tahdzib syarh Ath-Thahawiyah dasar-dasar aqidah menurut ulama salaf penulis: Abdul Akhir Hammad Al-Ghunaimi penerjemah: Abu Umar Basyir Al-Medani editor: team At-Tibyan penerbit: Pustaka At-tibyan bab V Iman Kepada Hari Akhir
pasal pertama: Pembahasan tentang ruh Hakikat Ruh Perselisihan tentang ruh: Apa yang dimaksud dengan ruh? Berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah, ijma' para sahabat serta petunjuk-petunjuk akal bahwa nafs / ruh adalah jasad yang subtansinya berbeda dengan tubuh kasar. Yaitu tubuh berinti materi anggota tubuh, mengalir laksana air mengalir di salurannya, atau mengalirnya minyak dalam buah zaitun, atau api dalam bara. Selama anggota-anggota tubuh itu masih bisa menerima reaksi-reaksi yang ditmbulkan oleh substansi lembut ini (ruh), uh itupun akan mengalir di dalamnya, dan dapat memberi reaksi-reaksi berupa indera dan gerakan yang terkontrol. Kalau anggota-anggota tubuh itu sudah rusak karena terasuki campuran-campuran yang berbahaya baginya, maka ia tak lagi menerima reaksi-reaksi tersebut. Ruhpun meninggalkan tubuh, dan kembali ke alam arwah. Dalilnya adalah firman Allah Ta'ala (terjemah'e, penyadur): "Allah memegang ruh (orang) ketika matinya." (Q.S. Az-Zumar: 42) Di situ dijelaskan, bahwa ruh tersebut dimatikan, dipegang dan dilepaskan. Demikian juga Allah berfirman (terjemah'e, penyadur): "Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan skaratul, sedang para Malaikat memukul dengan tanganya, (sambil berkata): "Keluarkanlah nyawamu" (Q.S. Al-An'am: 93) di situ dijelaskan bahwa para malaikat membentangkan tangan-tangan mereka untuk menyambut ruh itu. Disebutkan kriterianya yang bisa keluar dan dikeluarkan dan disebutkan juga bahwa ia akan diadzab (seperti tersebut dalam ayat di atas) pada hari itu. Juga disebutkan bahwa ia akan datang menemui Rabnya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda (terjemah'e, penyadur): "Sesungguhnya, apabila ruh itu dicabut, ia akan diiringi oleh pandangan mata." (dikeluarkan oleh Muslim (920), Abu Dawud (3118) dan Ibnu Majah (1454) dari hadits Ummu salamah) hadits ini menjelaskan bahwa ruh itu dicabut, dan mata (orang yang mati) dapat melihatnya. Apakah ruh itu mahluk, atau sesuatu yang tak berawal (Qodim)? Ada yang berpendapat bahwa ruh itu tak berawal. Sedangkan para rasul telah bersepakat bahwa ia adalah mahluk yang baru. Dicipta, dirawat dan diatur. Ini adalah satu hal yang telah menjadi aksioma (kebenaran yang tidak terbantahkan, peny) dalam dien mereka. Bahwa alam semesta ini semuanya adalah mahluk yang baru, dan keyakinan seperti ini tetap dipegang oleh para sahabat dan Tabi'ien, hingga munculnya kecenderungan baru yang membawa kearah pemikiran picik terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah. Mereka menduga bahwa ruh itu tak berawal. Alasan mereka adalah bahwa ruh itu termasuk urusan Allah, sedangkan urusan Allah itu bukanlah mahluk! dan Allah-pun menyandarkan kata ruh itu kepada diri-Nya dengan firman-Nya (terjemah'e, penyadur): "Katakanlah: "Ruh itu termasuk urusan Rabb-ku" (Q.S. Al-Isra': 85) Demikian juga Dia berfirman (terjemah'e, penyadur): "Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku" (Q.S. Al-Hijr: 29) Sebagaimana Allah juga menyandarkan ilmu-Nya, kekuasaan-Nya, pendengaran-Nya, penglihatan-Nya, dan tangan-Nya kepada diri-Nya dan sebagian ulama yang lain ada yang tidak punya pendapat dalam hal itu. Sementara Ahlussunnah wal Jama'ah telah bersepakat bahwa ia adalah mahluk. Di antara para ulama yang menukil adanya konsensus (kesepakatan orang banyak, penya) ulama dalam hal itu adalah Muhammad bin Nashar Al-Marwazi, Ibnu Qutaibah dan lain-lainnya. Dan diantara dalil yang menyatakan bahwa ruh adalah mahluk yaitu firman Allah Ta'ala (terjemah'e, penyadur): "Allah itu pencipta segala sesuatu"(Q.S.6:102,13:16,40:62) Ayat ini bersifat umum dan tidak ada pengkhususannya dalam bentuk apapun. Namun sifat-sifat Allah Ta'ala tidaklah termasuk di situ. Karena ia termasuk dalam asma'-asma'-Nya. Allah Ta'ala adalah Dzat yang diibadahi, yang tersifati dengan sifat-sifat ke Maha Sempurnaan. Maka ilmu-Nya, kekuasaan-Nya, hidup-Nya, pendengaran-Nya, penglihatan-Nya, dan segala sifat-sifat-Nya termasuk sudah dalam Asma'asma'-Nya. Allah Subhanallahu wa ta'ala dengan Dzat dan sifat-sifat-Nya Yang Maha Pencipta, sementara selain-Nya adalah mahluk. Dan satu hal yang perlu diketahui dengan pasti bahwa ruh itu bukanlah Allah. Juga bukan salah satu sifat dari sifat-sifat-Nya, namun tidak lain ruh itu hanyalah ciptaan-Nya. Di antara dalilnya adalah firman Allah Subhanallahu wa Ta'ala (terjemah'e, penyadur): "Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut." (Q.S. Al-Insaan:1) Allah berfirman kepada Zakariya (terjemah'e, penyadur): "...Dan sesungguhnya telah Aku ciptakan kamu sebelum itu, padahal kamu (di waktu itu) belum ada sama sekali." (Q.S. Maryam: 9) Manusia adalah sebutan untuk ruh dan jasadnya. Sementara konteks ini ditujukan kepada Zakariya untuk ruh dan tubuhnya. Ruh disifati dengan makna bahwa ia dapat diwafatkan, dicabur, dipegang dan dilepaskan, dan ini semua berlaku bagi mahluk yang baru (bukan tidak berawal). Adapun alasana mereka dengan firman Allah (terjemah'e, penyadur): "dari urusan Rabb-ku" (Q.S. Al-Isra': 85) Yang dimaksud dengan urusan di situ bukanlah perintah-Nya, akan tetapi adalah sesuatu yang diperintah / diurus. Terkadang bentuk kata kerja yang dibendakan digunakan (dalam bahasa arab) untuk nama objek (maf'ul). Ini perihal yang sudah dikenal luas. Adapun alasan mereka dengan dasar bahwa (kata ruh) disandarkan kepada Allah dalam firman-Nya: "Dari ruh-Ku" (Q.S. Al-Hijr: 29) maka seyogyanya perlu diketahui, bahwa nama yang disandarkan kepad Alla itu ada dua macam: Pertama sifat-sifat yang tidak dapat berdiri sendiri. Seperti sifat ilmu, kekuasaan, ucapan, pedengaran dan penglihatan. Dalam hal ini, penyandarannya bersifat penyandaran 'sifat' kepada yang 'disifati'. Karena ilmu Allah, ucapan-Nya, kekuasaan-Nya, dan hidup-Nya adalah sifat-sifat-Nya. Demikian juga wajah dan tangan Allah Subahanallahu wa Ta'ala. Kedua penyandaran Dzat-dzat yang terpisah dari-Nya. Seperti rumah (Baitullah), unta, hamba, Rasul, dan Ruh. Ini adalah penyandaran ciptaan kepada penciptanya. Tetapi bentuknya adalah yang bermakna penyandaran pengistimewaan dan penghormatan, sehingga yang disandarkan kepada-Nya itu, terbedakan dari yang selainnya. Apakah penciptan ruh lebih dahulu daripada penciptaan jasad? ada juga perselisihan, apakah ruh itu diciptakan sebelum jasad ataukah sesudahnya? Imam At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallahu'Anhu, bahwa beliau berkata Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda (terjemah'e, penyadur): "Tatkala Allah menciptakan Adam, Allah mengusap punggungnya. maka berjatuhanlah setiap bibit keturunan yang akan diciptakan-Nya hingga hari kiamat..."(Dikeluarkan At-Tirmidzi (30760) dan beliauberkomentar; sanadnya hasan shahih. Juga oleh Al-Hakim (II:325) dan beliau berkomentar; sanadnya shahih berdasarkan persyaratan persyaratan Muslim dan disepakati Adz-Dzahabi.) Hadits di atas, dan banyak lagi hadits lainnya, yang semuanya menunjukan bahwa Allah mengeluarkan anak keturunan Adam lewat punggungnya, lalu membedakan antara (calon) peghuni Jannah dan Naar. berangkat dari sinilah, sampai ada yang berpendapat bahwa sesungguhnya arwah itu diciptakan sebelum jasad. Namun dalil ini tidaklah menunjukkan secara pasti atas diciptakannya ruh lebih dahulu daripada jasad. Paling jauh, ia hanya menunjukkan bahwa Sang Pencipta dan Pembuat memproyeksikan terlebih dahulu mahluk hidup itu (jin dan manusia); peciptaan, ajal dan amal perbuatannya. Lalu proyeksi gambar itu dikeluarkan dari materinya dan dikembalikan lagi. Lalu Allah menetapkan keluarnya masing-masing dari mahluk tersebut pada waktu yang telah ditentukan. Sama sekali tak ada indikasi bahwa ruh tersebut diciptakan dalam bentuk yang baku dan jadi, terus dalam keberadaanya yang juga dapat berbicara. Semuanya dalam satu tempat, lalu dikirmkan ke dalam tubuh-tubuh manusia secara serempak, kelompok demi kelompok, sebagaimana yang dinyatakan Ibn Hazm. Ini bukanlah merupakan indikasi dalil-dalil itu. Memang betul bahwa Rabb Subahanallahu wa Ta'ala menciptakannya secara bersamaan, kelompok demi kelompok dengan cara berdasarkan ketentuan takdir terlebih dahulu. Tetapi kemudian muncullah ciptaan yang keluar sesuai dengan apa yang telah ditakdirkan sebelumnya. Demikian juga halnya yang Allah perbuat terhadap mahluk-mahluk lainnya. Sesungguhnya Allah telah menetapkan takdir dan ajal-ajal mereka, perwujudan mereka, lalu merealisasikannya dalam alam nyata sesuai dengan takdir tersebut. Atsar-atsar yang teriwayatkan dalam hal itu, hanyalah menunjukkan bentuk pentakdiran seperti itu. Apakah jiwa itu sama dengan ruh? Adapun perselisihan manusia tentang hakikat ruh dan jiwa yaitu apakah keduanya berbeda, atau hanya berbeda sebutannya saja? Pembuktianya adalah bahwa jiwa itu dapat diartikan berbeda-beda, demikian juga ruh. Sehingga dalam satu waktu pengertian keduanya bisa sama, namun juga bisa sebaliknya. Jiwa bisa juga berarti ruh. Namun umumnya disebut dengan jiwa, kalau bersatu dengan badan. Namunkalau dipisahkan tersendiri, maka lebih umum disebut dengan ruh. Kadang juga bisa berarti darah. Dalam hadits disebutkan (terjemah'e, penyadur): "Setiap binatang yang tidak memiliki jiwa (darah) yang mengalir, tidak akan menajiskan air apabila binatang tersebut mati di dalamnya." (dikeluarkan oleh Al-Baihaqi (I: 253) dan Ibnu Adiyy dalam 'Al-Kamil'(III: 1242) dari hadits Salman Al-Farisi, ia berkata Rasullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda (terjemah'e, penyadur): Wahai Salman, tiap makanan dan minuman yang kejatuhan binatang yang tidak memiliki darah (yang mengalir) lalu mati di situ, maka halal untuk dimakan, diminum dan dipakai berwudhu." Dalam alur sanadnya terdapat Sa'id Az-Zubaidi. Ibnu Adiyy dalam "Al-Kamil" (III: 1241) berkomentar: "Ia seorang syaikh yang tak dikenal" Dalam sanadnya juga terdapat Ali bin Zaid bin Jud'an. Ia itu lemah sebagimana tersebut dalam "At-Taqrib". Adapun lafazh yang dipaparkan oleh pemberi keterangan, dikomentari oleh Al-Albani: "Saya tidak mengetahui darimana asalnya. Sesungguhnya itu hanya ucapan para Ahli Fiqh saja.") Terkadang kata nafs (jiwa) uga berarti penyakit 'Ain'. Contohnya fulan terserang 'nafs', yakni 'ain'. jiwa juga bisa berarti diri, sebagaimana firman Allah (terjemah'e, penyadur): "Berilah salam atas dirimu sendiri" (Q.S. An-Nuur: 61) Demikian pula Dia berfirman (terjemah'e, penyadur): "Jangan kalian bunuh diri kalian sendiri" (Q.S. An-Nisa: 29) Adapun ruh, tidak bisa diartikan dengan jasad baik secara terpisah maupunbersamaan dengan 'nafs' jiwa. Namun ruh bisa berarti Al-Qur'an, sebagaimana firman Allah (terjemah'e, penyadur): "Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur'an) dengan perintah Kami" (Q.S. Asy-Syuura: 52) bisa juga berarti Jibril sebagaimana firman-Nya (terjemah'e, penyadur): "Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril)." (Q.S. Asy-Su'araa': 193) Ia juga bisa berarti hawa yang keluar masuk tubuh manusia. Adapun yang dijadikan Allah sebagai penopang para wali-Nya, itu ruh jenis lain lagi. Sebagaimana difirmankan Allah (terjemah'e, penyadur): "...Mereka (yang benar-benar beriman) itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya." (Q.S. Al-Mujaadilah: 22) Demikian juga energi / indera yang ada dalam tubuh, disebut juga ruh. Disebut misalnya: Ruh penglihatan, ruh pendengaran dan ruh perkas. Terkadang ruh itu juga bisa diartikan dengan yang lebih khusus daripada itu, yakni kekuatan makrifat terhadap Allah, memasrahkan diri kepada-Nya, mencintai-Nya dan membangkitkan cita-cita untuk mencari dan menginginkan-Nya. Perbandingan wujud ruh semacam ini dengan ruh yang lain seperti perbandingan ruh dengan tubuh / jasad/ Ilmu memiliki ruh, kebajikan memiliki ruh, cinta memiliki ruh, tawakkal memiliki uh dan kejujuran memilki ruh. Dalam meiliki ruh ini, manusia bertingkat-tingkat. Sebagian orang ada yang lebih didominasi ruh semacam ini sehingga disebut sebagai rohaniawan. Di anatara mereka ada juga yang kehilangan ruh ini sama sekali, sehingga nyaris seperti binatang melata. Tingkatan-tingkatan jiwa Sudah menjadi pendapat umum bahwa manusia memiliki tiga tingkatan jiwa yaitu Nafsun Muthmainnah (jiwa yang tenang), Nafsun Lawwamah (jiwa yang menyesali dirinya sendiri) an Nafsun Ammarah bis su' (jiwa yang menyuruh kepada keburukan). Mereka berpendapat bahwa di antara ada yang lebih didominasi oleh salah satu di antara jenis nafsu. Sebagaimana difirmankan oleh Allah (terjemah'e, penyadur): "Wahai jiwa yang tenang"(Q.S. Al-Fajr: 27) juga firman-Nya (terjemah'e, penyadur): "Dan aku bersumpah dengan jiwa yang selalu menyesali (dirinya sendiri)"(Q.S. Al-Qiyamah: 2) "Sesungguhnya jiwa itu selalu menyuruh kepada perbuatan jahat"(Q.S. Yusuf: 53) Pembuktiannya adalah bahwa jiwa itu (asalnya) adalah satu, namun memiliki beberapa kriteria. Pada awalnya, ia selalu menyuruh kepada perbuatan jahat. Apabila sudah disisipi dengan keimanan, maka ia menjadi jiwa yang menyesali dirinya sendiri. Ia berbuat dosa lalu ia menyesali dirinya sendiri. Sikap menyesali itu adalah antara berbuat dan meninggalkan perbuatan jahat. Nah, apabila jiwa manusia sudah kuat, maka ia akan menjadi jiwa yang tenang. Oleh sebab itu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda (terjemah'e, penyadur): "Barangsiapa yang gembira denan amal kebajikannya, dan merasa susah dengan amal keburukannya, maka ia adalah mukmin." (Nukilan dari hadits yang dikeluarkan oleh At-Tirmidzi (2165) dan beliau berkomentar: Sanadnya hasan shahih, Ahmad (I: 18) dan Al-Hakim (I: 114) beliau erkomentar shahih, berdasarkan persyartan Al-Bukhari an Muslim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Dikeluarkan juga oleh Ibnu Majah (2363), namun tanpa cuplikan hadits tadi.) Juga beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda (terjemah'e, penyadur): "Seorang pezina, tatkala berzina, dia bukanlah orang beriman." [Shahih Bukhari (2475) dari hadits Abu Hurairah Radiallahu anhu, Muslim (57), Abu Dawud (4689), At-Tirmidzi (2625), An-Nasa'i (4870) dan Ibnu Majah (3936)] Apakah ruh mengalami kematian? Manusia juga berselisih: Apakah ruh akan mati atau tidak? Sebagian kelompok berpendapat ia akan mati, karena ruh itu adalh jiwa. Sedangkan setiap jiwa pasti akan mati. Allah Subhanallahu wa Ta'ala berfirman (terjemah'e, penyadur): "Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan." (Q.S.55: 26-27) Demikian juga Allah Subahnallahu wa Ta'ala berfirman (terjemah'e, penyadur): "...Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah" (Q.S.28: 88) Mereka menyatakan kalau para malaikat saja mati, maka jiwa / ruh manusiapun lebih layak lagi untuk mati. Ada juga yang berpendapat bahwa ruh-ruh itu tidaklah mati. Ia diciptakan untuk menjadi kekal. Yang mati tidak lain hanyalah badan / tubuh kasar. Mereka menyatakan ada beberapa hadits yang menunjukkan kenikmatan yang dirasakan ruh, atau adzab yang diterimanya setelah berpisah dari tubuh. Sampai Allah mengembalikannya lagi ke tubuhnya. Yang benar adalah pendapat kematian ruh, adalah dengan berpisah dan keluarnya dari tubuh. Kalau yang dimaksud dengan kematian adalah dengan hilang tanpa bekas sama sekali, maka dengan pengertian tersebut ruh-ruh itu tidaklah mati. Namun justru setelah diciptakan, ruh-ruh itu akan kekal merasakan kenikmatan atau adzab Allah sebagaimana akan dijelaskan nanti, Insya Allah. Allah telah mengabarkan tentang para penghuni Jannah (terjemah'e, penyadur): "Mereka tidak akan merasakan mati di dalamnya kecuali mati di dunia..."(Q.S.44: 56) Kematian di situ adalah berpisahnya ruh dari badan. Adapun ucapan para penghuni Naar (terjemah'e, penyadur): "Ya Rabb kami, Engkau telah mematikan kami dua kali an telah menghidupkan kami dua kali (pula)" (Q.S.40: 11) Juga disebut dalam firman-Nya (terjemah'e, penyadur): "Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali..." (Q.S.2: 28) Yang dimaksud di situ bahwa mereka dahulunya adalah tetesan sperma (mati) dalam tulang sulbi bapak-bapak mereka dan dalam rahim-rahim ibu mereka. Kemudian Allah menghidupkan mereka. Kemudian mematikan mereka. Kemudian menghidupkan mereka lagi di hari kebangkitan. Di situ tidak disebut kematian mereka di hari kiamat. Kalau ada, tentu ada tiga kematian. Pingsannya para ruh pada tiupan sangkakala pertama tidaklah mengharuskan mereka itu mati. Sesungguhnya manusia semuanya akan pingsan (mati sementara) setelah Allah datang untuk memutuskan hukuman. Bumipun akan bersinar dengan cahaya-Nya (di buku terjemahan (-nya) n huruf kecil wallahua'lam, penyadur). Itu bukanlah kematian. Nanti akan dibicarakan lagi (di bab selanjutnya dalam buku asli dan terjemahan, silakan merujuk ke sana, penyadur), Insya Allah. Demikian juga dengan pingsannya Nabi Musa, itu bukanlah kematian. Peniupan sangkakala pertama memang bisa menunjukkan -Wallahu A'lam- akan kematian semua mahluk yang belum merasakan mati. Adapun yang sudah merasakan mati, atau yang tidak akan dimatikan Allah seperti Huru'in (wanita Jannah / bidadari), anak-anak kecil pembawa minuman di Jannah dan lain-lain, tidaklah diindikasikan oleh ayat tadi bahwa mereka akan mati untuk kedua kalinya. Wallahua'lam ------------------------------------------------------------------------ Website Islam pilihan anda. http://www.assunnah.or.id http://www.almanhaj.or.id Website kajian Islam -----> http://assunnah.mine.nu Berlangganan: [EMAIL PROTECTED] Ketentuan posting : [EMAIL PROTECTED] ------------------------------------------------------------------------ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/assunnah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/