On 5/9/05, Haryo Prabowo <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
Bismillahirrahmaanirrahiim
Assalamu'alaikumwarahmatullahiwabarakatuh

wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh

Ikhwan2, saya mau tanya:

1. bagaimana cara berdo'a dalam sujud / tahiyyat / tasyahud?
a. dilafadzkan
b. dalam hati
c. dua-duanya boleh
d. .....


Untuk jawaban dari pertanyaan di atas saya kutipkan dari buku "Koreksi total ritual shalat" karangan syeikh Abu Ubaidah Mansyur halaman 103 s/d 105

wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh
Said Mirza


Tidak menggerakkan lidah ketika membaca lafadz takbir, ketika membaca ayat-ayat al Qur'an dan semua lafadz dzikir dalam shalat.

Termasuk kesalahan yang banyak dilakukan adalah tidak mengerakkan lidah ketika membaca lafadz takbir, ayat-ayat al-qur'an dan dzikir-dzikir yang lain. Semua itu sekedar dilintaskan di dalam hati. Dengan demikian seakan shalat itu adalah gerakan tanpa ada perkataan dan dzikir-dzikir. Pendapat inilah yang dipilih oleh Abu Bakar al Ashamm dan Sufyan ibn 'Uyainah. Keduanya berkata "Sah mengerjakan shalat tanpa diawali dengan takbir." (Hal ini tidak benar dan bertentangan dengan nash syari'ah yang ada).

Alasan mereka berdua itu didasarkan pada firman Allah Ta'aala "Dan dirikan oleh kalian shalat!" (QS Al Baqarah (2):43). Selain itu Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam juga mengajarkan shalat dengan gerakannya, dimana beliau telah bersabda "Shalatlah kalian seperti kalian melihatku mengerjakan shalat". (Diriwayatkan oleh al Bukhari di dalam Shahih (I/465-466) dan Abu Dawud di dalam al Sunan nomor 589). Dengan demikian yang menjadi cermin itu adalah gerakan nabi, bukan perkataannya. Oleh karena itulah yang disebut shalat itu adalah gerakan. Shalat orang yang tidak bisa lagi bergerak dianggap gugur, sekalipun dia bisa mengucapkan berbagai macam dzikir.

Pendapat itu adalah tidak benar dan bertentangan dengan nash-nash syari'ah. Allah Ta'aala telah berfirman "Karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur'an." (QS. Al Muzammil (73):20). Ayat ini menyanggah bahwa shalat itu hanya gerakan tanpa perkataan. Ada hadits Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam yang memperkuat pendapat ini "Tidak sah shalat kecuali dengan (membaca) surat pembuka al Kitab (membaca al Fatihah)." (Diriwayatkan oleh al Bukhari di dalam al Shahih (II/236-237), Muslim di dalam al Shahih (I/295) nomor 394, Abdul Razzaq dalam al Mushannaf (II/93), Ibn Abi Syaibah di dalam al Mushannaf (I/143), Abu Dawud di dalam al Sunan nomor 822, al Tirmidzi di dalam al Jaami' (II/25), al nasaa'i di dalam al Mujtabaa (II/137) dan dalam Fadhaail al Qur'an nomor 34, Ibn Majah dalam al Sunan nomor 837 dan al Darimi di dalam al Sunan (I/283)).

Adapun sabda Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam "Shalatlah kalian sebagaimana aku mengerjakan shalat," maka fokusnya adalah diri Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam yang mengerjakan tata cara shalat, bukan berarti shalat itu hanya gerakan tanpa ucapan. Dengan demikian tidak ada pertentangan dengan dalil yang mengatakan bahwa di dalam shalat juga harus membaca formula-formula tertentu sebagaimana yang telah kami sebutkan. Membaca al Fatihah adalah sesuatu yang fardhu di dalam shalat seperti pendapat yang dianut oleh mayoritas ulama dan mayoritas sahabat nabi radhiyallahu 'anhum. (Badaai' al shanaa'i'(I/110)).

Seandainya mengulangi ayat berulang kali namun hanya di dalam hati sudah dianggap cukup di dalam shalat -- dan itu tidak akan pernah terjadi -- pasti Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam tidak akan menjawab pertanyaan orang yang minta diajari shalat "Kemudian bacalah olehmu ayat Al-Qur'an yang kamu anggap mudah!" (*) Karena yang dimaksud dengan membaca itu bukan hanya terlintas di dalam hati. Akan tetapi yang dimaksud dengan membaca itu --baik didalam pengertian bahasa atau syariat -- adalah menggerakkan lidah seperti yang telah maklum adanya. Di antara dalil yang memperkuat pernyataan ini adalah firman Allah Ta'aala "Jangan kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al-Qur'an karena hendak cepat-cepat (menguasai) nya." (QS. al Qiyaamah (75):16).

Oleh karena itulah para ulama melarang orang junub membaca ayat Al-Qur'an memperbolehkan melintaskan bacaan ayat hanya di dalam hati. Sebab hanya sekedar melintaskan bacaan ayat dalam hati, tidak digolongkan membaca.

Al Nawawi rahimahullahu ta'aala berkata "Orang yang sedang junub, haidh dan nifas boleh melintaskan bacaan ayat Al-Qur'an di dalam hati tanpa melafadzkannya. Begitu juga dia diperbolehkan melihat mushhaf sambil membacanya di dalam hati." (al Adzkaar halaman 10).

Muhammad ibn Rusyd berkata "Adapun seseorang yang membaca dalam hati tanpa menggerakkan lidahnya maka hal itu tidak disebut dengan membaca. Karena yang disebut dengan membaca adalah dengan melafadzkan di mulut. Dengan suara hati inilah perbuatan manusia tidak dianggap hukumnya. Allah 'Azza wa Jalla telah berfirman "Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya." (QS. al Baqarah (2):286).

Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam telah bersabda "Allah mengampuni dari umatku terhadap apa yang masih terjadi di dalam jiwa (hati) mereka." (Shahih, lihat Irwaa' al Ghaliil (VII/139) nomor 2062).

Sebagaimana telah diketahui bahwa keburukan di dalam hati manusia tidak diberi hukuman dan tidak membahayakan bagi dirinya di sisi Allah, maka sama halnya dengan bacaan ataupun kebaikan yang masih berada di dalam hati juga tidak akan dibalas ataupun dianggap ada. Yang dianggap adalah bacaan yang disertai dengan menggerakkan mulut dan kebaikan yang telah terealisasi dalam perbuatan." (al Bayaan wa al Tahshiil (I/491).

Al Nawawi berkata "... adapun selain imam, maka disunnahkan baginya untuk tidak mengeraskan suara ketika membaca lafadz takbir, baik apakah dia sedang menjadi makmum atau sedang shalat sendiri. Tidak mengeraskan suara ini jika ia tidak mejumpai rintangan, seperti suara yang sangat gaduh. Batas minimal suara yang pelan adalah bisa didengar oleh dirinya sendiri jika pendengarannya normal. Ini berlaku secara umum baik ketika membaca ayat-ayat Al-Qur'an, takbir, membaca tasbih ketika ruku', tasyahhud, salam, dan doa-doa dalam shalat baik yang hukumnya wajib mapun yang sunnah. Apa yang dia baca tidak dianggap cukup selama masih belum didengar oleh dirinya sendiri, dengan syarat pendengarannya normal dan tidak diganggu dengan hal-hal lainnya seperti telah dijelaskan di atas. Jika tidak demikian, maka dia harus mengeraskan suara sampai bisa mendengar suaranya sendiri. Setelah itu bacaan yang dia kerjakan barulah dianggap mencukupi. Demikianlah nash yang dikemukakan oleh al Syafi'i dan disepakati oleh para pengikutnya. Sedangkan rekan-rekan kami berkata "Disunnah agar tidak menambah volume suara yang dapat dia dengarkan sendiri." Al Syafi'i berkata di dalam al Umm "Hendaklah suaranya bisa didengar sendiri dan orang yang berada di sampingnya. Tidak patut dia menambah volume suara lebih dari ukuran itu." (al Majmuu' (III/295)).

Mayoritas ulama lebih memilih untuk mensyaratkan bacaan minimal bisa didengar oleh diri pembaca sendiri. Sedangkan menurut ulama mahzab Maliki cukup menggerakkan mulut saja ketika membaca ayat-ayat Al-Qur'an. Namun lebih baik jika bisa didengar oleh dirinya sendiri sebagai upaya untuk menghindar dari perselisihan pendapat. (Lihat al Diin al Khaalish (II/143)).



------------------------------------------------------------------------
Website Islam pilihan anda.
http://www.assunnah.or.id
http://www.almanhaj.or.id
Website kajian Islam -----> http://assunnah.mine.nu
Berlangganan: [EMAIL PROTECTED]
Ketentuan posting : [EMAIL PROTECTED]
------------------------------------------------------------------------




Yahoo! Groups Links

Kirim email ke