Maka kalau boleh saya 'tambahkan' (simpulkan?):

*1. Garis shaf
*Dengan memilih *pendapat yg lebih kuat*
*maka garis atau ujung sajadah tidak bisa kita dijadikan sutrah,
*Dengan demikian, kita kembalikan lagi 'fungsi' garis shaf itu
adalah sebagai panduan untuk meluruskan shaf makmum
(namanya juga 'garis shaf', bukan 'garis sutrah')

*2. Sutrah ketika shalat sendirian memakai sajadah
*Ketika kita shalat sendirian dgn memakai sajadah
maka kita jadikan *tembok atau pintu dsb menjadi sutrah* kita
yaitu dengan menempatkan sajadah (bagian sujud) merapat / mendekat ke tembok
Demikian juga ketika shalat sendirian di mesjid yg berkarpet atau yg ada garis shafnya
maka kita shalat dishaf depan, menghadap tembok, atau tiang/pilar,
atau menghadap punggung teman kita yg bersedia menjadi sutrah shalat,
atau benda2 lain yg sekiranya memenuhi syarat menjadi sutrah

*3. Shalat berjamaah
*Ketika shalat berjamaah maka *Imam-lah yg harus memakai sutrah*
sedangkan makmum bershaf-shaf dibelakangnya
Sehingga *tidak mengapa jika ada orang yg hendak lewat didepan makmum yg sedang shalat berjamaah *seperti orang lewat yg hendak *masuk shaf*, atau orang yg *batal lalu keluar dari shaf* untuk berwudhu.
*Yg jelas dilarang adalah lewat didepan Imam, yg memasuki daerah sutrahnya*.

*Tambahan (OOT)
*Di beberapa mesjid yg memakai panduan shaf dgn *karpet berbentuk sajadah berjejer *pada prakteknya ternyata malah *mengurangi kesempurnaan shalat yaitu merapatkan shaf
*Karena satu 'karpet sajadah' itu ukurannya melebihi lebar satu orang shalat
sehingga dua 'karpet sajadah' sebetulnya bisa dipakai untuk kira2 tiga orang yg rapat shafnya.
Makanya sering kita lihat akhirnya shaf makmum jadi renggang2,
krn masing2 ingin shalat di area 'sajadahnya'
sehingga akhirnya kita kesulitan untuk merapatkan shaf.

Hal ini berbeda dgn mesjid yg memakai panduan shaf menggunakan *karpet polos*
dengan corak atau garis lurus, membatasi shaf-shaf seukuran orang sujud
Karpet seperti ini *sangat cocok dan mempermudah makmum untuk saling merapatakan shaf ketika shalat* sehingga karpet semacam inilah yg cocok untuk menggantikan karpet2 'sajadah' itu
untuk menghindari renggangnya shaf
dan mempermudah makmum merapatkan shafnya

*"Hadits mengenai Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam membuat garis sebagai sutrah
tidak dapat dipakai"*

=== (awal kutipan)
*Kedua*: Sebagian ulama mengatakan tidak ada batasan tinggi dalam sutrah, artinya apa saja dapat dijadikan sebagai sutrah meskipun dalam bentuk *garis*. Hal ini didasarkan atas riwayat Abu Hurairah dari Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda: "Jika salah seorang di antara kalian shalat, maka jadikanlah tempat wajahnya (dalam sujud) *sesuatu (sebagai sutrah).* *Jika tidak ada* hendaklah dia *menancapkan tongkat*, *jika tidak ada* maka hendaklah dia *membuat garis* sehingga tidak tidak ada sesuatupun yang lewat dapat mengganggunya." (HR. Ahmad, dalam Fath ar-Rabbaniy: 3/127; Abu Dawud, 1/`27; Ibnu Majah, 1/303)

Namun demikian *hadits ini tidak dapat digunakan sebagai hujjah (dalil)* dalam masalah ini, dikarenakan beberapa hal: Bahwa hadits di atas berbicara tentang seseorang yang *tidak mendapat sutrah sebagaimana mestinya*, maka dengan demikian tidak dapat dijadikan alasan *kecuali dengan syarat tersebut*.

*Dari sisi sanad, hadits ini mudhtharib (guncang), *karena dalam riwayat ini kadangkalanya perawinya mengatakan hadits ini diriwayatkan dari Abi Amr bin Harits dari bapaknya dari Abu Hurairah dan kadangkalanya mengatakan hadits ini diriwayatkan dari Abi Amr bin Muhammad bin harits dari bapaknya dari Abu Hurairah dan kadangkalanya mengatakan hadits ini diriwayatkan dari Harits bin Amar dari Abu Hurairah dan lain-lain. (Lihat, Muqaddimah Ibnu Shalah, hal. 85; Talkhish al-Habir, 1/286 dan an-Naktun 'ala Ibnu Shalah, 2/772).

Dari argumentasi-argumentasi di atas jelaslah bagi kita bahwa *pendapat yang kuat adalah yang mengatakan bahwa batasan tinggi minimal sutrah adalah sehasta,* artinya *dalam kondisi memungkinkan* untuk mendapatkan sutrah setinggi tersebut maka tidak *dibenarkan mencukupkan dengan garis *atau sesuatu yang tingginya kurang dari sehasta kecuali dalam kondisi terpaksa. Yang jelas bagi setiap orang tidak diperkenankan shalat kecuali dengan menggunakan sutrah dalam kondisi apapun dan dalam bentuk apapun.
===(akhir kutipan)


===(awal kutipan)
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka: *Tidak boleh membuat sutrah dengan garis dalam keadaan dia mampu membuat dengan lainnya*, meskipun sutrah itu berupa: *tongkat, barang, kayu, atau tanah*. Walaupun dia harus mengumpulkan batu-batuan, lalu menyusunnya, sebagaimana yang dilakukan oleh Salamah bin al-Akwa` -radhiyallahu 'anhu-.

Dan yang sangat pantas disebutkan adalah: *Hadits tentang menjadikan garis sebagai sutrah adalah dha'if*. Telah *didha'ifkan oleh Sufyan bin Uyainah, asy-Syafi'i, al-Baghawy dan lainnya*. Ad-Daruquthni berkata: *"Tidak sah dan tidak tetap."* Asy-Syafi'i berkata dalam Sunan Harmalah: "Seorang yang shalat *tidak boleh membuat garis di depannya*, kecuali ada hadits yang tetap tentang hal itu, maka hadits itu diikuti."

Malik telah berkata dalam al-Mudawanah: *"Garis itu bathil."* Dan hadits itu telah *dilemahkan* oleh ulama yang datang di masa akhir, seperti Ibnu Shalah, an-Nawawi, al-Iraqi serta yang lainnya.[38]

[38] Lihat: Tamamul Minnah (hlm. 300-302), Ahkam as-Sutrah (hlm. 98-102), Syarah an-Nawawi atas Shahih Muslim (4/ 216), Tahdzib at-Tahdzib (12/ 199), Tarjamah (Abi 'Amr bin Muhammad bin Harits).

(Sumber: Qoulul Mubiin, syaikh Abu 'Ubaidah Masyhur bin Hasan bin Salman. Edisi Indonesia Koreksi atas Kekeliruan Praktek Ibadah Shalat, hlm. 75-88.)
===(akhir kutipan)

Wallahu'alam bishawab

Wassalamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh
Joy

Kirim email ke