Wa'alaikumsalam wa rohmatullohhi wa barokatuh, Alhamdulilaah asshola tu wa sallam 'ala Rosulilliah..wa ba'du Ana hanya ingin menambahkan dari penjelasan akh abu maryam dan akh didik abdillah..semoga Allohhu ta'ala senantiasa menyayangi mereka dan keluarganya..amiin ya Robbal 'alamiin... Dakwah yang disampaikan bersandarkan pemahaman as salafus sholih berarti panggilan/nasehat yang mengacu kepada kebenaran dan hujjah/dalil/landasan diatas Al Qur'an dan As Sunnah...yaitu asas Al Islam yang murni yang bebas dari semua penambahan, penghapusan dan perubahan. Hal ini berarti loyal (al wala') diatas jalannya Rosululloh Muhammad Sholallallu 'alaihi wa sallam dan orang-orang yang beriman pengikut jejak beliau yaitu para shahabatnya dan mereka semua yang mengikuti jejak langkah mereka dalam hal keimanan, ucapan maupun perbuatan (as salafus sholih), serta berlepas diri (al baro') dari segala bentuk kemusyrikan, fitnah, bid'ah dan syubhat. Yang menjadi pertanyaan ikhwah kita adalah Mengapa saudara bermanhaj salafi kurang aktif berdakwah? Wahai saudara kami semoga Alloh senantiasa merahmati antum sekeluarga.. Dakwah harus diiringi dengan ilmu dan amal serta dalam pelaksanaannya harus bersabar juga diatas ilmu. Seperti diuraikan di surat Al Ashr ayat 1-3. Dan dakwah salafi berdiri diatas prinsip at tasfiyah wat tarbiyah dan dilandasi dengan ikhlas dan ittiba' Rosullulloh shalallahhu 'alaihi wa sallam. Begitu banyak media yang bisa kita manfaatkan dalam rangka mengajak ke dakwah yang haq ini, dakwah yang tidak akan usang dimakan jaman dan yang abadi sampai hari kiamat kubro datang. Kalau kita punya buku, rekaman dauroh, buletin kita bisa manfaatkan sebagai media dakwah. Dan jika ada kajian silahkan datang. Sebab kajian salafi itu terbuka, jelas dan terang. Bila ada saudara kita yang mau mengenal manhaj ini jelaskan dengan hikmah dan santun, serta untuk menghilangkan kesalahan dalam menjelaskan lebih baik kita ajak ia ke kajian atau pinjamkan media diatas. Jadi tidak ada istilah ikhwan salafi itu malas mengajak saudaranya. Dan bagi ikhwan yg sudah mengenal manhaj ini mari kita beri nasehat dgn hikmah dan diatas bashiroh (ilmu) kpd saudara2 yg ada disekitar kita. Allohhu ta'ala Maha Tahu yang terbaik buat hamba-Nya, dan hanya Alloh 'azza wa jalla yang mampu membolak balikkan hati kita. Untuk itu disamping belajar, berdo'a lah memohon kepada NYA. Firman ALLAH : Dan berdo'alah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). [Surah A'raaf 7:56]. Dan Dia berfirman : " Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdo'a kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. " [ Surah as-Sajdah 32:16] Wallohhu a'lam. didik abdillah <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>From: indri garnasih >Date: Sat Feb 4, 2006 10:01 am >Subject: Tanya : Kewajiban dakwah >Assalamualaikum Warrahmatullahi wabarokatuh >afwan...saya mendengar bahwa orang-orang salafi itu kurang >aktivitas untuk berdakwahnya, mohon diberi penjelasan...padahal >dakwah itukan wajib, dan mohon dijelaskan dengan dalil yang shahih.. >jazakumullah khairon katsiiroo Bismillah. Walhamdulillah. Dakwah salafy adalah dakwah yang tegak diatas ilmu yang dijelaskan ulama. Dakwah salafy tidak digerakkan dengan hanya mengandalkan semangat tanpa ilmu. Oleh karena itulah setiap muslim yang menisbatkan kepada manhaj salaf harus melalui tahapan ilmu, amal, da'wah dan shobar. Sebelum kita berbicara mengenai dakwah, ada baiknya jika kita menuntut ilmu terlebih dahulu kemudian kita amalkan apa yang kita ketahui barulah setelah itu kita mendakwahkannya. cobalah lihat tahapan ini dalam surat al-ashar. jangan sampai kita mendakwahkan sesuatu yang kita tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Disamping itu, kita harus membedakan antara kewajiban dakwah/mengajar dengan amar ma'ruf nahi mungkar, kewajiban dakwah dibebankan kepada orang yang berilmu, sedangkan mengajak kepada perbuatan baik (amal shalih) dan melarang dari perbuatan tercela atau maksiat, dapat kita lakukan sesuai dengan kemampuan kita masing- masing. Keterangan tentang Ilmu Terlebih Dahulu Sebelum Bicara dan Beramal, penjelasannya saya dapatkan dari kitab Al-Masa'il Jilid 2, oleh Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat dalam pembahasan Al-Jarh Wat Ta'dil. Secara ringkas akan saya salinkan dibawah ini. AL-JARH WAT TA'DIL [1] Berbicara tentang Al-Jarh wat Ta'dil berarti kita memasuki samudra ilmu yang sangat dalam dan luas sekali yang tidak sembarang ulama sanggup menguasai ilmu yang mulia ini kecuali orang-orang khusus yang memang ahli Jarh wat Ta'dil yaitu para imam ahli hadits seperti amirul mu'minin fil hadits Al-Imam Bukhari dan lain-lain. Oleh karena itu para ulama yang memang bukan ahlinya di dalam ilmu yang mulia ini mereka mundur teratur menyerahkan urusan kepada ahlinya mengikuti perintah Rabbul 'Alamin "Tanyalah kepada ahli ilmu jika memang kamu tidak mengetahuinya" [An-Nahl:43 dan Al-Anbiya : 7] Di dalam ayat yang ini Allah telah mewajibkan kepada dua golongan manusia. Pertama : Mereka yang berilmu wajib berbicara dan menjawab dengan ilmunya. Kedua : Mereka yang tidak mengetahui wajib bertanya kepada ahli ilmu. Ini disebabkan karena Islam mendasari segala sesuatunya dengan ilmu. Dan ini dapat kita lihat dari kaidah-kaidah yang ada di dalam Islam di antaranya. [1] Ilmu Terlebih Dahulu Sebelum Berbicara dan Beramal. Firman Allah : "Ketahuilah ! Sesungguhnya tidak ada satupun tuhan (yang berhak disembah dengan benar) kecuali Allah" [Muhammad : 19]. Berkata Al-Imam Bukhari di Shahih-nya (Kitabul Ilmi Bab 10), Bab Al- Ilmu Qablal Qaul wal Amal (Ilmu Lebih Dahulu Sebelum Perkataan dan Perbuatan) berdasarkan firman Allah. "Artinya : Maka Allah memulainya dengan ilmu" Berkata Al-Imam Ibnul Munir di dalam mensyarahkan bab di atas, "Yang dimaksud ialah bahwa ilmu menjadi syarat sahnya perkataan (qaul) dan perbuatan (fi'il). Maka tidaklah dianggap keduanya (yakni perkataan dan perbuatan itu) kecuali dengan ilmu. Oleh karena itu ilmu di dahulukan dari keduanya ...." [Fathul Baari, Kitabul Ilmi bab 10] [2] Larangan Berbicara Tanpa Ilmu Firman Allah. "Artinya : Dan jangan engkau mengucapkan (sesuatu) yang engkau tidak memiliki ilmu tentangnya" [Al-Israa : 36] Al-Imam Ibnul Qayyim di kitabnya I'laamul Muwaqi'in (Juz 1 hal 7) menurunkan perkataan Al-Imam Ibnu Abdil Bar Abu Umar, "Telah sepakat manusia (yakni ulama) bahwa muqallid itu tidak dihitung dari ahli ilmu. Karena sesungguhnya ilmu itu ialah : Pengetahuan tentang Al- Haq (kebenaran) dengan dalilnya". Al-Imam Ibnul Qayyim menyetujuinya kemudian beliau menjelaskan, "Sesungguhnya manusia (yakni ulama) tidak pernah berselisih. "Bahwa ilmu itu ialah : Pengetahuan yang dihasilkan dari dalil. Adapun tanpa dalil maka tidak lain melainkan taklid" Akhirnya Ibnul Qayyim menerapkan ijma' (kesepakatan) para ulama dalam mengeluarkan orang yang 'ta'ashhub' dengan hawanya yakni kaum 'madzhabiyyah' yang menjadikan madzhab sebagai agama mereka yang mereka beragama dengannya meskipun menyalahi Al-Qur'an dan Sunnah dan kaum muqallid dari rombongan para ulama. Di kitab yang sama (hal 38 juz 1) Ibnu Qayyim menegaskan bahwa sebesar-besar perbuatan yang haram ialah berbicara dengan tanpa ilmu di dalam berfatwa dan memutuskan hukum. Kemudian beliau membawakan syahid-nya yaitu firman Allah di dalam surat Al-A'raaf ayat 33. Akhirnya beliau menyimpulkan bahwa perbuatan ini adalah sekeras- keras yang diharamkan yaitu berbicara atas nama Allah dengan tanpa ilmu. Dan ini sifatnya umum berbicara atas nama Allah dengan tanpa ilmu di dalam nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya dan perbuatan- perbuatan-Nya dan pada Agama-Nya dan Syari'at-Nya. Oleh karena itu kaum salaf sangat tidak menyukai tergesa-gesa di dalam berfatwa dan keadaan mereka wara' sekali dalam masalah ini. Sehingga kalau mereka berkumpul dan salah seorang di antara mereka ditanya tentang sesuatu masalah, yang ditanya itu ingin kalau saudaranya yang menjawab atau membawakan haditsna. Bahkan mereka berkata bahwa orang yang berfatwa atau menjawab setiap pertanyaan yang orang tanyakan kepadanya orang itu gila ! Dan alangkah ringan dan mudahnya mereka mengucapkan 'Laa Adri (saya tidak tahu !). Semua ini diturunkan oleh Imam Ibnul Qayyim di kitab yang sama (juz I hal 33 dan 34). Dari Abdurrahman bin Laila dia berkata, "Aku pernah menjumpai seratus dua puluh orang shahabat Rasulullah -saya kira di masjid- maka tidak ada seorangpun di antara mereka yang membacakan hadits melainkan dia ingin saudaranya mencukupinya yang membacakan hadits. Dan tidak seorangpun di antara mereka yang berfatwa melainkan dia ingin kalau saudaranya yang mencukupi berfatwa". Dalam riwayat yang lain berkata Abdurrahman bin Abi Laila. "Aku jumpai seratus dua puluh orang dari (kaum) Anshar shahabat- shahabat Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam tidak seorangpun diantara mereka yang ditanya tentang sesuatu melainkan ingin kalau saudaranya yang mencukupi (menjawab)nya. Dan tidak seorangpun di antara mereka yang membacakan satu hadits melainkan ingin kalau saudaranya yang mencukupi (membacakan)nya". Berkata Ibnu Abbas (dan ini lafadznya) dan juga Ibnu Mas'ud. "Sesunguhnya setiap orang yang berfatwa kepada manusia pada setiap permasalahan yang mereka tanyakan kepadanya, sungguh orang itu adalah gila" [I'laamul Muwaqqi'in juz I hal 34] "Berkata Sahnun bin Said, "Manusia yang paling berani di dalam berfatwa ialah yang paling sedikit ilmunya di antara mereka. Adakalanya seorang itu menguasai satu bab ilmu yang dia menyangka bahwa kebenaran itu semuanya ada di dalam bab itu (!?)". [I'laamul Muwaqqi'in juz I hal 34) Berkata Imam Abu Dawud di Masaail-nya, "Aku tidak pernah menghitung (lantaran seringya) aku mendengar Ahmad ditanya tentang kebanyakan yang di ikhtilafkan tentang ilmu (yakni perselisihan ilmiyyah diantara ulama) lalu beliau menjawab, "Aku tidak tahu/Laa adri!". Berkata Abu Daud, "Dan aku pernah mendengar beliau berkata. 'Aku tidak pernah mendengar seseorang yang paling bagus di dalam berfatwa dari Ibnu Uyaynah. Beliau adalah orang yang sangat ringan mengucapkan : Saya tidak tahu/Laa adri!". Berkata Abdullah bin Ahmad di Masasil-nya, "Aku pernah mendengar bapakku berkata, 'Telah berkata Abdurrahman bin Mahdi : Seorang dari penduduk Maghrib pernah bertanya kepada Malik bin Anas tentang sesuatu masalah, lalu beliau menjawab, 'Aku tidak tahu!". Lalu orang itu berkata : "Ya Aba Abdillah engkau mengatakan, "Saya tidak tahu ?". Jawab Imam Malik. "Ya' maka sampaikanlah kepada orang yang dibelakangmu sesungguhnya aku (Malik bin Anas) tidak tahu". Berkata Abdullah bin Ahmad, "Seringkali aku mendengar bapakku ditanya tentang beberapa masalah dan beliau menjawab, 'Saya tidak tahu'".[I'laamul Muwaqqi'in juz I hal, 33 dan juz II hal 165 s/d 168] Oleh karena itu para ulama telah menetapkan beberapa syarat bagi siapa saja yang akan berfatwa atau bersoal jawab sebagaimana keterangan dibawah ini dari para imam kita : "Berkata Al-Imam Ahmad -dalam salah satu riwayat dari anak beliau Shalih-, 'Patutlah bagi seseorang yang membawa dirinya untuk berfatwa bahwa dia harus 'alim (berilmu) terhadap jalan-jalan Al- Qur'an (yakni ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur'an), alim dengan sanad-sanad (hadits) yang shahih, alim dengan Sunnah, hanyasanya datangnya perbedaan dari orang yang menyelisihi lantaran sedikitnya pengetahuan mereka terhadap apa-apa yang datang dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan sedikitnya pengetahuan mereka tentang (hadits) yang shahihnya dan dla'ifnya" Dan beliau juga berkata - di dalam salah satu riwayat anaknya Abdullah. 'Apabila seseorang mempunyai kitab-kitab yang tersusun yang di dalamnya terdapat sabda Rasulullah dan tabi'in, maka tidak boleh dia mengamalkan semaunya dan memilihnya lalu dia memutuskan dan mengamalkannya sampai dia bertanya kepada ahli ilmu apa yag harus dia ambil kemudian dia mengamalkannya atas dasar yang shahih". Dan beliau juga berkata dalam riwayat Abil Harits, "Tidak boleh berfatwa kecuali seorang yang 'alim terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah" Dan dalam salah satu riwayat dari Hambal beliau berkata, "Patutlah bagi orang yang akan berfatwa 'alim terhadap perkataan (pendapat) orang-orang yang terdahulu, jika tidak maka tidak boleh dia berfatwa" [I'laamul Muwaqqi'in juz I hal 44-45] .. dst Lengkapnya silakan baca buku tersebut diatas. Foote Note [1] Al-Jarh ialah menerangkan cacat dan cela seorang rawi oleh ulama yang ahlinya. Sedangkan Ta'dil menerangkan pujian dan terpercayanya seorang rawi hadits. Tulisan ini merupakan jawaban atas pertanyaan sebagian ikhwan tentang Jarh wat ta'dil dan Tahdzir (memperingati umat dari kejahatan orang yang di Tahdzir). Sehubungan munculnya sekelompok orang (firqah) yang mengatas namakan Ahlus Sunnah wal Jama'ah dan mengaku-ngaku bermanhaj salaf, yang telah mentahdzir para da'i salafiyyin di Indonesia dengan berbagai macam tuduhan palsu dan kebohongan besar. Kelompok ini telah membentuk hizbiy, berpolitik praktis dan lain-lain yang menunjukkan bahwa mereka tidak bermanhaj salaf. [Al-Masa'il 2, hal 237-246 Darul Qalam, Cetakan Petama 1423H/2002M] From: lulu aliudin <[EMAIL PROTECTED]> >From: indri garnasih <[EMAIL PROTECTED]> >Date: Sat Feb 4, 2006 10:01 am >Subject: Tanya : Kewajiban dakwah >Assalamualaikum Warrahmatullahi wabarokatuh >afwan...saya mendengar bahwa orang-orang salafi itu kurang >aktivitas untuk berdakwahnya, mohon diberi penjelasan...padahal >dakwah itukan wajib, dan mohon dijelaskan dengan dalil yang shahih.. >jazakumullah khairon katsiiroo Bismillah. Walhamdulillah. Dakwah salafy adalah dakwah yang tegak diatas ilmu yang dijelaskan ulama. Dakwah salafy tidak digerakkan dengan hanya mengandalkan semangat tanpa ilmu. Oleh karena itulah setiap muslim yang menisbatkan kepada manhaj salaf harus melalui tahapan ilmu, amal, da'wah dan shobar. Artinya sebelum berda'wah dia berkewajiban untuk memahami apa yang akan disampaikannya berdasarkan pemahaman ulama, bukan berdasarkan akal pikirannya sendiri serta perasaannya. Semuanya wajib ditegakkan berdasarkan ilmu. Al Imam Bukhori, seorang ulama salaf, mengatakan "Ilmu itu sebelum perkataan dan perbuatan." Pernyataan bahwa salafy kurang aktivitasnya dalam berda'wah adalah pernyataan yang sangat keliru. Karena kenyataannya tidak setiap orang itu dapat berda'wah disebabkan kurangnya ilmu. Maka dalam keadaan seperti ini yang wajib dia lakukan adalah menuntut ilmu sampai tiba saatnya dia mengamalkan ilmu kemudian berda'wah. Contoh paling mudah adalah: Sangatlah lucu jika seorang dokter menafsirkan alqur-an dan al hadits dengan kacamata disiplin ilmu kedokteran yang dia miliki. Atau seorang Insinyur teknik berupaya memecahkan problematika ummat yang sedemikian pelik ini dengan terjun ke medan da'wah berbekal ilmu teknik yang dia kuasai. Apalagi yang terjun ke medan da'wah ini adalah artis yang hanya mengandalkan kepopulerannya sebagai artis. Atau yang lebih parah lagi adalah mualaf (orang yang baru masuk Islam) ceramah dimana- mana padahal dia baru saja memeluk agama Islam. (INNA LILLAHI WA INNA ILAIHI ROJIUN. Ini merupakan musibah besar yang melanda kaum muslimin. Semoga Alloh mengampuni kita semua.) Jika yang terjadi demikian maka problematika ummat ini akan semakin carut-marut disebabkan setiap orang ingin menda'wahkan Islam, padahal dia sebetulnya belum layak menda'wahkan Islam, apalagi memberikan solusi problematika ummat. Timbul pertanyaan: Lalu apa peran kita sebagai orang yang minim ilmunya? Kita tentu saja tidak boleh tinggal diam menghadapi problematika ummat yang sedemikian pelik ini. Kita ajak keluarga kita, kerabat,serta teman kita untuk menghadiri kajian ilmiah yang disitu dijelaskan perkataan para ulama yang disampaikan oleh para ustadz. Inilah aktivitas da'wah yang paling cocok bagi orang yang minim ilmunya. Setelah itu kita himbau orang-orang yang hadir di majlis ilmu tersebut untuk menjelaskan apa yang dia dapat dari majlis ilmu tersebut kepada anggota keluarganya atau temannya. Cara lain adalah kita memfasilitasi acara Kajian Islam Ilmiyyah, yaitu kajian yang merujuk kepada penjelasan ulama, di daerah atau sekitar tempat tinggal kita. Cara ini sangat aman dan Insya Alloh sangat bermanfaat bagi penyebaran da'wah salafy. Cara lain adalah membagikan tulisan, artikel, buletin, rekaman ceramah baik audio maupun audio visual, serta buku-buku ulama tentang Islam yang shohih yang dipahami oleh generasi salaf. Hal ini merupakan cara efektif dalam partisipasi kita dalam berda'wah. Demikian sekelumit tentang kewajiban da'wah. Ala kulli hal, yang patut kita perhatikan adalah KEWAJIBAN MENUNTUT ILMU terlebih dahulu sebelum memperhatikan KEWAJIBAN BERDAKWAH. Karena da'wah tidak akan benar kecuali dengan ilmu. Langkah berikutnya adalah senantiasa memotivasi diri kita untuk tidak malas mengkaji kitab- kitab para ulama, kemudian mengamalkannya, serta berda'wah diatas ilmu yang shohih, kemudian bershobar dalam menjalani proses-proses tersebut.Penjelasan tentang hal ini tentu saja sangat luas. Mudah- mudahan bermanfaat. Barokallohu fikum Wallohu a'lam Al Faqir Abu Maryam Cilegon ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/TXWolB/TM --------------------------------------------------------------------~-> ------------------------------------------------------------------ HADIRILAH.. SILATURAHMI ULAMA DAN UMMAT KE II BERSAMA MURID-MURID SENIOR ULAMA AHLI HADITS ABAD INI SYAIKH MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL-ALBANI, MASJID ISTIQLAL, AHAD 20 MUHARRAM 1427H/19 FEBRUARI 2006M JAM 08.00 12.00 Website Anda: http://www.assunnah.or.id & http://www.almanhaj.or.id Website audio: http://assunnah.mine.nu Berlangganan: [EMAIL PROTECTED] Ketentuan posting : [EMAIL PROTECTED] ------------------------------------------------------------------ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/assunnah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/