Nasehat Untuk Para Pemuda Multazim
Rabu, 23 Mei 2007 16:34:31 WIB

NASEHAT UNTUK PARA PEMUDA MULTAZIM

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa nasehat Syaikh sehubungan 
dengan para pemuda yang multazim dalam berhadapan dengan sesamanya dan dalam 
menghadapi fenomena saling berlepas diri antar mereka? Bagaimana pula pandangan 
Syaikh tentang banyaknya jama'ah saat ini? Apakah Syaikh menyarankan saya untuk 
bergabung dengan jama'ah tabligh dan khuruj (keluar untuk dakwah) bersama 
mereka?

Jawaban
Fenomena yang dialami oleh para pemuda multazim, yaitu perpecahan dan saling 
menganggap sesat serta menimpakan rasa permusuhan terhadap orang yang tidak 
sejalan dengan manhaj mereka, tidak diragukan lagi, bahwa ini sangat disesalkan 
dan disayangkan. Bisa jadi hal ini menyebabkan hantaman yang besar. Perpecahan 
semacam ini merupakan dambaan para setan dari golongan jin dan manusia, karena 
setan-setan manusia dan jin tidak menyukai para ahli kebaikan bersatu padu, 
mereka menginginkan perpecahan, karena mereka tahu persis bahwa perpecahan itu 
akan menghilangkan kekuatan yang hanya bisa dicapai dengan iltizam dan ittijah 
kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Hal ini ditunjukkan oleh ayat-ayat berikut:

"Artinya : Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi 
gentar dan hilang kekuatanmu"[Al-Anfal : 46].

"Artinya : Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan 
berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka." [Ali Imran: 105]

"Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka 
(terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu 
terhadap mereka." [Al-An'am : 159]

"Artinya : Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah 
diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, 
Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah 
tentangnya" [Asy-Syura : 13]

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah melarang kita bercerai berai dan menjelaskan 
akibatnya yang mengerikan. Dan yang wajib bagi kita adalah menjadi satu umat 
dan satu kalimat. Sebab, perpecahan berarti merusak dan memecah kekuatan serta 
melahirkan kelemahan umat. Adalah para sahabat radhiyallahu a'nhum, walaupun 
terjadi perselisihan antar mereka, tapi tidak sampai terjadi perpecahan dan 
permusuhan. Perselisihan antar para sahabat memang pernah terjadi, bahkan 
ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam masih hidup. Tatkala Nabi kembali 
dari peperangan, Jibril mendatanginya dan menyuruhnya ke Bani Quraizhah karena 
mereka melanggar kesepakatan, lalu Nabi Shalalllahu 'alaihi wa sallam berpesan 
kepada para sahabat yang diutusnya,

"Tidak seorang pun yang shalat Ashar kecuali di tempat Bani Quraizhah."

Para sahabat utusan pun segera bertolak dari Madinah menuju Bani Quraizah, 
ketika tiba waktu shalat Ashar, sebagian mereka mengatakan, "Kita tidak boleh 
shalat (Ashar) kecuali di tempat Bani Quraizhah walaupun matahari telah 
terbenam, karena tadi Nabi Saw berpesan, "Tidak seorang pun yang shalat Ashar 
kecuali di tempat Bani Quraizah."[1] Lalu kita katakan, "Kami mendengar dan 
kami patuhi."

Sementara itu, ada pula di antara mereka yang mengatakan, bahwa Rasulullah 
Shallallahu 'alaihi wa sallam menginginkan agar kita bersegera dan cepat-cepat 
berangkat, beliau tidak menginginkan kita menunda shalat." Berita ini sampai 
kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, namun beliau tidak memarahi dan 
tidak mencela seorang pun di antara mereka karena pemahamannya, dan mereka 
sendiri tidak berpecah belah karena perbedaan dalam memahami pesan Rasulullah 
Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut. Dari itu, hendaknya kita tidak berpecah 
belah tapi tetap menjadi satu umat. Jika dikatakan, "Ini dari golongan salaf, 
ini dari golongan ikhwan, ini dari golongan tabligh, ini dari golongan sunni, 
ini dari golongan pengekor, ini dari anu, ini dari anu, ini dari anu." Kita 
akan berpecah belah dan ini bahayanya sangat besar. Yang kita harapkan, bahwa 
pergerakan Islam ini adalah saling mendukung jika memang pergerakan ini telah 
melahirkan berbagai kelompok yang terpecah-pecah, saling menganggap sesat dan 
saling menganggap bodoh.

Untuk memecahkan problema ini hendaknya kita menempuh cara yang ditempuh oleh 
para sahabat radhiyallahu 'anhum dan memahami bahwa perbedaan ini terlahir dari 
ijtihad dalam masalah yang menuntut ijtihad, dan mengetahui bahwa perbedaan ini 
tidak menimbulkan pengaruh karena pada hakikatnya tetap sepakat. Bagaimana itu? 
Saya berbeda dengan anda dalam suatu masalah karena konsekuensi dalil saya 
berbeda dengan yang anda utarakan. Anda berbeda pendapat dengan saya dalam 
masalah anu, karena konsekuensi dalil anda berbeda dengan yang saya utarakan. 
Saya tetap menghormati dan memuji anda karena anda berani berbeda dengan saya, 
namun saya tetap saudara dan teman anda, karena perbedaan ini merupakan 
konsekuensi dalil anda, maka kewajiban saya adalah tidak merasa bermasalah 
dengan anda, bahkan saya memuji anda karena pendapat itu, dan anda pun 
demikian. Jika kita mengharuskan salah seorang kita untuk menerima pendapat 
yang lain, maka pemaksaan saya terhadapnya untuk menerima pendapat saua tidak 
lebih baik daripada pemaksaannya terhadap saya untuk menerima pendapatnya. 
Karena itu saya katakan, kita harus menjadikan perbedaan yang bertolak dari 
ijtihad ini sebagai kesepakatan, bukan perselisihan sehingga menjadi satu 
kalimat dan mencapai kebaikan.

Jika ada yang mengatakan, Terapi ini tidak mudah diterapkan pada orang awam, 
bagaimana solusinya?

Solusinya: Pertemukan para pemimpin dan para tokoh dari setiap kelompok untuk 
mengkaji dan membahas inti perbedaan sampai kita bisa bersatu dan berpadu.

Pada suatu tahun, pernah diadukan suatu masalah di Mina -kepada saya dan 
beberapa ikhwan- mungkin ini terdengar aneh oleh kalian. Saat itu, ada dua 
kelompok, masing-masing terdiri dari tiga atau empat laki-laki, masing-masing 
menuduh kafir dan melaknat yang lainnya, padahal mereka para haji dan 
pentolan-pentolannya. Salah satu kelompok mengatakan, bahwa kelompok lainnya 
itu melaksanakan shalat dengan menempatkan tangan kanan di atas tangan kiri di 
atas dada, ini pengingkaran terhadap As-Sunnah, karena sesuai As-Sunnah, 
menurut kelompok ini, adalah mengulurkan (membiarkan) tangan pada paha. 
Sementara kelompok satunya mengatakan, bahwa mengulurkan tangan pada paha dan 
tidak menumpukkan tangan kanan di atas tangan kiri adalah kufur dan pantas 
dilaknat. Perselisihan mereka cukup keras. Tapi dengan fadhilah Allah, lalu 
usaha ikhwan-ikhwan dengan menjelaskan persatuan yang seharusnya diemban oleh 
umat Islam, mereka akhirnya menerima dan masing-masing rela terhadap yang 
lainnya.

Lihatlah bagaimana setan mempermainkan mereka dalam masalah khilafiyah tersebut 
hingga mencapai tingkat saling mengkafirkan. Padahal itu salah satu sunnah, 
bukan rukun Islam, bukan fardhu dan bukan kewajiban. Intinya, sebagian ulama 
berpendapat bahwa meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di atas dada 
adalah sunnah, sementara yang lain mengatakan bahwa yang sunnah adalah 
mengulurkan tangan (membiarkannya dan tidak sedakep). Sementara yang benar, 
yang ditunjukkan oleh As-Sunnah adalah memposisikan tangan kanan di atas lengan 
kiri, sebagaimana dikatakan oleh Sahl bin Sa'd yang diriwayatkan oleh 
Al-Bukhari, "Orang-orang diperintahkan untuk memposisikan tangan kanan pada 
lengan kirinya ketika shalat."[2]

Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala menganugerahi saudara-saudara kita yang 
memiliki acuan dan metode dalam sarana dakwah, persatuan, kecintaan dan 
kelapangan dada. Jika niatnya baik tentu akan mudah mengobatinya, tapi jika 
niatnya tidak baik, masing-masing bangga dengan pendapatnya dan tidak mengakui 
yang lainnya, keberhasilannya akan jauh.

Catatan: Jika perbedaan itu dalam masalah aqidah, maka itu harus diluruskan. 
Jika bertentangan dengan manhaj para pendahulu umat, maka itu harus diingkari 
dan mengingatkan orang yang menganut paham yang bertentangan dengan paham para 
pendahulu umat ini.

Adapun mengenai jama'ah Tabligh, menurut hemat saya, mereka adalah suatu 
kelompok yang dengan itu Allah memberikan manfaat yang besar. Berapa banyak 
orang durhaka yang ditunjuki Allah melalui tangan mereka, dan berapa banyak 
orang kafir yang memeluk Islam di tangan mereka. Pengaruhnya, tidak ada seorang 
pun yang mengingkarinya. Tapi, tidak diragukan lagi, bahwa mereka itu masih 
belum banyak tahu, mereka membutuhkan para penuntut ilmu untuk menyertai mereka 
dan menjelaskan kepada mereka tentang hal-hal yang biasa mereka lakukan dan 
mereka kira bahwa itu tidak apa-apa dan bermanfaat, padahal sebenarnya perlu 
diluruskan. Misalnya, mengharuskan sebagian mereka untuk khuruj selama tiga 
hari, empat hari, empat puluh hari, enam bulan dan sebagainya, kemudian 
mengatakan, "Kami melakukan ini sebagai sarana, bukan tujuan. Yakni, kami tidak 
berkeyakinan bahwa hal ini disyari'atkan atau merupakan ibadah kepada Allah, 
tapi kami berkeyakinan bahwa ketentuan ini untuk meneguhkan dan mengeksiskan." 
Yaitu dengan turut serta berdakwah, melaksanakan dan berpindah-pindah dan 
sebagainya.

Menurut saya, mereka itu baik, banyak memberikan manfaat dan kebaikan. Hanya 
saja, mereka masih kurang ilmu sehingga membutuhkan para penuntut ilmu untuk 
menjelaskan kepada mereka.

Catatan saya tentang mereka, bahwa sebagian mereka saya tidak mengatakan mereka 
semua jika anda ikut berdiskusi dengan mereka dalam masalah ilmu, ia tidak 
senang, tidak suka berdebat atau mendalami ilmu. Jelas ini suatu kesalahan, 
karena seharusnya manusia itu lebih-lebih para pemuda- antusias terhadap ilmu 
dan mengkajinya, tapi dengan cara yang tenang dan mencari kebenaran, bukan 
dengan perdebatan, kekerasan atau kakasaran sebagaimana dilakukan oleh sebagian 
orang. Saya berharap jama'ah ini bisa berhubungan dengan yang lainnya dan 
bersatu pada kalimat yang sama. Yang ini belajar ilmu dari yang itu, sementara 
yang itu belajar akhlak dan adab dari yang ini. Wallahu a 'lam.

[Fatawa aq'diyyah, Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 778-783]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min 
Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerbit 
Darul Haq]
__________
Foote Note
[1]. HR. Al-Bukhari dalam Al-Khauf (946) Muslim dalam Al-Jihad (1770).
Namun dalam lafazh Muslim kalimat disebutkan "Zhuhr" bukan "Ashr".
[2]. HR. Al-Bukhari dalam Al-Adzan (740).
------------------------------------

Website anda http://www.almanhaj.or.id
Download MP3 -Free kajian Islam- http://assunnah.mine.nu
Berhenti berlangganan: [EMAIL PROTECTED]
Ketentuan posting : http://milis.assunnah.or.id/mlbios2/aturanmilis.php
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke