Mungkin ini artikel ini bisa membantu.

-----Original Message-----
>From: assunnah@yahoogroups.com 
>Sent: Wednesday, June 22, 2005 11:23 AM
>dan apakah kewajiban menghalangi orang yang lewat di depan kita 
>ketika kita sedang sholat juga gugur ? atau sebatas mana orang lain 
>di tolerir lewat di depan orang sholat ketika kehilangan sutrah di 
>tengah sholat ?

>maaf, saya pernah baca hadist agar mencegah orang yang lewat di 
>depan orang yang sedang sholat
>wassalammualaikum
===================================================================

Kesalahan Orang-orang Yang Shalat Dalam Menghadap Ke Sutrah 
Pembatas)

Oleh Abu 'Ubaidah Masyhur bin Hasan bin Salman


Dari Ibnu 'Umar -radhiyallahu 'anhuma-, dia berkata: Rasulullah -
shallallahu 'alaihi wasallam- bersabda:

"Janganlah kalian shalat, kecuali menghadap sutrah (pembatas) dan 
janganlah kalian membiarkan seorangpun lewat di hadapanmu, jika dia 
menolak hendaklah kamu bunuh dia, karena sesungguhnya ada syetan 
yang bersamanya."[1]

Dari Abu Sa'id al-Khudri -radhiyallahu 'anhuma-, dia berkata: 
Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- bersabda:

"Jika salah seorang dari kalian shalat hendaklah menghadap kepada 
sutrah dan hendaklah dia mendekat ke sutrah (pembatas). Janganlah 
engkau membiarkan seorangpun lewat di antara engkau dengan sutrah 
(pembatas). Jika ada seseorang melewatinya, hendaklah engkau 
membunuhnya, karena sesungguhnya dia itu syetan."[2]

Dalam satu riwayat: "Maka sesungguhnya syetan melewati antara dia 
dengan sutrah." Dari Sahl bin Abu Hitsmah -radhiyallahu 'anhu-: Dari 
Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam-, beliau berkata:

"Jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sutrah, hendaklah 
ia mendekatinya, sehingga syetan tidak memutus atas shalatnya."[3]

Dalam satu riwayat:

"Jika salah seorang dari kalian shalat, maka hendaklah dia memakai 
sutrah dan mendekatinya, karena sesungguhnya syetan akan lewat di 
hadapannya."[4]

Asy-Syaukani berkata sebagai komentar atas hadits Abu Sa'id yang 
lalu: "Dalam hadits tersebut mengandung dalil, bahwa membuat sutrah 
dalam shalat adalah wajib."[5]

Dia (asy-Syaukani) berkata: "Kebanyakan hadits yang mencakup 
perintah membuat sutrah, dan dhahir dari perintah itu menunjukkan 
wajib. Jika didapati suatu dalil yang memalingkan perintah wajib ini 
kepada sunnah, maka hukumnya menjadi sunnah. Tidaklah benar untuk 
dijadikan sebagai dalil yang memalingkan, yaitu sabda beliau -
shallallahu 'alaihi wasallam-:

"Maka sesungguhnya sesuatu yang lewat di hadapannya tidak 
membahayakannya." Karena seseorang yang shalat itu wajib menjauhi 
sesuatu yang membahayakannya dalam shalat atau menjauhi sesuatu yang 
bisa menghilangkan sebagian pahalanya.[6]

Di antara hal yang menguatkan wajibnya membuat sutrah:

"Sesungguhnya sutrah itu sebab yang syar'i, yang dengannya shalat 
seseorang tidak batal, dengan sebab lewatnya seorang wanita yang 
baligh, keledai atau anjing hitam, sebagaimana yang terdapat dalam 
hadits yang shahih. Dan untuk mencegah orang yang lewat di 
hadapannya serta hukum-hukum selain yang berkaitan dengan sutrah.[7]

Oleh karena itu, salafus shalih -semoga Allah meridhai mereka- 
sangat gigih dalam membuat sutrah untuk shalat. Sehingga datanglah 
perkataan dan perbuatan mereka yang menunjukkan, bahwa mereka sangat 
gigih dalam mendorong menegakkan sutrah dan memerintahkannya serta 
mengingkari orang yang shalat yang tidak menghadap kepada sutrah, 
sebagaimana yang akan engkau lihat.

Dari Qurrah bin 'Iyas, dia berkata: "'Umar telah melihat saya ketika 
saya sedang shalat di antara dua tiang, maka dia memegangi tengkuk 
saya, lalu mendekatkan saya kepada sutrah. Maka dia 
berkata: "Shalatlah engkau dengan menghadap kepadanya.""[8]

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: "Dengan itu 'Umar menginginkan agar 
dia shalat menghadap ke sutrah."[9]

Dari Ibnu 'Umar, dia berkata: "Jika salah seorang dari kalian 
shalat, hendaklah dia shalat menghadap ke sutrah dan mendekatinya, 
supaya syetan tidak lewat di depannya."[10]

Ibnu Mas'ud berkata: "Empat perkara dari perkara yang sia-
sia: "Seseorang shalat tidak menghadap ke sutrah... atau dia 
mendengar orang yang adzan, tetapi dia tidak memberikan jawaban."[11]

Wahai saudaraku pembaca, perhatikanlah -semoga Allah memberikan 
petunjuk kepadaku dan engkau- bagaimana perintah-perintah itu datang 
dari Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam-, yang kalau mentaatinya 
berarti mentaati Allah. Tidaklah beliau berbicara dari hawa (nafsu)-
nya, melainkan dari wahyu yang diturunkan. Bagaimana para sahabatnya 
memerintahkan dengan sesuatu yang beliau perintahkan, 
sehingga 'Umar -radhiyallahu 'anhu- khalifah yang lurus, dialah yang 
mendatangi sahabat yang agung ketika dalam keadaan shalat, maka dia 
('Umar) memegangi tengkuk sahabatnya itu untuk mendekatkannya ke 
sutrah, sehingga shalatnya menghadap kepadanya. Dan perhatikanlah, 
bagaimana Ibnu Mas'ud menyamakan antara shalatnya seseorang yang 
tidak menghadap ke sutrah dengan orang yang tidak memberikan jawaban 
ketika mendengar adzan."[12]

Dari Anas, dia berkata: "Sesungguhnya saya melihat sahabat-sahabat 
Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- bergegas-gegas menuju ke tiang-
tiang di saat shalat Maghrib, sampai Nabi -shallallahu 'alaihi wa 
sallam- keluar."[13]

Dalam satu riwayat: "Dalam keadaan seperti itu, mereka shalat dua 
rakaat sebelum Maghrib."[14]

Anas menceritakan keadaan para sahabat dalam waktu yang sempit itu, 
bagaimana mereka bergegas-gegas menuju ke tiang-tiang untuk 
melakukan shalat dua rakaat sebelum Maghrib.

Dari Nafi', dia berkata: "Bahwasanya Ibnu 'Umar jika tidak mendapati 
jalan menuju ke salah satu tiang dari tiang-tiang masjid, dia 
berkata kepadaku: "Palingkan punggungmu untukku."[15]

Dan dari dia (Nafi') juga, dia berkata: "Bahwa Ibnu 'Umar tidak 
shalat, kecuali menghadap ke sutrah."[16]

Salamah bin al-Akwa` menegakkan batu-batu di tanah, ketika dia 
hendak shalat, dia menghadap kepadanya.[17]

Dalam atsar ini: Tidak ada bedanya antara di tanah lapang maupun di 
dalam bangunan. Dhahir hadits-hadits yang lalu serta perbuatan Nabi 
menguatkan yang demikian itu, sebagaimana yang telah ditetapkan asy-
Syaukani atas hal tersebut.[18]

Al-Allamah as-Safarini berkata: "Ketahuilah, sesungguhnya orang yang 
shalat disunnahkan membuat sutrah berdasarkan kesepakatan para 
ulama. Meskipun dia tidak khawatir adanya orang yang melewatinya. 
Ini menyelisihi al-Malik. Dalam al-Waadhih: wajib dari tembok atau 
sesuatu yang dapat jadi penghalang (sutrah) tersebut dan luasnya 
sutrah itu mengherankan al-Imam Ahmad.[19] Pemutlakan tersebut 
sangat tepat, karena penjelasan alasannya hanya bersandar dengan 
ra'yu (pikiran) semata, tidak ada dalil padanya dan di dalamnya 
terdapat pengguguran hanya dengan ra'yu terhadap nash-nash yang 
mewajibkan untuk membuat sutrah sebagiannya telah disebutkan 
sebelumnya. Dan ini tidak dibolehkan, khususnya jika yang lewat itu 
dari jenis yang tidak bisa dilihat oleh manusia yaitu syetan. 
Sesungguhnya telah datang kabar yang terang dari perkataan dan 
perbuatan (Nabi) -shallallahu 'alaihi wasallam-."[20]

Ibnu Khuzaimah, setelah menyebutkan sebagian hadits-hadits yang 
memerintahkan membuat sutrah, dia berkata:

"Kabar-kabar ini semua shahih, sesungguhnya Nabi -
shallallahu 'alaihi wasallam- telah memerintahkan kepada orang yang 
shalat agar membuat sutrah di dalam shalatnya."

Abdul Karim menduga, setelah mendapatkan kabar dari Mujahid dari 
Ibnu 'Abbas:

"Sesungguhnya Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam- pernah shalat 
tidak menghadap ke sutrah, ketika beliau berada di tanah lapang,[21] 
karena Arafat di jaman Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- 
tidak ada bangunan yang tegak yang dengannya beliau bisa membuat 
sutrah dalam shalatnya!! Padahal sesungguhnya beliau telah melarang 
seseorang melakukan shalat, kecuali menghadap ke sutrah. Maka 
bagaimana beliau melakukan sesuatu yang beliau sendiri 
melarangnya?!"[22]

Saya (penulis) berkata: Tidak adanya bangunan tidaklah menghalangi 
dari membuat sutrah. Karena telah ada penjelasan yang demikian itu 
dalam hadits Ibnu 'Abbas -radhiyallahu 'anhuma-.

Dari Ibnu 'Abbas, dia berkata: "Dia telah shalat bersama manusia di 
Mina menghadap ke selain tembok."[23]

Dan terdapat riwayat yang shahih dari jalan lain, sesungguhnya dia 
berkata: "Saya menancapkan tombak kecil di hadapan Rasulullah -
shallallahu 'alaihi wasallam- ketika di Arafat dan beliau shalat ke 
arahnya dan keledai ada di belakang tombak kecil itu."[24]

Ibnu at-Tirkamani berkata: "Saya katakan bahwa: "Tidak adanya 
dinding tidak mengharuskan meniadakan sutrah. Sementara saya tidak 
tahu apa sisi pendalilan dari riwayat Malik tersebut yang 
menunjukkan, bahwa beliau shalat tidak menghadap ke sutrah."[25]

Setelah beberapa uraian di atas, maka kami (penulis) berkata: 
Nyatalah bagi kami dengan jelas, bahwa:

1. Kesalahan orang yang shalat yang tidak meletakkan di hadapannya 
atau menghadap ke sutrah, walaupun dia aman dari lalu-lalangnya 
manusia, atau dia berada di tanah lapang

Tidak ada bedanya antara di kota Makkah ataupun di tempat lainnya 
dalam hukum tentang sutrah ini secara mutlak.[26]

2. Sebagian ulama menyunnahkan orang yang shalat untuk meletakkan 
sutrah agak ke kanan atau ke kiri sedikit dan tidak menghadapkan 
dengan tepat ke arah kiblat[27]

Yang demikian ini tidak ada dalilnya yang shahih, namun kesemuanya 
itu boleh.[28]

3. Ukuran sutrah yang mencukupi bagi orang yang shalat, sehingga dia 
bisa menolak bahayanya orang yang lewat, adalah setinggi pelana

Sedangkan orang yang mencukupkan sutrah yang kurang dari ukuran itu 
dalam waktu yang longgar tidak diperbolehkan.

Dan dalilnya dari Thalhah, dia berkata: Rasulullah -
shallallahu 'alaihi wasallam- bersabda:

"Jika salah seorang dari kalian telah meletakkan tiang setinggi 
pelana di hadapannya, maka hendaklah ia shalat dan janganlah ia 
memperdulikan orang yang ada di belakangnya."[29]

Dari 'A`isyah -radhiyallahu 'anha-, dia berkata: "Pada waktu perang 
Tabuk Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- ditanya tentang 
sutrahnya orang yang shalat, maka beliau menjawab: "Tiang setinggi 
pelana.""[30]

Dan dari Abu Dzar, dia berkata: Rasulullah -shallallahu 'alaihi 
wasallam- bersabda:

"Jika salah seorang dari kalian berdiri melakukan shalat, maka 
sesungguhnya dia telah tertutupi jika di hadapannya ada tiang 
setinggi pelana. Jika tidak ada tiang setinggi pelana di hadapannya, 
maka shalatnya akan diputus oleh keledai atau perempuan atau anjing 
hitam."[31]

Para ulama berpendapat, bahwa mengakhirkan penjelasan di waktu yang 
dibutuhkan itu tidak boleh. Dan sesungguhnya Nabi -
shallallahu 'alaihi wasallam- hanya ditanya tentang sutrah yang 
mencukupi, maka seandainya kurang dari (ukuran) itu mencukupi, tentu 
tidak boleh mengakhirkan penjelasan pada saat dibutuhkan.[32]

Ukuran panjang pelana adalah sepanjang (satu) hasta. Sebagaimana 
yang dijelaskan oleh 'Atha`, Qatadah, ats-Tsaury serta Nafi'.[33] 
Sehasta adalah ukuran di antara ujung siku sampai ke ujung jari 
tengah.[34] Dan ukurannya kurang lebih: 46,2 cm.[35]

Telah tetap, bahwa Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam- shalat 
menghadap ke tombak kecil dan lembing. Sebagaimana diketahui 
keduanya adalah benda yang menunjukkan kecilnya tempat dan ini 
menguatkan, bahwa yang dimaksud menyamakan sutrah dengan hasta 
adalah pada sisi panjangnya bukan lebarnya.

Ibnu Khuzaimah berkata: "Dalil dari pengabaran Nabi -
shallallahu 'alaihi wasallam- tersebut, bahwa sesungguhnya yang 
beliau inginkan dengan sutrah seperti pelana adalah panjangnya bukan 
lebarnya, yang tegak lagi kokoh. Di antaranya terdapat riwayat dari 
Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam-, bahwa beliau menancapkan tombak 
kecil untuknya, lalu beliau shalat menghadap kepadanya. Padahal 
lebarnya tombak itu kecil tidak seperti lebarnya pelana."[36]

Dia berkata juga: "Perintah Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam- 
membuat sutrah (pembatas) dengan anak panah di dalam shalat, maka 
hal itu sesuatu yang nyata dan tetap, bahwa beliau -
shallallahu 'alaihi wasallam- menginginkan dalam perintah tersebut 
adalah sesuatu yang ukuran panjangnya sama seperti pelana, bukan 
panjang dan lebarnya secara keseluruhan."[37]

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka: Tidak boleh membuat 
sutrah dengan garis dalam keadaan dia mampu membuat dengan lainnya, 
meskipun sutrah itu berupa: tongkat, barang, kayu, atau tanah. 
Walaupun dia harus mengumpulkan batu-batuan, lalu menyusunnya, 
sebagaimana yang dilakukan oleh Salamah bin al-Akwa` -
radhiyallahu 'anhu-.

Dan yang sangat pantas disebutkan adalah: Hadits tentang menjadikan 
garis sebagai sutrah adalah dha'if. Telah didha'ifkan oleh Sufyan 
bin Uyainah, asy-Syafi'i, al-Baghawy dan lainnya. Ad-Daruquthni 
berkata: "Tidak sah dan tidak tetap." Asy-Syafi'i berkata dalam 
Sunan Harmalah: "Seorang yang shalat tidak boleh membuat garis di 
depannya, kecuali ada hadits yang tetap tentang hal itu, maka hadits 
itu diikuti."

Malik telah berkata dalam al-Mudawanah: "Garis itu bathil." Dan 
hadits itu telah dilemahkan oleh ulama yang datang di masa akhir, 
seperti Ibnu Shalah, an-Nawawi, al-Iraqi serta yang lainnya.[38]

Setelah ini maka dikatakan:

4. Dalam shalat berjama'ah, makmum itu tidak wajib membuat sutrah, 
sebab sutrah dalam shalat berjama'ah itu terletak pada sutrahnya imam

Janganlah seseorang beranggapan, bahwa setiap orang yang shalat 
(dalam shalat berjama'ah) sutrahnya itu adalah orang yang shalat 
yang ada di depannya. Sesungguhnya hal itu tidak ada pada shaf yang 
pertama, sehingga dengan demikian mengharuskan melakukan pencegahan 
terhadap orang yang lewat di hadapannya. Sedangkan dalil yang ada 
menyelisihi hal tersebut, yaitu:

Dari Ibnu 'Abbas, dia berkata: "Saya dan Fudhail datang dengan 
mengendarai keledai betina dan Rasulullah -shallallahu 'alaihi 
wasallam- berada di Arafah. Maka kami melewati sebagian shaf, 
kemudian kami turun dan kami tinggalkan keledai itu merumput. Lalu 
kami masuk shalat bersama Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam-. 
Setelah itu beliau -shallallahu 'alaihi wasallam- tidak berkata 
sepatah kata pun kepada kami."[39]

Dalam satu riwayat: "Sesungguhnya keledai betina itu melewati di 
depan sebagian shaf yang pertama."[40]

Ketika Ibnu 'Abbas dan Fudhail di atas keledai betina lewat di depan 
shaf yang pertama, tidak ada satupun sahabat yang menolak keduanya 
dan keledai betina itupun juga tidak ditolak, kemudian tidak ada 
seseorang yang mengingkari mereka atas perbuatannya tersebut, 
demikian pula Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam-.

Jika ada seseorang yang berkata: "Mungkin Nabi -shallallahu 'alaihi 
wasallam- tidak mengetahui yang demikian itu!!"

Maka dikatakan kepadanya: "Jika Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam- 
tidak melihat kepada keduanya dari sampingnya, maka beliau melihat 
keduanya dari belakangnya. Sesungguhnya beliau -shallallahu 'alaihi 
wasallam- bersabda:

"Apakah kalian melihat kiblatku di sini, demi Allah kekhusyu'an dan 
ruku' kalian tidak ada yang tersembunyi bagiku. Sesungguhnya saya 
melihat kalian dari belakang punggungku."[41]

Ibnu Abdil Bar berkata: "Hadits Ibnu 'Abbas ini memberi kekhususan 
kepada hadits Abu Sa'id: "Jika ada salah seorang dari kalian shalat, 
maka janganlah dia membiarkan seseorang melewati di depannya," yang 
demikian itu khusus bagi imam dan orang yang shalat sendirian. 
Adapun untuk makmum, orang yang lewat di depannya tidak 
membahayakannya, berdasarkan hadits Ibnu 'Abbas ini."

Selanjutnya dia (Ibnu Abdil Bar) berkata: "Tidak ada perselisihan di 
antara para ulama terhadap perkara ini."[42]

Dari sini bisa diketahui: "Sesungguhnya shalat berjama'ah adalah 
seseorang shalat dengan beberapa orang, bukannya shalat dengan 
jumlah orang yang ada di dalamnya. Oleh karena itu shalat jama'ah 
tersebut cukup dengan satu sutrah. Kalau shalat berjama'ah itu 
pengertiannya beberapa shalat, tentunya setiap orang yang ada di 
dalamnya butuh sutrah."[43]

5. Jika seorang Imam tidak membuat sutrah, maka sesungguhnya dia 
telah menjelekkan shalatnya dan sikap meremehkan itu hanya dari dia.

Sedangkan bagi setiap makmum tidaklah wajib membuat sutrah untuk 
dirinya dan (tidak wajib) menahan orang yang melewatinya.[44]

6. Apabila makmum masbuk (terbelakang/ketinggalan) berdiri untuk 
menyelesaikan raka'at yang tertinggal bersama Imam, sehingga dia 
keluar dari status sebagai makmum, maka apa yang dia lakukan?

Al-Imam Malik berkata: "Seseorang yang menyelesaikan shalatnya 
setelah imam salam tidak mengapa dia menuju ke salah satu tiang yang 
terdekat dengannya, baik yang ada di depan, sebelah kanan, sebelah 
kiri ataupun di belakangnya. Dengan mundur ke belakang sedikit, dia 
menjadikannya sebagai pembatas (sutrah), jika tiang itu dekat. Jika 
jauh, maka dia tetap berdiri di tempat semula, dan menolak orang 
yang lewat semampunya."[45]

Ibnu Rusyd berkata: "Jika dia berdiri untuk menyelesaikan raka'at 
shalatnya yang terputus, jika dia dekat dengan tiang, berjalanlah 
menuju kepadanya dan itu menjadi sutrah baginya untuk raka'at yang 
tersisa. Jika tidak ada tiang yang dekat, maka dia shalat 
sebagaimana keadaannya dan berusaha menolak orang yang lewat di 
depannya semampunya dan barangsiapa yang lewat di depannya, maka dia 
berdosa. Adapun orang yang lewat di antara shaf-shafnya kaum yang 
shalat bersama imam, maka tidak ada dosa baginya dalam hal ini, 
karena imam adalah sutrah untuk mereka. Hanya pada Allahlah taufik 
tersebut."[46]

Inilah yang dikatakan oleh al-Imam Malik dan diikuti oleh Ibnu 
Rusydi, yang tidak pantas untuk diselisihi. Sebab, seorang makmum 
masbuk yang memasuki shalat sebagaimana yang diperintahkan dan pada 
saat itu tidak ada sutrah baginya, maka keadaannya seperti orang 
yang menjadikan binatang ternaknya sebagai sutrah, lalu binatang itu 
lepas. Keadaan dia yang demikian ini tidaklah digolongkan sebagai 
orang yang meremehkan perintah menegakkan sutrah.

Akan tetapi, jika dia mempunyai kemudahan membuat sutrah, agar tidak 
menjatuhkan orang yang lewat ke dalam dosa, maka dia wajib membuat 
sutrah. Jika tidak mudah baginya untuk membuat sutrah, maka dia 
berusaha menolak orang yang melewati depannya."[47]


Referensi:

[1] Telah dikeluarkan oleh Muslim di dalam ash-Shahih.

[2] Telah dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam al-Mushannaf 
(1/279), Abu Dawud di dalam as-Sunan no. (297), Ibnu Majah di dalam 
as-Sunan no. (954), Ibnu Hibban di dalam ash-Shahih (4/ 48-49 al-
Ihsan), al-Baihaqi di dalam as-Sunanul-Kubra (2/ 267). Dan sanadnya 
hasan.

[3] Telah dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam al-Mushannaf 
(1/ 279), Ahmad di dalam al-Musnad (4/ 2), ath-Thayalisi di dalam al-
Musnad no. (379), al-Humaidi di dalam al-Musnad (1/ 196), Abu Dawud 
di dalam as-Sunan no. (695), an-Nasa`i di dalam al-Mujtaba (2/ 62), 
Ibnu Khuzaimah di dalam ash-Shahih no. (803), Ibnu Hibban di dalam 
ash-Shahih (4/ 49), ath-Thahawi dalam Syarhul-Ma'ani al-Atsar (1/ 
458), ath-Thabrani di dalam al-Mu'jamul-Kabir (6/ 119), al-Hakim di 
dalam al-Mustadrak (1/ 251), al-Baihaqi di dalam as-Sunanul Kubra 
(2/ 272) dan hadits tersebut shahih.

[4] Ini lafadz Ibnu Khuzaimah.

[5] Nailul Authar (3/ 2).

[6] As-Sailul Jarraar (1/ 176).

[7] Tamamul Minnah (hlm. 300).

[8] Telah dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya (1/ 577-
dengan al-Fath) secara ta'liq dengan Shighah Jazm dan di-
washalkannya oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (2/ 370).

[9] Fathul Baari (1/ 577)

[10] Telah dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam al-Mushannaf 
(1/ 279) dengan sanad yang shahih.

[11] Telah dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam al-Mushannaf 
(2/ 61), al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra (2/ 285) dan dia shahih.

[12] Ahkamus Sutrah fi Makkah wa Ghairiha (hlm. 13-14), Penerbit 
Daar Ibnul Qayyim Dammam.

[13] Telah dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya no. (503).

[14] Telah dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya no. (625).

[15] Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (1/ 279), 
dengan sanad shahih.

[16] Telah dikeluarkan oleh Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (2/ 9) 
dan dalam sanadnya ada kelemahan dan didukung oleh sebelumnya.

[17] Telah dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (1/ 
278).

[18] Nailul Authar (3/ 6).

[19] Syarah Tsulatsiyaat al-Musnad (2/ 786).

[20] Tamamul Minnah (hlm. 304).

[21] Riwayat haditsnya dha'if (lemah), sebagaimana telah 
diperingatkan atasnya oleh al-Albani -rahimahullah- di dalam Tamamul 
Minnah (hlm. 305) dan beliau berkata: "Riwayat itu telah dikeluarkan 
dalam kitabku: al-Ahadits adh-Dha'ifah, no. (5814) bersama hadits-
hadits yang lain dengan maknanya."

[22] Shahih Ibnu Khuzaimah (2/ 27-28).

[23] Telah dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam ash-Shahih no. (76)(493)
(861)(1857)(4412), Ahmad dalam al-Musnad (1/ 342), Malik dalam al-
Muwaththa' (1/ 131) dan selain mereka.

[24] Telah dikeluarkan oleh Ahmad di dalam al-Musnad (1/ 243), Ibnu 
Khuzaimah dalam ash-Shahih (840), ath-Thabrani dalam al-Mu'jamul 
Kabir (11/ 243) dan sanadnya Ahmad hasan.

[25] Al-Jauharun-Naqi (2/ 273). Dan lihat bantahan yang lain dalam: 
Ahkamu as-Sutrah (hlm. 88 dan setelahnya).

[26] Lihat sandaran orang yang mengatakan, bahwa di Mekkah tidak ada 
sutrah, bahwasanya dibolehkan –di sana- berjalan melewati di hadapan 
orang-orang yang sedang shalat dan bantahan akan pernyataan ini 
terdapat dalam Silsilah al-Ahadits adh-Dha'ifah wal-Maudhu'ah, no. 
(928) dan kitab Ahkam as-Sutrah fi Makkah wa Ghairiha (hlm. 46-48)
(120-126) dan mengaitkan orang yang lewat di depan orang yang shalat 
dengan keadaan darurat merupakan perkara yang sifatnya sebagai 
alternatif, khususnya ketika berada di dalam keadaan yang sangat 
berdesak-desakan. Telah berkata tentangnya al-Hafidz Ibnu Hajar 
dalam al-Fath (1/ 576) dan az-Zarqani dalam Syarahnya atas 
Mukhtashar Khalil (1/ 209). Wallahu A'lam.

[27] Lihat, misalnya di dalam: Zaadul Ma'aad (1/ 305).

[28] Ahkam as-Sutrah (hlm. 450).

[29] Telah dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahih-nya no. (499).

[30] Telah dikeluarkan oleh Muslim di dalam Shahih-nya no. (500).

[31] Telah dikeluarkan oleh Muslim di dalam Shahih-nya no. (510).

[32] Ahkam as-Sutrah (hlm 29).

[33] Lihat: Mushannaf Abdurrazzaq (2/ 9, 14, 15), Shahih Ibnu 
Khuzaimah no. (807), Sunan Abu Dawud no. (686). 

[34] Lisanul 'Arab (3/ 1495).

[35] Mu'jam Lughatul Fuqahaa' (hlm. 450-451).

[36] Shahih Ibnu Khuzaimah (2/ 12).

[37] Rujukan yang lalu.

[38] Lihat: Tamamul Minnah (hlm. 300-302), Ahkam as-Sutrah (hlm. 98-
102), Syarah an-Nawawi atas Shahih Muslim (4/ 216), Tahdzib at-
Tahdzib (12/ 199), Tarjamah (Abi 'Amr bin Muhammad bin Harits).

[39] Telah dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahih-nya no. (504).

[40] Telah dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya no. (1857).

[41] Telah dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya no. (418), 
(471) dan pembicaraan yang lalu dari Ahkam as-Sutrah (hlm. 22).

[42] Fathul Baari (1/ 572).

[43] Faidhul Qadir (2/ 77).

[44] Lihat: Ahkam as-Sutrah (hlm. 21-22).

[45] Syarah az-Zarqaani 'ala Mukhtashar Khalil (1/ 208).

[46] Fatawa Ibnu Rusyd (2/ 904).

[47] Ahkam as-Sutrah (hlm. 26-27).

(Sumber : Qoulul Mubiin, syaikh Abu 'Ubaidah Masyhur bin Hasan bin 
Salman. Edisi Indonesia Koreksi atas Kekeliruan Praktek Ibadah 
Shalat, hlm. 75-88. Maktabah Salafy Press, cetakan pertama, 
Dzulqa'idah 1423 H)





------------------------------------------------------------------------
Website Islam pilihan anda.
http://www.assunnah.or.id
http://www.almanhaj.or.id
Website kajian Islam -----> http://assunnah.mine.nu
Berlangganan: [EMAIL PROTECTED]
Ketentuan posting : [EMAIL PROTECTED]
------------------------------------------------------------------------ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke