Alhamdulillah wabihi nasta'in. Permasalahan ini telah dikaji oleh beberapa 
ulama besar diantaranya Syaikhul Islam, Asy-Syaikh Al-Albani, dan Asy-Syaikh 
Ibnu 'Utsaimin rahimahumullahu.
Kata Asy-Syaikh Ibnu 'Utsaimin t : "Jika ada yang mengatakan: kita sedang 
diliputi problem terkait dengan kuburan Rasulullah n yang ada sekarang, karena 
berada di tengah masjid Nabawi, bagaimana jawabannya? Kami katakan, jawabannya 
ditinjau dari beberapa sisi sebagai berikut:
1. Masjid tersebut tidak dibangun di atas kuburan, bahkan dibangun pada masa 
hidup beliau n
2. Nabi n tidak dikuburkan di dalam masjid sehingga dikatakan bahwa ini adalah 
penguburan orang-orang shalih di dalam masjid, bahkan beliau dikuburkan di 
dalam rumahnya.[1]
3. Perbuatan memasukkan rumah-rumah Rasulullah n termasuk rumah 'Aisyah x ke 
dalam masjid (ketika perluasan masjid) bukan dengan kesepakatan para shahabat 
g, bahkan hal itu terjadi setelah meninggalnya kebanyakan shahabat dan tidak 
tersisa dari mereka kecuali sedikit, yaitu sekitar tahun 94 H. Dengan demikian 
berarti hal itu bukan termasuk di antara perkara-perkara yang dibolehkan oleh 
para shahabat atau yang disepakati oleh mereka. Bahkan sebagian mereka (yang 
mendapati kejadian itu) mengingkarinya, dan juga diingkari oleh Sa'id bin 
Al-Musayyib[2] dari kalangan tabi'in.
4. Kuburan tersebut tidak dikategorikan berada dalam masjid meskipun setelah 
perluasan dan dimasukkan di dalamnya, karena kuburan tersebut berada di dalam 
kamar tersendiri terpisah dari masjid, jadi masjid Nabawi tidak dibangun di 
atasnya. Oleh karena itu dibuatkan 3 dinding yang mengelilingi kuburan tersebut 
dan dindingnya dijadikan menyimpang dari arah kiblat yaitu dengan bentuk 
segitiga, sudutnya ditempatkan pada sudut utara masjid, dimana seseorang yang 
shalat tidak akan menghadap ke kuburan tersebut karena posisi dindingnya yang 
menyimpang (dari arah kiblat). (Al Qaulul Mufid 'ala Kitabittauhid, 1/398-399).
Dengan demikian jelas bagi kita bahwa masjid Nabawi tidak termasuk dalam 
kategori masjid yang dibangun di atas kuburan yang dilarang shalat di dalamnya. 
Begitu pula orang yang shalat di dalamnya tidak akan jatuh dalam kategori 
shalat menghadap ke kuburan yang dilarang, karena bentuk dinding yang 
mengelilinginya sebagaimana dijelaskan di atas.
Kalaupun seandainya masih tersisa kejanggalan mengingat bahwa bagaimanapun juga 
kuburan tersebut telah menjadi bagian dari masjid maka jawabannya sebagaimana 
kata Asy-Syaikh Al-Albani t pada pasal terakhir dari kitabnya yang berjudul 
Tahdzirus Sajid min Ittikhadzil Quburi Masajid (hal. 133-137): "Kemudian 
ketahuilah bahwa hukum yang telah lewat[3] mencakup seluruh masjid baik yang 
besar maupun yang kecil, yang lama maupun baru, berdasarkan keumuman 
dalil-dalil yang ada. Maka tidak diperkecualikan dari larangan shalat di masjid 
yang ada kuburannya kecuali masjid Nabawi yang agung, karena keutamaannya yang 
khusus yang tidak didapatkan pada masjid-masjid lain yang dibangun di atas 
kuburan. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah n:

??????? ???? ????????? ????? ?????? ???? ?????? ??????? ??????? ??????? ?????? 
??????????? ?????????? (????????? ????????)

"Shalat di masjidku ini lebih utama dari seribu shalat di masjid-masjid yang 
lain kecuali Masjidil Haram, (karena shalat di Masjidil Haram lebih utama)."[4]
Begitu pula sabda beliau n:

??? ?????? ??????? ??????????? ???????? ???? ??????? ??????????

"Antara rumahku dan mimbarku merupakan taman dari taman-taman jannah 
(surga)."[5]
Serta keutamaan-keutamaan lainnya. Jika demikian, kalau dikatakan bahwa shalat 
di masjid Nabawi dibenci (terlarang) maka berarti menyamakan masjid Nabawi 
dengan masjid-masjid lainnya serta meniadakan/menghapuskan keutamaan-keutamaan 
yang dimilikinya, dan tentu saja sangat nyata bahwa hal ini tidak boleh.
Makna (hukum) ini kami petik dari perkataan Ibnu Taimiyyah yang telah lewat 
pada hal. 125-126 ketika menjelaskan sebab dibolehkannya melaksanakan shalat 
yang memiliki sebab pada waktu-waktu terlarang.
Jadi sebagaimana dibolehkan shalat (yang memiliki sebab) pada waktu-waktu yang 
terlarang dengan alasan bahwa pelarangan dari shalat tersebut berarti 
menyia-nyiakannya manakala tidak mungkin untuk meraih keutamaannya dikarenakan 
waktunya akan berlalu[6], maka demikian pula shalat di masjid Nabi n. Kemudian 
saya mendapati Ibnu Taimiyyah menegaskan hukum ini pada kitabnya yang berjudul 
Al-Jawab Al-Bahir fi Zuril Maqabir (22/1-2): "Shalat di masjid-masjid yang 
dibangun di atas kuburan terlarang secara mutlak[7]. Lain halnya dengan masjid 
Nabi n karena shalat di dalamnya bernilai seribu shalat (di masjid-masjid lain) 
dan masjid ini dibangun di atas ketaqwaan, di mana kehormatannya (kemuliaannya) 
terpelihara pada masa hidup beliau n dan masa Al-Khulafa`ur Rasyidin, sebelum 
dimasukkannya kamar (rumah) tempat penguburan beliau n sebagai bagian dari 
masjid. Dan hanyalah sesunggguhnya (perluasan masjid dengan) memasukkan kamar 
tersebut sebagai bagian dari masjid terjadi setelah berlalunya masa para 
shahabat."


1 Yaitu di rumah Aisyah x
2 Yang dijuluki oleh sebagian ulama sebagai sayyiduttabi'in (pemimpin tabi'in) t
3 Yaitu larangan shalat di masjid yang dibangun di atas kuburan.
4 Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim serta yang lainnya dari hadits Abu 
Hurairah z. Juga diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad dari hadits Ibnu 'Umar c, 
dan tambahan yang ada (yaitu yang berada antara 2 tanda kurung) adalah riwayat 
Ahmad. Kemudian hadits ini diriwayatkan Ahmad dari banyak jalan periwayatan 
serta memiliki banyak penguat yang semakna dengannya dari beberapa shahabat 
yang lain. (Hasyiyah (catatan kaki) Tahdzirus Sajid)
5 Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, serta yang lainnya dari hadits Abdullah 
bin Zaid Al-Mazini, dan hadits ini mutawatir sebagaimana kata As-Suyuthi.... 
(Hasyiyah TahdzirusSajid). Pada hasyiyah kitab tersebut tidak lupa pula 
Asy-Syaikh Al-Albani t mengingatkan bahwa lafadz (???????) sebagai pengganti 
lafadz (???????) dengan makna: "Antara kuburanku dan mimbarku....", adalah 
kekeliruan sebagian perawi hadits, sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Hazm, 
Al-Qurthubi, Ibnu Taimiyyah, Al-'Asqalani (yaitu Al-Hafidz Ibnu Hajar -pen) dan 
yang lainnya.
6 Misalnya seseorang berwudhu pada waktu matahari sudah menguning menjelang 
terbenam, kalau dia dilarang shalat sunnah wudhu sampai matahari terbenam 
berarti dia akan kehilangan keutamaan karena waktunya akan berlalu.
7 Yaitu tanpa batasan masjid-masjid tertentu, jadi larangannya mencakup seluruh 
masjid.

Copyright © 2005 Asysyariah





------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Home is just a click away.  Make Yahoo! your home page now.
http://us.click.yahoo.com/DHchtC/3FxNAA/yQLSAA/TXWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

SALURKAN BANTUAN ANDA UNTUK KAUM MUSLIMIN YANG TERKENA MUSIBAH
GEMPA DI DAERAH YOGYAKARTA DAN SEKITARNYA KEPADA LEMBAGA AMAL YANG
TERPERCAYA
--------------------------------------------
Website Anda: http://www.assunnah.or.id & http://www.almanhaj.or.id
Website audio: http://assunnah.mine.nu
Berhenti berlangganan: [EMAIL PROTECTED]
Ketentuan posting : [EMAIL PROTECTED]
--------------------------------------------
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke