On 1/31/08, rachmat soegiharto <[EMAIL PROTECTED]> 
> wrote: Assalamu'alaikum,
> Mohon penjelasan isu gender dalam pandangan islam selengkapnya.
> jazakumullah khoiron

Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh
Buat akh rachmat, ada tulisan bagus dari Dr. Jamal A. Badawi "The Status of
Woman in Islam" dan "Gender Equity in Islam" sebagai bantahan atas isu-isu
miring mengenai kedudukan wanita dalam Islam (anda bisa search di google,
salah satunya telah kami terjemahkan dlm bhs Indonesia dan diberi beberapa
catatan kaki khususnya keterangan mengenai hadits yang digunakan, bisa anda
baca atau download dari web kami  dengan judul "Kedudukan Wanita dalam
Islam". http://khayla.blogspot.com

Barakallahu fikum
Wassalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh

Kedudukan Wanita dalam Islam 
Oleh
Dr. Jamal A. Badawi

I. Pendahuluan
Kedudukan wanita dalam masyarakat bukanlah merupakan issue yang baru dan juga 
bukan sesuatu yang telah ditetapkan sepenuhnya. 

Posisi Islam dalam hal ini telah menjadi sorotan dunia Barat dengan tingkat 
objektivitas yang sangat kurang.

Artikel ini bertujuan untuk memberikan penjalasan yang singkat dan otentik 
mengenai pandangan Islam berkenaan dengan hal ini. Ajaran islam bersumber dari 
Al Qur’an dan As Sunnah (hadits).

Al Qur’an dan Hadits secara jelas dan tanpa bias menjadi sumber otentik dari 
segala hal yang berkenaan dengan agama Islam. 

Artikel ini dimulai dengan penjelasan singkat mengenai kedudukan wanita pada 
jaman pra-Islam. Kemudian berfokus pada pertanyaan utama berikut ini: Apa 
posisi agama Islam dalam memandang status wanita dalam masyarakat? Seberapa 
jauh kemiripan dan perbedaan dengan ”keadaan saat itu“, yang dominan pada saat 
Islam pertama kali didakwahkan? Bagaimana hal tersebut jika kemudian 
dibandingkan dengan ”hak-hak“ yang diperoleh wanita pada dekade sekarang ini?

II. Sudut Pandang Sejarah
Salah satu tujuan utama dari penulisan ini adalah untuk menggambarkan suatu 
evaluasi yang adil terhadap kontribusi Islam (atau yang gagal dikontribusikan 
islam) terhadap pengembalian harga diri dan hak-hak wanita. Untuk mencapai 
tujuan ini, mungkin akan berguna untuk melihat secara sepintas bagaimana 
perlakuan terhadap wanita secara umum di jaman dan agama sebelumnya, terutama 
agama-agama yang ada sebelum Islam. Namun demikian, sebagian dari informasi 
yang dipaparkan disini merupakan gambaran kedudukan wanita pada akhir abad 19, 
lebih dari 12 abad sejak Islam pertama kali diturunkan.

Wanita di Zaman Kuno

Menjelaskan kedudukan perempuan dalam masyarakat India, dalam Encyclopedia 
Britanica dinyatakan:

Di India, kepatuhan merupakan prinsip yang paling utama. Siang dan malam wanita 
harus dijaga dan tergantung kepada penjaganya – kata Manu. Peraturan hak waris 
merupakan bagian keturunan laki-laki, dimana hubungan darah melalui laki-laki 
dan mengabaikan perempuan.

Dalam script Hindu, pemaparan mengenai isteri yang baik adalah sebagai berikut, 
”wanita, yang pikirannya, perkataannya dan tubuhnya selalu berada dalam 
ketundukan, memperoleh kemasyuran yang tinggi di dunia, dan selanjutnya, 
tinggal bersama suaminya.“

Di Athena, kedudukan wanita tidak lebih baik ketimbang di India dan Romawi. 
“Wanita Athena selalu berada diposisi yang lebih rendah (minor), tunduk 
terhadap laki-laki – kepada ayah mereka, saudara laki-laki mereka atau keluarga 
laki-laki mereka. 

Persetujuannya untuk menikah secara umum tidak dipandang perlu dan dia 
berkewajiban untuk patuh terhadap keinginan orang tuanya, dan menerima suaminya 
ataupun tuannya, meskipun dia adalah orang asing baginya.

Perempuan Rowami digambarkan oleh para sejarahwan sebagai, “bayi, mahluk 
rendah, anak kecil, seseorang yang tidak mampu berbuat atau melakukan sesuatu 
sesuai dengan keinginannya, seseorang yang terus-menerus berada dalam penjagaan 
dan pengawasan suaminya.

Dalam Encyclopedia Britanica, kita menemukan ringkasan mengenai status legal 
perempuan dalam masyarakat Romawi.

Dalam hukum Romawi, wanita dalam masa sejarah sangat tergantung sepenuhnya. 
Jika menikah, dirinya dan hartanya berpindah tangan dalam kekuasaan suaminya… 
seorang isteri merupakan harta yang dapat diperjualbelikan bagi suaminya, dan 
layaknya budak hanya dibutuhkan untuk keuntungannya (suami – pent). Wanita 
tidak dapat bekerja di sektor publik, tidak dapat menjadi saksi, penjamin, 
pengajar, kurator, dia tidak dapat mengadopsi atau diadopsi, membuat surat 
wasiat atau kontrak.

Dalam masyarakat Skandinavian, perempuan adalah :
Dalam perwailan terus-menerus, tidak perduli dia menikah atau tidak. Sampai 
denngan Code of Chrisitan V pada akhir abad ke 17 telah ditetapkan bahwa jika 
seorang perempuan menikah tanpa pesetujuan pengawasnya, dia dapat –jika dia mau 
– memetik hasil darinya selama hidupnya.

Menurut English Common Law 

…semua harta benda riil yang dimiliki seorang perempuan pada saat dia menikah 
menjadi milik suaminya. Dia (suami –pent.) berhak menyewakan lahannya, dan 
segala keuntungan yang didapatkan dari pengelolaan perkebunannya selama mereka 
menjadi pasangan suami isteri. Dengan berlalunya waktu, Hukum telah memikirkan 
cara untuk melarang seorang suami mengalihkan aset perkebunan tanpa persetujuan 
isterinya, namun ia tetap memiliki hak untuk mengelola dan memperoleh hasil 
yang diperoleh darinya. Sedangkan mengenai harta pribadi isteri, suami memiliki 
hak penuh. Dia memiliki hak untuk menggunakannya menurut kebutuhannya.

Hanya pada akhir abad ke 19 keadaan ini mulai berubah. “Dengan serangkaian 
peraturan, dimulai dengan Pengaturan Kepemilikan wanita menikah pada tahun 
1870, yang diamandemen pada tahun 1882 dan 1887, wanita menikah memperoleh hak 
untuk memuliki harta pribadi dan memasukkan kontrak setaraf dengan perawan tua, 
janda ataupun bercerai. Pada akhir abad ke 19, penguasa pada masa itu, Sir Henr 
Maine, menulis, “Tidak ada suatu masyarakat yang memelihara segala pemahaman 
kelembagaan Kristen yang mungkin mengembalikan kebebasan pribadi kepada wanita 
yang telah menikah yang diberikan atas mereka oleh Hukum Pertengahan Romawi.”

Dalam esainya, The Subjection of Women, John Stuart Mills menulis:

“Kita secara terus menerus diberitahu bahwa peradaban dan Kristen telah 
mengembalikan hak dasarnya,. Sementara itu seorang isteri merupakan budak yang 
terikat terhadap suaminya, tidak kurang dari itu -sepanjang kewajiban menurut 
hukum yang berlaku- budak seperti pada umumnya.”

Sebelum mengarah pada ketetapan Al-Qur’an mengenai kedudukan wanita, beberapa 
ketetapan dalam Injil dapat memberikan keterangan lebih lanjut dalam 
permasalahan ini, sehingga memberikan dasar yang lebih baik untuk evaluasi yang 
tidak berat sebelah. Dalam Mosaic Law, Isteri adalah terikat (dari betrothed 
yang arti harafiahnya adalah dipertunangkan – pent.). Menjelaskan konsep ini 
Ensiclopedia Biblica menyatakan: “Untuk mengikat seorang isteri kepada 
seseorang berarti memperoleh kepemilikan atasnya sebagai pembayaran terhadap 
uang pembelian; Yang dipertunangkan adalah seorang gadis yang kepadanya uang 
pembelian dibayarkan.” Dalam sudut pandang hukum, persetujuan dari seorang 
gadis tersebut tidak diperlukan bagi keabsahan pernikahan tersebut. 
“Persetujuan sang gadis tidak diperlukan dan kebutuhan terhadapnya (persetujuan 
tersebut – pent.) tidak disebutkan dimanapun dalam hukum.”

Mengenai hak untuk bercerai, kita membaca dalam Ensiclopedia Biblica: “Wanita 
menjadi hak milik lelaki, haknya (suami –pent.) untuk menceraikannya merupakan 
hal yang biasa.” Hak untuk menceraikan hanya dimiliki oleh laki-laki. “Dalam 
Mosaic Law perceraian merupakan hak istimewa seorang suami saja…”

Posisi Gereja Kristen sampai dengan abad terakhir ini nampaknya telah 
diperngaruhi oleh Mosaic Law dan oleh jalur pemikiran yang dominant dalam 
budanya kontemporernya. Dalam buku mereka, Marriage East and West (Pernikahan 
Timur dan Barat), David dan Vera Mace menulis:

Jangan biarkan orang beranggapan, bahwa warisan ajaran Kristen kita pun bebas 
dari pandangan yang meremehkan seperti itu. Sulit untuk menemukan dimanapun 
sejumlah keterangan yang merendahkan kaum perempuan seperti yang disampaikan 
oleh para gerejawan di masa awal. Lecky, seorang sejarahwan terkemuka, 
berbicara mengenai (dorongan kuat ini yang membentuk tulisan para Pendeta 
sangat menyolok dan...perempuan digambarkan sebagai pintu neraka. Sebagai induk 
dari semua kesalahan manusia. Dia harusnya merasa malu dengan hanya dengan 
berpikir bahwa dia seorang perempuan. Dia harus selalu hidup dalam penebusan 
dosa sebagai akibat dari kutukan yang dibawanya ke dunia. Dia haru merasa malu 
terhadap pakaiannya, karena itu adalah kenangan terhadap kesalahannya. Terlebih 
lagi dia harus merasa malu dengan kecantikannya, karena itu adalah alat yang 
paling kuat bagi setan). Salah satu yang paling melukai dari serangan-serangan 
terhadap wanita adalah Tertullian. Tahukan anda bahwa setiap anda adalah Hawa? 
Ketetapan Tuhan atas jenis kalian hidup di masa ini, dan kesalahan pun tetap 
hidup. Engkau adalah jalan setan; engkaulah yang membuka jalan ke pohon 
terlarang itu, dan engkau adalah pembangkang pertama terhadap hukum yang telah 
ditetapkan; engkaulah yang membujuknya (laki-laki) ketika setan tidak mampu 
menyerangnya. Engkau menghancurkan gambaran Tuhan, laki-laki, dengan mudah. 
Dikarenakan penghianatanmu – kematian – bahkan tatanan Tuhan pun harus mati). 
Tidak saja gereja menegaskan kedudukan rendah wanita, ia juga mencabut 
hak-haknya yang telah dinikmati sebelumnya

III. Wanita dalam Islam

Di tengah kegelapan yang menelan dunia, wahyu bergema di belantara padang pasir 
luas di tanah Arab dengan pesan yang segar, mulia dan universal untuk manusia:

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu 
dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada 
keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (QS 
An-Nisa : 1).

Para ulama menafsirkan ayat ini: “Telah diyakini bahwa tidak ada satu teks pun, 
baru ataupun lama, yang berhubungan dengan kaum wanita dalam seluruh aspek 
dengan begitu singkat, fasih, mendalam dan asli seperti ketetapan ayat di atas.
Menkankan pada konsepsi yang mulia dan alamiah, Al-Qur’an menyatakan:

“Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia 
menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya. ". (QS Al-A’raf : 189)

“(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu 
sendiri.” (QS Asy-Syura : 11)

“Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan 
bagimu dari istri-istri kamu itu, anak anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki 
dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan 
mengingkari nikmat Allah?" (QS An-Nahl : 72)

Seluruh tulisan ini menguraikan secara garis besar posisi Islam mengenai 
kedudukan wanita dalam masyarakat dari berbagai aspek – spiritual, social, 
ekonomi dan politik.

1. Aspek Spiritual

Al-Qur’an memberikan bukti yang nyata bahwa wanita benar-benar setara dengan 
pria di mata Tuhan dalam hal hak dan kewajibannya. Dalam Al-Qur’an dinyatakan:

“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” (QS 
Al-Mumtahanah : 38)

“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): 
"Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara 
kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari 
sebagian yang lain.” (QS Al-Imran : 195)

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam 
keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang 
baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang 
lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS An-Nahl : 97, lihat juga 
An-Nisa).

Wanita menurut Al-Qur’an tidak untuk dipersalahkan terhadap kesalan pertama 
Adam alaihis-salam. Keduanya bersalah dalam mengingkari ketaatan terhadap 
Allah, keduanya memperoleh hukuman, dan keduanya mendapat ampunan. (QS 
Al-Baqarah : 26, Al-A’raf : 20 – 24). Dalam salah satu ayat Al-Qur’an (surat 
Thahaa : 121), Adam secara khusus dipersalahkan.

Dalam batasan kewajiban agama, seperti shalat lima waktu sehari semalam, puasa, 
zakat, haji, kewajiban wanita tidak berbeda dengan pria. Bahkan dalam beberapa 
kasus, wanita mempunyai beberapa kelebihan atas pria. Sebagai contoh, wanita 
diperbolehkan meninggalkan shalat dan puasa dalam masa menstruasi dan empat 
puluh hari saat nifas. Dia juga boleh meninggalkan puasa selama masa kehamilan 
dan menyusui manakala ada kekhawatiran akan membahayakan kesehatan ibu dan 
bayi. Jika yang ditinggalkan adalah puasa wajib (selama bulan Ramadhan), dia 
boleh mengganti hari yang tertinggal tersebut kapanpun dia sanggup 
melakukannya. Dia tidak perlu mengganti shalat karena alasan-alasan yang 
disebutkan di atas. Meskipun wanita boleh dan pernah mendatangi masjid pada 
masa Rasulullah sallallahu alaihi wasallam dan karenanya wanita boleh 
menghadiri shalat jumat sedangkan hal tersebut (shalat jumat) merupakan 
kewajiban bagi laki-laki.

Hal ini jelas merupakan sentuhan lembut ajaran Islam karena mempertimbangkan 
kenyataan bahwa mungkin wanita harus menyusui atau merawat bayinya, dan 
karenanya mungkin tidak dapat menghadiri shalat di masjid manakala waktu shalat 
tiba. Ajaran Islam juga mempertimbangkan keadaan perubahan fisiologis dan 
psikologis yang berhubungan dengan fungsi kewanitaan yang alamiah.

2. Aspek Sosial

a). Sebagai Anak dan Orang Dewasa

Bertentangan dengan penguburan bayi perempuan hidup-hidup dalam beberapa suku 
Arab, Al-Qur’an melarang hal tersebut, dan menganggapnya sebagai sebuah 
kejahatan pembunuhna:

“Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa 
apakah dia dibunuh.” (QS At-Takwir : 8-9).

Mengkritisi perbuatan yang dilakukan beberapa orang tua yang menolak kelahiran 
anak perempuan, Al-Qur’an menegaskan:

“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak 
perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia 
menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang 
disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan 
ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ?. Ketahuilah, 
alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS An-Nahl : 58-59)

Lebih lanjut meneyelamtkan anak perempuan sehingga nantinya tidak menerima 
ketidakadilan dan ketidaksertaraan, Islam mengharuskan berpuatan baik dan adil 
kepadanya. Diantara perkataan Nabi Muhammad sallallahu alaihi wasallam dalam 
hal ini adalah sebagai berikut:

“Barangsiapa yang memiliki anak perempuan dan tidak menguburkannya hidup-hidup, 
tidak mempermalukannya, dan tidak melebihhkan anak laki-laki atasnya, Allah 
akan memasukkannya ke dalam surga. “ (HR Ahmad no. 1957).[2]

“Barangsiapa yang memelihara dua anak perempuannya sampai mereka dewasa, dia 
dan aku akan datang pada hari perhitungan seperti ini” (dan beliau menunjukkan 
dengan dua jarinya yang disatukan).[3]

Hadits serupa juga juga berlaku untuk seseorang yang memelihara dua saudara 
perempuannya (HR Ahmad no. 2104).[4]

Hak wanita untuk mencari ilmu tidak berbeda dengan laki-laki. Rasulullah 
sallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim.” (HR Al-Baihaqi). Muslim 
yang dimaksud disini adalah meliputi keduanya laki-laki dan perempuan.
b) Sebagai Isteri

Al-Qur’an jelas menunjukkan bahwa perkawinan adalah perpaduan antara dua 
setengah dari masyarakat, dan bahwa tujuannya, selain meneruskan generai 
manusia, adalah untuk pemuasan kebutuhan emosional dan keseimbangan spiritual. 
Landasannya adalah cinta dan kasih sayang.

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu 
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram 
kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya 
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang 
berpikir.” (QS Ar-Rumm : 21)

Menurut hukum Islam, seorang wanita tidak boleh dipaksa untuk menikah tanpa 
persetujuannya. 

Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullah 
sallallahu alaihi wasallam, dan dia menceritakan bahwa ayahnya telah memaksanya 
untuk menikah tanpa persetujuannya. Rasulullah sallallahu alaihi wasallam 
memberinya dua pilihan… (antara menerima pernikahan itu atau membatalkannya) 
(HR Ahmad no. 2469). Dalam riwayat lain, wanita itu berkata, “Sebenarnya saya 
menerima perkawinan ini tetapi saya ingin para wanita mengetahui bahwa orang 
tua tidak berhak (memaksakan seorang suami kepada mereka).” (HR Ibnu Majah no. 
1873).[5]

Selain apa yang diperoleh untuk melindunginya dalam masa perkawinan, telah 
diperintahkan secara khusus bahwa wanita memiliki hak penuh atas maharnya, 
hadiah perkawinan, yang diberikan kepadanya oleh suaminya dan hal tersebut 
termasuk dalam akad perkawinan, dan bahwa kepemilikan tersebut tidak dapat 
dipindahkan kepada ayahnya atau suaminya. Konsep mahar dalam Islam bukan 
merupakan harga actual atau simbolis dari seroang wanita, sebagaimana yang 
terdapat dalam beberapa budaya, namun lebih pada hadiah yang melambangkan cinta 
dan ketertarikan.

Hukum perkawinan dalam Islam adalah jelas dan selaras dengan sifat dasar 
manusia. Dengan mempertimbangkan penciptaan sisi fisiologi dan psikologi pria 
dan wanita, keduanya mempunya hak dan kewajiban yang sama antar satu dengan 
yang lain, kecuali satu kewajiban, yaitu kepemimpinan. Hal ini adalah sesuatu 
yang alami sejauh pengamatan saya dalam hidup ini, dan konsisten terhadap 
keadaan alami pria.

Al-Qur’an menegaskan:

“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara 
yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada 
istrinya.” (QS Al-Baqarah : 228)

Kelebihan itu adalah Qiwamah (pemeliharaan dan perlindungan). Hal ini merujuk 
pada perbedaan alami antara dua jenis kelamin yang mewajibkan jenis yang lebih 
lemah mendapatkan perlindungan. Hal ini tidak menyiratkan adanya superioritas 
atau kelebihan di mata hukum. Nanum peran kepemimpinan laki-laki dalam 
keluarganya tidak berarti seorang suami menjadi dictator atas isterinya. Islam 
menkeankan pentingnya nasehat dan persetujaun bersama dalam diskusi keluarga. 
Al-Qur’an memberi kita contoh:

“Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya 
dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. “ (QS Al-Baqarah : 233)

Di atas hak-hak dasar seorang isteri, ada hak yang ditekankan dalam Al-Qur’an 
dan sangat dianjurkan oleh Rasulullah salallahu alaihi wasallam; perlakuan yang 
baik dan persahabatan.

“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai 
mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal 
Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS An-Nisa : 19)

Nabi Muhammad sallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Yang paling baik di antara kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya. 
Dan saya adalah yang terbaik di antara kamu terhadap keluargaku.”[6]

“Mukmin terbaik adalah yang paling baik akhlaknya, dan yang paling baik di 
antara kamu adalah yang paling baik perlakuannya terhadap isterinya.” (HR Ahmad 
no. 7396)

Perhatikanlah, banyak wanita yang mendatangi isteri-isteri Rasulullah 
mengadukan suami mereka (karena pemukulan) --- mereka (para suami tersebut) 
bukanlah yang terbaik untuk kalian.

Sebagaimana hak wanita untuk menyetujui sebuah perkawinan diakui, demikian pula 
haknya untuk menghakhiri perkawinannya yang tidak bahagia. Namun untuk 
memberikan stabilitas kepada keluarga, dan untuk melindunginya dari keputusan 
yang tergesa-gesa dibawah tekanan emosi sementara, beberapa langkah dan masa 
menunggu harus diperhatikan bagi pria dan wanita yang ingin bercerai. 
Mempertimbangkan keadaan alami wanita yang relative lebih emosional, sebuah 
alasan yang benar harus dihadapkan pada hakim sebelum bercerai. Namun demikian, 
sebagaimana pria, wanita dapat menceraikan suaminya tanpa melalui pengadilan, 
jika perjanjian pernikahan membolehkannya.[7]

Lebih spesifik, beberapa aspek dalam hukum Islam yang berhubungan dengan 
pernikahan dan perceraian adalah menarik dan berharga untuk dibahas secara 
terpisah.

Manakala keberlanjutan sebuah pernikahan tidak memungkinkan karena beberapa 
alasan, laki-laki tetap diajarkan untuk mencari penyelesaian yang terbaik.

Untuk hal tersebut Al-Qur’an menegaskan:
“Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir idahnya, maka 
rujukilah mereka dengan cara yang makruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara 
yang makruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudaratan, 
karena dengan demikian kamu menganiaya mereka.” (QS Al-Baqarah : 231). (Lihar 
juga QS Al-Baqarah : 229 dan QS Al-Ahzab :49)

c) Sebagai Ibu

Islam mengajarkan kebaikan terhadap kedua orang tua setelah penyembahan kepada 
Allah.< “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang 
ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang 
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.” (QS Luqman : 14)

Lebih lanjut, Al-Qur’an memberikan anjuran khusus bagi perlakuan baik terhadap 
ibu:

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan 
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS 
Al-Israa’ : 23)

Seorang laki-laki datang kepada Nabi Muhammad sallallahu alaihi wasallam dan 
bertanya: “Ya Rasulullah, siapa di antara manusia yang paling berhak aku 
pergauli degan baik?” Rasulullah sallallahu alaihi wasallam menjawab, “Ibumu.” 
Dia bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Rasulullah sallallahu alaihi wasallam 
menjawab, “Ibumu.” Dia bertanya, “Lalu siapa lagi?” Beliau menjawab, “Ibumu.” 
Dia bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Rasulullah sallallahu alaihi wasallam 
menjawab, “Kemudian ayahmu.” (HR Bukhari-Muslim)

Sebuah perkataan terkenal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad sallallahu 
alaihi wasallam: “Surga di bawah telapak kaki ibu.” (HR An-Nasa’i, Ibnu Majah, 
Ahmad).[8]

“Orang yang dermawan (pada karakter) adalah mereka yang berakhlak baik terhadap 
wanita, dan yang jahat adalah yang mempermalukan mereka.”

3. Aspek Ekomomi

Islam menetapkan hak yang hilang dari wanita pada masa sebelum Islam dan 
sesudahnya (bahkan sampai abad ini), hak kepemilikian independent. Menurut 
hukum Islam, hak-hak wanita terhadap uang, real estate, dan jenis harta lainnya 
diakui secara penuh. Hak ini berjalan tanpa perubahan apakah dia bertatus belum 
menikah atau menikah. Dia memiliki hak untuk membelanjakan, menjual 
menggadaikan atau menyewakan apa saja dari hartanya. Tidak akan ditemukan 
dimanapun dalam hukum Islam yang menunjukkan bahwa wanita berkedudukan rendah 
hanya karena dia seorang wanita. Adalah juga penting bahwa hak tersebut berlaku 
untuk harta yang didapatkan sebelum menikah ataupun sesudahnya.

Mengenai hak wanita untuk bekerja, harus ditegaskan sebelumnya bahwa Islam 
memandang tugasnya dalam masyarakat sebagai ibu dan isteri sebagai peranan yang 
sangat suci dan penting. Tidak pembantu atau perawat anak dapat menggantikan 
tugas seorang ibu sebagai pendidik anak pada masa pertumbuhan dengan kebebasan 
kompleks dan membesarkannya dengan hati-hati. Tugas yang mulia dan vital ini, 
yang secara luas membentuk masa depan bangsa, tidak dapat dikatakan “tidak 
berbuat apa-apa”.

Namun demikian, tidak ada satupun ketetapan dalam Islam yang melarang wanita 
bekerja manakala ada kebutuhan untuk itu, khususnya pada pekerjaan yang sesuai 
dengan kewanitaanya dan dimana masyarakat lebih memtuhkannya. Contoh dari 
profesi ini adalah perawat, pengajar (khususnya bagi anak-anak) dan pengobatan. 
Lebih lanjut, tidak ada batasan mengambil manfaat dari keahlian khusus wanita 
dalam bidang apapun. Bahkan dalam posisi sebagai hakim, dimana ada 
kecenderungan untuk meragukan kemampuan wanita pada posisi tersebut mengingat 
sifat emosional alamiahnya, kita temukan sebelumnya para ulama seperti Abu 
Hanifa dan At-Tabary menegaskan hal itu tidak mengapa. Selanjutnya, Islam 
mengembalikan hak wanita dalam hal warisan, setelah sebelumnya dia hanyalah 
objek yang diwariskan pada beberapa budaya. Warisannya adalah merupakan hak 
miliknya dan tidak ada yang dapat mengklaim warisan tersebut darinya, termasuk 
ayah dan suaminya.

“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan 
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan 
ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah 
ditetapkan.” (QS An-Nisa : 7)

Dalam hal ini bagian wanita adalah setengah dari bagian pria, ini tidak berarti 
bahwa wanita bernilai setengah daripada pria! Secara nyata akan terlihat tidak 
sejalan begitu banyak bukti perlakuan yang setara terhadap wanita untuk 
kesimpulan semacam itu. Perbedaan dalam hak waris ini hanya sejalan dengan 
perbedaan dalam tanggung jawab keuangan pria dan wanita menurut hukum Islam. 
Laki-laki dalam Islam bertanggung jawab sepenuhnya dalam memelihara isteri, 
anak-anak, dan dalam beberapa kasus keluarga yang membuthkan, khususnya 
perempuan. Kewajiban ini tidak terlepas atau berkurang karena kekayaan 
isterinya atau karena pendapatan yang diperoleh isterinya dari bekerja, 
sewa-menyewa, keuntungan, atau pendapatan halal lainnya.

Di sisi lain, wanita jauh lebih terjamin dalam hal keuangan dan tidak terbebani 
dengan segala jenis tuntutan terhadap harta pribadinya. Harta pribadi sebelum 
menikah tidak berpindah kepada suaminya dan dia bahkan tetap menggunakan nama 
aslinya sebelum menikah. Dia juga tidak mempunyai kewajiban untuk membelanjakan 
hartanya untuk keluarganya dari harta ataupun pendapatannya setelah menikah. 
Dia berhak mendapatkan mahar yang diperoleh dari suaminya pada saat menikah. 
Jika dia diceraikan, dia dapat memperoleh tunjangan dari mantan suaminya. 

Pemeriksaan terhadap hukum waris dalam kesatuan kerangka hukum islam 
menunjukkan tidak saja Islam berlaku adil tetapi juga sangat menaruh perhatian 
pada wanita.

4. Aspek Politik
Penelitian yang adil terhadap ajaran Islam – ke dalam sejarah peradaban Islam 
tentu saja akan didapat bukti nyata bahwa wanita setara dengan pria dalam apa 
yang kita sebut hari ini ‘hak berpolitik”.

Hal ini termasuk hak untuk mengikuti pemilu dan juga dicalonkan dalam 
partai-partai politik. Hal ini juga termasuk hak wanita untuk ikut serta dalam 
masalah umum. Baik dalan Al-Qur’an maupun sejarah Islam kita akan menemukan 
wanita berpartisipasi dalam diskusi dan berargumen bahkan dengan Nabi 
sallallahu alaihi wasallam, (lihat QS Al-Mujadilah : 14, dan QS Al-Mumtahanah 
10-12).

Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab radiallahu anha, seorang 
wanita membantahnya dalam masjid, membuktikan perkataaannya dan menyebabkan 
Umar mengumumkan pada hadirin, “Wanita ini benar dan Umar salah.”

Meskipun tidak disebutkan dalam Al-Qur’an, salah satu hadits Rasulullah 
diartikan bahwa wanita tidak pantas menjadi pemimpin Negara. Hadits yang 
dimaksud kurang lebih berarti: “Tidak beruntung suatu masyarakat jika mereka 
memilih wanita menjadi pemimpin mereka.” Bagaimanapun juga, keterbatasan ini 
tidak ada hubungannya dengan martabat atau hak wanita. Hal ini lebih pada 
perbedaan alamiah dari segi biologis dan psikologis.

Menurut ajaran Islam, pemimpin suatu Negara tidak sekedar symbol. Dia memimpin 
masyarakatnya dalam shalat, khususnya pada shalat Jumat dan Ied, Dia secara 
terus-menerus terikat dalam proses pengambilan keputusan menyangkut masalah 
keamanan dan kemaslahatan masyarakatnya. Posisi yang penuh tuntutan ini, atau 
yang semisalnya, seperti pinpinan angkatan bersenjata, secara umum tidak 
sejalan dengan kondisi fisiologis dan psikologis wanita pada umumnya. Adalah 
fakta klinis bahwa dalam masa menstruasi dan kehamilan, wanita mengalami 
perubahan fisiologis dan psikologis. Perubahan seperti itu dapat terjadi dalam 
keadaan darurat, hingga mempengaruhi keputusannya, tanpa mempertimbangkan 
ketenganan yang berlebihan yang ditimbulkannya. Lebih lanjut, beberapa 
keputusan membutuhkan rasionalitas maksimum dan emosionalitas minimum – sebuah 
kebutuhan yang tidak sejalan dengan naluri alami wanita.

Bahkan di zaman moderen, dan di negara-negara maju, sangat jarang dijumpai 
seorang wanita menjadi kepala negara, berperan lebih dari sekedar symbol, 
seorang wanita yang menjadi komandan angakatan bersenjata, atau bahkan jumlah 
proporsional wanita sebagai anggota parlemen, atau lembaga sejenis. Seseorang 
tidak mungkin menganggap hal ini sebagai ketertinggalan beberapa negara atau 
lembaga konsitusi terhadap hak-hak wanita untuk menduduki jabatan kepala 
pemerintahan atau anggota parlemen. Adalah lebih masuk akal untuk menjelaskan 
keadaan masa kini dalam batasan perbedaan natural dan tidak terbantahkan antara 
pria dan wanita, perbedaan yang tidak menyiratkan ‘supermasi’ pria terhadap 
wanita. Perbedaan ini lebih menyiratkan pada peran “saling mengisi” dari 
keduanya dalam kehidupan ini.
______________________________________
IV. Kesimpulan
Bagian pertama atikel ini menjelaskan secara ringkas posisi beberapa agama dan 
budaya terhadap isu yang sedang diteliti. Sebagian dari penjelasan diperluas 
untuk mencakup kecenderungan umum sampai pada abad ke 19, hamper 1300 tahun 
setelah Al-Qur’an meletakkan landasan ajaran Islam.

....Lengkapnya silakan baca di
http://khayla.blogspot.com/2007/06/kedudukan-wanita-dalam-islam.html


Website anda: http://www.assunnah.or.id & http://www.almanhaj.or.id
Website audio: http://assunnah.mine.nu
Berhenti berlangganan: [EMAIL PROTECTED]
Ketentuan posting : http://milis.assunnah.or.id/mlbios.php/aturanmilis/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke