FENOMENA TAHDZIR, CELA-MENCELA SESAMA AHLUSSUNNAH DAN SOLUSINYA


Oleh
Syaikh Abdul Muhsin Bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr
Bagian Kedua dari Tiga Tulisan [2/3]



RIFQON AHLASSUNNAH BI AHLISSUNNAH [Menyikapi Fenomena TAHDZIR & HAJR]

Solusi Permasalahan Ini

Ada Beberapa Solusi Yang Bisa Diketengahkan Dalam Permaslahan Ini.

Pertama.
Berkaitan dengan cela mencela dan tahdzir perlu diperhatikan beberapa 
perkara sebagai berikut:

[1] Orang-orang yang sibuk mencela ulama dan para penuntut ilmu hendaknya 
takut kepada Allah subhanahu wa Ta’ala dengan tindakkannya tersebut. Mereka 
hendaknya lebih menyibukkan diri memperhatikan kejelekkan dirinya sendiri 
agar bisa terbebas dari kejelekan orang lain. Mereka hendaknya berusaha 
menjaga kekalnya kebaikan yang dia miliki. Janganlah mereka mengurangi amal 
kebaikan mereka walaupun sedikit, yaitu dengan membagi-bagikannya kepada 
orang-orang yang dia cela. Hal itu karena mereka lebih membutuhkan kebaikan 
tersebut dibanding yang lain pada hari dimana harta dan anak-anak takkan 
berguna kecuali orang yang datang kepada Allah Ta’ala dengan hati yang 
selamat. [Maksudnya pada hari kiamat, -pen]

[2] Hendaknya mereka berhenti melakukan cela-mencela dan tahdzir, lalu 
menyibukkan diri memperdalam ilmu yang bermanfaat; bersemangat dan 
bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu agar bisa manfaat dari ilmu tersebut 
dan menyampaikannya kepada orang lain yang membutuhkannya. Hendaknya mereka 
menyibukkan diri dengan kegiatan keilmuan, baik dengan belajar mengajar, 
berdakwah atau menulis. Semua itu jelas lebih membawa kebaikan. Jika mereka 
melakukan tindakan-tindakan yang baik seperti itu, tentu mereka dikatakan 
sebagai orang-orang yang membangun. Jadi, janganlah mereka sibuk mencela 
sesama ahlussunnah, baik yang ulama maupun penuntut ilmu, karena hal itu 
akan menutup jalan bagi orang-orang yang mendapatkan manfaat keilmuan dari 
mereka. Perbuatan-perbuatan seperti itu adalah temasuk perbuatan-perbuatan 
yang merusak. Orang-orang yang sibuk dengan tindakan cela-mencela seperti 
itu, setelah mereka meninggal tidak meninggalkan bekas ilmu yang bermanfaat, 
dan manusia tidak merasa kehilangan para ulama yang ilmunya bermanfaat bagi 
mereka, bahkan sebaliknya, dengan kematian mereka manusia merasa selamat 
dari keburukan.

[3] Para penuntut ilmu dari kalangan ahlussunnah hendaknya menyibukkan diri 
dengan kegiatan keilmuan seperti membaca buku-buku yang bermanfaat, 
mendengarkan kaset-kaset ceramah para ulama ahlussunnah seperti Syaikh bin 
Baz, Syaikh Ibnu Utsiamin, daripada sibuk menelepon fulan atau si Fulan 
bertanya, “Bagaimana pendapatmu tentang Fulan atau Fulan?” atau “Bagaimana 
komentarmu tentang pernyataan Fulan terhadap si Fulan dan tanggapan si Fulan 
terhadap si Fulan?”

[4] Berkaitan dengan pertanyaan tentang orang-orang yang sibuk dalam bidang 
keilmuan, mereka boleh dimintai fatwa atau tidak, selayaknya hal tersebut 
ditanyakan kepada pimpinan Lembaga Fatwa di Riyadh. Dan siapa yang 
mengetahui keadaan mereka, hendaknya mau melayangkan surat kepada pimpinan 
Lembaga Fatwa yang berisi penjelasan tentang keadaan mereka untuk dijadikan 
bahan pertimbangan. Hal itu dimaksudkan agar sumber penilaian cacat 
seseorang dan tahdzir, apabila memang harus dikeluarkan, maka yang 
mengeluarkan adalah lembaga yang berkompeten dalam masalah fatwa dan 
berwenang menjelaskan tentang siapa-siapa yang dapat diambil ilmunya dan 
dimintai fatwa. Tidak diragukan lagi bahwa lembaga yang dijadikan sebagai 
rujukan fatwa dalam berbagai permasalahan, juga selayaknya dijadikan sebagai 
sumber rujukan untuk mengetahui siapa yang boleh dimintai fatwa dan diambil 
ilmunya. Hendaknya janganlah seseorang menjadikan dirinya sebagai tempat 
rujukan dalam perkara yang sangat penting ini, karena sesungguhnya termasuk 
tanda bagusnya keislaman seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak 
bermanfaat bagi dirinya.

Kedua.
Berkaitan dengan cara membantah orang yang melakukan kekeliruan pendapat 
perlu diperhatikan beberapa perkara sebagai berikut:

[1] Hendaknya bantahan tersebut dilakukan dengan penuh keramahan dan 
kelemah-lembutan disertai keinginan yang kuat untuk menyelamatkan orang yang 
salah tersebut dari kesalahannya, apabila kesalahannya jelas terlihat. 
Selayaknya seseorang yang hendak membantah pendapat orang lain merujuk 
bagaimana cara Syaikh bin Baz tatkala melakukan bantahan, untuk kemudian 
diterapkannya.

[2] Apabila kesalahan orang yang dibantah tadi masih samar, mungkin benar 
atau mungkin juga salah, maka selayaknya masalah tersebut dikembalikan 
kepada pimpinan Lembaga Fatwa untuk diberi keputusan hukumnya. Adapun 
apabila kesalahannya jelas, maka wajib bagi orang yang dibantah tersebut 
untuk meninggalkannya. Kerena kembali kepada kebenaran adalah lebih baik 
dari pada tetap tenggelam dalam kebatilan.

[3] Apabila seseorang telah membantah orang lain, maka berarti dia telah 
menunaikan kewajiban dirinya, maka hendaknya dia tidak menyibukkan diri 
mengikuti gerak-gerik orang yang dibantah. Sebaliknya, dia selayaknya 
menyibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat, baik bagi dirinya maupun 
orang lain. Begitulah sikap yang dicontohkan oleh Syaikh bin Baz.

[4] Seorang penuntut ilmu tidak diperbolehkan mengajak orang lain serta 
memaksanya untuk memilih si Fulan (yang dibantah) atau ikut dia (yang 
membantah); apabila sepakat dengannya maka dia selamat; namun apabila tidak 
sepakat maka di bid’ahkan dan diboikotnya.

Tidak boleh seorang pun menisbatkan fenomena tabdi’ (pembid’ahan) dan hajr 
(pemboikotan) yang kacau seperti ini sebagai manhaj Ahlussunnah. Dan 
siapapun tidak diperbolehkan menggelari orang yang tidak menempuh jalan yang 
ngawur ini sebagai orang yang tidak bermanhaj salaf. Boikot (hajr) yang 
dilakukan dalam manhaj Ahlussunnah adalah boikot yang memberikan manfaat 
bagi orang yang diboikot, seperti boikot seorang bapak pada anaknya, Syaikh 
kepada muridnya, dan boikot dari pihak yang memiliki kedudukan dan derajat 
yang lebih tinggi kepada orang-orang yang menjadi bawahannya. Boikot-boikot 
seperti itu akan memberikan manfaat bagi orang yang diboikot. Namun apabila 
boikot itu bersumber dari dari seorang penuntut ilmu kepada penuntut ilmu 
yang lain, lebih-lebih pada perkara yang tidak selayaknya seseorang 
diboikot, maka boikot seperti itu tidak manfaat sedikit pun bagi orang yang 
diboikot, tetapi malah akan menimbulkan permusuhan, saling membelakangi dan 
saling menghalangi.


[Disalin dari buku Rifqon Ahlassunnah Bi Ahlissunnah Menyikapi Fenomena 
Tahdzir dan Hajr, hal 69-85, Terbitan Titian Hidayah Ilahi]

sumber http://www.almanhaj.or.id

_________________________________________________________________
FREE pop-up blocking with the new MSN Toolbar - get it now! 
http://toolbar.msn.click-url.com/go/onm00200415ave/direct/01/






------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Has someone you know been affected by illness or disease?
Network for Good is THE place to support health awareness efforts!
http://us.click.yahoo.com/UwRTUD/UOnJAA/i1hLAA/TXWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

------------------------------------------------------------------------
Website Islam pilihan anda.
http://www.assunnah.or.id
http://www.almanhaj.or.id
Website kajian Islam -----> http://assunnah.mine.nu
Berlangganan: [EMAIL PROTECTED]
Ketentuan posting : [EMAIL PROTECTED]
------------------------------------------------------------------------ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke