Assalamu'alaykum,
Alhamdullillah berita bagus, ini cuma saran sedikit dari saya.
Sebaiknya bank syariah (100%), merger kerja sama dengan developer syariah, 
berbisnis perumahan atau kavling, tentunya dengan prioritas utama konsumen nya 
adalah untuk orang2 muslim yang betul betul menegakkan syariah, insha Allah 
orang2 itu akan amanah dan bertanggung jawab. Insha Allah jika usaha ini terus 
berkembang suatu saat akan terbentuk "Muslim Village" yang mana muamalah dan 
hukum nya akan berdasarkan syariah.
Semoga niat Pak Suwarno mendapat dukungan dari para pemodal yang teguh akan 
syariah yang benar.

Salam
umm Ismael


Suwarno <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh,

Afwan, ana hanya ingin menyampaikan bahwa praktek bank syariah atau BMT yang
ideal 100 % hanya bisa dilakukan, jika pemilik modal dan seluruh karyawan
yang menjalankan bener-bener memegang teguh pada hukum Allah.

Maka kepada ikhwan yang berminat serius untuk mendirikan BMT secara full
syariah,.....ana siap bergabung dengan ikhwan yang ingin menegakkan syariah
dengan serius.

Alhamdulillah, dengan pertolongan Allah , ana per 01 Oktober 2007 mengambil
pensiun dipercepat dari salah satu Unit Usaha Syariah Bank Swasta Nasional
(BII),

Insya Allah dengan pengalaman kerja di bank BII selama 17 thn lebih ( 15,5
thn di konvensioanal dan 1,5 thn di Syariah) serta bekal Manhaj Salafi
dengan uang pesangon yang saya peroleh dapat mendirikan BMT Syariah.

Jika ada khwan yang berminat , bisa menghubungi ke jafri.

Jazakallah khairan

Suwarno
0811-812368
0888-6190532

_____
From: Dhanny Kosasih [mailto:[EMAIL PROTECTED]
Sent: Friday, September 14, 2007 7:38 AM
To: assunnah@yahoogroups.com
Subject: RE: [assunnah]>>Menyoalkan produk syariah<<

Assalamu'alaykum warahmatullah,
Ana setuju dengan pendapat akh Abu Umair yg mengatakan bahwa kita harus
mengetahui kaidah-kaidah nya terlebih dahulu sebelum menyatakan ini haram
atau halal. Maka hendaknya orang-orang yang memiliki kemampuan mendudukan
masalah produk syari'ah ini menjelaskan disini dengan adil dan benar.
Masalah menempelkan kata syari'ah ini bukanlah hal yg sembarangan, jika
ditempatkan pada tempat yang salah maka itu menjadi dhalim. Jika benar,
"Bank Syari'ah" itu dapat mempertanggungjawab-kan kata "Syari'ah" maka
jelaskanlah dengan gamblang dan kaidah yg benar, jika masih belum bisa 100%
sesuai syari'ah maka buanglah jauh-jauh tempelan kata "syari'ah" itu. Tidak
sedikit orang yg menjadi ridha memakan uang riba (wana'udzubillah) hanya
karena stiker "Syari'ah" yg menempel ini, sehingga orang yg uang riba ini
menjadi tidak merasa bersalah sedikitpun karena terkecoh dgn stiker
tersebut. Kesulitan yg dihadapi dalam membangun sistem syari'ah tidak dapat
menghalalkan sesuatu yg haram. Sulit tetap sulit, dan haram tidaklah berubah
menjadi halal. Jika memang masih tidak mampu maka katakan tidak mampu.
Dengan keadaan yg terbuka seperti ini maka masyarakat akan mengetahui sikap
apa yg harus diambil seharusnya dan dapat merujuk pada fatwa para Ulama.
(diantara fatwa ulama mengenai masalah Bank:

Fatwa Syaikh Utsaimin tentang menyimpan uang di bank:
http://www.almanhaj.or.id/content/960/slash/0
Fatwa Syaikh Bin Baz mengenaitransfer uang melalui Bank Riba
http://www.almanhaj.or.id/content/1583/slash/0

Semoga Allah subhanawata'-ala selalu memberikan kita hidayah-Nya agar tetap
dijalan-Nya yg lurus.

Ibnu Shiynniy Dhanny Kosasih bin Gunawan Kosasih bin Koo Giong Hoa

_____
From: nugroho iman prakosa
Sent: 13 September 2007 23:15
To: [EMAIL PROTECTED] <mailto:assunnah%40yahoogroups.com> -s.com
Subject: RE: [assunnah]>>-Menyoalkan produk syariah<<

Assalamu'alaykum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Ana adalah seorang mahasiswa yang belajar di fakultas ekonomi di salah satu
perguruan tinggi negri di Jogjakarta. Saat ini ana baru mencoba untuk
mempelajari fiqh muamalayah maaliyah untuk ana terapkan dalam menilai
peristiwa2 ekonomi saat ini. Saat ana mengikuti salah satu dauroh diniyah
yang membahas masalah muamalah ternyata banyak ikhwah yang sangat awam
tentang permasalahan ini. Dalam dauroh tersebut dijelaskan bahwa saat ini
kondisi umat Islam secara ekstrem dapat di bagi menjadi 2 bagian. Yang
pertama adalah golongan yang tidak peduli dengan syariat sehingga
mengabaikan fiqh muamalah. Sedangkan yang kedua adalah golongan yang sangat
takut untuk melangkah. Mau berdagang takut, mau kerja di perusahaan takut,
mau begini takut, mau begitu takut, jangan2 riba, jangan2 haram. Alasannya
adalah sistem saat ini tidak ada yang syar'i. Akibatnya mereka tidak jadi
berdagang, tidak jadi kerja di perusahaan, dan jadilah penganggur.

Lalu bagaimana ahlusunnah wal jama'ah memandang permasalahan ini? Dalam
dauroh tersebut diterangkan bahwa ahlussunnah berada ditengah2 keduanya.
Tidak meremehkan dan juga tidak menakut-nakuti. Hal ini dikarenakan apa yang
kita makan sangat mempengaruhi doa, jiwa, ataupun kehidupan kita. Pengaruh
makanan dan minuman terhadap diri kita digambarkan dengan tegas oleh
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Salam dalam hadits yang diriwayatkan oleh
Abu Hurairah radhiallahuanhu, yang artinya:

"Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu dia berkata: Rasulullah
Shallallahu'-alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah ta'ala itu baik,
tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah memerintahkan orang
beriman sebagaimana dia memerintahkan para rasul-Nya dengan firmannya: Wahai
Para Rasul makanlah yang baik-baik dan beramal shalihlah. Dan Dia berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman makanlah yang baik-baik dari apa yang Kami
rizkikan kepada kalian. Kemudian beliau menyebutkan ada seseorang melakukan
perjalan jauh dalam keadaan kumal dan berdebu. Dia memanjatkan kedua
tangannya ke langit seraya berkata: Yaa Robbku, Ya Robbku, padahal
makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan kebutuhannya
dipenuhi dari sesuatu yang haram, maka (jika begitu keadaannya) bagaimana
doanya akan dikabulkan." (Riwayat Muslim).

Hadits ini merupakan tahdzir (peringatan) dari Rasulullah Shalallahu 'Alaihi
wa Salam tentang makanan. Makanan yang kita makan sangat mempengaruhi jiwa
kita. Jangan kita mengira bila kita memakan makanan yang enak, maka tubuh
kita akan menjadi sehat dan pikiran kita menjadi tenang. Namun lebih pantas
kiranya bagi seorang muslim untuk melihat dari mana makanan tersebut
berasal. Apakah dari sumber yang dihalalkan syari'at atau sebalikya. Karena
makanan yang paling baik bagi kaum muslimin adalah makanan yang halal dan
thoyib.

Dalam hadits tersebut Allah Subhanahu wa Ta'ala melalui lisan Rasul-Nya
menyatakan bahwa makanan, minuman, dan pakaian yang dikenakan seseorang
mempunyai pengaruh yang besar terhadap diterimanya doa. Hal ini sangat
penting untuk diperhatikan meski orang yang disebutkan dalam hadits di atas
telah mengamalkan sebab-sebab dikabulkannya doa. Yang pertama, orang
tersebut dalam keadaan safar. Yang kedua, keadaannya telah kusut masai. Hal
ini menjadikan orang tersebut lebih mungkin untuk merendahkan dirinya
dihadapan Allah daripada orang yang penuh kenikmatan. Yang ketiga, orang
tersebut telah mengangkat kedua tangannya ke langit. Kemudian yang keempat,
orang tersebut telah menggunakan asma ulhusna dalam doanya. Namun doa orang
tersebut tidak diterima hanya karena makanannya haram, minumannya haram,
pakaiannya haram, dan kebutuhannya dipenuhi dari sesuatu yang haram. Oleh
karena itu tampak sekali pentingnya mempelajari fiqh muamalah dalam hal ini.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa belajar fiqh pasti tidak lepas dari
adanya perbedaan pendapat. Dalam permasalahan muamalah banyak sekali saya
temukan perbedaan2 yang ada. Contoh kecilnya adalah perbedaan imam empat
mahzab dalam mengategorikan barang2 apa saja yang tergolong barang ribawi
(apakah hanya 6 barang atau dapat dikiaskan dengan yang semisal). Hal ini
lebih dikarenakan penalaran dan pendekatan untuk melihat suatu permasalahan
yang timbul berbeda2. Dan apabila argumen yang diajukan sama kuatnya, maka
tidak boleh bagi kita untuk memaksakan pendapat kita pada orang lain. Itulah
mengapa permasalahan muamalah menjadi suatu topik yang cukup rumit.
Mengenai Bank Syariah yang marak saat ini, ana memandang ada 2 sisi yang
saling bertolak belakang. Di satu sisi ekonom2 muslim memang ingin
memberikan alternatif yang syar'i bagi kaum muslimin. Namun di sisi lain ada
yang memanfaatkan Bank Syariah ini untuk komoditas berbisnis. Artinya,
ketika mereka melihat peluang bisnis di sektor syariah, maka mereka buat
"Bank Syariah". Hal inilah yang seharusnya menjadi perhatian kita kaum
muslimin yang mengaku bermanhaj salaf. Apakah kita yang mengaku bermanhaj
salaf ini akan membiarkan "Bank Syariah" yang selama ini kita kritik untuk
tidak menjadi syariah selamanya?

Bagaimana bila kita bersama2 mempelajari fiqh muamalah dan
mengaplikasikannya di kehidupan. Bukankah bila masyarakatnya sudah tahu yang
mana yang halal dan yang mana yang haram akan lebih mudah untuk menjadikan
"Bank Syariah" menjadi syariah? Atau dengan kata lain kita dapat
memanfaatkan transaksi2 yang diperbolehkan, dan menjauhi transaksi2 yang
masih dipandang menyalahi syariah. Apabila masyarakatnya telah paham, maka
dengan sendirinya transaksi2 yang menyalahi syariah tersebut akan
tereliminasi (karena tidak laku di pasaran).
Jika kita hanya melihat dari penamaannya saja (dan hanya mau
menyalahkannya)-, memang penamaan Bank dengan embel2 syariah mempunyai
konsekuensi yang luar biasa berat. Dan ironisnya banyak dari mereka (para
praktisi) yang tidak menyadari hal ini. Apakah kita akan berdiam diri saja
ya akhi? Bukankah kita disuruh oleh Rasulullah untuk menolong orang
didholimi dan orang berbuat dholim? Kalo kita melarikan diri terhadap
permasalahan ini, tentu kita hanya akan memperkeruh suasana. Sebagian
saudara kita berjuang semaksimal mungkin untuk menerapkan syariah, tetapi
kita malah mengkritik habis tanpa memberikan solusi.
Saudaraku, ada baiknya bila kita mengerti kaidah2 fiqh terlebih dahulu
sebelum kita menyalahkan seseorang. Sebagai contoh menyoal jual beli rumah
yang dibayarkan sebelum rumah tersebut jadi, kemudian ada sebagian ikhwan
yang menyamakannya dengan jual beli telor yang masih dalam kandungan. Maka
hal tersebut membutuhkan perincian. Apakah antum mengerti tentang bai'
salam? Dalam bai' salam jual belinya mirip dengan ijon, hanya saja jenisnya
telah ditentukan di awal dan harganya dibayar dimuka (coba buka kembali
kitab fiqh antum tentang pembahasan buyu'). Dan bagaimana bila tidak dibayar
dimuka (dicicil misalnya)? Hal ini pernah ana tanyakan kepada ustadz, memang
namanya sudah bukan lagi bai' salam tetapi tidak ada yang salah dari
transaksi tersebut selama ada hak khiyar apabila barang yang dijanjikan
tidak sesuai permintaan dan tidak menyalahi kaidah2 yang lain. Sebagai
contoh, ana memesan baju kepada penjahit, kemudian ana bayar DP terlebih
dahulu, apakah hal tersebut haram hanya karena baju tersebut belum jadi dan
dianggap gharar?
Ana sepenuhnya setuju untuk tidak mencampurkan yang haq dengan yang bathil.
Jadi apabila ternyata dalam "Bank Syariah" ada transaksi yang menyalahi
syariah, bank tersebut harus fair untuk menyatakannya sebagai transaksi yang
tidak syar'i. Sehingga tidak membohongi sebagian masyarakat yang pada
hakikatnya menginginkan transaksi yang syar'i.

Menurut ana kita juga harus lebih membuka diri mengenai permasalahan ini.
Karena tidak semua BMT atau Bank Syariah menerapkan cara yang sama. Justru
kitalah yang harus kritis untuk memilahnya. Mungkin namanya bisa sama2
bagi-hasil atau sama2 murabahah, tapi praktik antar bank bisa beda. Dan jika
kita hanya bisa memojokkan "Bank Syariah", maka apakah kita dapat berbuat
yang lebih baik? Tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat kita saat ini belum
siap untuk diterapkan ekonomi syariah. Ana mengambil contoh permasalahan
klasik di BMT atau "Bank Syariah" manapun dalam akad bagi hasil. Menurut
pengakuan salah satu manajer di BMT yang pernah ana kunjungi, ada
permasalahan yang cukup pelik yang menyebabkan BMT tersebut tidak bisa
menghindari untuk tercelup kepada riba. Bagaimana tidak, ketika BMT tersebut
menawarkan bagi-hasil yang sudah sesuai syariat, ternyata debitur yang
memerlukan modal tersebut tidak tahu cara menghitung labanya dan tidak mau
untuk pusing2 menghitung karena memang keterbatasan mereka. Mereka sudah
terbiasa dengan sistem riba yang mengharuskan mereka mengembalikan dengan
nominal yang pasti. Hal inilah yang menyebabkan pusing 7 keliling para DPS
(Dewan Pengawas Syariah) untuk "meridhoi" transaksi riba tersebut. Lalu
apakah antum bisa mencarikan solusinya? Dan bila ternyata solusi yang antum
tawarkan sangat brilian, maka bukan mustahil "Bank2 Syariah" yang ada saat
ini untuk mengganti cara2 yang selama ini masih salah.

Wallahuta'ala a'lam. Wasalallahu wasalamu'ala nabiyyina Muhammad, wa 'ala
aalihi washahbihi 'ajma'in.

Wassalamualaykum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Abu 'Umair
Semoga Allah mengampuninya.


Website anda: http://www.assunnah.or.id & http://www.almanhaj.or.id
Website audio: http://assunnah.mine.nu
Berhenti berlangganan: [EMAIL PROTECTED]
Ketentuan posting : http://www.assunnah.or.id/ragam/aturanmilis.php 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke