----- Original Message -----
From: "abd razak" <[EMAIL PROTECTED]>
To: <assunnah@yahoogroups.com>
Sent: Tuesday, March 08, 2005 2:25 PM
Subject: [assunnah] Tanya : Masalah Syi'ah
?
> Betulkah Umar bin Khattab ra pernah mencegah
Nabi saw berwasiat sebelum
> meninggal? Katanya ada hadits shahih tentang itu.
> meninggal? Katanya ada hadits shahih tentang itu.
Hadits tsb memang shahih karena diriwayatkan
oleh Imam Bukhari dlm Jami'ush Shahihnya. Berikut ini salilnan dari buku "Sunni
yang Sunni -- Tinjauan Dialog Sunnah-Syi'ahnya al-Musawi" karya Mahmud az-Za'by,
terjemahan dari kitab aslinya yg berjudul Al-Bayyinat, fi ar-Radd' ala Abatil
al-Muraja'at
-------------------------------------------
-------------------------------------------
Dalil yang dimaksud ialah suatu riwayat yang
dikemukakan Imam Bukhari melalui sanadnya dari Ibn 'Abbas, katanya:
Ketika ajal Nabi telah hampir, dan
di rumah beliau berkumpul banyak orang, beliau bersabda: "Mari kutuliskan bagimu
suatu surat (wasiat), agar sesudah itu kamu tidak akan sesat". Lalu salah
seorang dari mereka berkata: "Sakit Nabi telah semakin gawat dan parah,
sedangkan al-Qur'an ada pada kalian; cukuplah itu bagi kita". Maka terjadilah
perselisihan diantara yang hadir, dan mereka pun bertengkar. Sebagian berkata:
"Sediakanlah apa yang diminta Nabi, agar beliau menuliskan (mendiktekan) bagi
kamu apa yang akan menghindarkan kamu dari kesesatan!" Tetapi yang lain
mengatakan sebaliknya, sehingga terjadi ribut-ribut dan pertengkaran di hadapan
Nabi saw, dan beliau pun bersabda: "Pergilah kamu semua dari tempat ini!"
Ubaidillah mengutip perkataan Ibn 'Abbas dalam mengomentari peristiwa tersebut,
sebagai berikut: "Sebesar-besar malapetaka ialah kejadian yang menghalangi
Rasulullah saw menuliskan pesan terakhirnya itu". (Lihat Kitab
al-Maghazi, jilid 8,hal.132),
yang dikutip dari Fathul Bari. Imam Bukhari
meriwayatkan hadits ini dalam banyak tempat dalam Sahihnya, dengan redaksi yang
hampir sama.
Akan tetapi telah menjadi kebiasaan al-Musawi jika
ia hendak beristidhal dengan hadits sahih, ia menunjukkan sumber dalil itu dalam
kitab-kitab Sahih dan Sunan; lalu menjadikannya sebagai landasan untuk
memberikan tambahan-tambahan yang dha'if dan palsu serta takwil yang
rusak.
Dalam mengemukakan riwayat ini, al-Musawi mempunyai
maksud-maksud seperti berikut ini:
1. Menuduh para sahabat, terutama 'Umar ibn
al-Khaththab, tidak mau menjalankan perintah Nabi ketika beliau bersabda: "Mari
kutuliskan bagimu sebuah surat wasiat "'Umar melarang orang-orang yang hadir
untuk mendatangkan apa yang diminta Nabi, sehingga beliau tidak dapat
mendiktekan apapun. Al-Musawi memandang hal ini sebagai pembangkangan 'Umar
terhadap perintah Nabi, dan penentangan terhadapnya. 'Umar, demikian al-Musawi,
bermaksud menutup kesempatan terakhir bagi kekhalifahan 'Ali ibn Abi
Thalib.
Tuduhan ini dapat ditanggapi dari berbagai
sudut sebagai berikut:
a. Perintah Nabi itu diberikan, di waktu beliau
dalam keadaan sakit parah. Di satu pihak hal ini menimbulkan rasa iba yang
mendalam di hati para sahabat. Juga rasa kasihan terhadap Nabi dipihak lain.
Ketika Nabi meminta kertas untuk mendiktekan surat wasiat, mereka merasa kasihan
kepada beliau, dan tak mau membebani beliau dengan sesuatu yang merepotkannya,
sedang beliau dalam keadaan seperti itu. Apalagi mereka mengetahui bahwa tidak
semua perintah itu wajib dilaksanakan secara mutlak. Sebab, kadang-kadang
terdapat qarinah-qarinah (konteks) yang mengeluarkan perintah itu dari maknanya
yang asal. Mereka telah menyadari akan kesempurnaan Islam dengan adanya ayat
"Alyauma akmaltu lakum dinakum waatmamtu 'alaikum ni'mati, wa-radkitu
lakumul-islama dina (QS, al-Ma'idah, 5:3) dan hadits Nabi:
"Aku tinggalkan untukmu sesuatu yang jika kamu
berpegang teguh padanya, kamu tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu Kitab
Allah" Qarinah-qarinah ini menunjukkan bahwa permintaan Nabi akan kertas dan
tinta itu, tidaklah bersifat ilzam (wajib). Dan bahwa pesan yang akan ditulis
dalam surat itu, hanyalah penjelasan tambahan atas apa yang terdapat dalam Kitab
Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Bukti yang menunjukkan hal itu ialah
sikap Nabi yang mengurungkan niatnya untuk menulis wasiat dan menyuruh mereka
keluar ketika mereka ribut dan bertengkar. Juga tidak adanya perintah ulang dari
Nabi, kendatipun beliau masih sempat hidup berhari-hari setelah
peristiwa itu.
Seandainya perintah itu merupakan
perintah yang wajib, Nabi pasti menyampaikannya lagi walaupun ada perselisihan
dan pertengkaran para sahabat. Pertengkaran kadang-kadang memang menyebabkan
penundaan tabligh hingga situasi menjadi lebih tenang, tetapi tidak sampai
menyebabkan dibatalkannya perintah sama sekali. Sementara
kenyataan yang terjadi pada Nabi, adalah beliau meninggalkannya sama sekali,
bukan menundanya. Ini memperkuat anggapan bahwa apa yang hendak didiktekan Nabi
itu bukanlah perkara yang wajib (Wallahu a'lam!). Karena itu, setelah adanya
perselisihan mereka, Nabi menyampaikan wasiatnya secara lisan.
Mengenai pendapat yang menyatakan bahwa
pertentangan itu mengakibatkan tidak terlaksananya salah satu dari
kewajiban-kewajiban Islam atau suatu kewajiban dalam penyampaian materi tabligh
yang penting, dan dengan begitu, mengakibatkan kekurangan pada agama Islam, maka
tidak dapat disangkal lagi bathilnya pendapat ini, sebagaimana bathilnya
pemikiran yang mendasarinya.
Apa yang menyebabkan al-Faruq 'Umar ibn Khaththab
dan sebagian sahabat yang hadir di rumah Nabi ketika itu menganggap bahwa
penulisan pesan Nabi itu tidak wajib dilakukan adalah sebab-sebab yang telah
disebutkan di atas (Wallahu a'lam).
b. Al-Musawi menjelaskan dalam dialog yang
terdahulu bahwa tidak dipenuhinya permintaan Nabi akan kertas dan tinta itu
dimaksudkan untuk meniadakan kesempatan Nabi menulis wasiat bagi khilafah 'Ali
setelah wafat beliau. Dakwaan al-Musawi ini tidak dapat dibenarkan ditinjau
dari-berbagai segi:
Bagaimana al-Musawi tahu bahwa Nabi
bermaksud menulis, dalam surat itu, wasiat khilafah bagi 'Ali? Apakah ia
tahu perkara ghaib? Ataukah ia mendapat jaminan langsung dari sisi Tuhan?
Jika Rasulullah saw meninggal dunia tanpa mendiktekan surat wasiat yang sempat
menjadi perselisihan itu, lalu dari mana al-Musawi mengetahui
isinya?!
Jika 'Ali, si penerima wasiat yang
dianggapkan itu, meninggal dunia tanpa mengucapkan satu kata pun yang
menjelaskan hakekat surat wasiat itu, atau bahwa dia mengetahui hakekatnya, lalu
dari sumber mana kaum Rafidhah mengetahuinya?
Jika setelah, terjadinya pertengkaran para sahabat
di hadapan Nabi itu, beliau menyampaikan tiga wasiat kepada mereka sebagaimana
dituturkan oleh berbagai riwayat di dalam Sahih Bukhari yang dijadikan, hujjah
oleh al-Musawi. Pertama, wasiat agar mengeluarkan kaum Musyrikin dari jazirah
Arab; kedua, memberikan hadiah kepada utusan-utusan asing sebagaimana Nabi biasa
melakukannya; dan dia (perawi hadits ini) berdiam mengenai wasiat yang ketiga),
maka mengapa al-Musawi tidak menganggap bahwa ketiga wasiat inilah yang
sesungguhnya hendak didiktekan oleh Nabi dalam surat wasiat itu, sebagaimana
yang dipahami oleh para ulama? Kenapa ia mengabaikan keterangan ini, yang nota
bene adalah hadits?
Kalaupun kita terima kesahihan
pernyataan al-Musawi itu, maka bagaimana al-Faruq 'Umar ibn Khaththab dan
kawan-kawannya mengetahui isi wasiat itu sebelum didiktekan oleh Nabi? Padahal
ia masih termasuk perkara ghaib jika dinisbatkan kepada mereka
semua?
Semua pertanyaan di atas tidak bisa
dijawab oleh al-Musawi, juga oleh orang Rafidhah lainnya. Ini membuktikan
kedustaan dan kontradiksi pemikiran mereka. Juga membuktikan bahwa mereka
berkata atas nama Allah dan Rasul-Nya tanpa ilmu.
c. Adapun para ahli hadits, mereka berbeda pendapat
tentang hakekat surat itu, dan mereka tidak menganggap final suatu pendapat
seperti kaum Rafidhah. Sebagian mereka berkata: Rasulullah saw hendak menuliskan
wasiat yang berisikan nash tentang hukum-hukum, supaya tidak terjadi
perselisihan. Sebagian yang lain berkata: Bahkan Rasulullah saw hendak
menetapkan (dengan nash) nama-nama khalifah setelah beliau, supaya tidak terjadi
perselisihan diantara mereka. Pendapat ini dikuatkan oleh riwayat Muslim dalam
Sahihnya. Dalam riwayat ini dikatakan bahwa pada awal sakitnya, Nabi yang ketika
itu berada di sisi 'A'isyah bersabda: "Datangkanlah kemari ayah dan saudaramu
agar kudiktekan sebuah pesan (surat), sebab aku khawatir akan ada orang yang
berangan-angan, dan yang mengatakan yang bukan-bukan, sementara Allah dan kaum
Mukminin tidak menerima selain Abu Bakar." Imam Bukhari juga mempunyai hadits
yang isinya serupa, namun tidak dituliskannya (Fathul Bari, jilid 1, hal.
209).
2. Al-Musawi hendak menisbatkan kepada 'Umar suatu
perkataan yang tidak dikatakan oleh 'Umar. Maksudnya tidak lain kecuali untuk
meremehkan 'Umar, mengecam dan merendahkan kedudukannya, sesuai dengan keyakinan
kaum Rafidhah terhadap 'Umar dan sahabatnya Abu Bakar. Al-Musawi menisbatkan
kepada 'Umar perkataan "Rasulullah telah mengigau". Dengan ini, al-Musawi
mengisyaratkan bahwa 'Umar telah mengatakan perkataan yang tidak sesuai dengan
martabat Nabi. Ini jelas merupakan tuduhan yang tidak dapat dibenarkan menurut
para ahli hadits, bahkan bertentangan dengan pendapat yang telah disepakati para
ahli. Berikut ini kami kemukakan beberapa penjelasan:
2.1. Dalam riwayat-riwayat yang sahih dan yang
berbilang salurannya untuk hadits ini, tidak ada perkataan yang disandarkan
kepada 'Umar, selain perkataan
"Rasulullah telah gawat sakitnya, dan pada kalian ada al-Qur'an. Cukuplah
kitabullah sebagai pegangan kita!" Perkataan 'Umar
tidak lebih dari ini. Maka adakah dalam perkataan ini, sesuatu yang
mendukung pendapat al-Musawi? Adakah dalam
perkataan itu sesuatu yang tidak senonoh dan kurang sopan terhadap Nabi? Tentu,
tak seorang pun akan berpendapat demikian kecuali orang yang
dengki dan pongah! Perkataan 'Umar itu justru keluar dari mulut seorang yang
berbudi luhur dan mulia, yang memiliki
rasa kasih yang tak terhingga kepada Nabi.
Adapun riwayat yang didalamnya terdapat perkataan:
'Rasulullah mengigau", maka perkataan tersebut tidaklah dinisbatkan
kepada 'Umar, ataupun
sahabat lain yang tertentu sebagaimana yang didakwakan al-Musawi. Dalam riwayat
itu hanya
dikemukakan kata ganti orang dalam bentuk jamak, (plural):
"Mereka berkata:
"Kenapa Rasulullah? Apakah dia mengigau?". Kata
mereka: "Nabi mengigau". Ini diterangkan dalam bab al-Maghazi dan
al- Jihad dalam Sahih
Bukhari.
2.2. Dakwaan al-Musawi itu bertentangan dengan
pendapat yang dipegangi oleh para peneliti dari kalangan ulama hadits yang
menjelaskan beberapa riwayat hadits ini.
Barangsiapa meneliti secara cermat riwayat-riwayat hadits ini,
baik dalam kitab Sahih, Sunan, maupun di dalam kitab syarah-syarahnya, niscaya
ia tidak akan menemukan seorang ulama pun yang menisbatkan perkataan tersebut
kepada 'Umar ibn Khaththab. Bagaimana mereka dapat
menisbatkannya, sedangkan riwayat-riwayat itu tidak menyatakannya?
Berikut ini kami kemukakan pendapat para ulama
sebagaimana yang diringkas oleh Ibn Hajar dari perkataan al-Qurthubi. Ibn Hajar
berkata: Mengenai perkataan sahabat, hajara, maka menurut pendapat yang kuat
(rajih), ia mesti ditambah dengan hamzah istifham yang dibaca fathah hingga
berbunyi ahajara (Apakah dia mengigau?) dalam bentuk fi'il madhi. Sebagian
berpendapat, bunyinya adalah ahujran (Apakah igauan?) dengan anggapan bahwa kata
h-j-r itu merupakan isim maf'ul dari fi'il yang tersimpan. Jadi kalimat
lengkapnya adalah "Dia berkata: hujran (igauan)." Al-hujru berarti al-hadzyanu,
yang berarti perkataan orang sakit yang keluar secara tidak sadar dan tidak
teratur (mengigau). Dan perkataan demikian tidak diperhitungkan, lantaran tidak
ada artinya. Namun perkataan seperti ini tidak mungkin terjadi pada diri Nabi.
Sebab beliau ma'shum, baik di kala sehat maupun sakitnya. Allah berf'irman: "Dan
tidaklah dia berbicara atas dorongan hawa nafsunya. (Ucapannya) itu tak lain
adalah wahyu yang diwahyukan" (QS, an-Najm, 53:3-4). Rasulullah juga bersabda:
"Aku tidak berkata, kecuali yang hak, baik diwaktu marah maupun rela." Jika
demikian, maka orang yang mengatakan "Apakah igauan? (ahujran) hanyalah
bermaksud menyanggah orang, yang tidak mau melaksanakan perintah Nabi untuk
mendatangkan kertas dan tinta. Seakan-akan orang itu berkata: "Mengapa anda diam
saja (tidak segera melaksanakan perintah). Apakah anda mengira Nabi meracau
dalam sakitnya, seperti orang lain? Laksanakanlah perintahnya, dan datangkan apa
yang beliau minta. Nabi tidak pernah berkata kecuali yang haq". Ibn Hajar
berkata: "Inilah pendapat yang paling bagus!" Katanya lagi: "Mungkin juga bahwa
sebagian sahabat mengatakan "Nabi mengigau" karena merasa ragu-ragu. Tetapi
sangat tidak mungkin sahabat-sahabat yang lain tidak menyanggahnya, sedang
mereka adalah sahabat-sahabat terkemuka. Dan seandainya mereka menyanggahnya,
pasti ada keterangan mengenai hal itu. Bisa juga, orang yang mengatakan itu
lantaran panik atau bingung, seperti dialami banyak orang ketika Rasulullah saw
berpulang ke rahmatullah.
Mengomentari berbagai kemungkinan itu, Ibn Hajar
berkata: "Dari tiga kemungkinan yang dikemukakan al-Qurthubi itu, kemungkinan
ketiga itulah yang paling rajih menurut pemikiranku. Dan mungkin orang yang
mengatakan itu, ialah orang yang baru masuk Islam, dan dia beranggapan bahwa
orang yang sakitnya parah, sangat sulit untuk menyatakan apa yang ingin
dikatakannya, karena mungkinnya hal itu terjadi. (Fathul Bari, jilid 8, hal.
133).
3. Kemudian al-Musawi menuduh para ulama hadits
sebagai tidak amanah dalam meriwayatkan hadits. Berkata dia: "Mereka melakukan
pengubahan dalam hadits ketika mereka meriwayatkan maksudnya saja, untuk
menutupi keburukan kata-kata didalamnya dan meminimalkan kecaman orang terhadap
kata-kata tersebut." Di tempat lain, al-Musawi berkata: "Hal lain yang
menunjukkan ketidakjujuran para ahli hadits ialah bahwa manakala mereka tidak
menyebutkan nama orang yang menentang perintah Nabi itu, maka mereka menukil
redaksi kata-katanya dengan jelas." Maksud pernyataan al-Musawi ini ialah bahwa
para ahli hadits itu mempermainkan lafazh hadits. Manakala nama 'Umar al-Faruq
disebut dengan jelas, maka mereka menukil kata-katanya secara maknawi
(maksudnya) saja. Tetapi jika nama 'Umar tidak disebutkan, mereka menukil
redaksi kata-katanya dengan lengkap dan jelas. Tanggapan atas tuduhan ini, dapat
dikemukakan sebagai berikut:
1. Tuduhan ini bathil, tidak berdalil
sama sekali, dan tidak tersebut dalam kitab yang muktabar menurut penilaian para
ahli hadits.
2. Karena tuduhan itu tidak diperkuat oleh dalil yang mendasarinya, maka kita dapat menyatakan yang sebaliknya. Sebab, pada dasarnya manusia bersifat adil, kecuali jika telah kelihatan jelas sifat zalimnya. Ini adalah sifat manusia biasa. Maka bagaimana pula halnya dengan para ulama yang sudah disepakati semua orang tentang keadilannya, sehingga mereka mencapai puncak kemasyhuran yang tidak diperdebatkan lagi.
3. Tidak ada alasan yang mendorong para ahli hadits yang adil dan tsiqat itu untuk bermain-main dengan hadits ini ataupun hadits lainnya. Seandainya dikatakan bahwa sebagian mereka berbuat tidak jujur itu karena takut kepada 'Umar ibn Khaththab, sebagaimana diyakini oleh kaum Rafidhah, maka apa kata mereka mengenai perawi-perawi hadits yang hidup sesudah masa 'Umar? Dan andaikata dikatakan bahwa sebagian mereka berbuat curang itu karena fanatik, tentu kecurangan itu akan merata dalam hadits-hadits yang mereka riwayatkan. Dan jika demikian, tentu akan diketahui adanya orang yang menentang mereka.
4. Akhirnya kita katakan kepada al-Musawi: Bagaimana anda bisa berhujjah dengan riwayat mereka, sedangkan anda mengecam keadilan mereka. Ini adalah kontradiksi yang amat buruk.
2. Karena tuduhan itu tidak diperkuat oleh dalil yang mendasarinya, maka kita dapat menyatakan yang sebaliknya. Sebab, pada dasarnya manusia bersifat adil, kecuali jika telah kelihatan jelas sifat zalimnya. Ini adalah sifat manusia biasa. Maka bagaimana pula halnya dengan para ulama yang sudah disepakati semua orang tentang keadilannya, sehingga mereka mencapai puncak kemasyhuran yang tidak diperdebatkan lagi.
3. Tidak ada alasan yang mendorong para ahli hadits yang adil dan tsiqat itu untuk bermain-main dengan hadits ini ataupun hadits lainnya. Seandainya dikatakan bahwa sebagian mereka berbuat tidak jujur itu karena takut kepada 'Umar ibn Khaththab, sebagaimana diyakini oleh kaum Rafidhah, maka apa kata mereka mengenai perawi-perawi hadits yang hidup sesudah masa 'Umar? Dan andaikata dikatakan bahwa sebagian mereka berbuat curang itu karena fanatik, tentu kecurangan itu akan merata dalam hadits-hadits yang mereka riwayatkan. Dan jika demikian, tentu akan diketahui adanya orang yang menentang mereka.
4. Akhirnya kita katakan kepada al-Musawi: Bagaimana anda bisa berhujjah dengan riwayat mereka, sedangkan anda mengecam keadilan mereka. Ini adalah kontradiksi yang amat buruk.
-------------------------------------------
Sunni yang Sunni -- Tinjauan Dialog
Sunnah-Syi'ahnya al-Musawi, judul asli : Al-Bayyinat, fi ar-Radd' ala Abatil
al-Muraja'at, Penulis Mahmud az-Za'bi, Penerbit PUSTAKA
> Dan betulkah Imam Syafii pernah bersyair
sbb:
> Kalau kecintaanku kepada Ali
> orang-orang mengatakan aku Syi'ah
> Saksikanlah wahai seluruh Jin dan Manusia
> Aku adalah Syi'ah!
> Kalau kecintaanku kepada Ali
> orang-orang mengatakan aku Syi'ah
> Saksikanlah wahai seluruh Jin dan Manusia
> Aku adalah Syi'ah!
saya pernah membaca syair/perkataan Imam Syafi'i
tsb, tapi Afwan saya lupa maraji'. Kalau saya tidak salah memahami maksud
perkataan Imam Syafi'i itu yakni beliau ingin menyatakan bahwa walaupun beliau
sebagai Ahlussunnah (dan bukan syi'ah) tapi beliau tetap mencintai Ali dan Ahlul
Bait Nabi karena bukan hanya syi'ah saja yg mencintai Ali dan AhlulBait
sebagaimana pengakuan kaum syi'ah. Kaum syi'ah menuduh bahwa Ahlussunnah tidak
mencintai Ali dan AhlulBait, padahal Ahlussunnah juga mencintai Ali dan
AhlulBait tapi tidak seperti kecintaan kaum syi'ah yg ghuluw sampai menganggap
Ali dan AhlulBait sbg oang2 yg ma'shum.
Afwan kalau saya salah, mohon dikoreksi
> Mohon jawaban secepatnya. Ada seorang rafidhah yang melontar syubhat tsb
> kepada saya.
------------------------------------------------------------------------
Website Islam pilihan anda.
http://www.assunnah.or.id
http://www.almanhaj.or.id
Website kajian Islam -----> http://assunnah.mine.nu
Berlangganan: [EMAIL PROTECTED]
Ketentuan posting : [EMAIL PROTECTED]
------------------------------------------------------------------------
Yahoo! Groups Sponsor | |||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||
Yahoo! Groups Links
- To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/assunnah/
- To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]
- Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service.
No virus found in this outgoing message. Checked by AVG Anti-Virus. Version: 7.0.308 / Virus Database: 266.7.0 - Release Date: 08/03/2005