wa'alaikum salam Warohmatullohi Wabarokatuh Wamagfirotuh

 

ALHAMDULILLAH, NAHMADUHU WA NASTA'INUHU WA NASTAGHFIRUH

WA ASYHADU ANLLA ILAAHA ILLALLOH, WASY HADUANNA MUHAMMADAN 'ABDUHU WA ROSULUH

 

Insya Alloh, akan saya sampaikan hadits-hadits yang berkaitan dengan yang antum tanyakan.

 

Yang pertama:

Jika dikumandangkan adzan, apakah kita langsung sholat sunnah atau mendengarkan adzan sampai selesai baru kemudian sholat sunnah?

Rasululloh  sholallohu 'alaihi wa alihi wa salam memerintahkan jika kita mendengar adzan untuk menirukan sebagaimana yang diucapkan adzan.

 

Dalilnya adalah:

  1. Dari ‘Abdulloh bin’amr bin Ash radhiyallohu 'anhu , bahwasannya ia mendengar Rasululloh sholallohu 'alaihi wa alihi wa salam bersabda: “Apabila kalian mendengar adzan, maka  ucapkanlah seperti apa yang diucapkan oleh muadzin, kemudianlah bacalah sholawat untukku, karena barangsiapa bersholawatkepadaku sekali, maka Alloh memberi rohmat kepadanya sepuluh kali……HR. Muslim.
  2. Dari Abu Sa’id al khudri radhiyallohu 'anhu  bahwasannya Rasululloh sholallohu 'alaihi wa alihi wa salam bersabda: “Apabila  kalian mendengar adzan, maka ucapkanlah sebagaimana yang diucapkan oleh  muadzin.” HR. Buhkori dan Muslim
  3. Dan begitu pula yang diriwayatkan oleh Bukhori dari sahabat Mu’awiyah radhiyallohu 'anhu.
  4. Dalam riwayat Muslim dari sahabat Umar radhiyallohu 'anhu  tentang keutamaan mengucapkan saperti ucapannya muadzin, kalimat demi kalimat kecuali dua kalimat hayya’ala (hayya’alash sholah dan hayya’alal falaah-pen) maka dia menjawab laa hawla wa laa quwwata illaa billah…dengan sepenuh hatinya, (maka) dia masuk surga.
  5. Dari sahabat Sa’ad bin Abi waqosh radhiyallohu 'anhu, dari Rasululloh sholallohu 'alaihi wa alihi wa salam, Beliau bersabda: “Barangsiapa   membaca ketika mendengar adzan ‘Asyhadu allaa ilaaha illaalloh wahdahu laa syarikalah, wa  anna Muhammadan ‘abduhu warosuluh, wa bil islami diina’, maka orang itu diampuni dosanya”. (HR. Muslim)

((lihat Shohih Muslim, Bulughul Marom oleh Ibnu Hajar, dan Riyadhush Sholihin oleh Imam Nawawi))

Adapun perintah untuk sholat 2 rakaat sebelum duduk ketika memasuki masjid adalah berdasarkan dalil berikut:

  1. Dari Abu Qotadah radhiyallohu 'anhu: Ketika saya masuk masjid, Rasululloh sholallohu 'alaihi wa alihi wa salam sedang duduk ditengah-tengah orang banyak, kemudian saya duduk. Rasululloh sholallohu 'alaihi wa alihi wa salam bersabda, “Apakah yang menghalangimu  untuk mengerjakan sholat 2 rakaat sebelum duduk?. Saya menjawab: “Wahai Rasululloh, saya melihat engkau duduk bersama manusia (maka saya pun duduk). Beliau sholallohu 'alaihi wa alihi wa salam bersabda: “Jika salah seorang dari kalian masuk masjid maka janganlah duduk sebelum sholat dua rakaat”. (HR. Muslim)
  2. Dari Jabir bin Abdillah radhiyallohu 'anhuma, ia  berkata: Sulaik al Ghothofani masuk ke masjid pada hari Jum’at sedangkan Rasululloh sholallohu 'alaihi wa alihi wa salam saat itu sedang duduk di atas mimbar,  lalu Sulaik duduk sebelum sholat. Kemudian Rasululloh sholallohu 'alaihi wa alihi wa salam bertanya kepadanya: “apakah engkau sudah sholat dua rakaat”. Ia menjawab: “belum”. Belaiu sholallohu 'alaihi wa alihi wa salam bersabda kepdanya: “berdirilah lalu Sholatlah dua rakaat.” (HR.Muslim)

 

FAEDAH-FAEDAH HADITS

Maka dari hadits-hadits tersebut di atas dianjurkan sebagai berikut:

  1. Hendaknya ketika masuk masjid ia mengerjakan 2 rakaat sebelum duduk
  2. Bagaimana seandainya ia masuk masjid ketika mu’adzin sedang mengumandangkan adzan? Maka untuk mendapatkan fadhilah/ keutamaannya orang yang menjawab adzan, hendaknya ia menjawab adzan dahulu, baru kemudian sholat. Dengan demikian ia dapat melaksanakan kedua perintah tersebut dan mendapatkan keutamaan dari kedua amalan tersebut.
  3. Keutamaannya orang yang menjawab adzan, yaitu dimasukkan surga
  4. Jika masuk seseorang ke dalam masjid ketika jum’at dan Imam di atas mimbar, hendaknya ia tetap sholat 2 rakaat dengan ringkas lalu duduk untuk mendengarkan khutbah. Sebagaimana dalam hadits Jabir bin Abdillah radhiyallohu 'anhuma.

 

YANG KEDUA

Kalau sudah adzan mana yang lebih utama Shalat Tahiyatul Masjid atau Shalat Sunah Qabla (Subuh misalnya) ?

Saya pernah bertanya tentang menjama’ niat untuk dua amalan atau lebih yang jihah (arahnya) sama, seperti menjama’ dua sholat sunnah (sholat qobliyah dengan tahiyatuil masjid, puasa kamis dengan puasa Arofah yang jatuhnya sama dengan waktu orang berpuasa pada hari kamis, dan yang semisalnya). Hal ini pernah saya tanyakan kepada dua ustadz, yang pertama Ustadz ‘Abdulloh Amin, dan yang kedua Ahmad Sabiq (penulis rubrik nisaa’ majalah al Furqoon). Hanya saja keterangan keduanya berbeda. Berikut secara ringkas.

Jawaban ustdaz Abdulloh Amin.

Adapun menjama’ niat yang mana amalan tersebut jihahnya sama, maka ini adalah salah di dalam memahami dalil. Dalil yang dimaksud adalah hadits Umar bin Khotthob radhiyallohu 'anhu innamal a’malu binniyyat….[Bukhori-Muslim]. Penggabungan yang seperti ini tidak bisa. Adapun bagi orang yang masuk masjid sebagaimana dalam pertanyaan, maka setiap orang masuk masjid di waktu apapun maka dia sholat dua rakaat tahiyyatul masjid. Yang dimaksud tahiyyatul masjid ini bukanlah sholat sunnah yang berdiri sendiri seperti sholat sunnah yang lain, seperti dhuha, witir, tarawih, rowatib, ‘idain, dll.

Sholatnya seseorang ketika masuk masjid waktu subuh dengan sholat 2 rakaat qobliyah maka itulah sholat tahiyyatul masjid, tetapi di sini  bukan menjama’ niat. Atau ketika waktu dhuha, maka ia sholat 2 rakaat untuk  sholat dhuha, maka  itulah sholat tahiyyatul masjid.

Menjama’ niat yang benar adalah jika jihah amalan tersebut tidak sama. Misalnya orang menuntut ilmu ke Jami’ah Islamiyah di  madinah kemudian ia niatkan sekalian ziaroh ke masjid Nabawi.

==========Selesai jawaban ustadz=========

demikian jawaban Ustadz Abdulloh Amin secara ringkas dan secara makna (karena tidak terdokumentasikan dalam bentuk rekaman atau tulisan)

saya katakan:

sebagaimana halnya Rasululloh sholallohu 'alaihi wa alihi wa salam  ketika pulang dari safar, Beliau sholallohu 'alaihi wa alihi wa salam menyuruh sahabat untuk sholat dua rakaat di masjid [HR.Muslim bab idza qudima min safarin sholla fil masjidi rak’atain].

Akan tetapi tidak di nukil bahwasannya Beliau (atau Beliau memerintahkan) sholat wudhu 2 rakaat, tahiyyatul masjid 2 rakaat, kemudian  sholat dari safar 2 rakaat. Wallohu a’lam

 

Adapun jawaban Ustadz Ahmad Sabiq (secara ringkas dan makna):

Menjama’ niat seperti ini (sebagaimana dalam pertanyaan) adalah boleh. Dalilnya adalah hadits Umar bin Khotthob radhiyallohu 'anhu innamal a’malu biniyyat…. Yaitu sesungguhnya amal itu tergantung dengan niatnya. Jika seseorang berniat dalam satu waktu sholat tahiyyatul masjid, sholat qobliyah, dan yang semacamnya maka ia mendapatkan apa yang ia niatkan tersebut.

Belaiu menyebutkan ini pendapat Syaikh Sa’di, Syaikh Utsaimin, dan ….(afwan yang satu saya lupa-pen).

==========selesai jawaban Ustadz==========

 

Akan tetapi saya katakan:

Ibnu Rojab dalam Syarh hadits innamal a’malu biniyyat… dalam Jami’ul ‘ulum wal hikam, Beliau menjelaskan di antara fungsinya niat adalah untuk membedakan antara ibadah yang satu dengan yang lain, antara ibadah dengan adat.

Misalnya antara ibadah dengan ibadah yang lain:

Antara sholat subuh dengan qobliyah subuh, puasa sunnah dengan puasa qodho

Contoh ibadah dengan adat:

Mandi wajib ketika junub dengan mandi untuk kesegaran.

 

Dengan demikian penjama’-an niat ini perlu diteliti lagi. Wallohu a’lam.

Bagi yang boleh menjama’ niat juga menyatakan yang boleh digabung hanya amalan sunnah, kalau wajib maka tidak bisa?

Maka saya tanyakan apakah ada bedanya antara amalan sunnah dengan wajib? Bukankah keduanya sama? Maka pembedaan seperti ini memerlukan dalil.

 

Maka yang rojih wallohu a’lam adalah sebagaimana jawaban  Ustadz Abdulloh Amin tersebut di atas.

 

(catatan: kedua ustadz tersebut masing-masing tidak saling menyebutkan kitabrujukan, karena saat itu tidak sedang dalam membahas maslah tersebut. Saya dan beberapa ikhwan bertanya diluar majelis, bertanya secara langsung.)

 

YANG KETIGA

Banyak amalan yang sering diambil dari hadist dhoif (lemah), bukankah boleh kita melakukannya, karena ada yang bilang selemah-lemahnya hadist ya tetap saja hadist yaitu dari Rasululloh juga. Atau memang harus yang Shahih atau Hasan ?

JAWABANNYA:

Hadits dho’if adalah hadits yang tidak dapat dijadikan hujjah, dikarenakan tidak memenuhi syarat-syarat hadits shohih atau hasan.

Adapun syarat hadits shohih adalah sebagai berikut:

  1. muttashil (sanadnya bersambung sampai Rasululloh)
  2. tammu dhobti (kuatnya hafalan rowi)
  3. ‘adl
  4. tidak syadz (tidak menyelisihi hadits yang lebih kuat darinya)
  5. tidak ada illat (cacat yang merusak keshohihan hadits)

sedangkan hadits hasan, syaratnya sama dengan hadits shohih, akan dalam masalah dhobt sedikit di bawah hadits shohih. (baca Kitab Taisirul Hadits lil mubtadi’in atau kitab mustholah hadits yang lainnya)

 

Maka hadits yang tidak memenuhi syarat tersebut di atas maka masuk pada kategori hadits dho’if. Dan hadits dho’if tidak boleh disandarkan kepada Rasululloh sholallohu 'alaihi wa alihi wa salam. Dan ini adalah ma’ruf bagi mereka yang mengetahui ilmu hadits meskipun seorang pemula. (Baca juga Bulughul marom oleh Ibnu Hajar pada bab muqodimah ilmu hadits dan ushul fiqh)

Dan juga terkena ancaman dalam hadits:

dari Abu Huroiroh radhiyallohu 'anhu dari Rasululloh sholallohu 'alaihi wa alihi wa salam, Beliau bersabda: (man kadzdzba ‘alayya muta’ammidan falyatabawwaq maq’adahu minannar) HR. Muslim

artinya : “Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku maka siapkanlah tempat duduknya di neraka”.

Dirirwayatkan oleh Imam Muslim  pula dari Ali bin Abi Tholib berkata di atas mimbar, Rasululloh sholallohu 'alaihi wa alihi wa salam bersabda: “Janganlah kalian berdusta atas namaku,  karena barangsiapa yang ebrdusta atas namaku maka  akan dimasukkan ke neraka”.

(baba: muqodimah Shohih Muslim oleh  Imam Muslim)

Kesimpulannya:

  1. hadits dho’if tidak bias dijadikan hujjah/ pijakan amal
  2. hadits dho’if tidak disandarkan kepada Rasululloh sholallohu 'alaihi wa alihi wa salam, karena ia bukan sabda Rasululloh.
  3. Meriwayatkan hadits dho’if dan meyakini bahwa hadits dho’if tersebut merupakan perkataan Rasululloh sholallohu 'alaihi wa alihi wa salam maka terkena ancaman sebagaimana yang tercantum dalam hadits riwayat Imam Muslim tersebut di atas.
  4. di dalam hadits shohih terdapat kesibukan untuk mengamalkannya

wallohu a’lam

kebenarannya hanya dari Alloh dan RasulNya, sedangkan kesalahan itu dari saya dan syaithon yang terlaknat. Jika nampak kebenaran padaku, maka saya rujuk kepadanya.

Sholallohu ‘alaa Muhammad wa ‘alaa alihin wa salam

Walhamdulillah

 

abu muslim alkatuni.

 

--- In assunnah@yahoogroups.com, "Martono" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

> Assalamu'alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh Wamagfirotuh

>

> Saya ingin bertanya :

> 1. Apa betul kalau sedang dikumandangkan adzan kita harus mendengarkan dulu sampai selesai baru shalat sunnah ? Mana yang utama ?

> 2. Kalau sudah adzan mana yang lebih utama Shalat Tahiyatul Masjid atau Shalat Sunah Qabla (Subuh misalnya) ?

> 3. Banyak amalan yang sering diambil dari hadist dhoif (lemah), bukankah boleh kita melakukannya, karena ada yang bilang selemah-lemahnya hadist ya tetap saja hadist yaitu dari Rasululloh juga. Atau memang harus yang Shahih atau Hasan ?

>

> Jazaakumulloh Khariron Katsir atas bantuannya.

>

> Wassalamu'alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh Wamagfirotuh

>

> Martono (34)

 


Do you Yahoo!?
Read only the mail you want - Yahoo! Mail SpamGuard.

------------------------------------------------------------------------
Website Islam pilihan anda.
http://www.assunnah.or.id
http://www.almanhaj.or.id
Website kajian Islam -----> http://assunnah.mine.nu
Berlangganan: [EMAIL PROTECTED]
Ketentuan posting : [EMAIL PROTECTED]
------------------------------------------------------------------------



Yahoo! Groups Sponsor
ADVERTISEMENT
Children International
Would you give Hope to a Child in need?
 
· Click Here to meet a Girl
And Give Her Hope
· Click Here to meet a Boy
And Change His Life
Learn More


Yahoo! Groups Links

Kirim email ke