KAFIR TANPA SADAR MENGUSUNG PEMAHAMAN KHAWARIJ
[BEDAH FITNAH KHAWARIJ]

Oleh
Abu Ahmad As-Salafi
http://www.almanhaj.or.id/content/2340/slash/0

Muqoddimah
Telah sampai kepada kami sebuah buku yang berjudul Kafir Tanpa Sadar oleh Abdul 
Qadir bin Abdul Aziz. Buku ini adalah salah satu dari buku-buku yang sangat 
dahsyat menghembuskan syubhat Khowarij dari awal hingga akhir. Yang sangat 
disayangkan bahwa buku-buku seperti ini sangat marak akhir-akhir ini, hal ini 
menunjukkan bahwa fitnah Takfir saat ini begitu deras menerpa.

Karena itulah maka insya Allah dalam pembahasan kali ini kami berusaha 
menyingkap syubhat-syubhat yang berada dalam buku tersebut sebagai nasehat 
kepada kaum muslimin dan pembelaan kepada manhaj yang haq.

PENULIS DAN PENERBIT BUKU INI
Judul asli buku ini adalah Al-Jami fil-Ilmi Asy-Syarif Al-Iman wa Al-Kufr, 
ditulis oleh Abdul Qadir bin Abdul Aziz, diterjemahkan oleh Abu Musa 
Ath-Thayyar, dan diterbitkan oleh Media Islamika Solo, cetakan pertama 
September 2006

MENGIKUTI KHOWARIJ DALAM MEMAHAMI AYAT HUKUM
Penulis berkata di dalam hlm. 212 : “Sesungguhnya kekafiran yang disebut di 
dalam ayat ini (ayat 44 dari Surat Al-Ma’idah) adalah kufur akbar. Ini karena 
diterangkan dengan kata-kata yang menggunakan alif dan lam ta’rif (al). Sebab, 
setiap kekafiran yang diungkapkan dengan isim ma’rifah maka maksudnya adalah 
kufur akbar, dan semua pendapat yang menguatkannya sebagai kufrun duna kufrin 
adalah pendapat yang salah ..”.

Sebelumnya pada hlm. 64 penulis berkata :”Pedoman umum : sesungguhnya, semua 
kata kafir yang diungkapkan dengan isim yang ber-alif ta’rif.. maksudnya adalah 
akbar ..”

Kami katakan : Perkataan penulis, “Setiap kekafiran yang diungkapkan dengan 
isim ma’rifah maka maksudnya adalah kufur akbar [1]”, berbenturan dengan 
sebagian atsar yang datang dari para sahabat yang di dalamnya menyifati 
sebagian dosa-dosa dengan lafadz kufur yang menggunakan alif dan lam ta’rif, 
bersamaan dengan itu dosa-dosa tersebut dianggap kufur ashghor [2] dengan 
kesepakatan para ulama ahli Sunnah, seperti hadits yang diriwayatkan oleh 
Al-Imam Bukhari di dalam Shahihnya 5273 dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma 
yang di dalamnya istri Tsabit bin Qois berkata :

“Dan akan tetapi aku membenci kekufuran di dalam Islam’’

Dia maksudkan mengkufuri suami sebagaimana dijelaskan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar 
rahimahullah di dalam Fathul bari 9/400
Demikian juga diriwayatkan oleh Nasa’i rahimahullahu di dalam Sunan Kubro (118 
Isyrotun Nisa) dan Abdurrazzaq di dalam Mushannaf : 20953 dari Ibnu Abbas 
Radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya dia berkomentar tentang mendatangi wanita di 
duburnya “ Itu adalah kekufuran’ dan sanadnya adalah kuat sebagaimana 
dijelaskan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah di dalam Talkhishul Habir 
3/181.

Kedua atsar di atas lafadz kufur menggunakan alif dan lam ta’ruf dalam keadaan 
maksudnya adalah kufur ashghor.

Kemudian tentang perkataan penulis, “Dan semua pendapat yang menguatkannya 
sebagai kufrun duna kufrin adalah pendapat yang salah….” Perlu diketahui bahwa 
yang berpendapat bahwa maksud ayat tersebut adalah para ulama Ahli Sunnah yang 
terdahulu dan belakangan, di antara mereka adalah Ibnu Abbas Radhiyallahu 
‘anhuma yang berkata : “Dia bukanlah kekufuran yang kalian katakan, 
sesungguhnya di adalah kekufuran yang tidak mengeluarkan dari Islam.

“Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka 
mereka itu adalah orang-orang kafir” [Al-Maidah : 44]

Ini adalah kufur duna kufrin (kufur asghor)” [Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam 
Mustadroknya 2/342 dan dia berkata : “Ini adalah hadits yang shohih sanadnya, 
dan disetujui oleh Dzahabi dalam Talkhis Mustadrok 2/342 dan Syaikh Al-Albani 
rahimahullah dalam Silsilah Shahihah 6/113]

Pendapat Ibnu Abbas ini diikuti oleh para ulama Ahli Sunnah wal Jama’ah dari 
zaman tabi’in hingga zaman ini sebagaimana di dalam nukilan-nukilan di bawah 
ini.

[1]. Atho bin Abi Robbah rahimahullah seorang tabi’in menyebut ayat 44-46 dari 
surat Al-Maidah dan berkata : “Kufrun duna kufrin, fisqun duna fisqin, dan 
dhulmun duna dhulmin’’ [Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsirnya 6/256 dan 
dishahihkan sanadnya oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Silsilah Shahihah 
6/114]

[2]. Thowus bin Kaisan rahimahullah salah seorang tabi’in menyebut ayat hukum 
dan berkata ; “Bukan kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari agama” 
[Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir rahimahullah dalam Tafsirnya 6/256 dan 
dishahihkan sanadnya oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Silsilah Shohihah 
6/114]

[3]. Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah ditanya tentang maksud kufur dalam 
ayat hukum maka beliau berkata ; “Kekufuran yang tidak mengeluarkan dari 
keimanan”.[Majmu Fatawa 7/254]

[4]. Al-Imam Abu Ubaid Al-Qosim bin Salam membawakan tafsir Ibnu Abbas 
Radhiyallahu ‘anhuma dan Atho bin Abi Robbah terhadap ayat hukum dan berkata : 
“Maka telah jelas bagi kita bahwa kekufuran dalam ayat ini tidak mengeluarkan 
pelakunya dari agama Islam, dan bahwasanya agama tetap eksis meskipun tercampur 
dengan dosa-dosa” [Kitabul Iman hlm. 45]

[5]. Al-Imam Bukhari rahimahullah berkata dalam Shohihnya 1/83 :”Bab Kufronil 
Asyir wa Kufrun duna Kufrin’. Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata : 
“Penulis (Al-Imam Bukhari) mengisyaratkan kepada atsar yang diriwayatkan oleh 
Ahmad dalam Kitabul Iman dari jalan Atho’ bin Abi Robbah dan yang lainnya” 
[Fathul Bari 1/83]

Perkataan semakna juga datang dari Al-Imam Ibnu Jarir Ath-Thobari, Al-Imam 
Baihaqi, Al-Imam Ibnu Abdil Barr, Al-Imam Qurthubi, Syaikhul Islam Ibnu 
Taimiyah rahimahullah, Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, Syaikh Al-Albani 
rahimahullah, Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, dan Syaikh Muhammad bin 
Shalih Al-Utsaimin rahimahullah

Kalau begitu, pendapat siapakah yang diikuti oleh penulis di dalam pemahaman 
ayat ini?! Tidak lain adalah madzhab Khowarij sebagaimana dikatakan oleh Syaikh 
Al-Albani rahimahullah tatkala mengomentari perkataan Ibnu Abbas Radhiyallahu 
‘anhuma diatas “Dia bukanlah kekufuran yang kalian katakan” : “Seakan-akan 
beliau mengisyaratkan kepada orang-orang khowarij yang memberontak kepda 
Khalifah Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu”. [Silsilah Shahihah 6/113]

Kemudian penulis berkata pada hlm. 216 : “Sesungguhnya ayat tersebut bersifat 
umum, mencakup semua orang yang tidak memutuskan hukum dengan hukum Allah 
Subhanahu wa Ta’ala. Karena, ayat tersebut menggunakan man syarthiyyah 
(barangsiapa atau siapa saja yang berfungsi sebagai syarat) yang merupakan 
bentuk kalimat paling umum..”

Kami katakan : Jika diambil keumuman ayat ini maka konsekwensinya adalah 
mengkafirkan kaum muslimin di dalam setiap kasus yang mereka tidak adil di 
dalamnya, termasuk seorang bapak terhadap anak-anaknya, bahkan seseorang 
terhadap dirinya sendiri jika dia maksiat kepada Rabbnya ; karena tatkala dia 
maksiat kepada Rabbnya maka saat itu dia tidak berhukum dengan apa yang 
diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Padahal banyak sekali dalil-dalil yang menunjukkan bahwa sekedar kemaksiatan 
tidaklah menjadikan pelakunya kafir seperti firman Allah.

“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah 
kamu damaikan antara keduanya” [Al-Hujurat : 9]

Maka nash-nash yang menunjukkan tidak kafirnya setiap pelaku kemaksiatan adalah 
yang memalingkan kufur akbar dalam ayat di atas kepada kepada kufur ashghor, 
karena itulah maka para ulama sepakat tidak mengambil keumuman ayat ini, 
berbeda dengan orang-orang Khawarij yang memakai keumuman ayat ini di dalam 
mengkafirkan para pelaku dosa dan kemaksiatan tanpa melihat kepada dalil-dalil 
yang lain yang memalingkan ayat ini dari keumumannya.

Al-Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata : “Telah sesat sekelompok ahli 
bida’ dari Khawarij dan Mu’tazilah dalam bab ini, mereka berargumen dengan 
ayat-ayat di dalam Kitabullah yang tidak atas dhahirnya seperti firman Allah 
Subhanahu wa Ta’ala

“Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka 
mereka itu adalah orang-orang yang kafir” [Al-Ma’idah : 44] [At-Tamhid 17/16]

Beliau juga berkata : “Para ulama sepakat bahwa kecurangan dalam menghukumi 
termasuk dosa-dosa besar bagi seorang yang sengaja melakukannya dalam keadaan 
mengetahui hukumnya ..’ [At-Tamhid 5/74-75]

KERANCUAN PENULIS DI DALAM MEMAHAMI DARUL KUFUR DAN DARUL ISLAM
Penulis berkata di dalam hlm. 20 : “Negeri yang menggunakan undang-undang kafir 
adalah darul kufri (negeri kafir). Jika sebelumnya negeri itu menggunakan hukum 
syari’ah, lalu berganti dengan undang-undang kafir, sedangkan penduduknya masih 
Islam maka negeri itu Daru Kufrin Thari (negeri kafir yang tidak asli)”.

Kami katakan ; Penulis mengikuti pemahaman Khowarij yang berpendapat bahwa 
setiap yang berhukum dengan selain hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala maka dia 
kafir keluar dari Islam secara mutlak tanpa perincian, apakah dia mengingkari 
kewajiban berhukum dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala atau tidak, dan 
memahami secara rancu tentang hal yang menyebabkan suatu negeri dikatakan 
sebagai Darul Islam atau Darul Kufur

Yang benar bahwa suatu negeri dikatakan sebagai Darul Islam jika nampak 
syi’ar-syi’ar Islam dari penduduk negeri seperti shalat lima waktu, shalat 
jum’at, dan shalat Ied, sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil berikut ini.

[1]. Hadits Anas Radhiayallahu ‘anhu bahwasanya dia berkata :
“Adalah Rasulullah hendak menyerang daerah musuh ketika terbit fajar, beliau 
menunggu suara adzan, jika belaiu mendengar adzan maka beliau menahan diri, dan 
jika tidak mendengar adzan maka beliau menyerang” [Muttafaq Alaih, Shahih 
Bukhari 610 dan Shahih Muslim 1365]

Al-Imam Nawawi rahimahullah berkata : “Hadits ini menunjukkan bahwa adzan 
menahan serangan kaum muslimin kepada penduduk negeri daerah tersebut, karena 
adzan tersebut merupakan dalil atas ke-islaman mereka” [Syarah Nawawi pada 
Shahih Muslim 4/84]

Al-Imam Qurthubi rahimahullah berkata : “Adzan adalah tanda yang membedakan 
antara Darul Islam dan Darul Kufur” [Al-Jami Liahkamil Qur’an 6/225]

Az-Zarqoni berkata : “Adzan adalah syi’ar Islam dan termasuk tanda yang 
membedakan antara Darul Islam dan Darul Kufur” [Syarah Az-Zarqoni atas Muwatho 
1/215]

[2]. Hadits Isham Al-Muzanny bahwasanya dia berkata.
“Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mengutus suatu pasukan beliau 
bersabda :”Jika kalian melihat masjid atau mendengar adzan maka janganlah 
kalian membunuh seorangpun".[Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya 3/448, Abu 
Dawud dalam Sunannya 2635 dan Tirmidzi dalam Jaminya 1545 dan dilemahkan oleh 
Syaikh Al-Albani dalam Dho’if Sunan Abu Dawud hlm. 202]

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata :”Hadits ini menunjukkan bahwa 
sekedar keberadaan sebuah masjid di suatu negeri maka ini cukup menjadi dalil 
atas keislaman penduduknya, walaupun belum didengar adzan dari mereka, karena 
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan pasukan-pasukan agar 
mencukupkan dengan salah satu dari dua hal : Adanya masjid atau mendengar 
Adzan” [Nailul Authar 7/287]

Berdasarkan uraian di atas maka jika didengar adzan di suatu negeri atau 
didapati suatu masjid, dan penduduknya muslim, maka negeri tersebut adalah 
Darul Islam, meskipun para penguasanya tidak menerapkan syari’at Islam, hal 
inilah yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, beliau 
berkata : “Keberadaan suatu tempat sebagai negeri kafir atau negeri iman atau 
negeri orang-orang fasiq, bukanlah sifat yang tidak terpisah darinya, tetapi 
dia adalah sifat yang insidental sesuai dengan keadaan penduduknya, setiap 
jengkal bumi yang penduduknya orang-orang mukmin yang bertaqwa maka tempat 
tersebut adalah negeri para wali Allah Subhanahu wa Ta’ala di saat itu, setiap 
jengkal tanah yang penduduknya selain yang kita sebutkan tadi, dan berubah 
dengan selain mereka, maka negeri itu adalah negeri mereka” [Majmu Fatawa 
18/282]

Lalu kapankan suatu negeri Islam menjadi Darul Kufur? Yang rojih dari pendapat 
para ulama bahwa negeri Islam tidak berubah menjadi darul kufur dengan sekedar 
dominannya hukum-hukum kekafiran padanya, atau sekedar penguasaan orang-orang 
kafir padanya, selama para penduduknya masih mempertahankan keislaman mereka, 
bahwa selama mereka masih menegakkan sebagian dari syi’ar-syi’ar Islam 
khususnya sholat

Al-Kasani berkata : “Tidak ada khilaf di antara para sahabat kami (madzhab 
Hanafi) bahwasanya darul kufur berubah menjadi darul Islam, dengan nampaknya 
hukum-hukum Islam padanya, dan mereka berselisih dengan ada darul Islam berubah 
menjadi darul kufur, Abu Hanifah rahimahullah berkata : Darul Islam tidak 
berubah menjadi darul kufur kecuali dengan tiga syarat : yang pertama 
dominannya hukum-hukum kafir padanya, yang kedua bersambungnya dengan darul 
kufur, yang ketiga tidak tersisa didalamnya seorang muslim dan seorang dzimmi 
yang merasa aman dengan jaminan keamanan dari kaum muslimin ..”[Bada’i Shonai 
7/130]

Ad-Dasuqy berkata : “Sesungguhnya negeri Islam tidaklah berubah menjadi darul 
harbi (negeri kafir yang diperangi) sekedar dengan penguasaan orang-orang kafir 
atasnya, tetapi hingga terputus penegakan syi’ar-syi’ar Islam darinya, adapun 
selama tetap ditegakkan syi’ar-syi’ar Islam atau sebagian besar darinya, maka 
tidaklah dia berubah menjadi darul harbi” [Hasyiyah Dasuqy 2/189]

Merupakan kaidah dalam syari’at bahwa : Hukum asal sesuatu adalah dikembalikan 
pada asalnya. Tidak berubah hukum asal ini kecuali jika ada yang memindahkannya 
ke hukum yang lainnya dengan cara yang yakin.

Di antara contoh-contoh dalam hal ini adalah negeri Andalusia (Spanyol) yang 
berubah menjadi darul kufur sesudah kaum muslimin diusir darinya, dan sejak 
syi’ar-syi’ar Islam di situ dihukumi tidak ada.

Di antara contoh-contoh hal ini juga adalah negeri Islam yang para penguasanya 
tidak menerapkan hukum Islam bersamaan dengan itu para penduduknya menampakkan 
syi’ar-syi’ar Islam maka negeri itu adalah darul Islam, karena tidak ada 
indikasi yang memindahkannya dari hukum asalnya. [Lihat Al-Ghuluw Fifd Din oleh 
Syaikh Abdurrahman bin Ma’la Al-Luwaihiq hlm 340].

PENULIS MENGHASUNG KEPADA PEMBERONTAKAN
Setelah membabi buta menyifati negeri-negeri Islam yang penguasanya tidak 
berhukum dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwasanya negeri-negeri itu 
adalah darul kufur, maka penulis menghasung para pembaca agar tidak taat kepada 
mereka, dia berkata di dalam hlm. 19 : “Tiada kewajiban bagi seorang muslim 
untuk menataati para penguasa tersebut. Demikian pula, tidak wajib baginya 
mematuhi undang-undang negeri tersebut. Akan tetapi dia bebas untuk 
melanggarnya, semau dia..”

Bahkan penulis menganggap bahwa memberontak kepada para penguasa tersebut 
adalah jihad sebagaimana dia katakan di dalam hlm. 30 :”Mereka memandang bahwa 
penguasa mereka yang kafir itu adalah orang Islam yang bertaqwa, dan mereka 
memandang orang-orang muslim yang berjihad sebagai khowarij yang sesat…”

Tidak diragukan lagi bahwa penulis telah menyelisihi pokok yang agung dari 
syari’at Islam yaitu wajibnya taat kepada waliyul amr di dalam hal yang ma’ruf 
sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taati Rosul(Nya), dan ulil 
amri (penguasa) di antara kalian…” [An-Nisaa : 59]

Adapun dari Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka di antaranya 
adalah perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar selalu taat 
kepada waliyul amr, tidak membatalkan baiat, dan sabar atas kecurangan para 
penguasa

Dari Ubadah bin Shomit bahwasanya dia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi 
wa sallam menyeru kami, maka kami membaiatnya, di antara yang diambil atas kami 
bahwasanya kami berbaiat atas mendengar dan taat dalam keadaan yang lapang dan 
sempit, dalam keadaan sulit dan mudah, dan atas sikap egois atas kami, dan agar 
kami tidak merebut kekuasaan dari pemiliknya beliau bersabda : “Kecuali jika 
kalian melihat kekufuran yang jelas dan nyata yang kalian punya bukti dihadapan 
Allah” [Shahih Muslim 1709]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : “Ini adalah perintah agar 
selalu taat walaupun ada sikap egois dari waliyul amr, yang ini merupakan 
kezholiman darinya, dan larangan dari merebut kekuasaan dari pemiliknya, yaitu 
larangan dari memberontak kepadanya, karena pemiliknya adalah para waliyul amr 
yang diperintahkan agar ditaati, dan mereka adalah orang-orang yang memiliki 
kekuasaan untuk memerintah”[Minhajus Sunnah 3/395]

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menukil ijma’ para ulama dalam masalah ini 
dari Ibnu Bathlam yang berkata : “Para fuqoha telah sepakat atas wajibnya taat 
kepada pemerintah yang menguasainya keadaan, wajibnya berjihad bersamanya, 
bahwasanya ketaatan kepadanya lebih baik daripada memberontak kepadanya, karena 
dengan ketaatan akan bisa menjaga tertumpahnya darah, dan menenangkan keadaan… 
mereka mengecualikan hal ini jika telah terjadi kekufuran yang jelas dari 
penguasa” [Fathul Bari 13/7]

MENUDUH PARA ULAMA SUNNAH SEBAGAI MURJI’AH
Buku ini dari awal hingga akhir sarat dengan tuduhan-tuduhan keji kepada para 
ulama Ahli Sunnah bahwa mereka dalah Murji’ah, seperti perkataan penulis hlm. 
183-187 : “Beberapa ulama yang berpendapat ; tiada kekafiran kecuali dengan 
keyakinan : Syaikh Al-Albani… intinya pendapat Al-Albani adalah sama dengan 
pendapat ghulatul Murji’ah … pada kesempatan lain Al-Albani membatasi kekafiran 
pada ingkar (juhud)”

Penulis juga berkata di dalam hlm. 215 : “Ketahuilah bahwa kesalahan 
Al-Hudhaibi (di atas) telah dilakukan oleh mayoritas ulama zaman sekarang, yang 
dalam hal ini mereka taklid kepada Ibnu Abil Izz dan Ibnul Qayyim… Pendapat 
mereka ini tidak ada dasarnya, tidak ada pula dalilnya yang diterima…”

Kami katakan : Tuduhan Khawarij bahwa Ahlus Sunnah adalah Murji’ah bukan 
perkara baru, Al-Imam Ishaq bin Rahuwiyah berkata ; Suatu saat Abdullah bin 
Mubarok datang ke kota Ray maka berdiri menghampirinya seorang dari ahli ibadah 
–dugaan terkuat dia ini mengikuti pemikiran Khawarij- dia berkata kepada 
Abdullah bin Mubarok rahimahullah : “Wahai Abu Abdirrahman apa pendapatmu 
tentang orang yang berzina, mencuri, dan minum khamr?” Abdullah bin Mubarok 
berkata : “Aku tidak mengeluarkannya dari keimanan”. Orang tersebut berkata ; 
“Wahai Abu Abdirrahman dalam usia setua ini engkau menjadi Murji’ah?!, Abdullah 
bin Mubarok berkata : “Orang-orang Murji’ah tidak setuju dengan kami, mereka 
mengatakan : Amalan-amalan kami diterima dan dosa-dosa kami diampuni, dan 
seandainya aku tahu bahwa satu amalan baikku diterima maka aku akan 
mempersaksikan bahwa diriku di surga”. [Diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Utsman 
Ash-Shobuni dalam Aqidah Salaf Ashhabul Hadits hlm. 84 dengan sanad yang shohih]

Tentang tuduhan irja’ kepada Syaikh Al-Albani rahimahullah maka telah dibantah 
oleh para ulama Sunnah di antaranya Syaikh Dr Husain bin Abdul Aziz Alu Syaikh 
yang berkata : Yang kami yakini dan yang kami pertanggung jawabkan di hadapan 
Allah Subhanahu wa Ta’ala : Bahwasanya Syaikh Ali hafidhahullah dan gurunya 
–Syaikh Al-Albani rahimahullah paling jauh di antara manusia dari madzhab 
Murji’ah- sebagaimana telah kami katakan sebelumnya.

Demikian juga Syaikh Al-Albani jika ditanyakan kepadanya : “Apakah definisi 
Iman? “Tidak akan kita dapati dalam ucapannya perkataan Murji’ah yang 
mengatakan bahwa amalan tidak masuk dalam keimanan.

Bahkan nash-nash Syaikh Al-Albani rahimahullah menashkan bahwa definisi iman 
adalah : “Keyakinan dengan hati, perkataan dengan lisan, dan amalan dengan 
anggota tubuh, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan’ 
[Lihat Tanbihat Mutawaimah hlm 553-557]

PENUTUP
Inilah yang bisa kami sampaikan kepada para pembaca tentang jawaban-jawaban 
terhadap syubhat-syubhat buku ini, sebetulnya masih banyak hal-hal lain dari 
buku ini yang perlu dijelaskan, tetapi Insya Allah yang telah kami paparkan 
sudah bisa memberikan peringatan kepada kita tentang bahaya buku ini. Semoga 
Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu menjadikan kita termasuk orang-orang yang 
mendengarkan nasehat dan mengikutinya. Amin

[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi 5 th. Ke 7 1428/2007 [Des 07-Jan 08], 
Diterbitkan Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon, Alamat Ma’had Al-Furqon, Srowo 
Sidayu – Gresik, Jatim 61153]
_________________________________________________________________
Get your free suite of Windows Live services today!
http://www.get.live.com/wl/all


Website anda: http://www.assunnah.or.id & http://www.almanhaj.or.id
Website audio: http://assunnah.mine.nu
Berhenti berlangganan: [EMAIL PROTECTED]
Ketentuan posting : http://milis.assunnah.or.id/mlbios.php/aturanmilis/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke