kutipan dari e-mail terdahulu dengan subject :
Re: [assunnah] Mohon pencerahan ZAKAT PROFESI

Zakat Profesi Bertentangan dengan Zakat Maal (Harta)

Oleh karena itu ditinjau dari dalil yang syar'I maka istilah zakat 
profesi bertentangan dengan apa yang pernah dicontohkan oleh 
Rasululloh sholallohu 'alaihi wassallam, dimana antara lain adalah :

1. Penolakan beliau akan adanya haul. Haul yaitu bahwa zakat itu 
dikeluarkan apabila harta telah berlalu (kita miliki -pen) selama 1 
tahun. Padahal telah datang sejumlah hadits yang menerangkan tentang 
haul. Namun hadits-hadits ini dilemahkan menurut pandangan Syaikh 
Yusuf Qardhawi dengan alasan-alasan yang lemah (tidak kuat alasan 
pendha'ifannya). Karena hadits itu memiliki beberapa jalan dan syawahid.

   Oleh karena penolakan ini, maka menurut Syaikh Yusuf Qardhawi, 
apabila seseorang menerima gaji (rejeki) melebihi nisab (batasan) 
zakat, maka wajib dikeluarkan zakatnya.

2. Dari penolakan haul ini (karena dianggap bahwa tidak ada haul), 
maka Syaikh Yusuf Qardhawi mengkiyaskan dengan zakat biji-bijian. 
Zakat biji-bijian dikeluarkan pada saat setelah panen.

   Hal ini merupakan pengqiyasan yang salah. Karena qiyas dilakukan 
karena beberapa sebab salah satunya apabila tidak ada dalil yang 
menerangkan hukumnya. Padahal (sebagaimana yang telah disampaikan 
secara singkat), terdapat sejumlah hadits dan atsar para sahabat 
(dalil-dalil) yang menjelaskan mengenai haul.

   Kemudian jikapun benar dapat diqiyaskan dengan biji-bijian 
(pertanian), maka kita harus konsekuen dengan kebiasaan yang umum 
berlaku dalam masalah panen biji-bijian :

a.  Dimana hasil biji-bijian baru dipanen setelah berjalan 2-3 
bulan, berarti zakat profesi juga semestinya dipungut dengan jangka 
waktu antara 2-3 bulan, tidak setiap bulan !

b. Dimana hasil biji-bijian akan dikenakan zakat 5 %, maka 
seharusnya zakat profesi juga harus dikenakan sebesar 5 %, tidak 
dipungut 2.5 % ! 

3. Penolakan dengan akal (bukan dengan dalil). Bahwa kenapa hanya 
petani-petani yang dikeluarkan zakatnya sedangkan para dokter, 
eksekutif, karyawan yang gajinya hanya dalam beberapa bulan sudah 
melebihi nisab, tidak diambil zakatnya.

Hujjah (alasan) ini tidak ilmiah sama sekali dan tidak ada artinya. 
Karena dalam masalah ibadah, kita harus mengikuti dalil yang jelas 
dan shahih. Dengan demikian tidak perlu dibantah (karena Allah 
memiliki hikmah tersendiri dari hukum-hukum-Nya seperti berfikir 
dengan akal bahwa "kenapa warisan untuk wanita lebih 
rendah?", "mengapa air seni yang najis hanya disucikan dengan air 
bersih, sedangkan air mani yang suci harus disucikan dengan mandi 
janabah?", "mengapa orang yang mencuri harus dipotong tangannya 
sebatas lengan, sedangkan orang yang muhson (telah menikah) harus 
dirajam bukannya dipotong alat kemaluannya?", dan masih banyak lagi 
hal yang tidak bisa hanya mengandalkan akal kita yang terbatas untuk 
mengkaji hikmah ilmu dan kemulian Alloh Azza wa Jalla.

Hal ini, ketika sampai di Indonesia, ada sebagian orang yang 
berlebihan dalam menghitungnya. Misalkan 1 bulan gaji == 1 Juta, maka 
12 bulan gaji == 12 Juta. Maka ini telah sampai nisab, lalu dihitung 
berapa zakat yang harus dikeluarkan.

Hal ini adalah salah karena tidak ada haul. Selain itu, kita tidak 
mengetahui masa yang akan datang kalau dia dipecat, atau rezekinya 
berubah. Atau kita balik bertanya, mengapa pertanyaannya hanya 
petani, apakah jika petani membayar zakat, lantas pekerja profesi 
tidak bayar zakat ? Padahal mereka tetap diwajibkan membayar zakat, 
dengan ketentuan dan syarat yang berlaku.

4. Syaikh Yusuf Qardhawi mengemukakan dalam suatu zaman Umar bin 
Abdul Aziz bahwa sebagian pegawai diambil gajinya 2,5% sebagai zakat.

Hal ini merupakan salah paham terhadap dalil atau atsar. Karena yang 
diambil itu harta yang diperkirakan sudah mencapai 1 haul. Yakni 
pegawai yang sudah bekerja (paling tidak) lebih dari 1 tahun. Lalu 
agar mempermudah urusan zakatnya, maka dipotonglah gajinya 2,5%. 
Jadi tetap mengacu kepada harta yang sudah melampaui mencapai nishob 
dan telah haul 1 tahun saja dari gaji pegawai tersebut.

Kemudian jika dilontarkan suatu syubhat : "Bagaimana bisa mencapai 
batas nishab jika gaji yang kita peroleh selalu habis kita 
belanjakan untuk kebutuhan sehari-hari maupun kebutuhan yang 
sifatnya konsumtif seperti barang elektronik dan lain-lain?"

Hukum syar'I tetaplah hukum yang berlaku sepanjang zaman, yakni 
zakat harta harus tetap memenuhi syarat nishab. Bila gaji itu 
dibelanjakan, dan sisanya tidak memenuhi nishab, maka harta itu 
belum wajib dikeluarkan zakatnya. sebagaimana hadis: "Kamu tidak 
memiliki kewajiban zakat sehingga kamu memiliki 20 dinar dan harta 
itu telah menjalani satu putaran haul" (Shahih,HR. Abu Dawud)

Lantas kapan zakatnya bila sisa gaji itu tidak pernah mencapai 
nishab? 

Jawabnya: Tidak wajib zakat pada harta yang tidak cukup nishab. 
Nasehatnya adalah, bila kita merasa mampu berzakat dengan sisa uang 
gaji yang sedikit, maka hendaknya disalurkan dengan bentuk shadaqoh 
(yang sunnah).

Alangkah beratnya agama ini bagi orang lain yang sama kondisi 
ekonominya dengan kita namun dia memiliki banyak keperluan yang 
harus dia belanjakan untuk keluarganya,  bila zakat harta itu tidak 
memperhitungkan kewajiban nishab.

Biarlah kita yang masih gemar berinfaq ini, menyalurkannya dengan 
bentuk shadaqoh yang sunat terhadap harta yang belum mencapai nishab 
tersebut. Tapi jangan sekali-kali mengubah hukum dari yang tidak 
wajib menjadi wajib, karena ini akan memberatkan kaum muslimin 
secara umum. Mungkin bagi kita tidak berat, tapi orang lain ?. 
Sungguh telah binasa umat terdahulu karena mereka melampaui batas 
dalam agama.

Salah satu dari sekian banyak hikmah adanya syarat nishab adalah 
agar harta kaum muslimin itu terus berputar dalam perbelanjaan 
mereka, dan tidak mengendap dalam jumlah yang besar pada satu atau 
beberapa orang. Ini akan akan berdampak jumlah uang beredar akan 
menjadi sedikit, kesenjangan semakin meningkat, dan lain-lain.

Bila seseorang itu memiliki harta dia boleh:
1. membelanjakan dijalan yang halal untuk keluarganya,
2. atau Mengusahakan harta itu dengan permodalan (misalnya 
mudharabah dll)
3. atau Mengeluarkan zakat bila telah terpenuhi syarat-syaratnya
4. atau Menabungnya bila belum terpenuhi syarat-syaratnya, agar 
kemudian bisa dikeluarkan zakatnya
5 Atau dia shadaqohkan/berinfaq (sunnah hukumnya)

Oleh karena itu memperhitungkan gaji semata dalam satu tahun tanpa 
memperhitungkan bentuk harta yang lainnya adalah cara yang keliru 
dalam menghitung zakat maal. Zakat termasuk dalam ibadah, dan kaidah 
dalam menjalankan ibadah adalah menjalankan segala perintah yang 
dituntunkan Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam. Dalam hal ini 
Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam tidak memberikan contoh 
ataupun tuntunan dalam memperhitungkan zakat maal dalam penghasilan 
semata. 

Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam mengajarkan bahwa zakat 
barang tambang yang wajib dizakatkan adalah emas dan perak, 
sedangkan tanaman yang wajib zakat adalah gandum, sya'ir, kurma, dan 
zabib, dan tidak ada satupun Riwayat dari Rasulullah Shalallahu 
Alaihi wa Sallam bahwa harta penghasilan adalah harta wajib zakat. 
Jadi tidak ada dalil yang menerangkannya. Hitunglah berapa 
penghasilan kita dalam satu tahun lantas dikurangi pengeluaran 
itulah harta yang tersisa dalam dalam satu tahun, bandingkan dengan 
nishab emas 85 gram, bila sama atau melebihinya maka wajib zakat, 
jika tidak maka tidak perlu zakat, namun dengan bershadaqah juga 
dapat membersihkan harta. Wallahu a'lam.

  ----- Original Message ----- 
  From: indrawan adi 
  To: assunnah@yahoogroups.com 
  Sent: Monday, July 04, 2005 1:05 PM
  Subject: [assunnah] Tanya kedudukan hadits mengenai haul 1 tahun utk zakat


  Assalamu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuhu

  Ikhwati fillah, adakah diantara ikhwan wa akhwat sekalian yg bisa 
menuliskan tarjih hadits, mengenai zakat mal harus melewati 1 tahun.

  Pada beberapa waktu lalu sempat membaca buku zakat Yusuf Qordhowi, 
dan disana dia melemahkan hadits2 mengenai haul (1 tahun). Dalam 
melemahkannya, dia salah satunya mengambil pendapat Al Hafidz Ibnu 
Hajar dalam kitab At-Talkhis utk hadits dari sunan Abu Dawud (klo 
gak salah). Afwan, ana masih sangat bodoh, ana pernah baca pada 
tulisan sebagian ikhwan pada beberapa waktu lalu, bahwa hujjah YQ 
dlm melemahkan hadits itu sangat lemah. Mohon penjelasannya, dimana 
letak kelemahannya? Karena dari yg ana baca pada kitab zakat
  tersebut "wallahu A'lam" cara yg ditempuh oleh oleh YQ juga 
ilmiyah.

  Sekali lagi mohon bimbingannya

  Wassalamu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuhu


  ____________________ 
  Yahoo! Mail Mobile 
  Take Yahoo! Mail with you! Check email on your mobile phone. 
  http://mobile.yahoo.com/learn/mail 





------------------------------------------------------------------------
Website Islam pilihan anda.
http://www.assunnah.or.id
http://www.almanhaj.or.id
Website kajian Islam -----> http://assunnah.mine.nu
Berlangganan: [EMAIL PROTECTED]
Ketentuan posting : [EMAIL PROTECTED]
------------------------------------------------------------------------ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke