Assalamu'alaykum Saya adalah orang Minang. Kedua orang tua saya bersuku Minang. Seperti yang sudah kita ketahui bersama Suku Minang menganut matrilineal meskipun kami memiliki falsafah "Adat bersandi syarah, syarah bersandi Kitabullah." Karena kami matrilineal, ibu saya selalu mewanti-wanti supaya hanya menikah dengan laki-laki Minang karena Minang melindungi kaum wanita terutama dalam masalah warisan. Menurut hukum adat Minang anak wanita mewarisi seluruh harta warisan pusako (pusaka) tinggi. Menurut adat kami, harta pusaka dibagi kedalam dua bagian yaitu pusako tinggi dan pusako randah (rendah). Pusako tinggi adalah harta dari garis ibu atau harta nenek moyang yang hanya diwarisi oleh anak perempuan semuanya, anak laki-laki hanya memiliki hak tinggal atau hak guna dengan persetujuan saudara perempuannya.
Pusako randah adalah harta orang tua yang didapatkan dari usaha orang tua semasa pernikahan dan harta tersebut tidak terdapat di atas tanah pusako tinggi. Tentang pembagian harta warisan pusako randah ini juga tidak harus dengan syariat Islam, tergantung kepada persetujuan ahli waris yang ditinggal. Menurut adat Minang, suami yang menuruti istri atau tinggal di rumah istri. Jika suami tersebut membangun rumah di atas tanah harta pusako tinggi maka yang memiliki hak besar atas rumah tersebut adalah istri (harta pusako tinggi bagi anak). Jika suami menceraikan istri atau suami marah kepada istri, maka yang harus meninggalkan rumah tersebut adalah suami. Jika istri marah atau minta diceraikan maka suami juga harus meniggalkan rumah. Apabila suami adalah bersuku minang dan dia membangunkan rumah untuk keluarganya di atas tanah yang bukan pusako tinggi, jika suami menceraikan istrinya atau menikah lagi, maka rumah tersebut juga menjadi hak istri dan anak-anaknya sampai istrinya tersebut menikah lagi. Awalnya saya mengira hukum warisan ini menurut syariah Islam. Dulu (ketika masih remaja) saya mengira Islam sangat memuliakan wanita yang dengan begitu tidak ada anak gadis yang tersia-siakan, meminimalkan kekerasan dalam rumah tangga yang banyak dilakoni kaum laki-laki, meminimalkan perceraian, wanita nyaman di rumah sendiri. Ibu juga sering membandingkan adat Minang dan adat Jawa. Terkesan ibu menakut-nakuti saya. Menurut ibu, adat Jawa istri dijadikan pembantu dalam rumah suaminya. Apabila ibu mertuanya jahat maka wanita itu "diasap" (diazab) kerja, kerja, dan kerja seperti pembantu. Jika suaminya sudah bosan dengan istri maka istri tersebut diceraikan dan tidak mendapatkan apa-apa dari harta suami. Istri tersebut diusir dari rumah suami dan disuruh balik ke rumah orang tuanya dan jika istri tersebut tidak mempunyai orang-tua atau kerabat lagi, gimana? Begitulah ibu menasehati saya yang contoh-contohnya saya saksikan sendiri sehingga membuat saya yakin bahwa pendapat ibu benar. Tetapi hidayah membuat saya bersungguh-sungguh dalam mempelajari dan mengamalkan agama. Beberapa hal yang saya mempelajari adalah fiqh; hukum waris, hubungan suami istri dalam Islam, hak suami dan hak istri. Disaat umur saya beranjak dewasa saya baru menyadari hukum Islam seperti adat jawa dan itu sempat membuat dada saya sesak, ngeri, dan shock membaca dalil-dalil. Sampai suatu ketika datang seorang laki-laki yang baik agamanya berkeinginan menikahi saya, lalu ibu menolaknya karena dia non-Minang. Saya juga tidak bisa mendakwahi ibu karena saya sendiri belum kuat dalam beragumentasi membela syariah Islam. Saya sendiri belum memahami hak suami yang lebih besar ketimbang hak orang tua kepada anak perempuannya. Saya belum mempunyai ilmu yang memadai untuk memahaminya. Yang ibu takutkan adalah kehilangan anak-anak perempuannya setelah menikah. Menurut ibu, Islam menyuruh wanita taat dan patuh kepada suami, orang tua istri tidak punya hak lagi atas anak perempuan mereka, sehingga tidak ada kesempatan lagi buat istri untuk mengurus ibu-bapaknya ketika mereka sudah tua. Anak yang menikahi laki-laki non Minang sama dengan kehilangan anak perempuan. Ibu juga pernah mengancam tidak akan menganggap anak lagi apabila saya nekad menikah dengan laki-laki tersebut. Banyak ibu-ibu Minang memaksa anaknya menikah hanya dengan orang Minang baik laki-laki maupun perempuan. Saya bingung. Berbagai banyak pertanyaan yang belum terjawab bergelayut di otak saya. Saya inginkan Islam Kaafah. Saya ingin menikah dan tinggal di rumah suami dan juga mengurus kedua orang tua saya. Tapi yang wajib berbakti kepada ibu-bapak hanyalah suami bukan istri. Sehingga beruntunglah orang tua yang memiliki anak laki-laki. Dan bahwa tidak mungkin wanita mengajak orang tua wanita tinggal dirumah suami sementara suami masih memiliki orang tua di rumahnya. Sehingga munculah pertanyaan-pertanyaan: 1. Apakah suami wajib berbakti kepada kedua orang tua termasuk orang tua istri? 2. Jika hanya orang tua suami, lalu siapakah yang mengasuh kedua orang tua istri apabila semua anaknya adalah perempuan? 3. Jika saya nekad menikahi laki-laki tersebut tanpa keridhaan ibu (hanya restu ayah) meskipun laki-laki tersebut taat dalam beragama, apakah saya termasuk mendurhakai ibu? 4. Islam mensyariatkan istri tinggal di rumah dan yang mencari nafkah adalah suami. Sehingga istri tidak punya penghasilan (karier) kecuali dari pemberian suami. Apabila suami menceraikan istrinya, istri tidak diberi nafkah lagi sehingga istri harus cari nafkah sendiri. Bagaimanakah nasib istri yang tidak punya sumber penghasilan sementara jika dia melamar kerja dia tidak punya pengalaman atau resume atau usianya tidak produktif lagi sehingga tidak mungkin untuk bekerja mencari nafkah? Apakah yang didapat oleh istri yang dicerai dari harta suaminya? 5. Bolehkah suami melarang istrinya menerima kehadiran orang tua istrinya di rumah? Yang manakah yang harus dituruti istri, mengusir orang tuanya sendiri atau melawan perintah suami? 6. Jika suami menceraikan istrinya maka istri tidak punya hak nafkah dan tempat tinggal. Lalu bagaimanakah nasib istri yang dicerai apabila dia tidak punya rumah selain rumah suaminya? 7. Apakah halal bagi saya menerima harta pusako tinggi? Jika tidak, apakah yang harus saya lakukan dengan harta tersebut? 8. Apakah dasarnya hak suami sangat besar kepada istri? padahal yang berjasa kepada istri selama ini adalah orang tuanya, suami hanyalah orang yang ditemukannya setelah dia menjadi wanita. Dan suaminya hanya berjasa memberi makan dan pakaian dengan cara yang baik. Rasulullah bersabda: "Jika manusia boleh sujud kepada manusia, maka kusuruh wanita sujud kepada suaminya. Mengingat begitu besarnya hak suami. Jika ditubuh suaminya dari kaki hingga ujung rambut terdapat luka berdarah mengeluarkan nanah dan belatung lalu istrinya menjilatnya (seluruh luka tersebut), maka belum tertunai hak suaminya" (H.R. Ahmad) Pertanyaan yang sangat banyak dan menyita perhatian antum. Tapi saya mohon dengan keikhlasan hati mendakwahi saya yang sangat miskin sekali ilmu agamanya. Semoga ilmu dan saling menasehati menjadi cahaya bagi kita semua kelak. Terima Kasih. Wassalam, Muslimah di Padang Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh To : muslimah di Padang Yang di rahmati Allah Semoga Allah Ajawazala selalu memberikan hidayah dan menambahkan pemahaman ilmu agama yang benar kepada kita. semoga masukan ana ini bisa membantu anti dan ana butuh koreksi dari ikhwan semua jika ana ada kesalahan. Kafa'ah Menurut Konsep Islam Pengaruh materialisme telah banyak menimpa orang tua. Tidak sedikit zaman sekarang ini orang tua yang memiliki pemikiran, bahwa di dalam mencari calon jodoh putra-putrinya, selalu mempertimbangkan keseimbangan kedudukan, status sosial dan keturunan saja. Sementara pertimbangan agama kurang mendapat perhatian. Masalah Kufu' (sederajat, sepadan) hanya diukur lewat materi saja. Menurut Islam, Kafa'ah atau kesamaan, kesepadanan atau sederajat dalam perkawinan, dipandang sangat penting karena dengan adanya kesamaan antara kedua suami istri itu, maka usaha untuk mendirikan dan membina rumah tangga yang Islami inysa Allah akan terwujud. Tetapi kafa'ah menurut Islam hanya diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta ahlaq seseorang, bukan status sosial, keturunan dan lain-lainnya. Allah memandang sama derajat seseorang baik itu orang Arab maupun non Arab, miskin atau kaya. Tidak ada perbedaan dari keduanya melainkan derajat taqwanya (Al-Hujuraat : 13). "Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang-orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal". (Al-Hujuraat : 13). Dan mereka tetap sekufu' dan tidak ada halangan bagi mereka untuk menikah satu sama lainnya. Wajib bagi para orang tua, pemuda dan pemudi yang masih berfaham materialis dan mempertahankan adat istiadat wajib mereka meninggalkannya dan kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah Nabi yang Shahih. Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam : "Artinya : Wanita dikawini karena empat hal : Karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih karena agamanya (ke-Islamannya), sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan celaka". (Hadits Shahi Riwayat Bukhari 6:123, Muslim 4:175). Memilih Yang Shalihah Orang yang mau nikah harus memilih wanita yang shalihah dan wanita harus memilih laki-laki yang shalih. Menurut Al-Qur'an wanita yang shalihah ialah : "Artinya : Wanita yang shalihah ialah yang ta'at kepada Allah lagi memelihara diri bila suami tidak ada, sebagaimana Allah telah memelihara (mereka)". (An-Nisaa : 34)." Menurut Al-Qur'an dan Al-Hadits yang Shahih di antara ciri-ciri wanita yang shalihah ialah : "Ta'at kepada Allah, Ta'at kepada Rasul, Memakai jilbab yang menutup seluruh auratnya dan tidak untuk pamer kecantikan (tabarruj) seperti wanita jahiliyah (Al-Ahzab : 32), Tidak berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan mahram, Ta'at kepada kedua Orang Tua dalam kebaikan, Ta'at kepada suami dan baik kepada tetangganya dan lain sebagainya". Bila kriteria ini dipenuhi Insya Allah rumah tangga yang Islami akan terwujud. Sebagai tambahan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih wanita yang peranak dan penyayang agar dapat melahirkan generasi penerus umat. Adapun berikut jawaban ana terhadap pertanyaan anti : 1. Apakah suami wajib berbakti kepada kedua orang tua termasuk orang tua istri? Jawab : "kita wajib untuk berbakti dan berbuat baik kepada kedua orang tua, dengan syarat tidak boleh berbuat baik kepada kedua orang tua dalam rangka bermaksiat kepada Allah. Apabila orang tua menyuruh melakukan sesuatu yang haram atau mencegah dari perbuatan yang wajib, maka tidak boleh ditaati (Al-Ankabuut : 8). Begitu pun dengan orang tua istri harus pula kita berbuat baik kepadanya. 2. Jika hanya orang tua suami, lalu siapakah yang mengasuh kedua orang tua istri apabila semua anaknya adalah perempuan? Jawab : Tanggung jawab mengurus orang tua adalah kewajiban setiap anak karena Birrul Walidian (berbakti kepada kedua orang tua) adalah salah satu masalah yang penting dalam Islam. Di dalam Al-Qur'an, setelah memerintahkan kepada manusia untuk bertahuid kepada-Nya, Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan untuk berbakti kepada kedua orang tuanya. Dalam surat Al-Isra ayat 23-24, Allah berfirman. "Artinya : Dan Rabb-mu telah memerintahkan kepada manusia janganlah ia beribadah melainkan hanya kepadaNya dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya. Dan jika salah satu dari keduanya atau kedua-duanya telah berusia lanjut disisimu maka janganlah katakan kepada keduanya 'ah' dan janganlah kamu membentak keduanya" [Al-Isra : 23] "Artinya : Dan katakanlah kepada keduanya perkataan yang mulia dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang. Dan katakanlah, "Wahai Rabb-ku sayangilah keduanya sebagaimana keduanya menyayangiku di waktu kecil" [Al-Isra : 24] Al-Hafidz Ibnu Katsir telah menerangkan ayat tersebut sebagai berikut : "Allah Ta'ala telah mewajibkan kepada semua manusia untuk beribadah hanya kepada Allah saja, tidak menyekutukan dengan yang lain." Qadla" disini bermakna perintah sebagaimana yang dikatakan Imam Mujahid, wa qadla yakni washa (Allah berwasiat). Kemudian dilanjutkan dengan "Wabil waalidaini ihsana" hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya. Ayat ini mempunyai makna yang sama dengan surat Luqman ayat 14. "Artinya : .... hendaklah kalian bersyukur kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu dan kepada-Ku lah kalian kembali" Dan jika salah satu dari keduanya atau keduanya berada disisimu dalam keadaan lanjut usia, "fa laa taqul lahuma uffin" maka janganlah berkata kepada keduanya 'ah' ('cis' atau yang lainnya). Jangan memperdengarkan kepada keduanya perkataan yang buruk. "Wa laa tanharhuma" dan janganlah kalian membenci keduanya. Ada juga yang mengatakan bahwa "Wa laa tanhar huma ai la tanfudz yadaka alaihima" maksudnya adalah janganlah kalian mengibaskan tangan kepada keduanya. Ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang perkataan dan perbuatan yang buruk, Allah Subhanahu wa Ta'ala juga memerintahkan untuk berbuat dan berkata yang baik. Seperti dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala "wa qul lahuma qaulan karima" dan katakanlah kepada keduanya perkataan yang mulia, yaitu perkataan yang lembut dan baik dengan penuh adab dan rasa hormat. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan kasih sayang, hendaklah kalian bertawadlu' kepada keduanya. Dan hendaklah kalian berdo'a, "Ya Allah sayangilah keduanya sebagaimana keduanya menyayangi dan mendidiku di waktu kecil", pada waktu mereka berada di usia lanjut hingga keduanya wafat. [Tafsir Ibnu Katsir Juz III hal 39-40, Cet.I Maktabah Daarus Salam Riyadh, Th.1413H] Perintah Birrul Walidain juga tercantum dalam surat An-Nisa ayat 36, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman. "Artinya : Dan sembahlah Allah dan janganlah menyekutukanNya dengan sesuatu, dan berbuat baiklah kepada kedua ibu bapak, kepada kaum kerabat kepada anak-anak yatim kepada orang-orang miskin, kepada tetangga yang dekat, tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan dirinya" [An-Nisa : 36] Para ulama terdahulu telah membahas masalah Birrul Walidain (berbakti kepada kedua orang tua) ini dalam kitab-kitab mereka. Sepeti dalam kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim dan kitab-kitab hadits besar (Ummahatul Kutub) lainnya dalam pembahasan tentang berbakti kepada kedua orang tua dan ancaman terhadap orang-orang yang durhaka kepada kedua orang tua. [Disalin dari Kitab Birrul Walidain, edisi Indonesia Berbakti Kepada Kedua Orang Tua oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, terbitan Darul Qolam - Jakarta.] 3. Jika saya nekad menikahi laki-laki tersebut tanpa keridhaan ibu (hanya restu ayah) meskipun laki-laki tersebut taat dalam beragama, apakah saya termasuk mendurhakai ibu? Jawab : PENGERTIAN TENTANG BERBUAT BAIK DAN DURHAKA Menururt lughoh (bahasa), Al-Ihsan berasal dari kata ahsana-yuhsinu-ihsanan. Sedangkan yang dimaksud dengan ihsan dalam pembahasan ini adalah berbakti kepada kedua orang tua yaitu menyampaikan setiap kebaikan kepada keduanya semampu kita dan bila memungkinkan mencegah gangguan terhadapa keduanya. Menurut Ibnu Athiyah, kita wajib juga mentaati keduanya dalam hal-hal yang mubah, harus mengikuti apa-apa yang diperintahkan keduanya dan menjauhi apa-apa yang dilarang. Sedang 'uquq artinya memotong (seperti halnya aqiqah yaitu memotong kambing). 'Uququl Walidain adalah gangguan yang ditimbulkan seorang anak terhadap kedua orang tuanya baik berupa perkataan maupun perbuatan. Contoh gangguan dari seorang anak kepada kedua orang tuanya yang berupa perkataan yaitu dengan mengatakan 'ah' atau 'cis', berkata dengan kalimat yang keras atau menyakitkan hati, menggertak, mencaci dan yang lainnya. Sedangkan yang berupa perbuatan adalah berlaku kasar seperti memukul dengan tangan atau kaki bila orang tua menginginkan sesuatu atau menyuruh untuk memenuhi keinginannya, membenci, tidak memperdulikan, tidak bersilaturrahmi atau tidak memberikan nafkah kepada kedua orang tuanya yang miskin. 4. islam mensyariatkan istri tinggal di rumah dan yang mencari nafkah adalah suami. Sehingga istri tidak punya penghasilan (karier) kecuali dari pemberian suami. Apabila suami menceraikan istrinya, istri tidak diberi nafkah lagi sehingga istri harus cari nafkah sendiri. Bagaimanakah nasib istri yang tidak punya sumber penghasilan sementara jika dia melamar kerja dia tidak punya pengalaman atau resume atau usianya tidak produktif lagi sehingga tidak mungkin untuk bekerja mencari nafkah? Apakah yang didapat oleh istri yang dicerai dari harta suaminya? Jawab : Islam tidak melarang seorang istri untuk membantu suaminya dalam mencari nafkah selama ada izin dari suaminya. Lahan pekerjaan seorang wanita adalah pekerjaan yang dikhususkan untuknya seperti pekerjaan mengajar anak-anak perempuan baik secara administratif ataupun secara pribadi, pekerjaan menjahit pakaian wanita di rumahnya dan sebagainya. Adapun pekerjaan dalam lahan yang dikhususkan untuk orang laki-laki maka tidaklah diperbolehkan baginya untuk bekerja pada lahan tersebut yang akan mengundang ikhtilath sedangkan hal tersebut adalah fitnah yang besar yang harus dihindari. Perlu diketahui bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda : Artinya : "Saya tidak meninggalkan fitnah (godaan) yang lebih berbahaya bagi seorang laki-laki daripada fitnah perempuan". Maka seorang laki-laki harus menjauhkan keluarganya dari tempat-tempat fitnah dan sebab-sebabnya dalam segala kondisi. Tidak seorang pun yang berselisih bahwa wanita berhak bekerja, akan tetapi pembicaraan hanya berkisar tentang lapangan pekerjaan apa yang layak bagi seorang wanita, dan penjelasannya sebagai berikut : Ia berhak mengerjakan apa saja yang biasa dikerjakan oleh seorang wanita biasa lainnya di rumah suaminya dan keluarganya seperti memasak, membuat adonan kue, membuat roti, menyapu, mencuci pakaian, dan bermacam-macam pelayanan lainnya serta pekerjaan bersama yang sesuai dengannya dalam rumah tangga. Ia juga berhak mengajar, berjual beli, menenun kain, membuat batik, memintal, menjahit dan semisalnya apabila tidak mendorong pada perbuatan-perbuatan yang diharamkan oleh syara' seperti berduaan dengan selain mahram atau bercampur dengan laki-laki lain, yang mengakibatkan fitnah atau menyebabkan ia meninggalkan hal-hal yang harus dilakukannya terhadap keluarganya, atau menyebabkan ia tidak mematuhi perintah orang yang harus dipatuhinya dan tanpa ridha mereka. 5. Bolehkah suami melarang istrinya menerima kehadiran orang tua istrinya di rumah? Yang manakah yang harus dituruti istri, mengusir orang tuanya sendiri atau melawan perintah suami? Jawab : Islam juga sangat memperhatikan hak-hak orang tua dan kerabat, sehingga kita ditekankan untuk mengamalkannya dengan baik terutama hak-hak orang tua, karena mereka telah melahirkan, mengasuh, mendidik dan membesarkan kita sehingga kita menjadi manusia yang berguna. Oleh karena itu kita wajib berbakti kepada kedua orang tua dengan cara mentaati, menghormati, mencintai, menyayangi, membahagiakan serta mendo'akan keduanya ketika keduanya masih hidup maupun sudah meninggal dunia. Taat kepada kedua orang tua adalah hak orang tua atas anak sesuai dengan perintah Allah dan RasulNya selama keduanya tidak memerintahkan untuk melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan aturan dan syari'at Allah dan RasulNya. Rasulullahn Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Artinya : Tidak boleh taat kepada seseorang dalam berbuat maksiat kepada Allah" [Hadits Riwayat Ahmad] Sebaliknya, kita juga dilarang durhaka kepada kedua orang tua karena hal itu termasuk dosa besar yang paling besar. Dalam satu riwayat disebutkan bahwa seseorang tidak masuk surga bila durhaka kepada kedua orang tuanya. "Artinya : Tidak masuk surga orang yang suka mengungkit-ungkit kebaikan (menyebut-nyebut kebaikan yang sudah diberikan), anak yang durhaka dan pecandu khamr " [Hadits Riwayat Nasa'i adri Abdullah bin Amr pada Shahih Jami'us Shaghir No.676] 6. Jika suami menceraikan istrinya maka istri tidak punya hak nafkah dan tempat tinggal. Lalu bagaimanakah nasib istri yang dicerai apabila dia tidak punya rumah selain rumah suaminya? Jawab : Wanita yang ditalak, jika suaminya meninggal ketika masih dalam masa iddah, ada dua kemungkinan, yaitu talak raj'i (yang bisa di rujuk) dan bukan ba'in (tidak bisa di rujuk). Jika itu talak raj'i maka statusnya masih sebagai istri sehingga iddahnya berubah dari iddah talak ke iddah wafat (iddah karena ditinggal mati suami). Talak raj'i yang terjadi setelah campur tanpa iwadh (pengganti talak), baik talak pertama maupun talak yang kedua kali, jika suaminya meninggal, maka si wanita berhak mewarisinya, berdasarkan firman Allah Ta'ala. Artinya : "Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru (suci). Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf" [Al-Baqarah : 228] Dalam ayat lain disebutkan. Artinya : "Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Rabbmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru" [Ath-Thalaq : 1] Allah Subhnahu wa Ta'ala memerintahkan wanita yang ditalak (raj'i) agar tetap tinggal di rumah suaminya pada masa iddah, Allah berfirman. Artinya : "Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru" [Ath-Thalaq : 1] Maksudnya adalah rujuk. Jika wanita yang ditinggal mati suaminya dengan tiba-tiba itu dalam keadaan talak ba'in (yang tidak dapat di rujuk), seperti talak yang ketiga kali atau si wanita memberikan pengganti mahar kepada suaminya agar ditalak, atau sedang pada masa fasah (pemutusan ikatan pernikahan), bukan iddah talak, maka ia tidak berhak mewarisi dan statusnya tidak berubah dari iddah talak ke iddah diitnggal mati suami. Namun demikian, ada kondisi dimana wanita yang di talak ba'in tetap berhak mewarisi, yaitu seperti ; jika sang suami mentalaknya ketika sedang sakit dengan maksud agar si istri tetap mendapat hak warisan walaupun masa iddahnya telah berakhir selama ia belum menikah lagi. Tapi jika ia telah menikah lagi maka tidak boleh mewarisi. [Fatawa NurAla Ad-Darb, Syaikh Ibnu Utsaimin, juz 2, hal 820] [Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, hal 524-525 , Darul Haq] 7. Apakah halal bagi saya menerima harta pusako tinggi? Jika tidak, apakah yang harus saya lakukan dengan harta tersebut? Jawab : Halal, namun dalam hukum islam, pembagian warisan sudah diatur menurut pembagiannya masing-masing (Al-Baqarah : 7 s/d 14). 8. Apakah dasarnya hak suami sangat besar kepada istri? padahal yang berjasa kepada istri selama ini adalah orang tuanya, suami hanyalah orang yang ditemukannya setelah dia menjadi wanita. Dan suaminya hanya berjasa memberi makan dan pakaian dengan cara yang baik. Rasulullah bersabda: "Jika manusia boleh sujud kepada manusia, maka kusuruh wanita sujud kepada suaminya. Mengingat begitu besarnya hak suami. Jika ditubuh suaminya dari kaki hingga ujung rambut terdapat luka berdarah mengeluarkan nanah dan belatung lalu istrinya menjilatnya (seluruh luka tersebut), maka belum tertunai hak suaminya" (H.R. Ahmad) Jawab : Dasar keutamaan derajat seorang seorang laki-laki / suami dri seorang wanita / istri ada didalam surah Al-Baqarah : 34 Wassalamu'alaikum ALLAH jualah yang memberikan taufiq. ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Get to your groups with one click. Know instantly when new email arrives http://us.click.yahoo.com/.7bhrC/MGxNAA/yQLSAA/TXWolB/TM --------------------------------------------------------------------~-> SALURKAN BANTUAN ANDA UNTUK KAUM MUSLIMIN YANG TERKENA MUSIBAH GEMPA DI DAERAH YOGYAKARTA DAN SEKITARNYA KEPADA LEMBAGA AMAL YANG TERPERCAYA -------------------------------------------- Website Anda: http://www.assunnah.or.id & http://www.almanhaj.or.id Website audio: http://assunnah.mine.nu Berhenti berlangganan: [EMAIL PROTECTED] Ketentuan posting : [EMAIL PROTECTED] -------------------------------------------- Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/assunnah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/