Ruang Putih 
[ JAWA POS Minggu, 15 Agustus 2010 ] 
Belajar Sentosa dengan Arif 
ARIF B. Prasetya -penyair, cerpenis, dan kurator kelahiran  Madiun itu- 
merintis 
karir kepenulisan di Bengkel Muda, Surabaya, ketika  berkuliah di ITS. Dia 
lantas menikah dan bermukim di Bali. Relatif  tenang, tanpa gegar budaya yang 
menyeruak ke permukaan sebagai teks  sastra, tidak seperti Oka Rusmini yang 
gerah dimarjinalkan oleh  lingkungan padahal dirinya hanya mengutamakan cinta.

Sebagai  esais Bengkel Muda, Surabaya, pemikirannya tidak berada di lingkaran  
fisik Bengkel. Sebagai penyair penyuka Neruda dan penyair Amertika Latin  
lainnya, dia pernah dekat dengan Wahyu Prasetya. Bahkan, dia sering  mampir 
untuk mendiskusikan terjemahan puisi Amerika Latin. Ajaibnya,  tidak ada jejak 
kiri Neruda dalam puisi Arif  B. Prasetya, meski ilusi  surealisme dan puitika 
diksi berkonotasi magistik Amerika Latin  berpecototan dalam puisinya. Mungkin 
itu dampak kepekaan, akibat  kecondongan terlalu intens membaca teks bergenre 
sama, karena menandai  puisi terbaik sebagai ''yang melampaui apa yang sering 
dibaca (baca:  cakrawala harapan) dan berbeda dari yang telah diketahui''.

Resepsi  Jaussian menyebut itu sebagai jarak estetik. Dan, yang mengeksiskan  
satu teks yang memiliki jarak estetik itu adalah bacaan di satu sisi dan  (di 
sisi lain) komunitas yang membaca teks yang relatif sama. Sebab,  itu tiba di 
konsensus identik. Dan, kalau kritis dan objektif, kita akan  menemukan 
perbedaan ketimbang apriori menekankan kesamaan teks. Meski,  perbedaan itu 
merupakan konsekuensi dari multipersepsi tanpa bersepakat  menentukan titik 
netral sebelum menyebut kiri dan kanan, sehingga yang  kanan bisa dianggap 
codong kiri ketika diapresiasi dengan penolakan.  Kenapa saya bilang begitu? 
Karena Arif  B. Prasetya itu ya arek Suroboyo, tapi kok digonggong oleh arek 
Suroboyo lagi. Aneh!

*** 

MUNGKIN karena Arif  B. Prasetya (kini) di Bali.  Yang lebih lucu, amarah 
kepada 
Mashuri yang pernah sekampus, sekomunitas  diskusi, dan bahkan (kini) sekantor 
-meski berbeda aplikasi ijazah-  yang dianggap amat bersekongkol dengan Jakarta 
cuma sukses karena  mempublikasikan puisi dan novel di Jakarta. Padahal, W yang 
kuasa  menembus Kalam lebih dulu, lalu Mashuri, makin sering tampil di Kalam, 
Koran Tempo, Kompas,dan Media Indonesia.  Kalau konstelasinya begitu, bukan 
Mashuri, Arif B. Prasetya, Ribut  Wiyoto, atau Mardiluhung yang salah. Yang 
salah itu Jakarta, bahkan  kegagalan memuaskan tuntutan cakrawala harapan dan 
jarak estetik  Jaussian Jakarta.

Agus R. Sarjono dan Horison punya lingkaran berbeda dari TUK (Teater Utan 
Kayu). 
Satu hari Sitok Srengenge mengeluh, GM (Goenawan Muhammad) dan Kalam dianggap 
antek Amerika karena menerima dana asing. Tapi, Horison yang  juga mendapatkan 
dana dari Ford Foundation tak diperlakukan sama. Apa  memang ada kemarahan pada 
lobi dan kucuran dana asing atau hanya karena  kemarahan personal cq individu 
yang tidak disukai yang lalu disasar dengan alasan antek (dana) asing?

Dan berbicara tentang estetika TUK, kita tak bisa menelusurinya hanya dari 
kemunculan Kalam. Sebab, jauh sebelum itu, di akhir 1980-an, di Tempo sering  
ada diskusi yang intinya ingin melawan lirisme dalam puisi, yang  melahirkan 
pemekatan suasana tanpa ada kepastian objek yang ditunjuk  kata.

Anehnya, meski setiap hari, saat itu Afrizal  Malna sering bilang: jangan 
membuat puisi (liris) dalam perbincangan,  esei, prosa, dan puisi, sambil 
dengan 
gagah mencemooh mantra SCB  (Sutardji Colzoum Bachri) dan euphorisme bahasa 
Orba 
dengan  merujuk ke Paulo Freire yang kiri dan gemar menganalisis kondisioning  
sosial-budaya yang harus dilawan dengan penyadaran dan pencerahan.  Nyatanya, 
dia bikin kalimat terang yang melulu menjajarkan benda-benda  dalam ruang dan 
kesadaran mental. Tak lagi ada puisi dan melulu fakta,  tapi tetap gelap. Bukan 
lagi puisi liris pekat suasana, tapi traumatika  teror benda-benda faktual. 
Persis Arif B. Prasetya. Penolakan pada  suasana yang dominan dalam puisi itu 
justru menghasilkan surealisme  benda-benda faktual yang menghadirkan 
traumatika.

Penolakan  lirisme (puisi) menghasilkan puisi prosaik, fantasi yang meliuk 
bebas,  dan panorama surealistik dan magis. Kenapa bisa begitu? 


***

MUSUH  dari ihwal yang puitik itu bukan yang prosaik atau faktual, tapi justru  
yang ilmiah dan hegemonik. Malah, musuh yang puitik itu definisi kaku  yang 
membedakan puisi, prosa, esei, telaah objektif, fakta, fantasi, dan  seterusnya 
itu harus seperti ini. Dan ketika definisi dihancurkan,  tidak ada batasan. 
Ketika kita mengandaikan matahari terbit di nadir dan  tenggelam di zenith, apa 
ada siang dan malam, apa ada timur dan barat?  Ada dekonstruksi besar. Dan 
ketika acuan dihancurkan, maka tidak ada  lagi acuan di satu sisi. Hanya ada 
aku 
dan komunitasku yang menentukan  aturan dan nilai eksklusif.

Ini yang terjadi, tapi  banyak pihak luar lingkaran -yang tumbuh oleh 
kecondongan bacaan yang  sama, sehingga punya cakrawala harapan serta obsesi 
jarak estetik  Jaussian yang sama- yang gagap. Gugup dan panik. Marah saat 
acuan  
hancur. Padahal, di momen chaos setiap orang bisa membikin acuannya sendiri, 
berkolaborasi dalam konspirasi shot term, sehingga muncul riak estetika 
alternatif. Meski tetap sadar, penentu mana sejatining acuan atau hanya pseudo 
acuan justru karya yang dipublikasikan. Sehingga kreasi si yang tak pernah 
membikin statement apa pun akan tetap dianggap karya bagus selama karya itu 
bagus,  sekaligus kritikus yang akan membuat acuan referensial dengan membangun 
 
teks legitimasi. Jadi, Lucien Goldman itu mengapresiasi karya dulu, lalu  
menyusun teori, dan mengaplikasikannya pada karya yang sewarna. Bukan  bikin 
teori hampa dan mencari teks yang membenarkan teori.

Persis  seperti sebuah cerpen populer gender, yang bercerita tentang si wanita  
karir tapi jomblo dan selalu diramal tidak akan dapat jodoh sehingga  dipaksa 
pergi dari satu dukun ke dukun lain, sebelum sadar bahwa buku  acuan ramalan 
tangan yang sama dengan yang dibacanya akan menghasilkan  kesimpulan yang sama 
bagi gurat tangan yang sama. Padahal, jodoh itu  rahasia Illahi. Arif B. 
Prasetyo, Mashuri, Ribut Wiyoto, Mardiluhung,  dan yang lain berpikiran serta 
berbicara identik karena bacaannya sama  sehingga cakrawala harapan dan obsesi 
jarak estetika Jaussiannya sama.

Karena  itu, cari buku referensial alternatif dan bikin kelompok diskusi yang  
cerdas sehingga lahir estetika alternatif. Atau, pelajari tren dan jadi  
penulis 
yang sesuai tren dengan keunikan orisinal. Dalam tradisi eliotian,Subagyo  
Sastrowardojo pernah bilang tentang bakat alam yang hanya mengenal tren  puisi 
dan intelektualisme yang mengatasi yang tampak sehingga bisa  menulis puisi 
yang 
lebih unik dari yang pernah diciptakan si trendsetter.  Bacaan membuat penyair 
yang belakangan, para pengikut, mampu menulis  lebih bagus karena leluasa 
mempelajari semua ciri dan kemungkinan lebih  optimal.

Persis kata T. S. Eliot, penyair Jeni  merampok puisi penyair lain. Penyair 
jelek cuma mampu meniru  plagiatistik. Saini K. M. bilang, kalau tidak bisa 
total menerapkan  konsepsi objective correlative, berhenti saja berpuisi. 
Sebab, 
menjadi penjaja roti pun harus total, tak sekadar sambilan.

*** 

TOTALITAS berpuisi itu butuh intelektualisme.  Harus pintar menambah wawasan, 
memahami hakikat teks yang dibaca, dan  cerdas merampok yang bisa diadopsi 
sebagai kekayaan pribadi. Dengan  begitu, meski menulis dalam gaya serupa, 
dihasilkan ekspresi personal  dan apresiator yang orisinal. Selama masih 
mentahiah hanya ada  plagiatisme, intelektualitas yang membuat keunikan. Dengan 
itu kita  sadar bahwa teks puisi Mashuri itu unik, Mardiluhung lain dari 
Mutaqien,  bahkan Tjahjono Widijanto itu berbeda dari Tjahjono Widarmanto. 
Saestu,setidaknya  bila mau objektif mencari perbedaan. Sebab, mengutip Mark 
Twain, jangan  menjadi anti-Christ fanatik yang agresif menghancurkan semua 
pagar di  jalan, yang tampak bagai sederetan salib ketimbang hanya jejeran kayu 
 
tegak melekat di kayu mendatar.

Tarik napas dan tenangkan pikiran, jadi yang sentosa dengan belajar arif. (*)

*) Beni Setia Tirtawinata, pengarang, tinggal di Madiun 

Kirim email ke