waalaikum salaam
Dari ketiga alasan yang dikemukakan maka yang tepat adalah yang pertama karena 
memang boleh manjama di rumah dulu ketika memang akan melakukan perjalanan jauh 
atau safar dan apalagi memang tempat sholat yang tidak syar'i karena kecil dan 
berdesakan.
Jamak sholat adalah rukshoh bagi musafir maka ambillah rukshoh dan janganlah 
memberatkan diri dengan apa yang sudah Alloh beri keringanan perkaranya.
Untuk yang sholat jumat maka dapat sholat di dalam kendaraan dengan tata cara 
yang syar'i jika memang sebelum berangkat belum masuk waktu sholat ashar.

Hidayatullah ibnu Rahmad


SHALAT DALAM KENDARAAN

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : "Kapan wajib shalat di pesawat 
? Bagaimana tata cara shalat fardhu padanya ? Dan bagaimana pula cara shalat 
sunnah padanya ?

Jawaban.
Shalat di pesawat wajib dilakukan bila telah masuk waktunya. Tetapi jika 
kesulitan melakukan shalat di pesawat sebagaimana shalat di bumi, maka tidak 
usah melakukan shalat fardhu kecuali jika pesawat telah mendarat, dan waktu 
shalat masih mencukupi. Atau jika waktu shalat berikutnya masih bisa ditemui 
untuk melakukan jamak.

Misalnya, jika anda tinggal landas dari Jeddah sebelum matahari terbenam, lalu 
saat diudara matahari telah terbenam maka anda tidak usah shalatmaghrib sampai 
pesawat mendarat di bandara, dan anda turun padanya. Jika anda khawatir 
waktunya habis maka niatkanlah untuk melakukan jamak ta'khir lalu melakukan 
jamak setelah turun. Jika anda khawatir waktu isya' akan habis sebelum 
mendarat, sedang waktu isya' yakni sampai pertengahan malam maka hendaklah ia 
shalat maghrib dan isya' di pesawat sebelum waktunya habis.

Tata cara shalat di pesawat yaitu hendaknya orang itu berdiri menghadap kiblat 
lalu bertakbir, membaca fatihah dan sebelumnya membaca do'a iftitah, sedang 
sesudahnya membaca surat Al-Qur'an, lalu ruku', lalu bangkit dari ruku', lalu 
bersujud. Bila tidak bisa bersujud cukup dengan duduk seraya menundukkan kepala 
sebagai pengganti sujud. Begitulah yang harus ia perbuat sampai akhir dan 
kesemuanya menghadap kiblat.

Untuk shalat sunnah dalam pesawat maka ia shalat dengan duduk di atas kursinya 
dan menganggukkan kepala dalam ruku' dan sujud dengan angggukan sujudnya lebih 
rendah. Allah-lah yang memberi petunjuk.

Ditulis 22/4/1409H

[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa 
Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Penulis Syaikh 
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerbit Pustaka Arafah]


SEPUTAR HUKUM SHALAT JAMA' DAN QASHAR

Oleh
Ustadz Abdullah Shaleh Al-Hadrami

MAKNA DAN HUKUM QASHAR.
Qashar adalah meringkas shalat empat rakaat (Dhuhur, Ashar dan Isya) menjadi 
dua rakaat.[1]

Dasar mengqashar shalat adalah Al-Qur'an, As-Sunnah dan Ijma' (kesepakatan para 
ulama).[2]

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman

"Artinya : Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu 
mengqashar salatmu, jika kamu takut di serang orang-orang kafir"[An-Nisaa': 101]

Dari Ya'la bin Umayyah bahwasanya dia bertanya kepada Umar ibnul Kaththab 
radhiallahu anhu tentang ayat ini seraya berkata: "Jika kamu takut di serang 
orang-orang kafir", padahal manusia telah aman ?!. Sahabat Umar radhiallahu 
anhu menjawab: Aku sempat heran seperti keherananmu itu lalu akupun bertanya 
kepada Rasulullah -shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tentang hal itu dan 
beliau menjawab:(Qashar itu) adalah sedekah dari Allah kepadamu, maka 
terimahlah sedekah Allah tersebut.[3]

"Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata: Allah menentukan shalat melalui 
lisan Nabimu shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam empat raka'at apabila 
hadhar (mukim) dan dua raka'at apabila safar"[4]

"Dari Umar radhiallahu anhu berkata: Shalat safar (musafir) adalah dua raka'at, 
shalat Jum'at adalah dua raka'at dan shalatIed adalah dua raka'at"[5]

Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma berkata:Aku menemani Rasulullah shallallahu 
alaihi wa'ala alihi wasallam dalam safar dan beliau tidak pernah menambah atas 
dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Abu Bakar radhiallahu anhu dan 
beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku 
menemani Umar radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas duaraka'at 
sampai wafat, kemudian aku menemani Utsman radhiallahu anhu dan beliau tidak 
pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat. Dan Allah subhaanahu wa ta'ala 
telah berfirman :Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri 
tauladan yang baik bagimu."[Al-Ahzaab : 21][6]

Berkata Anas bin Malik radhiallahu anhu: Kami pergi bersama Rasulullah 
shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam dari kota Madinah ke kota Mekkah, maka 
beliaupun shalat dua-dua (qashar) sampai kami kembali ke kota Madinah”[7]

JARAK SAFAR YANG DIBOLEHKAN MENGQASHAR.
Qashar hanya boleh di lakukan oleh musafir -baik safar dekat atau safar jauh-, 
karena tidak ada dalil yang membatasi jarak tertentu dalam hal ini, jadi 
seseorang yang bepergian boleh melakukan qashar apabila bepergiannya bisa di 
sebut safar menurut pengertian umumnya. Sebagian ulama memberikan batasan 
dengan safar yang lebih dari delapan puluh kilo meter agar tidak terjadi 
kebingunan dan tidak rancu, namun pendapat ini tidak berdasarkan dalil sahih 
yang jelas.[8]

Apabila terjadi kerancuan dan kebingungan dalam menetukan jarak atau batasan 
diperbolehkannya mengqashar shalat maka tidak mengapa kita mengikuti pendapat 
yang menentukan jarak dan batasan tersebut –yaitu sekitar 80 atau 90 kilo 
meter-, karena pendapat ini juga merupakan pendapat para imam dan ulama yang 
layak berijtihad.[9]

Seorang musafir diperbolehkan mengqashar shalatnya apabila telah meninggalkan 
kampung halamannya sampai dia pulang kembali ke rumahnya.[10]

Berkata Ibnul Mundzir: Aku tidak mengetahui (satu dalilpun) bahwa Rasulullah 
shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam mengqashar dalam safarnya melainkan 
setelah keluar (meninggalkan) kota Madinah.

Berkata Anas radhiallahu anhu : Aku shalat bersama Rasulullah shallallahu 
alaihi wa'ala alihi wasallam di kota Madinah empat raka¡¦at dan di Dzul 
Hulaifah (luar kota Madinah) dua raka'at"[11]


SAMPAI KAPAN MUSAFIR BOLEH MENGQASHAR.
Para ulama berbeda pendapat tentang batasan waktu sampai kapan seseorang 
dikatakan sebagai musafir dan diperbolehkan meng-qashar (meringkas) shalat. 
Jumhur (sebagian besar) ulama yang termasuk didalamnya imam empat: Hanafi, 
Maliki, Syafi'i dan Hambali rahimahumullah berpendapat bahwa ada batasan waktu 
tertentu. Namun para ulama yang lain diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 
Ibnul Qayyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad Rasyid Ridha, Syaikh 
Abdur Rahman As-sa'di, Syaikh Bin Baz, Syaikh Utsaimin dan para ulama lainnya 
rahimahumullah berpendapat bahwa seorang musafir diperbolehkan untuk 
meng-qashar shalat selama ia mempunyai niatan untuk kembali ke kampung 
halamannya walaupun ia berada di perantauannya selama bertahun-tahun. Karena 
tidak ada satu dalilpun yang sahih dan secara tegas menerangkan tentang batasan 
waktu dalam masalah ini. Dan pendapat inilah yang rajih (kuat) berdasarkan 
dalil-dalil yang sangat banyak, diantaranya:

Sahabat Jabir ¡Vradhiallahu anhu meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah 
shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tinggal di Tabuk selama dua puluh hari 
meng-qashar shalat.[12]

Sahabat Ibnu Abbas radhiallahu anhuma meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah 
shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tinggal di Makkah selama sembilan 
belas hari meng-qashar shalat.[13]

Nafi' rahimahullah meriwayatkan, bahwasanya Ibnu Umar radhiallahu anhuma 
tinggal di Azzerbaijan selama enam bulan meng-qashar shalat.[14]

Dari dalil-dalil diatas jelaslah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala 
alihi wasallam tidak memberikan batasan waktu tertentu untuk diperbolehkannya 
meng-qashar shalat bagi musafir (perantau) selama mereka mempunyai niatan untuk 
kembali ke kampung halamannya dan tidak berniat untuk menetap di 
daerahperantauan tersebut.[15]

SHALAT TATHAWWU / NAFILAH / SUNNAH BAGI MUSAFIR.
Jumhur ulama (mayoritas) berpendapat bahwa tidak mengapa dan tidak makruh 
shalat nafilah/ tathawwu bagi musafir yang mengqashar shalatnya, baik nafilah 
yang merupakan sunnah rawatib (qobliyah dan ba'diyah) maupun yang lainnya. 
Dalil mereka adalah bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi 
wasallam shalat delapan raka¡¦at pada hari penaklukan kota Makkah atau Fathu 
Makkah dan beliau dalam keadaan safar.[16]

Sebagian ulama berpendapat bahwa yang di syari'atkan adalah meninggalkan (tidak 
mengerjakan) shalat sunnah rawatib (qobliyah dan ba'diyah) saja ketika safar, 
dalil mereka adalah riwayat dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma bahwasanya beliau 
melihat orang-orang (musafir) yang shalat sunnah rawatib setelah selesai shalat 
fardhu, maka beliaupun berkata: Kalau sekiranya aku shalat sunnah rawatib 
setelah shalat fardhu tentulah aku akan menyempurnakkan shalatku (maksudnya 
tidak mengqashar). Wahai saudaraku, sungguh aku menemani Rasulullah shallallahu 
alaihi wa'ala alihi wasallam dalam safar dan beliau tidak pernah menambah atas 
dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Abu Bakar radhiallahu anhu dan 
beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku 
menemani Umar radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua 
raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Utsman radhiallahu anhu dan beliau 
tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai
wafat. Dan Allah subhaanahu wa ta'ala telah berfirman : “Sesungguhnya telah ada 
pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu”.[Al-Ahzaab: 21][17]

Adapun shalat-shalat sunnah/nafilah/tathawwu' lainnya seperti shalat malam, 
witir, sunnah fajar, dhuha, shalat yang ada sebab –sunnah wudhu dan tahiyyatul 
masjid- dan tathwwu muthlak adalah tidak mengapa dilakukan dan bahkan tetap di 
syari'atkan berdasarkan hadis-hadis sahih dalam hal ini.[18]


JAMA'.
Menjama' shalat adalah mengabungkan antara dua shalat (Dhuhur dan Ashar atau 
Maghrib dan 'Isya') dan dikerjakan dalam waktu salah satunya. Boleh seseorang 
melakukan jama'taqdim dan jama'ta'khir.[19]

Jama'taqdim adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat 
pertama, yaitu; Dhuhur dan Ashar dikerjakan dalam waktu Dhuhur, Maghrib dan 
'Isya' dikerjakan dalam waktu Maghrib. Jama' taqdim harus dilakukan secara 
berurutan sebagaimana urutan shalat dan tidak boleh terbalik.

Adapun jama' ta'khir adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu 
shalat kedua, yaitu; Dhuhur dan Ashar dikerjakan dalam waktu Ashar, Maghrib dan 
'Isya'dikerjakan dalam waktu, Isya', Jama' ta'khir boleh dilakukan secara 
berurutan dan boleh pula tidak berurutan akan tetapi yang afdhal adalah 
dilakukan secara berurutan sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah 
shallallahuhu alaihi wa'ala alihi wasallam.[20]

Menjama' shalat boleh dilakukan oleh siapa saja yang memerlukannya - baik 
musafir atau bukan- dan tidak boleh dilakukan terus menerus tanpa udzur, jadi 
dilakukan ketika diperlukan saja.[21]

Termasuk udzur yang membolehkan seseorang untuk menjama' shalatnya dalah 
musafir ketika masih dalan perjalanan dan belum sampai di tempat tujuan[22] , 
turunnya hujan [23] , dan orang sakit.[24]

Berkata Imam Nawawi rahimahullah:Sebagian imam (ulama) berpendapat bahwa 
seorang yang mukim boleh menjama' shalatnya apabila di perlukan asalkan tidak 
di jadikan sebagai kebiasaan."[25]

Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata, bahwasanya Rasulullah shallallahu 
alaihi wa'ala alihi wasallam menjama antara dhuhur dengan ashar dan antara 
maghrib dengan isya' di Madinah tanpa sebab takut dan safar (dalam riwayat 
lain; tanpa sebab takut dan hujan). Ketika ditanyakan hal itu kepada Ibnu Abbas 
radhiallahu anhuma beliau menjawab: Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala 
alihi wasallam tidak ingin memberatkan ummatnya.[26]


MENJAMA'JUM'AT DENGAN ASHAR.
Tidak diperbolehkan menjama' (menggabung) antara shalat Jum'at dan shalat Ashar 
dengan alasan apapun baik musafir, orang sakit, turun hujan atau ada keperluan 
dll-, walaupun dia adalah orang yang di perbolehkan menjama' antara Dhuhur dan 
Ashar.

Hal ini di sebabkan tidak adanya dalil tentang menjama' antara Jum'at dan 
Ashar, dan yang ada adalah menjama' antara Dhuhur dan Ashar dan antara Maghrib 
dan Isya'. Jum'at tidak bisa diqiyaskan dengan Dhuhur karena sangat banyak 
perbedaan antara keduanya. Ibadah harus dengan dasar dan dalil, apabila ada 
yang mengatakan boleh maka silahkan dia menyebutkan dasar dan dalilnya dan dia 
tidak akan mendapatkannya karena tidak ada satu dalilpun dalam hal ini.

Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam bersabda: Barang siapa 
membuat perkara baru dalam urusan kami ini (dalam agama) yang bukan dari 
padanya (tidak berdasar) maka tertolak.[27]

Dalam riwayat lain: Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada 
perintah kami (tidak ada ajarannya) maka amalannya tertolak.[28]

Jadi kembali kepada hukum asal, yaitu wajib mendirikan shalat pada waktunya 
masing-masing kecuali apabila ada dalil yang membolehkan untuk menjama¡¦ 
(menggabungnya) dengan shalat lain.[29]


JAMA' DAN SEKALIGUS QASHAR.
Tidak ada kelaziman antara jama' dan qashar. Musafir di sunnahkan mengqashar 
shalat dan tidak harus menjama', yang afdhal bagi musafir yang telah 
menyelesaikan perjalanannya dan telah sampai di tujuannya adalah mengqashar 
saja tanpa menjama' sebagaimana dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala 
alihi wasallam ketika berada di Mina pada waktu haji wada', yaitu beliau hanya 
mengqashar saja tanpa menjama,[30] dan beliau shallallahu alaihi wa'ala alihi 
wasallam pernah melakukan jama'sekaligus qashar pada waktu perang 
Tabuk.[31]Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam selalu melakukan 
jama' sekaligus qashar apabila dalam perjalanan dan belum sampai 
tujuan.[32]Jadi Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam sedikit 
sekali menjama' shalatnya karena beliau shallallahu alaihi wa'ala alihi 
wasallam melakukannya ketika diperlukan saja.[33]


MUSAFIR SHALAT DI BELAKANG MUKIM.
Shalat berjama¡¦ah adalah wajib bagi orang mukim ataupun musafir, apabila 
seorang musafir shalat di belakang imam yang mukim maka dia mengikuti shalat 
imam tersebut yaitu empat rakaat, namun apabila dia shalat bersama-sama musafir 
maka shalatnya di qashar (dua raka'at). Hal ini di dasarkan atas riwayat sahih 
dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma. Berkata Musa bin Salamah: Suatu ketika kami 
di Makkah (musafir) bersama Ibnu Abbas, lalu aku bertanya: Kami melakukan 
shalat empat raka'at apabila bersama kamu (penduduk Mekkah), dan apabila kami 
kembali ke tempat kami (bersama-sama musafir) maka kami shalat dua raka'at ? 
Ibnu Abbas radhiallahu anhuma menjawab: Itu adalah sunnahnya Abul Qasim 
(Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallaӬ[34]


MUSAFIR MENJADI IMAM ORANG MUKIM.
Apabila musafir dijadikan sebagai imam orang-orang mukim dan dia mengqashar 
shalatnya maka hendaklah orang-orang yang mukim meneruskan shalat mereka sampai 
selesai (empat raka'at), namun agar tidak terjadi kebingungan hendaklah imam 
yang musafir memberi tahu makmumnya bahwa dia shalat qashar dan hendaklah 
mereka (makmum yang mukim) meneruskan shalat mereka sendiri-sendiri dan tidak 
mengikuti salam setelah dia (imam) salam dari dua raka'at. Hal ini pernah di 
lakukan Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam ketika berada di 
Makkah (musafir) dan menjadi imam penduduk Mekkah, beliau shallallahu alaihi 
wa'ala alihi wasallam berkata: Sempurnakanlah shalatmu (empat raka’at) wahai 
penduduk Mekkah ! Karena kami adalah musafir.[35] Beliau shallallahu alaihi 
wa'ala alihi wasallam shalat dua-dua (qashar) dan mereka meneruskan sampai 
empat raka'at setelah beliau salam.[36]

Apabila imam yang musafir tersebut khawatir membingungkan makmumnya dan dia 
shalat empat raka'at (tidak mengqashar) maka tidaklah mengapa karena hukum 
qashar adalah sunnah mu'akkadah dan bukan wajib.[37]


SHALAT JUM¡¦AT BAGI MUSAFIR.
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa tidak ada shalat Jum'at bagi usafir, namun 
apabila musafir tersebut tinggal di suatu daerah yang diadakan shalat Jum'at 
maka wajib atasnya untuk mengikuti shalat um'at bersama mereka. Ini adalah 
pendapat imam Malik, imam Syafi'i, Ats-Tsauriy, Ishaq, Abu Tsaur, dll.[38]

Dalilnya adalah bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa'ala alihi 
wasallam apabila safar (bepergian) tidak shalat Jum'at dalam safarnya, juga 
ketika Haji Wada' Beliau shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tidak 
melaksanakan shalat Jum'at dan menggantinya dengan shalat Dhuhur yang dijama' 
(digabung) dengan Ashar[39]. Demikian pula para Khulafa Ar-Rasyidun (empat 
khalifah) radhiallahu anhum dan para sahabat lainnya radhiallahu anhum serta 
orang-orang yang setelah mereka apabila safar tidak shalat Jum'at dan 
menggantinya dengan Dhuhur.[40]

Dari Al-Hasan Al-Basri, dari Abdur Rahman bin Samurah berkata: Aku tinggal 
bersama dia (Al-Hasan Al-Basri) di Kabul selama dua tahun mengqashar shalat dan 
tidak shalat Jum'at"

Sahabat Anas radhiallahu anhu tinggal di Naisabur selama satu atau dua tahun, 
beliau tidak melaksanakan shalat Jum'at.

Ibnul Mundzir -rahimahullah menyebutkan bahwa ini adalah Ijma' (kesepakatan 
para ulama') yang berdasarkan hadis sahih dalam hal ini sehingga tidak di 
perbolehkan menyelisihinya.[41]

Wallahu A'lam dan Semoga Bermanfaat.

[Disalin dari tulisan yang disusun oleh Ustadz Abdullah Shaleh Al-Hadrami. 
Beliau adalah salah seorang ustadz yang berdomisili dan banyak memberi 
pengajaran di kota Malang, Jawa Timur]
__________
Foote Note
[1]. Lihat Tafsir Ath-Thabari 4/244, Mu'jamul Washit hal 738.
[2]. Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/104 dan Al-Majmu' Syarah Muhadzdzab 4/165.
[3]. HR. Muslim, Abu Dawud dll. Lihat Al-jami'li Ahkamil Qur'an, Al- Qurthubi 
5/226-227.
[4]. HR. Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud dll.
[5]. HR. Ibnu Majah dan An-Nasa'i dll dengan sanad sahih. Lihat sahih Ibnu 
Majah 871 dan Zaadul Ma'ad, Ibnul Qayim 1/467
[6]. HR. Bukhari dan Muslim dll. Lihat Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnati wal Kitabil 
Aziz, Abdul Adhim bin Badawi Al-Khalafi 138.
[7]. HR. Bukhari dan Muslim.
[8]. Lihat Al-Muhalla, Ibnu Hazm 21/5, Zaadul Ma'ad, Ibnul Qayyim
1/481, Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq 1/307-308, As-Shalah, Prof.Dr. Abdullah 
Ath-Thayyar 160-161, Al-Wajiz, Abdul Adhim Al-Khalafi 138 dll.
[9]. Lihat Majmu'Fatawa Syaikh Utsaimin 15/265.
[10]. Al-Wajiz, Abdul ¡¥Adhim Al-Khalafi 138
[11]. HR. Bukhari, Muslim dll.
[12]. HR. Imam Ahmad dll dengan sanad sahih.
[13] HR. Bukhari dll
[14]. Riwayat Al-Baihaqi dll dengan sanad sahih
[15]. Lihat Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin jilid 15, Irwa'ul Ghalil Syaikh 
Al-Albani jilid 3, Fiqhus Sunnah 1/309-312.
[16]. HR. Bukhari dan Muslim.
[17]. HR. Bukhari. Lihat Zaadul Ma'ad, Ibnul Qayyim 1/315-316, 473-475, Fiqhus 
Sunah 1/312-313, Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/223-229. Majmu' Fatawa Syaikh 
Utsaimin 15/254.
[18].Kitab Ad-Dakwah, Bin Baz, lihat As-Shalah, Prof.Dr. Abdullah Ath-Thayyar 
308.
[19]. Lihat Fiqhus Sunnah 1/313-317.
[20]. Lihat Fatawa Muhimmah, Syaikh Bin Baz 93-94, Kitab As-Shalah, Prof.Dr. 
Abdullah Ath-Thayyar 177.
[21]. Lihat Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/308-310 dan Fiqhus Sunnah 1/316-317.
[22]. HR. Bukhari dan Muslim
[23]. HR. Muslim, Inbu Majah dll.
[24]. Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/310, Al-Wajiz, Abdul Adhim bin Badawi 
Al-Khalafi 139-141, Fiqhus Sunnah 1/313-317
[25]. Lihat syarh Muslim, imam Nawawi 5/219 dan Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal 
Kitabil Aziz 141.
[26]. HR. Muslim dll. Lihat Sahihul Jami¡¦ 1070.
[27]. HR. Bukhari 2697 dan Muslim 1718.
[28]. HR. Muslim.
[29]. Lihat Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin 15/ 369-378
[30]. Lihat Sifat haji Nabi shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam karya 
Al-Albani.
[31]. HR. Muslim. Lihat Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/308-309.
[32]. As-Shalah, Prof.Dr. Abdullah Ath-Thayyar 181. Pendapat ini adalah 
merupakan fatwa para ulama termasuk syaikh Abdul Aziz bin Baz.
[33]. Lihat Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/ 308.
[34]. Riwayat Imam Ahmad dengan sanad sahih. Lihat Irwa'ul Ghalil no
571 dan Tamamul Minnah, Syaikh Al-Albani 317
[35]. HR. Abu Dawud..
[36]. Lihat Al-Majmu' Syarah Muhadzdzab 4/178 dan Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin 
15/269
[37]. Lihat Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdullah bin Abdir Rahman Al- Bassam 
2/294-295
[38]. Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216, Al-Majmu'Syarh Muhadzdzab, Imam 
Nawawi 4/247-248, lihat pula Majmu'Fatawa Syaikh Utsaimin 15/370.
[39].Lihat Hajjatun Nabi shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam Kama Rawaaha 
Anhu Jabir -radhiallahu anhu, Karya Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani hal 73.
[40]. Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216.
[41]. Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216


Lalu Yuslis <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
Assalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh
Pertanyaan Masalah Safar dan Jama dalam Shalat, kasusnya sbb.

Sekitar 14.30 ba'da dhuhur, kami harus meninggalkan rumah (safar) dari
Mataram Lombok menuju pelabuhan kayangan untuk mengejar jadwal boat
perusahaan ke Benete Sumbawa jam 17.00. Untuk melakukan shalat ashar, di
pelab kayangan hanya tersedia satu kontainer kecil sbg musholla. Selama
ini saya melihat hanya 1 atau 2 org perempuan saja yg menyempatkan diri
shalat dan terpaksa bergabung dgn jamaah laki. Sementara sbagian lain
mengatakan telah menjamak sholat mereka di "rumah". Alasan mereka
beragam:

1. karena safar mereka menjamak dhuhur dan ashar di rumah
2. karena musholla yg tersedia di pelab terlalu kecil sehingga
harus antre dan risih bergabung dengan jamaah laki.
3. sesekali menjamak di rumah, dan sesekali shalat ashar di
pelabuhan (seolah keduanya benar)

Pertanyaan ana:
1. bagaimana hukum menjamak shalat bagi yang melakukan safar, dan mana
yang benar dari ketiga alasan jamaah perempuan di atas"
2. sebaliknya kami pulang dari sumbawa ke mataram setiap hari jumat
siang dan sebelum ashar (sementara jadwal boat jam 15.30) dan tiba di
mataram telah masuk waktu maghrib. untuk itu sebagian besar menjamak
qashar shalat ashar usai shalat jumat. Nah dari yang saya fahami bahwa
tidak boleh menggabung, karena shalat jumat bukan dikiaskan dgn shalat
dhuhur (mhon diluruskan bila saya salah). Mohon saran beserta dalilnya
yang terbaik kami lakukan.

Mohon maaf agak panjang terima kasih
Wassalam
Yuslis


---------------------------------
Kunjungi halaman depan Yahoo! Indonesia yang baru!


Website anda: http://www.assunnah.or.id & http://www.almanhaj.or.id
Website audio: http://assunnah.mine.nu
Berhenti berlangganan: [EMAIL PROTECTED]
Ketentuan posting : http://milis.assunnah.or.id/mlbios.php/aturanmilis/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke