SEPULUH FAEDAH TENTANG HAJI

Oleh
Ustadz Abu Ubaidah Al-Atsari
http://www.almanhaj.or.id/content/2288/slash/0

HAJI MABRUR
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘ahu bahwasanya Rasulullah Shallallahu 
‘alaihi wa sallam bersabda : “Umroh ke umroh berikutnya merupakan pelebur 
dosa antara keduanya, dan tiada balasan bagi haji mabrur melainkan surga” 
[HR Bukhari : 1683, Muslim : 1349]

Haji Mabrur memiliki beberapa kriteria.

Pertama : Ikhlas. Seorang hanya mengharap pahala Allah, bukan untuk pamer, 
kebanggaan, atau agar dipanggil “pak haji” atau “bu haji” oleh masyarakat.

“Artinya : Mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan 
penuh keikhlasan” [Al-Bayyinnah : 5]

Kedua : Ittiba’ kepda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia berhaji sesuai 
dengan tata cara haji yang dipraktekkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam dan menjauhi pekara-perkara bid’ah dalam haji. Beliau Shallallahu 
‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Contohlah cara manasik hajiku” [HR Muslim : 1297]

Ketiga : Harta untuk berangkat haji adalah harta yang halal. Nabi 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya Allah itu baik, Dia tidak menerima kecuali dari yang 
baik” [HR Muslim : 1015]

Keempat : Menjauhi segala kemaksiatan, kebid’ahan dan penyimpangan

“Artinya : Barangsiapa menetapkan niatnya untuk haji di bulan itu maka tidak 
boleh rafats (berkata-kata tidak senonoh), berbuat fasik, dan 
berbantah-bantahan pada masa haji..”[Al-Baqarah : 197]

Kelima : Berakhlak baik antar sesama, tawadhu’ dalam bergaul, dan suka 
membantu kebutuhan saudara lainnya.

Alangkah bagusnya ucapan Ibnul Abdil Barr rahimahullah dalam At-Tamhid 
(22/39) : “Adapun haji mabrur, yaitu haji yang tiada riya dan sum’ah di 
dalamnya, tiada kefasikan, dan dari harta yang halal” [Latho’iful Ma’arif 
Ibnu Rajab hal. 410-419, Masa’il Yaktsuru Su’al Anha Abdullah bin Sholih 
Al-Fauzan : 12-13]

HAJI AKBAR
Pendapat yang populer dalam madzhab Syafi’i, hari “Haji Akbar” adalah hari 
Arafah (9 Dzul-Hijjah). Namun pendapat yang benar bahwa hari haji akbar 
adalah pada hari Nahr (penyembelihan kurban, yakni 10 Dzul-Hijjah], 
berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Dan (inilah) suatu permakluman dari Allah dan rosul-Nya kepada 
umat manusia pada hari haji akbar…” [At-Taubah : 3]

Dalam shahih Bukhari 8/240 dan shahih Muslim : 1347 disebutkan bahwa Abu 
Bakar dan Ali Radhiyallahu ‘anhuma mengumumkan hal itu pada hari nahr, bukan 
pada hari Arafah.

Dalam sunan Abu Dawud 1945 dengan sanad yang sangat shohih, Rasulullah 
Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda.

“Artinya : Hari haji akbar adalah hari nahr (menyembelih kurban)”

Demikian pula yang dikatakan oleh Abu Hurairah dan sejumlah shahabat 
radhiyallahu ‘anhum [Lihat Zadul Ma’ad Ibnul Qayyim 1/55-56]

GANTI NAMA USAI HAJI
Soal : Apakah hukumnya mengganti nama setelah pulang haji, seperti yang 
banyak dilakukan mayoritas jama’ah haji Indonesia, di mana mereka mengganti 
nama di Makkah atau Madinah, apakah ini termasuk sunnah ataukah tidak?

Jawab : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengganti nama-nama yang 
buruk dengan nama-nama yang bagus. Maka apabila jama’ah haji Indonesia 
tersebut mengganti nama mereka lantaran tersebut, bukan disebabkan usai 
melakukan ibadah haji atau karena berziarah ke Masjid Nabawi, maka hukumnya 
boleh. Namun apabila jama’ah haji Indonesia mengganti nama mereka lantaran 
alasan pernah di Makkah/Madinah atau usai melakukan ibadah haji, maka hal 
itu termasuk perkara bid’ah, bukan sunnah. [Fatawa Lajnah Daimah 2/514-515]

AIR ZAM-ZAM
Al-Humaidi rahimahullah berkata : Saya pernah berada di sisi Sufyan bin 
Uyainah rahimahullah, lalu beliau menyampaikan kepada kami hadits.

“Artinya : Air zam-zam tergantung keinginan seorang yang meminumnya”

Tiba-tiba ada seorang lelaki bangkit dari majelis, kemudian kembali lagi 
seraya mengatakan : “Wahai Abu Muhammad, bukankah hadits yang engkau 
ceritakan kepada kami tadi tentang zam-zam adalah hadits yang shahih?” Jawab 
beliau : “Benar”, Lelaki itu lalu berkata : “Baru saja aku meminum seember 
air zam-zam dengan harapan engkau akan menyampaikan kepadaku seratus 
hadits”. Akhirnya Sufyan rahimahullah berkata kepadanya : “Duduklah!”, 
Lelaki itupun duduk, dan Sufyan rahimahullah menyampaikan seratus hadits 
kepadanya. [Al-Mujalasah Abu Bakar Ad-Dinawari 2/343, Juz Ma’a Zam-Zam Ibnu 
Hajar hal. 271]

Semoga Allah merahmati Imam Sufyan bin Uyainah, alangkah semangatnya dalam 
menebarkan ilmu! Dan semoga Allah merahmati orang yang bertanya tersebut, 
alangkah semangatnya dalam menuntut ilmu dan sindiran lembut untuk 
mendapatkannya! [Fadhlu Ma’a Zam-Zam Sayyid Bakdasy hal. 137]

ASAL HAJAR ASWAD
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkata : Rasulullah Shallallahu 
‘alaihi wa sallam bersabda : “Hajar aswad (ketika) turun dari surga lebih 
putih dari pada salju, lalu dosa-dosa anak Adam membuatnya hitam” [Shahih HR 
Tirmidzi : 877, Ibnu Khuzaimah : 1/271, Ath-Thabrani dalam Mu’jam Kabir 
3/155, Ahmad 1/307, 329, 373. Lihat Silsilah Ash-Shahihah Al-Albani : 2618]

Kita beriman dengan hadits ini secara tekstual dan pasrah sepenuhnya, 
sekalipun orang-orang ahli filsafat mengingkarinya. [Lihat Ta’wil Mukhtalif 
Hadits Ibnu Qutaibah hal.542]

Sulaiman bin Khalil rahimahullah (imam dan khatib Masjidil Haram dahulu) 
menceritakan bahwa dirinya melihat tiga bintik berwarna putih jernih pada 
Hajar Aswad, lalu katanya : “Saya perhatikan bintik-bintik tadi, ternyata 
setiap hari berkurang warnanya” [Al-Aqdu Tsamin Al-Fasi Al-Makki 1/68, Asror 
wa Fadha’il Hajar Aswad Majdi Futhi Sayyid hal. 22]

Sungguh dalam hal itu terdapat pelajaran berharga bagi orang yang berakal, 
sebab jika demikian jadinya bekas dosa pada batu yang keras, maka bagaimana 
kiranya pada hati manusia?! [Fathul Bari Ibnu Hajar 3/463]

JEDDAH TERMASUK MIQOT?
Ada sebagian kalangan yang mencuatkan pendapat bahwa kota Jeddah boleh 
dijadikan sebagai salah satu miqot untuk jama’ah haji yang datang lewat 
pesawat udara atau kapal laut. Namun pendapat ini disanggah secara keras 
oleh Ha’iah Kibar Ulama dalam keputusan rapat mereka no. 5730, tanggal 
21/10/1399 sebagai berikut.

Pertama : Fatwa tentang bolehnya menjadikan Jeddah sebagai miqot bagi 
jama’ah haji yang datang dengan pesawat udara dan kapal laut merupakan fatwa 
yang batil, karena tidak bersandar pada Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya 
serta ijma’ salafush shalih. Tidak ada satupun ulama kaum muslimin 
sebelumnya yang mendahului pendapat ini.

Kedua : Tidak boleh bagi jama’ah haji yang melewati miqot, baik lewat udara 
maupun laut (miqot Indonesia adalah Yalamlam, pent) untuk melampauinya tanpa 
ihram sebagaimana ditegaskan dalam banyak dalil dan dilandaskan oleh para 
ulama” [Fiqh Nawazil Al-Jizani 2/317, Tisir Alam Al-Bassam 1/572-573]

NAMA MIQOT MADINAH
Miqot penduduk Madinah atau jama’ah haji yang lewat Madinah adalah 
Dzul-Hulaifah [1] sebagaimana disebutkan dalam banyak hadits. Adapun 
penamannya dengan “Bir Ali” sebagaimana yang populer di masyarakat maka 
hendaknya diganti. Sebab sebagaimana lafazh yang tertera dalam hadits itu 
lebih utama, apalagi kalau kita telusuri ternyata sumber penamaan Bir Ali 
(sumur Ali) adalah cerita yang laris manis di kalangan Rafidhah (Syi’ah) 
bahwa Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu pernah bertarung dengan jin di 
sumur tersebut, shingga karena itulah disebut Bir Ali.

Para ulama ahli hadits telah bersepakat menegaskan batilnya cerita tersebut, 
seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Minhajus Sunnah 
8/161, Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah 2/344, Ibnu Hajar dalam 
Al-Ishobah 1/498, Mula Ali Al-Qari dalam Al-Maslak Al-Mutaqossith hal. 79, 
dan lainnya. [Qashashun La Tatsbutu Masyhur Hasan Salman 7/95-119]

DZIKIR KETIKA THAWAF
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : “Disunnahkan ketika 
thawaf untuk berdzikir dan berdo’a dengan do’a-do’a yang disyariatkan. Kalau 
mau membaca Al-Qur’an dengan lirih maka hal itu boleh. Dan tidak ada do’a 
tertentu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik dari perintahnya, 
ucapannya, maupun pengajarannya, bahkan boleh berdo’a dengan umumnya 
do’a-do’a yang disyari’atkan. Adapun yang disebutkan kebanyakan manusia 
tentng do’a khusus di bawah mizab (talang Ka’bah) dan selainnya [2] semua 
itu tidak ada asalnya” [Majmu Fatawa 26/122]

PROBLEM ORANG YANG BOTAK
Telah dimaklumi, dalam haji ada syarat cukur/memendekkan rambut. Namun 
bagaimana dengan seorang yang botak dan tidak memiliki rambut untuk dicukur? 
Sebagian fuqaha mengatakan. Hendaknya dia tetap melewatkan alat cukur di 
kepalanya. Namun pendapat yang benar ialah hal ini dibenci, syari’at bersih 
darinya, (perbuatan itu) sia-sia dan tiada faedahnya, sebab melewatkan alat 
cukur hanyalah sekedar sebagai wasilah (perantara) saja bukan tujuan utama. 
Kalau tujuan utamanya gugur, maka wasilah tidak bermakna lagi. Persis dengan 
masalah ini adalah seorang yang lahir sedangkan dzakarnya sudah terkhitan, 
perlukah dikhitan lagi? Ataukah melewatkan pisau padanya? Pendapat yang 
benar adalah tidak perlu. [Lihat Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud Ibnul 
Qayyim hal. 330]

TITIP SALAM UNTUK NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Budaya titip atau kirim salam untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
kepada para jama’ah haji merupakan budaya yang perlu ditinggalkan dan 
diingatkan, sebab hal itu tidak boleh dan termasuk kategori perkara baru 
dalam agama. Alhamdulillah, termasuk keluasan rahmat Allah kepada kita, Dia 
menjadikan salam kita untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai kepada 
beliau di manapun kita berada, baik di ujung timur maupun barat. Nabi 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Jangalah kalian jadikan kuburku sebagai perayaan, dan (jangan 
jadikan) rumah-rumah kalian sebagai kuburan, bershalawtlah kepadaku karena 
sesungguhnya shalawat kalian sampai kepadaku di manapun kalian berada”.

Hadits-hadits yang semakna dengannya banyak sekali. [Lihat Al-Mustadrak ‘Ala 
Mu’jam Manahi Lafzhiyyah Sulaiman Al-Khurosi hal. 231-232]

[Disalin dari Majalah Al-Furqon Edisi 05 Tahun VI/Dzul-Hijjah 1427 (Januari 
2007). Penerbit Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon, Alamat Maktabah Ma’ahd 
Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]
__________
Foote Note
[1]. Nama sebuah desa besar di jalan Madinah dahulu (lihat Mu’jam Buldan 
2/111). Di sana ada sebuah masjid yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
ketika berangkat haji, beliau shalat dan ber-ihram di sana. Jaraknya dari 
Madinah kurang lebih 3 mil, dijangkau dengan mobil sekitar seperempat jam 
[Lihat Al-Haj Al-Mabrur Abu Bakar Al-Jaza’iri hal. 32]
[2]. Seperti do’a/dzikir tertentu untuk setiap putaran thawaf dan sa’i, maka 
ini juga tidak ada asalnya. [Lihat At-Tahqiq wal Idhah Abdul Aziz bin Baz 
hal. 29, Manasik Haji wal Umrah Ibnu Utsaimin hal.119, Syarh Manasik Haji 
wal Umrah Sholih Al-fauzan hal.75, Tashih Du’a Bakar Abu Zaid hal.520]

_________________________________________________________________
Search from any Web page with powerful protection. Get the FREE Windows Live 
Toolbar Today!  http://toolbar.live.com/?mkt=en-id



Website anda: http://www.assunnah.or.id & http://www.almanhaj.or.id
Website audio: http://assunnah.mine.nu
Berhenti berlangganan: [EMAIL PROTECTED]
Ketentuan posting : http://milis.assunnah.or.id/mlbios.php/aturanmilis/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke