Written by Abu Yahya Ahmad Rahimi               
                
               Sunday, 03 October 2004
    Masih segar dalam ingatan kita tentang kepergian sebagian para ulama. Bukan 
untuk merobek luka lama yang baru sembuh, bukan pula menjerumuskan diri ke 
dalam lembah dosa dengan cara meratapi yang telah pergi, tetapi adalah 
sebagaimana yang sering diucapkan oleh sebagian mereka: Artinya: “Tirulah 
mereka, walaupun kamu tidak akan seperti mereka, sesungguhnya meniru orang 
mulia itu adalah suatu kejayaan”. Di antara mereka, (wallahu a’lam) adalah 
salah seorang imam kaum Muslimin yang meninggal beberapa tahun lalu; samaahatu 
as-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah ta’ala.     Muqaddimah  
Allah ta’ala berfirman: Artinya: “Dan apakah mereka tidak melihat bahwa 
sesungguhnya Kami mendatangi daerah-daerah, lalu Kami kurangi daerah-daerah itu 
(sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya?” (QS. Ar-Ra’du: 41) 
Imam Athabari dengan sanadnya menyebutkan perkataan Ikrimah tentang ayat di 
atas dalam masalah lafadz “…lalu kami kurangi…”, maksudnya adalah “kematian”. 
Kemudian dia (Ikrimah) melanjutkan, “Kalau sekiranya yang dikurangi itu adalah 
bumi ini, niscaya kita tidak akan mendapatkan lagi tempat di atasnya.” 
 Berkata Atha’ rahimahullah dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma tentang makna 
firman Allah di atas, “Bahwa yang dimaksud (oleh ayat itu) adalah kepergian 
para ulama, fuqaha dan orang-orang yang baik dari daerah tersebut.” (Lihat 
Tafsir Imam Thabari pada surat Ar-Ra’du ayat 41) 
Berkata Ibnu Abdilbar rahimahullah ketika mengomentari perkataan Atha’ di atas, 
“Penafsiran Atha’ terhadap ayat tersebut sangat bagus, (dan) ahli ilmu telah 
sepakat untuk menerimanya.” (Lihat Imamul ‘Ashar hal.3 oleh Ma’had Imam Bukhari 
lis Syari’ah Islamiyah Libanon) 
Kematian ulama merupakan sebab dari ilmu syari’at yang mulia ini diangkat oleh 
Allah subhanahu wata'ala sebagaimana yang diberitakan oleh Rasulullah 
shallallahu ‘alaihi wasallam: Artinya: “Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut 
ilimu agama secara langsung dari para hamba, akan tetapi Dia mencabutnya dengan 
cara mewafatkan para ulama, sehingga apabila tidak seorang ulama pun yang 
tersisa, maka manusia akan mengangkat pemimpin (tempat bertanya) dari kalangan 
orang-orang bodoh; mereka pun ditanya dan (orang-orang bodoh itu) berfatwa 
tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Shahih Bukhari, lihat Kitabul 
Ilmi bab: Kaifa Yuqbalu ‘Ilmu…) 
Saat ini kita sedang menjadi saksi atas sebahagian kenyataan yang telah 
diberitakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut, seolah-olah 
beliau duduk di antara kita mengatakan, “Bahwa sebagian tanda-tanda kiamat 
adalah akan terjadinya peristiwa begini dan begini,…”. Hampir tiap waktu kita 
berhadapan dengan fatwa-fatwa yang menyesatkan. Dimana fatwa tersebut 
menghardik keputusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mencemooh 
orang-orang yang berjalan dengan bersuluhkan hidayah penguasa alam semesta, 
apalagi setelah beruntunnya kepergian mereka yang telah disifatkan oleh 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits di atas. 
Di antara mereka, (wallahu a’lam) adalah salah seorang imam kaum Muslimin yang 
meninggal beberapa tahun lalu; samaahatu as-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin 
Baz rahimahullah ta’ala, wallahu hasiibuhu walaa nuzakki ‘alaihi ahada (dan 
hanya Allahlah yang lebih berhak menilainya, kami tidak mendahului Allah dalam 
memberikan tazkiyah terhadap seorang pun); dimana kalau tidak berlebihan (dan 
hanya Allah-lah yang mengetahui urusan bathin hamba-Nya) kita mensifatinya 
sebagaimana perkataan seorang penyair: 
 Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang bijak, 
 Mereka telah mentalak dunia karena takut bencana fitnahnya, 
 Mereka memperhatikan dengan seksama kepadanya, tatkala mereka mengetahui,  
 Bahwasanya dunia itu bukanlah untuk bertempat tinggal bagi orang yang hidup, 
 Mereka menjadikan dunia itu sebagai sebuah palung laut yang sangat dalam, dan 
menjadikan amal shaleh sebagai bahtera (agar selamat) dalam (mengarungi)nya. 
Semoga Allah Yang Maha Mendengar munajat hamba-Nya dan memasukkan kita ke dalam 
barisan orang-orang yang membela agama-Nya; para nabi, orang orang shiddiq, 
para syuhada dan orang-orang shaleh. Allahumma jadikanlah kami sebagai orang 
yang mencintai mereka dengan kecintaan yang benar, karena Nabi-Mu menyebutkan 
bahwa seseorang itu akan bersama dengan orang yang dicintainya. 
 Nama beliau adalah: Abdul Aziz bin Abdullah bin Abdurrahman bin Muhammad bin 
Abdul Aali Baz. (sebagaimana yang diimlakkan oleh beliau sendiri. Lihat Imamul 
‘Ashar hal. 9-14, oleh Dr. Nasir bin Musfir az-Zahrani) 
 Kelahiran beliau:  
 Bulan Dzulhijjah 1330 H. 
 Syaikh-syaikh tempat beliau belajar: 
as-Syaikh Muhammad bin Abdullathif bin Abdurrahman bin Hasan bin Syaikh 
Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah, as-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz bin 
Abdurrahman bin Hasan bin Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab (qadhi Riyadh) 
rahimahullahas-Syaikh Sa’ad bin Hamd bin Faris bin ‘Athiq (qadhi Riyadh), 
as-Syaikh Hamd bin Faris wakil Baitul Mal Riyadh), as-Syaikh Sa’ad Waqqash 
al-Bukhari (guru tajwid beliau pada tahun 1355 H), Samahatu as-Syaikh Muhammad 
bin Ibrahim bin Abdullathif Aalu as-Syaikh (tempat beliau menimba berbagai 
macam disiplin ilmu Syari’at mulai tahun 1347-1357 H). 
 Jabatan yang pernah beliau laksanakan:  
Qadhi di daerah al-Kharaj semenjak tahun 1357-1371 H, mengajar di Ma’had al 
‘Ilmi di Riyadh pada tahun 1372 H dan fakultas Syari’ah di Riyadh setelah 
dibentuknya fakultas tersebut pada tahun 1373 H (dalam mata pelajaran ilmu 
fiqh, tauhid dan hadits, dan jabatan ini beliau tekuni sampai tahun 1380 H). 
Pada tahun 1381 H beliau ditunjuk sebagai wakil Rektor Universitas Islam 
Madinah hingga tahun 1390 H, diangkat menjadi Rektor Universitas tersebut pada 
tahun 1390 H setelah wafatnya as-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Aalu as-Syaikh 
rahimahullah pada bulan Ramadhan 1389 H, kemudian beliau tetap memegang jabatan 
tersebut sampai tahun 1395 H, dan terakhir pada tanggal 14-10-1395 H keluar 
Surat Keputusan Kerajaan untuk mengangkatnya sebagai pimpinan umum untuk bagian 
Pembahasan Ilmiyah, Fatwa Dakwah dan Irsyad (kemudian tersebut berubah menjadi 
Mufti Umum Kerajaan setelah dibentuknya Kementrian Urusan Islam, Waqaf, Dakwah 
dan Irsyad pada tahun 1414 H). 
 Kemudian beliau juga menyebutkan, bahwa di samping tugas tersebut di atas, 
beliau juga menjabat sebagai anggota pada beberapa Majelis Islamiyah yang 
berskala inteasional, seperti: 

   Anggota Perkumpulan Ulama Besar Kerajaan Arab Saudi, 
   Kepala Badan Tetap Pembahasan Ilmiyah dan Fatwa pada lembaga di atas, 
   Anggota dan kepala majelis pendiri Rabithah Alam Islami, 
   Kepala pada Majma’ al-Fiqhi al-Islami yang berpusat di Mekkah al-Mukarraamah 
yang merupakan bagian dari Rabithah Alam Islami, 
   Anggota pada majelis tertinggi di Universitas Islam Madinah, 
   Anggota pada majelis tinggi Da’wah Islamiyah Kerajaan Arab Saudi. 
  Karangan-karangan beliau, sebagian kecilnya antara lain:
 
   Al-Fawaid al-Jalilah fi al-Mabahits al-Fardhiyah 
   At-Tahdzir minal Bida’ 
   Al-‘Aqidah ash-Shahihah wamaa Yudhaadhuha 
   Al-Jihad fi Sabilillah 
   Ad-Da’watu Ilallah wa Akhlaaqu ad-Du’at 
   Al-Jawabul Mufid fi Hukmi at-Tashwiir 
   Wujuubu Tahkiimi Syar’illahi wa Nabdzu maa Khaalafahu 
   Dll. 
 Wafatnya: 
Beliau wafat pada subuh Kamis 27 Muharram 1420 H di kota Thaaif, dishalatkan 
pada hari Jumat (28 Muharram 1420 H) di Masjid Haram, dan dimakamkan di 
pemakaman al-‘Adl Makkah Mukarramah. Semoga Allah merahmatinya dengan 
rahmat-Nya yang luas dan memasukkannya ke dalam surga. (Imamul ‘Ashar Dr. Nasir 
az-Zahrani)  Asy-Syaikh Bin Baz dan sifat dermawannya. 
Dermawan adalah di antara sifat yang dimiliki oleh para nabi ‘alaihimussalam. 
Begitu pula halnya nabi kita yang mulia shallallahu ‘alaihi wasallam adalah 
manusia yang paling dermawan, makhluk yang paling memiliki sifat memberi, orang 
yang paling agung pemberiannya, dan manusia yang paling sempa dalam memberi, 
sehingga Jabir radhiallahu’anhu berkata: 
 Artinya: “Belum pernah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dimintai 
sesuatu (kepadanya) kemudian beliau menjawab: ‘Tidak’.” 
 Dari Anas radhiallahu‘anhu beliau berkata: 
Artinya: “Sesungguhnya seorang laki-laki telah meminta kambing (yang jumlahnya) 
memenuhi (lembah) antara dua gunung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi 
wasallam, maka beliau memberikannya kepada orang tersebut, lalu laki-laki itu 
datang menemui kaumnya dan berkata,’Wahai kaumku! Masuklah kamu sekalian ke 
dalam Islam, demi Allah! Sesungguhnya Muhammad akan memberikan suatu pemberian 
(bila kamu sekalian masuk Islam) dan dia tidak pernah takut miskin (karena 
memberi)”. 
Shahih Muslim hadits no. 5975 [syarah Imam Nawawi cet. Dar al-Ma’rifah Beirut 
Tahun 1418 H/ 1997] 
 Disebutkan dalam “Imamul ‘Ashar ibnu Baz wa al-Albani” hal. 13, bahwa pernah 
seorang mujahid diutus menemui beliau (untuk meminta sumbangan), namun yang ada 
adalah sebuah benda yang sangat penting miliknya, maka beliau pun menjual 
barang tersebut dan memberikan hasil penjualannya kepada mujahid itu untuk 
dimanfaatkan di jalan Allah ‘Azza wa Jalla. 
 Beliau tidak mengizinkan bagi orang yang datang berkunjung kepadanya untuk 
permisi pergi, kecuali setelah makan siang atau makan malam bersamanya, 
istimewa apabila yang berkunjung itu adalah musafir atau datang sengaja dari 
daerah jauh. (Imamul ‘Ashar Dr. Nasir Zahrani hal. 99) 
Berkata salah seorang sahabat karib as-Syaikh bin Baz yang beama Sa’ad bin 
Abdul Muhsin (orang ini lebih tua sepuluh tahun dari as-Syaikh bin Baz), 
“Dahulu ketika masa mudanya, beliau (Bin Baz) belajar dengan as-Syaikh 
al-‘Allaamah Muhammad bin Ibrahim rahimahullah. Apabila pulang dari belajar dan 
di jalan bertemu dengan seseorang penuntut ilmu atau orang yang merantau atau 
tamu ataupun tetangga, maka beliau berusaha sekuatnya untuk mengajak orang 
tersebut masuk ke rumahnya untuk makan bersamanya, padahal beliau adalah 
seorang yang miskin dan kurang persediaan makanan, hal ini terus-menerus 
berkelanjutan selama hidupnya, bahkan beliau merasa sedih apabila tidak ada 
seorang tamu pun yang menyertainya makan”. 
 Tiga tahun sebelum wafatnya beliau, setelah safar ke Mekkah dan kembali ke 
kota Thaaif, seperti biasanya beliau membuka pintu rumah dengan harapan agar 
orang-orang datang. Akan tetapi teyata tamu dan orang-orang fakir miskin tidak 
ada yang datang ke rumahnya (untuk makan bersamanya) karena kebanyakan mereka 
tidak mengetahui beliau telah kembali, serta-merta beliau pun berduka-cita 
sembari bertanya kepada orang-orang yang membantunya, “Apa hal yang terjadi 
pada orang-orang sehingga mereka tidak datang? Apakah kamu sekalian katakan 
bahwa saya capek (baru pulang), ataukah kamu sekalian pernah menutup pintu di 
hadapan mereka, atau adakah sebab lain?” Mereka menjawab, “Wahai Tuan Syaikh, 
kebanyakan mereka belum menetahui kalau Anda telah sampai dan sebagian yang 
lain ingin untuk beristirahat pada hari-hari raya pertama ini”. Beliau berkata, 
“Pergi beritahukan masyarakat, para tetangga bahwa syaikh mengundang kamu 
sekalian, dan rumahnya terbuka untuk anda sekalian”.
 (Imamul ‘Ashar Dr. Nasir Zahrani hal. 101) 
 Semua sejajar di sisinya: 
 Pernah suatu ketika sebagian orang datang menemui beliau dan berkata 
kepadanya, “Wahai Tuan Syaikh, ada sebagian orang berpangkat berpendapat bahwa 
ketika beliau duduk bersama orang-orang ketika makan siang atau makan malam dan 
lainnya, yang duduk menemui Tuan ada buruh, pegawai, ada Arab ada pula orang 
‘ajam dan orang-orang miskin, bahkan ada pula orang-orang hitam; hal seperti 
ini membuat kurang enak di hati para penziarah dan tamu-tamu besar. Maksud kami 
bukanlah mengusulkan supaya Tuan tidak usah memberi orang-orang tersebut makan 
dan menutup pintu bagi mereka, akan tetapi alangkah baiknya kalau bagi mereka 
disediakan tempat makan dan minum tersendiri sedangkan Tuan dan orang-orang 
yang istimewa berada pada suatu tempat yang khusus pula”. Seketika itu muka 
syaikh langsung berubah, (muka tidak senang) karena mendengar ucapan orang 
tersebut, dan beliau berkata, “Miskin…miskin…(aduhai malangnya, aduhai 
malangnya), orang yang berpendapat seperti ini belum
 mengecap lezatnya bergaul dengan orang-orang miskin dan makan bersama 
orang-orang fakir, saya tidak akan meninggalkan kebiasaan ini dan saya tidak 
memiliki orang-orang istimewa. Bagi yang sanggup duduk bersama sya dengan 
ditemani oleh orang-orang fakir miskin itu silakan duduk, barangsiapa yang 
tidak betah, maka tidak ada paksaan”. (Imamul ‘Ashar Dr. Nasir Zahrani hal. 93) 
 Ibnu Baz sebagai bapak bagi orang miskin 
 Seorang miskin dengan pakaian ala kadaya yang berasal dari Afrika datang 
menanyakan beliau pada musim haji yang terakhir (musim haji sebelum beliau 
meninggal dunia). Orang tersebut bertanya, “Mana as-Syaikh Bin Baz?”, maka 
dikatakan kepada orang tersebut, bahwa beliau tidak sanggup pergi haji. Orang 
negro itu balik ditanya, “Anda mau apa?”, orang itu menjawab, “saya tidak 
menginginkan apa pun dari Anda, hanya saha saya adalah seorang miskin sedangkan 
as-Syaikh adalah bapak bagi orang-orang miskin”. (Imamul ‘Ashar Dr. Nasir 
Zahrani hal. 190) 
Sebagai penutup kami merasa perlu menyampaikan bahwa riwayat-riwayat ini 
mungkin hanya seperseribu riwayat yang mengungkapkan tentang alangkah indahnya 
kehidupan beliau. Mudah-mudahan dalam kesempatan lain ada di antara saudara 
kita bersedia menggoreskan tintanya tentang keilmuan, ketakwaan, amanah, 
santunnya beliau dan lain-lainnya. Sehingga tersimpullah bagi kita yang pemula, 
“Kalau sekiranya Ibnu Baz seorang imam kaum Muslimin yang hidup seribu lima 
ratus tahun setelah Rasulullah wafat, maka bagaimana halnya dengan orang yang 
menurunkan warisan semua ilmu para ulama, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi 
wasallam?, semoga Allah Ta’ala mengaruniakan pemahaman yang benar dan ketakwaan 
yang sempua kepada kita dan kepada seluruh kaum Muslimin, amin! 
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah shallallahu 
‘alaihi wasallam, keluarga dan para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti 
mereka dengan baik. 
 Maraji’: 

   Al-Quraanul Karim dan terjemahnnya 
   Shahih Imam Bukhari 
   Shahih Muslim syarah Imam Nawawi 
   Tafsir Thabari 
   Imamul ‘Ashar [Dr. Nasir bin Musfir az-Zahrani] 
   Imama al-‘Ashar Ibnu Baz wa al-Albani [Ma’had Imam Bukhari lis-Syari’ah 
Islamiyah] Libanon. 
  Oleh Abu Yahya Ahmad Rahimi 
Diketik ulang oleh: Ummu Abdillah (KSA) untuk Jilbab Online dari Majalah Islam 
Khazanah Islamiyah, penerbit Yayasan Badan Waqaf Al-‘Ubudiyah Pekanbaru Edisi 
Kedua. 


_Abu abdirrahman bin misdi al-carati
  
 __________________________________________________
Apakah Anda Yahoo!?
Lelah menerima spam?  Surat Yahoo! memiliki perlindungan terbaik terhadap spam  
http://id.mail.yahoo.com 

Kirim email ke