Opini  
[ Kamis, 27 Agustus 2009 ] 
Menjernihkan Konflik Serumpun 
Oleh: Ahmad Sahidah

DUA tulisan tentang isu pencaplokan tari pendet oleh Dewa Gde Satrya berjudul 
Klaim Tari Pendet oleh Malaysia (Jawa Pos, 24/8/09) dan Siti R. Susanto 
berjudul Konflik Klaim Kebudayaan (25/8/09) mengandaikan isu lama tentang 
keranjingan negara tetangga kita itu mencuri hasil kebudayaan Indonesia. Tentu, 
kasus tersebut menyeret tuduhan sebelumnya seperti batik, lagu Rasa Sayange, 
dan reog Ponorogo serta menambah keyakinan khalayak di sini untuk menista 
saudara serumpunnya sebagai maling. 

Benarkah gambaran tersebut? Benarkah negara bekas jajahan Inggris itu mencuri 
karya Indonesia untuk diakui sebagai miliknya? Di antara sederet karya, yang 
sering dikemukakan diklaim adalah batik. Padahal, menurut Wan Hasmah, mahasiswi 
PhD di Universitas Teknologi Mara (UiTM), Malaysia mengakui batik itu berasal 
dari Indonesia sebagaimana dijelaskan dalam sejarah usul yang dipatrikan di 
Museum Batik Negara Malaysia.

Lebih jauh, Majapahit sebelumnya memberikan hadiah batik kepada Kerajaan 
Melaka. Bagaimanapun, jika ditilik dengan cermat, corak batik Malaysia berbeda 
dari Indonesia, baik motif maupun bahan. Masalahnya, karena banyak warga dan 
keturunan Indonesia di sana, batik-batik tersebut mendapatkan permintaan yang 
besar dan menyerbu masuk tanpa bisa dicegah, sehingga melalui celah itulah 
''peniruan'' mungkin terjadi. 

Persoalannya, apakah salah keturunan Jawa di Malaysia memanfaatkan karya nenek 
moyangnya untuk digunakan sebagai identitas, sedangkan pada waktu yang sama 
mereka telah mengalami naturalisasi sebagai warga Malaysia? 

Mengapa kita tidak pernah mendengar gugatan orang Jawa terhadap budaya gamelan 
yang dimainkan orang Suriname keturunan Jawa? Salahkah orang Malaysia keturunan 
Bugis mengakui epik Galigo sebagai miliknya, mengingat perdana menteri yang 
sekarang, Najib Tun Razak, adalah keturunan Bugis yang telah menjadi warga 
negara di negeri serumpun tersebut?

Jawaban pertanyaan itu tentu tidak hanya berupa ya dan tidak. Sebab, 
batas-batas tersebut menjadi cair setelah pengalaman hubungan kedua negara ini 
sering naik-turun.

Kerja Sama dan Konflik 

Kalau dirunut ke belakang, sejak Kerajaan Majapahit dan Melaka, perselisihan 
telah meruyak. Namun, pada masa yang sama, bagian dari dua negara ini juga 
pernah bahu-membahu bekerja sama melawan liyan. Misalnya, Aceh membantu Kedah, 
negeri utara Malaysia, melawan Siam (sekarang Thailand). 

Bukan hanya itu, hubungan mesra tersebut telah memungkinkan orang Aceh diberi 
tanah untuk dihidupkan, seperti di Pulau Pinang, jauh sebelum Francis Light, 
asal Inggris, pada 1786 menyulap pulau mutiara itu menjadi kota modern. Dari 
hubungan tersebut, banyak keturunan Aceh yang berkewarganegaraan Malaysia 
berhasil dalam segala bidang. Misalnya, bisnis, politik, dan akademis.

Malahan, pada zaman prakemerdekaan, 1920-an, Tan Malaka menyusuri tanah 
Semenanjung untuk bersama-sama pegiat kemerdekaan lokal melawan penjajah. 
Rustam A. Sani, sosiolog terkemuka keturunan Minangkabau, dalam buku Social 
Roots of the Malay Left (2008)menulis dengan terang benderang bagaimana kaum 
kiri Indonesia, Djamaluddin Tamin, Tan Malaka, Budiman, Sutan Djenain, Alimin, 
dan Mohammad Arif, menggelorakan pergerakan orang Melayu setelah revolusi Jawa 
dan Sumatera dipadamkan Belanda. Dari pertautan itu, lahirlah Kesatuan Melayu 
Muda yang dikenal sebagai pemprakarsa perlawanan terhadap kolonialisme melalui 
gerakan bersenjata. 

Selanjutnya, tidak aneh jika konflik muncul antara dua negara ini, masyarakat 
terbelah. Contoh yang paling jelas adalah penolakan almarhum Hamka, novelis dan 
ulama, terhadap gagasan konfrontasi Presiden Soekarno karena bukan saja alasan 
agama, tapi juga sejarah hubungan Minangkabau dengan Negeri Sembilan yang 
sangat erat.

Negara yang terakhir itu layaknya salinan fotokopi dari induknya, yang kata 
Hamka dulu disebut Melayu, bukan Menang Kerbau,satu sebutan yang digagas 
Belanda. Dukungan Jawa tentu lebih total pada Ganyang Malaysia karena tak 
mempunyai hubungan historis seperti Minang, meski pengaruh Jawa sangat kuat 
karena pada masa Kesultanan Demak banyak prajurit yang dikirim ke Melaka untuk 
melawan Portugis.

Teori Mimesis 

Teori tersebut mengandaikan bahwa seseorang merasa kehilangan sesuatu ketika 
barang miliknya diambil atau dipinjam orang lain. Keadaan semacam itu sering 
terjadi pada anak kecil.

Apakah kasus tari pendet mencerminkan teori itu? Siapa pun bisa mencocokkan 
atau malah mengajukan teori lain untuk menyangkalnya. Secara umum, seseorang 
akan meradang jika miliknya diambil orang lain. 

Masalahnya, kepemilikan tersebut berkaitan dengan hasil kebudayaan yang 
mengandaikan sejarah penciptaan yang rumit. Misalnya, tari pendet. Bukankah 
unsur-unsur Hindu begitu kuat di dalamnya yang notabene merupakan warisan India 
kuno? 

Hakikatnya, kedua negara ini mengandaikan pengalaman sejarah panjang yang 
berjalin kelindan, berbahasa Melayu sebagai lingua-franca dan berlatar belakang 
alam Nusantara sebelum akhirnya terpisah menjadi dua negara berdasar warisan 
batas teritorial penjajah, Belanda dan Inggris.

Dalam karya Tuhfah al-Nafis Raja Haji Ali diterangkan betapa orang-orang Bugis 
telah melakukan penetrasi kepada kesultanan Melaka, sehingga memberikan warna 
kebudayaannya. Demikian pula, Aceh pada masa kerajaannya telah menjajah negara 
bagian Malaysia sekarang. Karena itu, tak ayal banyak kebudayaan negeri Serambi 
Makkah tersebut dipraktikkan di buminya yang baru.

Dalam teori mimesis juga dijelaskan, bahkan walaupun barang yang dipinjam 
saudaranya itu sudah tak diperlukan, si pemilik ''boneka'' tersebut merengek 
karena ternyata boneka itu terasa begitu penting, itu pun setelah digunakan 
orang lain. Tampak, kasus klaim Malaysia terhadap karya ''Indonesia'' 
mengandaikan keadaan seperti itu. 

Masalahnya, setelah barang tersebut dikembalikan oleh saudara yang lain, apakah 
si pemiliknya akan merawat atau malah menelantarkannya dan disimpan di gudang? 

Jauh dari sekadar hiruk-pikuk ini, tidakkah ini bisa dilihat sebagai 
keberhasilan kreativitas bangsa Indonesia melakukan penetrasi kebudayaan pada 
negara tetangganya, sebagaimana dilakukan India dan Tiongkok terhadap Malaysia. 
Sederhana, bukan? (*)

*)Dr Ahmad Sahidah , dosen Peradaban Islam dan Asia, KDU College Pulau Pinang, 
Malaysia 

Kirim email ke