ADAB BERHUTANG : ETIKA BERHUTANG

Oleh
Ustadz Armen Halim Naro Lc
http://www.almanhaj.or.id/content/2285/slash/0

ETIKA BERHUTANG
[1]. Hutang tidak boleh mendatangkan keuntungan bagi si pemberi hutang
Kaidah fikih berbunyi : “Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka 
hukumnya riba”. Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau 
menjanjikan penambahan. Sedangkan menambah setelah pembayaran merupakan 
tabi’at orang yang mulia, sifat asli orang dermawan dan akhlak orang yang 
mengerti membalas budi.

Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah- berkata : “Hendaklah diketahui, 
tambahan yang terlarang untuk mengambilnya dalam hutang adalah tambahan yang 
disyaratkan. (Misalnya), seperti seseorang mengatakan “saya beri anda hutang 
dengan syarat dikembalikan dengan tambahan sekian dan sekian, atau dengan 
syarat anda berikan rumah atau tokomu, atau anda hadiahkan kepadaku 
sesuatu”. Atau juga dengan tidak dilafadzkan, akan tetapi ada keinginan 
untuk ditambah atau mengharapkan tambahan, inilah yang terlarang, adapun 
jika yang berhutang menambahnya atas kemauan sendiri, atau karena dorongan 
darinya tanpa syarat dari yang berhutang ataupun berharap, maka tatkala itu, 
tidak terlarang mengambil tambahan. [6]

[2]. Kebaikan (seharusnya) dibalas dengan kebaikan
Itulah makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tertera dalam surat 
Ar-Rahman ayat 60, semestinya harus ada di benak para penghutang, Dia telah 
memperoleh kebaikan dari yang memberi pinjaman, maka seharusnya dia 
membalasnya dengan kebaikan yang setimpal atau lebih baik. Hal seperti ini, 
bukan saja dapat mempererat jalinan persaudaraan antara keduanya, tetapi 
juga memberi kebaikan kepada yang lain, yaitu yang sama membutuhkan seperti 
dirinya. Artinya, dengan pembayaran tersebut, saudaranya yang lain dapat 
merasakan pinjaman serupa.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata.
“Artinya : Nabi mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta 
dengan usia tertentu.orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun 
berkata, “Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan 
untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari 
untanya. Nabi (pun) berkata : “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau 
telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas 
dengan setimpal”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam pengembalian” [7]

Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu ia berkata.
“Aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid, sedangkan 
beliau mempunyai hutang kepadaku, lalu beliau membayarnya dam 
menambahkannya” [8]

[3]. Berhutang dengan niat baik
Jika seseorang berhutang dengan tujuan buruk, maka dia telah zhalim dan 
melakukan dosa. Diantara tujuan buruk tersebut seperti.
a). Berhutang untuk menutupi hutang yang tidak terbayar
b). Berhutang untuk sekedar bersenang-senang
c). Berhutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak 
diberi, maka digunakan istilah hutang agar mau memberi.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi Shallallahu 
‘alaihi wa sallam telah bersabda : “Barangsiapa yang mengambil harta orang 
(berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah 
Subhanahu wa Ta’ala akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya 
untuk menghabiskannya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membinasakannya” 
[9]

Hadits ini hendaknya ditanamkan ke dalam diri sanubari yang berhutang, 
karena kenyataan sering membenarkan sabda Nabi diatas [10] Berapa banyak 
orang yang berhutang dengan niat dan azam untuk menunaikannya, sehingga 
Allah pun memudahkan baginya untuk melunasinya. Sebaliknya, ketika seseorang 
berazam pada dirinya, bahwa hutang yang dia peroleh dari seseorang tidak 
disertai dengan niat yang baik, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala membinasakan 
hidupnya dengan hutang tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala melelahkan 
badannya dalam mencari, tetapi tidak kunjung dapat. Dan dia letihkan jiwanya 
karena memikirkan hutang tersebut. Kalau hal itu terjadi di dunia yang fana, 
bagaimana dengan akhirat yang baqa (kekal)?

[4]. Hutang tidak boleh disertai dengan jual beli
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia telah melarangnya, karena 
ditakutkan dari transaksi ini mengandung unsur riba. Seperti, seseorang 
meminjam pinjaman karena takut riba, maka kiranya dia jatuh pula ke dalam 
riba dengan melakuan transaksi jual beli kepada yang meminjamkan dengan 
harga lebih mahal dari biasanya.

[5]. Wajib memabayar hutang
Ini merupakan peringatan bagi orang yang berhutang. Semestinya memperhatikan 
kewajiban untuk melunasinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan agar 
kita menunaikan amanah. Hutang merupakan amanah di pundak penghutang yang 
baru tertunaikan (terlunaskan) dengan membayarnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala 
berfirman.

“Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang 
berhak menerimnya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara 
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi 
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha 
Mendengar lagi Maha Melihat” [An-Nisa : 58]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah 
: “Sekalipun aku memiliki emas sebesar gunung Uhud, aku tidak akan senang 
jika tersisa lebih dari tiga hari, kecuali yang aku sisihkan untuk 
pembayaran hutang” [HR Bukhari no. 2390]

Orang yang menahan hutangnya padahal ia mampu membayarnya, maka orang 
tersebut berhak mendapat hukuman dan ancaman, diantaranya.

a). Berhak mendapat perlakuan keras.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata. : “Seseorang menagih hutang 
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sampai dia mengucapkan 
kata-kata pedas. Maka para shahabat hendak memukulnya, maka Nabi Shallallahu 
‘alaihi wa salam berkata, “Biarkan dia. Sesungguhnya si empunya hak berhak 
berucap. Belikan untuknya unta, kemudian serahkan kepadanya”. Mereka (para 
sahabat) berkata : “Kami tidak mendapatkan, kecuali yang lebih bagus dari 
untanya”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Belikan untuknya, 
kemudian berikan kepadanya. Sesungguhnya sebaik-baik kalian ialah yang 
paling baik dalam pembayaran” [11]

Imam Dzahabi mengkatagorikan penundaan pembayaran hutang oleh orang yang 
mampu sebagai dosa besar dalam kitab Al-Kabair pada dosa besar no. 20

b). Berhak dighibah (digunjing) dan diberi pidana penjara.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda 
Rasulullah.:
“Menunda (pembayaran) bagi orang yang mampu merupakan suatu kezhaliman” [12]

Dalam riwayat lain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. :
“Menunda pembayaran bagi yang mampu membayar, (ia) halal untuk dihukum dan 
(juga) keehormatannya”.

Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Halal kehormatannya ialah dengan mengatakan 
‘engkau telah menunda pebayaran’ dan menghukum dengan memenjarakannya” [13]

c). Hartanya berhak disita
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Barangsiapa yang mendapatkan hartanya pada orang yang telah bangkrut, maka 
dia lebih berhak dengan harta tersebut dari yang lainnya” [14]

d). Berhak di-hajr (dilarang melakukan transaksi apapun).
Jika seseorang dinyatakan pailit dan hutangnya tidak bisa ditutupi oleh 
hartanya, maka orang tersebut tidak diperkenankan melakukan transaksi 
apapun, kecuali dalam hal yang ringan (sepele) saja.

Hasan berkata, “Jika nyata seseorang itu bangkrut, maka tidak boleh 
memerdekakan, menjual atau membeli” [15]

Bahkan Dawud berkata, “Barangsiapa yang mempunyai hutang, maka dia tidak 
diperkenankan memerdekakan budak dan bersedekah. Jika hal itu dilakukan, 
maka dikembalikan” [16]

Kemungkinan –wallahu a’lam- dalam hal ini, hutang yang dia tidak sanggup 
lagi melunasinya.

[6]. Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang 
yang berhutang memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman, karena 
hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak yang menghutangkan.
Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan 
memperparah keadaan, dan merubah hutang, yang awalnya sebagai wujud kasih 
sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.

[7]. Berusaha mencari solusi sebelum berhutang, dan usahakan hutang 
merupakan solusi terakhir setelah semuanya terbentur.

[8]. Menggunakan uang dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa pinjaman 
merupakan amanah yang harus dia kembalikan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Tangan bertanggung jawab atas semua yang diambilnya, hingga dia 
menunaikannya” [17]

[9]. Pelimpahan hutang kepada yang lain diperbolehkan dan tidak boleh 
ditolak
Jika seseorang tidak sanggup melunasi hutangnya, lalu dia melimpahkan kepada 
seseorang yang mampu melunasinya, maka yang menghutangkan harus menagihnya 
kepada orang yang ditunjukkan, sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu 
‘alaihi wa sallam. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah 
bersabda Rasulullah :

“Menunda pembayaran bagi roang yang mampu merupakan suatu kezhaliman. 
Barangsiapa yang (hutangnya) dilimpahkan kepada seseorang, maka hendaklah 
dia menurutinya. [18]

[10]. Diperbolehkan bagi yang berhutang untuk mengajukan pemutihan atas 
hutangnya atau pengurangan, dan juga mencari perantara (syafa’at) untuk 
memohonnya.
Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : (Ayahku) Abdullah 
meninggal dan dia meninggalkan banyak anak dan hutang. Maka aku memohon 
kepada pemilik hutang agar mereka mau mengurangi jumlah hutangnya, akan 
tetapi mereka enggan. Akupun mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
meminta syafaat (bantuan) kepada mereka. (Namun) merekapun tidak mau. Beliau 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Pisahkan kormamu sesuai dengan 
jenisnya. Tandan Ibnu Zaid satu kelompok. Yang lembut satu kelompok, dan 
Ajwa satu kelompok, lalu datangkan kepadaku. (Maka) akupun melakukannya. 
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun datang lalu duduk dan menimbang 
setiap mereka sampai lunas, dan kurma masih tersisa seperti tidak disentuh. 
[19]

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan 
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton 
Gondangrejo Solo 57183]
_________
Foot Note.
[6]. Al-Mulakhkhashul Fiqhi, Shalih Al-Fauzan, KSA, Dar Ibnil Jauzi, Cet.IV, 
1416-1995, hal. 2/51
[7]. Shahih Bukhari, kitab Al-Wakalah, no. 2305
[8]. Shahih Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2394
[9]. Shahih Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2387
[10]. Lihat Fathul Bari (5/54)
[11]. Shahih Bukhari, kitab Al-Istqradh, no. 2390
[12]. Ibid, no. 2400, akan tetapi lafazhnya dikeluarkan oleh Abu Dawud, 
kitab Al-Aqdhiah, no. 3628 dan Ibnu Majah, bab Al-Habs fiddin wal Mulazamah, 
no. 2427
[13]. Ibid, no. 2401
[14]. Ibid, no. 2402
[15]. Fathul Bari (5/62)
[16]. Ibid (5/54)
[17}. HR Abu Dawud, Al-Buyu, Tirmidzi, Al-buyu dan lain-lain
[18]. HR Bukhari, Al-Hawalah, no. 2288
[19]. HR Bukhari, Al-Istiqradh, no. 2405

_________________________________________________________________
Search from any Web page with powerful protection. Get the FREE Windows Live 
Toolbar Today! http://toolbar.live.com/?mkt=en-id



Website anda: http://www.assunnah.or.id & http://www.almanhaj.or.id
Website audio: http://assunnah.mine.nu
Berhenti berlangganan: [EMAIL PROTECTED]
Ketentuan posting : http://milis.assunnah.or.id/mlbios.php/aturanmilis/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke