artikel ini dapat dilihat
http://www.almanhaj.or.id katagori 'Shalat'

HUKUM JAMA'AH KEDUA

Ulama fikih berbeda pendapat tentang hukum shalat
jamaah kedua. Sebelum aku menunjukkan
perbedaan-perbedaan (pendapat) di antara mereka dan
menjelaskan mana yang rajih (unggul) dan maduh
lemah), aku perlu membatasi (pengertian) jamaah
kedua) yang diperselisihkan itu.

Permasalahan yang diperselisihkan adalah (shalat)
jamaah yang didirikan disatu masjid yang sebelumnya
sudah didirikan oleh imam dan mu'adzdzin tetap (masjid
tersebut).

Adapun jamaah-jamaah yang didirikan di tempat lain,
seperti di rumah, di masjid jalanan, kompleks
beli-belah tidak termasuk yang dipermasalahkan.

Ulama-ulama mengambil pendapat, bahwa mendirikan
jamaah untuk kali kedua dalam satu masjid yang ada
imam dan mu'adzdzin rawatibnya hukumnya makruh,
berdasar pengambilan dari dua sisi dalil:

1. Dalil naqli (dalil syara').
2. Dalil nazhari meliput periwayatan dan hikmah
disyariatkannya shalat berjamaah.

Adapun berdasar dalil naqli: Setelah para ulama ahli
hadits meneliti kehidupan Rasul Allah, mereka
menemukan bahawa Rasul Allah sepanjang hidupnya
senantiasa shalat berjamaah bersama para shahabatnya
di masjid beliau. Bila di antara para shahabatnya ada
yang ketinggalan, tidak bisa shalat berjamaah bersama
Rasul Allah di masjid, mereka shalat sendiri dan tidak
menunggu siapa pun. Tidak menengok kanan-kiri, seperti
dilakukan orang sekarang, meminta satu atau banyak
orang untuk bersama shalat jamaah dan salah seorang
dari mereka dijadikan imam.

Demikian itu tidak pula diperbuat oleh orang-orang
salaf (terhadulu). Bila mereka masuk masjid, ternyata
sudah selesai didirikan shalat berjamaah, mereka
shalat sendiri-sendiri. Begitulah yang dijelaskan oleh
lmam Syafi'i dalam kitabnya AI-Umm. Ungkapan lmam
Syafi'i berkaitan dengan masalah ini lebih banyak
dibanding ungkapan imam-imam lain.

Imam Syafi'i berkata:
Bila ada beberapa orang masuk masjid, lantas mendapati
imam telah selesai shalat (berjamaah) lakukanlah
shalat sendiri-sendiri. Bila mereka melakukan shalat
berjamaah sendiri (lagi) boleh saja. Tapi. aku tidak
menyukai semacam itu. Karena, hal itu bukan merupakan
karakteristik salaf.

Kemudian lmam syafi'i melanjutkan:
Adapun masjid yang ada di pinggir jalan (yang
disediakan untuk para musafir) yang tidak punya imam
dan mu'adzdzin tetap, maka melakukan (shalat) jamaah
berulangkali di dalam masjid tersebut tidak apa-apa.

Imam Syafi'i berkata pula:
Aku telah hafal (beberapa riwayat), sesungguhnya ada
sekelompok shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
ketinggalan shalat berjamaah. Lantas mereka pun shalat
sendiri-sendiri. Padahal mereka mampu mendirikan
shalat berjamaah lagi. Tapi. hal itu tidak
dilakukannya, karena mereka tidak suka di satu masjid
diadakan (shalat) jamaah dua kali.

Semua ini merupakan ucapan lmam Syafi'i. Beliau
menyebutkan, bahawa para shahabat apabila ketinggalan
shalat berjamaah (bersama Rasulullah) mereka shalat
sendiri-sendiri. Begitulah disebutkan oleh Imam
Syafi'i dengan riwayat muallaq (artinya Imam Syafi'i
tidak langsung mendapatkan riwayat itu dari seorang
rawi tapi rawinya menggantungkan riwayatnya).
Al-Hafizh Abubakar lbnu Abi Syaibah mengaitkannya
dalam kitabnya yang masyhur: AI-Mushannaf. Riwayatnya
berdasar sanad yang kuat dari Hasan AI-Bashri, bahwa
sesungguhnya para shahabat apabila ketinggalan shalat
berjamaah mereka shalat sendiri-sendiri.

Ibnul Qasim menyebutkan pengertian riwayat ini dalam
kitab Mudawwanah Al-Imam Malik dari jamaah para salaf,
seperti Nafi', budak lbnu Umar, Salim bin Abdillah dan
lainnya, mereka bila ketinggalan shalat berjamaah,
shalat sendiri-sendiri. Tidak mengulang shalat jamaah
lagi.

Juga diriwayatkan Imam Ath-Thabrani dalam kitabnya
Mu'jam al-Kabir dengan sanad yang bagus dari shahabat
lbnu Mas'ud. Yaitu suatu saat lbnu Mas'ud bersama dua
temannya keluar dari rumah menuju masjid untuk
mengikuti shalat jamaah. Saat itu ia melihat
orang-orang keluar dari masjid, mereka sudah selesai
melakukan shalat jamaah. Maka, Ibnu Mas'ud pun kembali
ke rumah bersama dua temannya. la shalat berjamaah
bersama mereka di rumah sekaligus sebagai imam. Ibnu
Mas'ud pun kembali (ke rumah). Padahal,
keshahabatannya dengan Rasul Allah cukup dikenal,
pemahaman tentang keislamannya mendalam, andai kata
beliau tahu mendirikan jamaah berulang kall di satu
masjid itu disyariatkan, pasti beliau dengan kedua
temannya itu masuk masjid dan mendirikan shalat
berjamaah di situ. Karena, beliau jelas tahu bahwa
Rasul Allah pernah bersabda: Seutama-utama shalat
seseorang itu dirumahnya kecuali shalat fardhu.

Kemudian apa yang mencegah Ibnu Mas'ud melaksanakan
shalat fardhu itu di masjid?
Jawabnya, karena Ibnu Mas'ud tahu bahwa sesungguhnya
apabila melakukan shalat di masjid, beliau akan
melakukannya secara sendiri. Ibnu Mas'ud berpendapat,
bahwa shalat berjamaah di rumah bersama dengan dua
temannya akan lebih utama daripada shalat
sendiri-sendiri meskipun dilakukan di masjid, Semua
ini merupakan kumpulan dalil-dalil naqli yang
menguatkan pendapat jumhur (ulama) bahwa mengadakan
jamaah untuk kedua kalinya di satu masjid ltu makruh
hukumnya.

Kemudian para ulama itu pun tidak kehabisan jalan
untuk mendapatkan dalil-dalil lain selain yang sudah
dipaparkan. Misalnya, melalui lstimbath dan melihat
secara tajam berkenaan dalil-dalil itu.

1mam Bukhari dan lmam Muslim meriwayatkan hadits dari
shahabat Abu Hurairah, Rasul Allah bersabda:
Aku memiliki kehendak-untuk menyuruh seseorang menjadi
imam shalat (di masjid), kemudian aku menyuruh
beberapa lelaki untuk mengambil (mengumpulkan) kayu
bakar dan aku keluar menuju ke rumah orang-orang yang
tidak mengikuti shalat berjamaah di masjid. Maka, aku
bakar rumahnya. Demi Zat yang jiwa Muhammad shalallahu
'alaihi wa sallam berada di tangan-Nya, andaikata
orang-orang ku mengetahui bahwa di dalam masjid itu
akan ditemukan dua benda yang sangat berharga pasti
mereka akan menyaksikannya pula. (HR. Bukhari dan
Muslim).

Hadits ini merupakan ancaman dari Rasul Allah atas
orang-orang yang suka menyelisihi terhadap kehadiran
(untuk) shalat jamaah di masjid dengan cara membakar
rumahnya. Saya (At-Albani) melihat, bahwa hadits ini
telah memberikan gambaran kepada kita tentang hukum
permasalahan terdahulu (yaitu bahwa shalat berjamaah
dua kali atau lebih dalam satu masjid yang ada imam
dan mu'adzdzin tetapnya dihukumi makruh [dibenci]).
Hadits ini bisa pula memberikan gambaran kepada saya
untuk bisa menerima penuturan lmam Syafi'i yang
di-washalkan oleh lmam lbnu Abi Syaibah bahwa
sesungguhnya para shahabat tidak mau mengulang shalat
jamaah di dalam satu masjid. Hal demikian itu
disebabkan, (andai) kita melakukan pembenaran bahwa
shalat jamaah yang kedua atau yang ketiga itu
disyariatkan (oleh agama) di dalam satu masjid,
kemudian pada sisi lain ada ancaman yang sangat keras
dari Rasul Allah bag! orang-orang yang meninggalkan
shalat jamaah, maka (timbul pertanyaan, ed) shalat
jamaah yang keberapa yang apabila ditinggalkan akan
mendapat ancaman yang sangat berat sekali? Apabila
(pengandaian) ini dijawab dengan ucapan, "Shalat
jamaah (yang apabila ditinggalkan itu mendapat ancaman
sangat berat) adatah shalat jamaah yang pertama".

Pengandaian ini juga bisa dilanjutkan dengan
perkataan: "Kalau begitu, jamaah yang kedua dan
lainnya tidak disyariatkan?" Kalau dijawab "Ancaman
ini meliputi atau mencakup atas orang-orang yang
meninggalkan jamaah, keberapa saja" maka jawapan itu
bisa ditimpali: "Kalau begitu ancaman Rasul Allah
tidak bisa dibuat hujjah untuk orang-orang yang tidak
mengikut jamaah yang keberapa pun, kerana andai kata
orang-orang yang tidak mengikuti jamaah itu didatangi
secara mendadak, saat mereka tidak berangkat (ke
masjid, ed) dan kita menemukan mereka sedang
santai-santai saja dengan anak dan isteri dan apabila
ditegur mengapa tidak mengikuti shalat jamaah? Maka,
mereka akan menjawab: "Kami akan mengikuti jamaah yang
kedua saia, atau yang ketiga saja." Bila begitu,
apakah ancaman Rasul Allah itu dibuat hujjah atas
mereka? Oleh kerana itu bila Rasul Allah berkehendak
mencari ganti seseorang yang menduduki kedudukan
beliau (sebagai imam) dalam shalat berjamaah, lantas
beliau mendatangi rumah-rumah orang yang meninggalkan
shalat berjamaah untuk membakarnya merupakan dalil
yang sangat besar sekall untuk mengatakan bahwa shalat
jamaah kedua, ketiga kaii di satu masjid adalah tidak
ada sama sekati.
Demikianlah bila dikaitkan dengan dalil-dalil naqli
yang telah menjadi pedoman para ulama.

Adapun berkaitan dengan dalil nazhari, bisa dijelaskan
sebagai berikut: Keberadaan fadhilah (keutamaan)
shalat berjamaah telah banyak dihadirkan melalui
hadits-hadits yang masyhur, dan salah satu
diantaranya:
Shalat berjamaah dibandingkan shalat sendirian,
keutamaannya dua puluh lima (datam satu riwayat dua
puluh tujuh) darjat.
Inilah keutamaan shalat berjamaah. *

Sebuah hadits lagi:
Sesungguhnya shalat seorang laki-laki (yang berjamaah)
dengan seorang laki-laki lain. lebih bersih di sisi
Allah daripada shalatnya (seseorang yang) sendirian.
Dan shalatnya seorang laki--laki (yang berjamaah)
bersama dengan dua orang laki-laki lebih bersih lagi
di sisi Allah daripada shalat berjamaah dengan satu
orang laki lakl.
Dan begitu seterusnya, semakin banyak peserta jamaah
semakin banyak pula pahala yang diterima.

Apabila kita mengingat makna (arti) ini (yaitu, makna
kalimat dalam riwayat di atas, ed), kemudian kita
melihat akibat dari penetapan kebolehan mengulangi
kembali shalat jamaah di dalam satu masjid yang punya
imam dan mu'adzdzin tetap, akibatnya sangat buruk
sekali bila diukur dengan hukum Islam (yang telah kita
paparkan sebelumnya), yaitu shalat jamaah hanya satu
kali. Kerana berpendapat, bahwa shalat jamaah itu
boleh didirikan berulang ulang di dalam satu masjid
yang ada imam dan muadzdzin ratib (tetap) nya bisa
mengarah pada sedikitnya jamaah peserta shalat jamaah
yang pertama. Hal ini tentu bertentangan dengan ajakan
yang bisa kita petik dari hadits:
Shalat seorang laki-laki dengan laki.laki lain itu
lebih bersih dari shalat seorang laki-laki yang.
sendirian saja.
Oleh sebab hadits ini memotivasi agar jamaah bisa
banyak pesertanya, begitu pula, pendapat yang
membenarkan bolehnya mengulang (menyelenggarakan
kembali) shalat jamaah di satu masjid,.niscaya bakal
menciptakan kondisi peserta jamaah itu kecil, dan
jelas sekali bakal memecah belah persatuan kaum
muslimin.
Sekali lagi, kita dituntut melihat secara jernih,
bahwa penyebutan harus mengingat hadits Ibnu Mas'ud
(dalam shahih Muslim) semisal dengan hadits Abu
Hurairah:
Aku berkeinginan menyuruh seseorang untuk menjadi imam
shalat di masjid... dan seterusnya.
Hadits ini, (ashbabulwurudnya), berkenaan dengan
orang-orang yang menyelisihi shalat Jum'at. Kita
mengetahui bahwa lbnu Mas'ud melepaskan kata ancaman
(mestinya berdasar ancaman Nabi, ed) terhadap setiap
orang yang meninggalkan jamaah. Baik jamaah Jum'at
atau jamaah lainnya. Kita pun mengetahui bahwa
sesungguhnya shalat jamaah Jum'at dan shalat jamaah
lainnya sama. Sama di dalam berjamaahnya dan ada
ancamannya. Hal itu menunjukkan tidak ada jamaah untuk
kedua kalinya bagi kedua shalat tersebut.
Untuk shalat Jum'at, sampai sekarang orang masih
menjaga pesatuannya. Tidak ada yang berpendapat bahwa
Jum'at itu secara syariat bisa dilaksanakan dua atau
tiga kali di dalam satu masjid, dan semua ulama dari
golongan (madzhab) manapun sepakat akan hal itu. Oleh
itu, kita bisa melihat masjid-masjid itu penuh sesak
dengan jamaah di hari Jum'at. Meskipun, kita juga
tidak melupakan, dan ingat secara pasti, bahwa di
antara sebab meluapnya masjid-masjid di saat jamaah
Jum'at itu di antaranya kerana yang hadir bukan hanya
yang biasa melakukan jamaah di masjid itu. Namun, kita
pun tidak ragu pula bahwa penuhnya masjid pada hari
Jum'at itu kerana orang Islam tidak membiasakan
mendirikan shalat Jum'at lagi setelah shalat Jum'at
pertama dilaksanakan. (alhamdulillah).

Jadi kalau umat Islam, misalnya mendirikan jamaah
selain Jum'at sama persis dengan mendirikan jamaah
Jum'at seperti pada zaman Rasulullah, kita pasti bisa
melihat bagaimana penuhnya masjid masjid itu dengan
jamaahnya. Oleh kerana orang-orang yang rindu akan
shalat berjamaah, di dalam hatinya tidak ingin ia
ketinggalan jamaah, lantaran tidak mungkin ia bisa
mendirikan jamaah baru. Kemudian semacam ini bisa
mendorong mereka untuk betul-betul melaksanakan jamaah
tepat waktu dengan sebaik-baiknya.
Sebaliknya, (tidak dimilikinya keyakinan seperti ini)
jiwa seorang muslim akan menganggap ringan bila ia
ketinggalan jamaah, kerana ia pun akan bisa menutup
dengan jamaah yang kedua, ketiga sampai kesepuluh
misalnya. Cara pandang demikian itu akan melemahkan
kehendak dan semangat diri untuk mnghadiri jamaah.

Dan pembahasan berikutnya:
Pertama, kita perlu memperjelas bahwa para ulama yang
berpendapat tidak disyariatkannya jamaah kedua,
seperti yang telah diterangkan di awal artikel ini,
dan andai terpaksa dilakukan hukumnya makruh, adalah
jumhur para imam salaf, termasuk di datamnya Imam Abu
Hanifah, Imam Madik dan lmam Syafi'i. Adapun lmam
Ahmad dalam salah satu riwayat dan dalam riwayat lain
yang dibawa oleh seorang muridnya yang bemama Abu
Dawud As-Sijistani di dalam kitabnya Masa-il al-lmam
Ahmad, Imam Ahmad berkata:
Sesungguhnya mengulang jamaah di dalam dua masjid
al-Haramain (masjid at-haram di Makkah dan Masjid
Nabawi di Madinah) hukumnya sangat makruh (dibencl).
Hal ini dilihat dari keutamaan. (Maksudnya, ucapan
Imam Ahmad di bahagian awal artikel ini memberikan
gambaran kepada kita), bahawa kemakruhan jamaah ulang
di masjid-masjid lain juga ada. Tapi, kemakruhan itu
bisa lebih berat apabila jamaah ulang itu dilakukan di
masjid Makkah atau pun Madinah. Jadi riwayat dari lmam
Ahmad ini bisa bertemu (sama) pula dengan pendapat
para imam yang tiga: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan
lmam Syafi'i.

Kedua: Ada riwayat lain dari Imam Ahmad, yang riwayat
ini masyhur di kalangan pengikutnya, pada intinya lmam
Ahmad.dan pengikut-pengikutnya daripada ahli tafsir
membawakan hadits yang diriwayatkan oleh lmam
Tirmidzi, lmam Ahmad sendiri dan lain-lainnya dari
kalangan shahabat Abu Sa'id al-Khudri:
Ada seorang lelaki masuk masjid dan Rasul Allah sudah
selesai berjamaah shalat. Di sekitar Rasul waktu itu
masih ada beberapa shahabat. Maka, Rasul Allah melihat
lelaki itu akan melakukan shalat sendiri. Kemudian
Rasul Allah bersabda, Adakah seseorang yang bisa
bersedekah kepadanya?" Kemudian ada seorang laki-laki
berdiri, lantas shalat bersamanya. Maka (seseorang
itupun) shalat bersamanya"

Dalam satu riwayat yang dibawakan oleh lmam Abu Bakar
al-Baihaqi datam kitab Sunan al-Kubra menjelaskan,
bahawa laki-laki yang bersedekah dimaksud adalah
shahabat Abu Bakar. Tetapi, riwayat ini dhaif
sanadnya. Adapun yang shahih adalah riwayat yang tidak
menyebutkan nama laki-laki dimaksud.

Kemudian ada yang berhujjah dengan hadits ini bahwa
jamaah kedua (ketiga dan seterusnya) boleh dengan
alasan: "Rasul Allah telah setuju adanya jamaah kedua.

Jawaban terhadap pendapat ini, yang berdalil dengan
hadits di atas adalah: 'Kita harus memperhatikan
bahawa jamaah yang diterangkan dalam hadits itu bukan
jamaah yang kita persoalkan. Karena, jamaah yang
termuat di dalam hadits itu jamaahnya seorang yang
masuk masjid setelah masjid itu selesai digunakan
untuk shalat jamaah. Dan lagi, orang itu pun akan
melakukan shalat sendiri. Setelah Rasul Allah melihat
yang demikian itu, Rasul Allah meminta para shahabat
di dekatnya yang sudah shalat berjamaah bersama beliau
kiranya ada yang mau bersedekah untuknya. Kemudian ada
yang bangkit menuruti perintah Rasul, dan dia
melakukan shalat nafilah (sunnah).

Begitu yang terjadi. ltu merupakan jamaah yang terdiri
dari dua orang, satu imam dan satu makmum. lmam
melakukan shalat fardhu dan yang makmum melakukan
shalat sunnah. Maka, siapakah yang berkeyakinan bahwa
hal ini jamaah? Seandainya tidak ada yang bershalat
sunnah, tentu tak akan ada jamaah. Kalau begitu,
jamaah semacam itu namanya berjamaah tathawwu' dan
tanafful, bukan jamaah (shalat) fardhu. Padahal
perselisihan pendapat tentang jamaah ini, persoalannya
berputar pada jamaah shalat fardhu yang dilakukan
jamaah, persoalannya berputar pada jamaah shalat
fardhu yang dilakukan untuk kedua kalinya di satu
masjid (yang ada imam ratibnya dan mu'adzdzin). Oteh
kerana itu mengambil dalil dengan hadits Abi Sa'id dan
ditempatkan dalam kerangkan perselisihan tentu tidak
bisa dibenarkan. Apalagi bila dikuatkan dengan kalimat
hadits;
Adakah seseorang yang mau bersedekah kepadanya ? Maka,
(sesearang itupun) shalat bersamanya.
Kejadian ini terjadi karena adanya orang yang
bersedekah dan yang disedekahi. Seandainya kita
tanyakan kepada orang yang sangat sedikit pemahaman
dan ilmunya, siapa (dari dua orang ini) yang
bersedekah dan yang disedekahi dalam peristiwa ini?

Maka, jawabnya pasti orang yang besedekah ialah orang
yang melakukan shalat lagi, yang sebelumnya sudah
shalat berjamaah dibelakang Rasuluilah, dan orang yang
disedekahi adalah orang yang datang belakangan sehabis
jamaah Rasulullah.

Pertanyaannya itu sendiri apabila kita lemparkan ke
dalam masalah jamaah yang diperselisihkan
kebolehannya, (misalnya) ada enam atau tujuh orang
masuk masjid secara bersamaan dan menemukan imam sudah
selesai melakukan jamaah shalat. Kemudian salah satu
dari mereka maju ke depan (untuk menjadi imam sedang
lainnya di belakang mengatur diri dalam posisi
makmum), dan mereka mendirikan jamaah kedua.
Pertanyaan, siapa di antara mereka yang bersedekah dan
siapa pula yang disedekahi?
Pertanyaan ini tidak akan mampu dijawab oleh siapa
pun, sebagaimana menjawab (contoh) pertanyaan pertama.
Jamaah shalat yang ini dilakukan setelah imam dan
makmum di masjid itu selesai melakukan shalat jamaah
fardhu. Jadi, dalam hal ini tidak ada yang bersedekah
dan tidak ada pula yang disedekahi.

Bezanya jelas sekali. Dalam contoh pertama, orang yang
bersedekah adalah laki-laki yang (shalat) nafilah
(sunnah) yang sudah shalat bersama Rasul Allah yang
tentunya mendapatkan nilai tambah (pahala) sebanyak
dua puluh tujuh derajat. Jadi dia bisa disebut orang
kaya. Kerana kemampuannya pula dia bisa bersedekah
kepada orang lain dan kepada yang menjadi imam
(melalui shalat sunnah dengan bermakmum di belakang
orang yang shalat sendirian). Kalau tidak begitu,
orang itu akan shalat sendiri. Dia miskin, dan dia
memerlukan orang yang bisa memberi sedekah padanya.
Sebab, dia tidak bisa mengupayakan orang yang bisa
memberi sedekah.
Dalam contoh ini, jelas ada orang yang memberi sedekah
dan ada yang diberi sedekah. Adapun yang kita
perselisihkan tidak demikian. Rombongan yang datang
setelah selesai jamaah shalat di masjid, semuanya
fakir, semuanya ketinggalan jamaah pertama (bersama
imam).

Jadi kalau kita bersandar dengan:
Adakah seseorang yang mau bersedekah kepadanya. Maka
(seseorang itu pun) shalat bersamanya.
Hal itu tidak bisa tepat. Perumpamaan ini tidak sah
untuk dijadikan dalil bagi peristiwa kedua (yaitu,
bagi serombongan orang melakukan shalat jamaah kedua).

Sisi pengambilan dalil lainnya yang mereka bawakan
adalah sabda beliau:
Shalat berjamaah dibanding shalat sendiri,
keutamaannya dua puluh tujuh derajat.
Mereka mengambil dalil ini, berdasarkan pemahaman
bahawa al pada kalimat al-Jamaah adalah li as-syumul
(bagi keseluruhan). Artinya, bahwa semua shalat jamaah
(baik pertama, kedua, ketiga dan seterusnya, ed) di
dalam satu masjid memperoleh keutamaan bila
dibandingkan shalat sendirian.

(Untuk mengomentari itu) kami akan mengatakan
berdasarkan dalil terdahulu: Sesungguhnya al di sini
bukan untuk keseluruhan, akan tetapi al dimaksud
adalah li al-'ahdi (untuk penunjukan). Maksudnya,
menunjuk kepada shalat jamaah sebagaimana disyariatkan
Rasul Allah yang semua manusia dihasung kepadanya.
(Bahkan), beliau mengancam orang-orang yang
meninggalkannya dengan ancaman akan membakar
rumah-rumah mereka dan Rasul Allah juga memberikan
sifat kepada orang-orang yang meninggalkannya dengan
sebutan munafiqin. Adalah shalat jamaah yang memiliki
keutamaan dibanding shalat sendiri, yaitu shalat
jamaah yang pertama.

 Wallahu Ta'ala a'lam.


----- Original Message -----
From: "s4r1 f_f" <[EMAIL PROTECTED]>
To: <[EMAIL PROTECTED]>
Sent: Monday, October 25, 2004 8:19 PM
Subject: [assunnah] Tanya: jamaah kedua di masjid


>
>
> Assalaamu'alaikum,
>
> Bagaimana hukumnya mengadakan sholat jamaah kedua dan seterusnya di
masjid,
> setelah jamaah pertama (bersama imam masjid) sudah usai. Diperbolehkan
atau
> tidak, dan apakah ini berlaku untuk semua masjid?
>
> Lalu bagaimana pula untuk orang yg lagi safar?
>
> afwan kalau sudah pernah ditanyakan sebelumnya
>
> Jazakumullah khoir

> __________________________________________________
>





------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Make a clean sweep of pop-up ads. Yahoo! Companion Toolbar.
Now with Pop-Up Blocker. Get it for free!
http://us.click.yahoo.com/L5YrjA/eSIIAA/yQLSAA/TXWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

------------------------------------------------------------------------
Website Islam pilihan anda.
http://www.assunnah.or.id
http://www.almanhaj.or.id
Website kajian Islam -----> http://assunnah.mine.nu
Berlangganan: [EMAIL PROTECTED]
Ketentuan posting : [EMAIL PROTECTED]
------------------------------------------------------------------------ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke