Radar Tulungagung -JAWA POS Grup 
[ Selasa, 22 Juni 2010 ] 
Sumiran Kebanjiran Pesanan untuk Dibuatkan Wayang Kulit 
TKI Malaysia untuk Majikan, Persiapkan Anak Kedua Warisi Keahliannya 

Ibarat buah kelapa, makin tua makin bersantan. Itulah gambaran Sumiran, 61, 
warga Desa Kedunglurah, Kecamatan Pogalan, Trenggalek. Dia usia yang semakin 
senja, hasil karyanya membuat wayang kulit makin dicari.

Didin Cahya, Trenggalek 

---

Rumah menghadap utara di pinggir jalan raya Kedunglurah tanpa sepi dari luar. 
Di teras rumah sederhana berjajar wayang kulit dengan aneka tokoh. Mulai 
Pandawa, Punakawan dan Kurawa. 

Tak ketinggalan, tumpukan kulit kambing rata-rata berukuran satu meter, sisa 
potongan kayu serta tetesan bekas cat yang menghiasi lantai teras.

Saat pintu diketuk, muncul laki-laki baya yang berpakaian motif batik. Dialah 
Sumiran. Segera dia mempersilakan RaTu masuk rumah. "Silakan masuk, ya seperti 
ini keadaanya," ujar Sumiran kemarin.

Tak perlu diragukan semangat ayah enam anak ini mempertahankan kesenian asli 
Indonesia. Setiap hari dia mulai membuat anak wayang pukul 08.00 hingga sore 
hari. Mulai dari memilih kulit kambing, nge-mal atau menggambar dasar wayang, 
nge-cat dan sebagainya dilakukan sendiri.

Kepiawaiannya membuat anak wayang merupakan warisan dari ayahnya, Kardi. Selama 
masa kecil setiap hari dia melihat proses membuat wayang. "Saya sering duduk di 
samping Bapak saat Bapak membuat wayang. Dia menceritakan masing-masing sifat 
tokoh wayang. Kayak mendongeng dan memberik nasihat, begitu!" kata suami Toini, 
55 tahun ini.

Dia usia sekitar 9 tahun, Kardi mengajari Sumiran membuat wayang. Dia mulai 
dilatih memahat kulit domba, termasuk memberi warna sesuai karakter tokoh.

Waktu terus berjalan, memasuki usia belasan tahun, Sumiran kecil sudah bisa 
membuat wayang. Tentu timbul rasa bangga. Dia memasarkan hasil karya sendiri.

Di kala semangat tinggi untuk bekerja, kesedihan menghampirinya. Pada 1967 
ayahnya meninggal dunia. Hal itu membuat dirinya shock. "Lah bagaimana? Saat 
itu bapak bekerja keras untuk menghidupi kelurga," ingatnya.

Paska kematian ayahnya, beban di pundak Sumiran semakin berat. Dia diminta 
meneruskan keahlian membuat wayang. Pada 1968 dia bekerja sebagai instalator di 
Pabrik Gula (PG) Mojopanggung, Desa Panggungrejo, Kecamatan Kauman, 
Tulungagung. Di sela-sela waktu luang disempatkan membuat wayang. Itu untuk 
melaksanakan wasiat bapaknya. "Kadang mendapat pesanan, tapi tidak banyak," 
jelas Sumiran. 

Pada 2004 dirinya pensiun dari PG Mojopanggung. Waktu lebih banyak untuk 
membuat wayang. Di usia kini, Sumiran sanggup membuat satu wayang dalam waktu 
dua hari. "Tergantung tingkat kesulitan dan cuaca," paparnya sambil memahat 
kulit domba. 

Jika cuaca panas, dia menyatakan lebih cepat. Karena kulit domba lebih mudah 
dibentuk serta dipahat. Sebaliknya jika musim hujan datang, Sumiran mengaku 
sedih. Hal itu disebabkan kesulitan menjemur kulit domba.

Di masa tuanya, pesanan membuatkan wayang terus mengalir. Baik dari Trenggalek 
maupun luar kota seperti Malang dan Solo. Bahkan tidak sedikit warga Malaysia 
yang memesan anak wayang buatannya. Biasanya TKI yang membawa ke negeri jiran 
itu. 

Harga jual tiap kulit kambing yang sudah diubah menjadi wayang bervariasi, 
mulai Rp 100 ribu hingga Rp 300 ribu. Dalam sebulan dia meraup jutaan rupiah 
dari keterampilannya tersebut.

Menghadapi masa pensiun membuat wayang, dia sudah mempersiapkan anak keduanya, 
Dwi Purnomo untuk mewarisi keahlinya. "Kabetulan anaknya juga berminat, jadi 
tidak ada masalah," terangnya. (din/her)

Kirim email ke