagai penyakit: penyakit kala puisi jadi tindakan yang terus
menerus ditulis, kata Afrizal Malna. Ia selalu bermasalah dengan
bahasa dan kekacaun dirinya. “Aku berpikir, maka aku berantakan,”
katanya. Dalam konteks luarnya, bukan berarti setiap penyair
berantakan seperti Afrizal. 

Daya
hidup dari puisi, secara bawah sadar, menjadi kekuatan lelaku
penyair, sehingga apapun penyakit itu, akan larut di dalamnya. Larut
sekaligus menguatkan. Kian mengokohkan kepercayaan akan yang sekedar
“puisi” itu. Seperti laku sholat yang diyakini muslim yang taat,
kekuatan religius tak dapat ditembus oleh apa pun selain Allah. Dan
“tanda” dari kekuatan puisi dan kenyataan yang teralami maupun
“jeda” saat disergap segala penyakitnya: di situlah jalan Beno
Siang Pamungkas dan Timur Sinar Suprabana beriktiair meyakini puisi
mreka. Pada puisi Timur, bebayang dan tilas kenangan juga panorama
cinta dengan nuansa melankolik yang memerih dapat kita nikmati
misalnya pada puisi “langgam kembang kemesraan” yang
diperuntukkan buat istrinya: sajak-sajak/ minta tempat berpijak/
kuberi di hati/ tak kenal sepi/ tiada yang tak terperi/ : di Istri/
di Seluruh jarak dengan mati/ ……  

Tampak
pula kerja kreatif tiada putusnya pada puisi-puisi Beno, yang
tersirat dalam puisi “Gobang” misalnya. Ia tak ingin tersilap
dalam “keterpanaan yang bebal” akan masa lalu, akan puisi-puisi
Tardji, Sapardi, dan Zawawi. Rasa gagal memahaminya, atau terbetik
serapah berontak pada mereka, sehingga dengan gobangnya seolah-olah
Beno mlotot menantang: …./ sebilah gobang memandangku dan bertanya/
tardji, mana kapakmu/ sapardi, mana pisaumu/ zawawi, mana celuritmu…
.
        Menggobang dalam
tangkapan saya bisa bermakna sebagai perlawanan kecil. Walau
sepelemparan kerikil. Untuk diri, atau pada luar diri. Bisa jadi
bukan untuk hal-hal yang bersifat sentimentil. Seperti menampik
kegelisahan Edmond Jabès pada segala yang
telah dituliskannya, “little by little words will finish
me”. 

Dua
penyair ini memiliki corak puisi yang liris, naratif, dan melankolis.
Dalam kerangka ungkapan yang gampang dipahami dan terang, dengan
kedalaman makna tersendiri dan balutan metafora yang ritmis. Seperti
nyanyian, kadang pekikan, yang melambungkan ke padalaman kenangan
ihwal diri, cinta, negeri yang tenggelam, tafsir cerita kota dan
kelokan mitosnya, pengingkaran, pun kenestapaan. Apakah penyair
memiliki sejenis “iman kepenyairan” masing-masing dalam
memperjuangkan apa yang kita sebut sebagai atas nama kebenaran yang
dicerapnya, dihayatinya? Iman di sana tersembunyi di batin, seperti
asap gaib, deru ombak, atau cuma kentut demi sebuah jalan pencarian.
Meski ia tak bisa secara mutlak “menggenggam” kebenaran itu. Ia
hanya mendekati dengan semacam “kecintaan” akan kebenaran. Dalam
situasi demikian, penyair telah melompat menembus ketidaktahuan. 

Jika
dicermati lebih intens, apa kiranya landasan pemikiran puitik yang
disorong Beno dengan tematik “gobang”-nya itu sebagai pilihan
estetiknya, terkait isi, dan peristiwa puisi yang dibangunnya?
Ataukah kata “gobang” cuma comotan sekenanya untuk judul buku?
Jika tidak, tentu ada hakl lain yang dapat disusuri pembaca, misalnya
kenapa kata “gobang” tidak tersemat di keseluruhan puisi Beno?
Ini pertanyaan yang agak dangkal, tapi perlu dijabarkan. Karena
proses kreatif ini penting dituliskan. Sebenarnya, ada beberapa puisi
Beno yang mengangkat fenomena “facebook”: ini menarik. Jika kita
berpikir futuris, bagaimana posisi puisi (secara umum sastra) dan
penyairnya di balik selebrasi guncangan teknologi yang demikian
gigantik itu. Semua orang jadi mesin, entah demi apa-siapa. Mungkin
puisi atau kesenian yang lebih luas juga kian tak menjadi bagian
penting bagi kehidupan masyarakat dalam percepatan-percepatan zaman
dan perubahan. Dunia maya bak mesin raksasa yang tidur dalam tubuh
manusia. Penyair kini makin sulit melahirkan puisi, kecuali puisi
“emosi semata” yang sekali jadi seperti bebek-bebek bertelur yang
tak perlu bertanya kenapa ia bertelur dan untuk apa telur itu. Banyak
yang terjebak di sana. Dan ironisnya, mereka tak tahu atau tak mau
tahu. Semua boleh-boleh saja pingin jadi penyair, mengerami
penyakitnya dan kembaranya sendiri.
Dan
semangat yang tidak kenal menyerah pada sosok Beno dan Timur, semoga
tak akan terkecoh dan luntur di tengah segala ketidakpastian di
negeri ini, termasuk tetek-bengek di seputar puisi dan diri. Sebab
“kapak” Tardji sudah berlalu. “Pisau” Sapardi tak lagi
menusuk orang sepi dalam hujan bulan juni. Pun celurit Zawawi tidak
ada lagi di warung kopi. 




-----
*Fahrudin Nasrulloh,
bergiat di Komunitas Lembah Pring Jombang



        
        
        
        
        
        

** Disampaikan dalam Halte Sastra,
Bedah buku kumpulan puisi Gobang Semarang karya Beno Siang Pamungkas
dan Timur Sinar Suprabana, terbitan Kata Kita, di Eks Museum Mpu
Tantular Surabaya, Sabtu, 12 Juni 2010, jam19.30 -22.00 wib.


Fahrudin Nasrulloh, lahir 16 Agustus 1976 di Jombang.Sudah
menikah. Alumnus pesantren Denanyar Jombang (1995) dan UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta (2002). Bergiat di komunitas Lembah Pring
Jombang, Jurnal Kebudayaan Banyumili, Mojokerto, Forum Apresiasi
Sastra Mojokerto, Mava Van Java Cinema Club, Biro Sastra Dewan
Kesenian Jombang. Bekerja sebagai editor lepas dan menulis puisi,
cerpen dan esai di sejumlah media massa. Puisinya termuat dalam
antologi Jogja 5,9 Skala Richter (Bentang Budaya, 2006, Yogyakarta).
Cerpennya berjudul Nubuat dari Sabrang masuk nominasi dalam antologi
cerpen Loktong (kerjasama CWI dan MENPORA, 2007, Jakarta). Cerpennya
juga dimuat majalah seni dan budaya KIDUNG Dewan Kesenian Jawa Timur.
Puisinya dimuat di PESTA PENYAIR Antologi Puisi Jawa Timur(Dewan
Kesenian Jawa Timur, 2009). Beberapa buku yang telah terbit Syekh
Branjang Abang (Pustaka Pesantren, 2007), Geger Kiai (Pustaka
Pesantren, 2009). Bersama Jabbar Abdullah kini ngopeni Geladak Sastra
di Omah Pring, Jombang.Kini beralamat di Mojokuripan RT 1/RW 3,
Jogoloyo Sumobito Jombang.(khusus Sabtu dan Minggu). Senin sampai
Jumat, tinggal bersama istri tercinta di Tandes, Surabaya. Email:
suraba...@yahoo.com Kontak person. 081578177671.




















































































      

Kirim email ke