Assalamu alaikum Warohmatulloh,

Akhi, jadi Akhi pernah Berzina dengan Mantan Istri ?
Apakah Akhi keberatan bila di minta Pertanggung Jawaban oleh Allah atas 
perbuatan Akhi ?

Ini ada kutipan dari www.almanhaj.or.id
Insya Allah bisa menambah pemahaman Akhi.


Apabila Seorang Perempuan Berzina Kemudian Hamil, Bolehkah Dinikahi Oleh Pria 
Yang Menghamilinya?
Senin, 29 Oktober 2007 12:43:42 WIB

HAMIL DI LUAR NIKAH DAN MASALAH NASAB ANAK-3/4-

Oleh
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat

[4]. Kejadian Yang Keempat : Apabila seorang perempuan berzina
kemudian hamil, bolehkah ia dinikahi oleh laki-laki yang
menghamilinya dan kepada siapa dinasabkan anaknya?

Jawabannya : Boleh dia dinikahi oleh laki-laki yang menzinainya dan
menghamilinya dengan kesepakatan (ijma) para ahli fatwa sebagaimana
ditegaskan oleh Imam Ibnu Abdil Bar yang dinukil oleh Al-Hafidz Ibnu
Hajar di kitabnya Fathul Baari (Juz 9 hal. 157 di bagian kitab nikah
bab 24 hadits 5105) [17]. Untuk lebih jelasnya lagi marilah kita
ikuti fatwa para ulama satu persatu dari para shahabat Nabi
Shallallahu `alaihi wa sallam dan seterusnya.

Pertama : Fatwa Abu Bakar Ash-Shiddiq
Berkata Ibnu Umar : Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq sedang berada di
masjid tiba-tiba datang seorang laki-laki, lalu Abu Bakar berkata
kepada Umar, "Berdirilah dan perhatikanlah urusannya karena
sesungguhnya dia mempunyai urusan (penting)" Lalu Umar berdiri
menghampirinya, kemudian laki-laki itu menerangkan urusannya kepada
Umar, "Sesungguhnya aku kedatangan seorang tamu, lalu dia berzina
dengan anak perempuanku!?" Lalu Umar memukul dada orang tersebut dan
berkata, "Semoga Allah memburukkanmu! Tidakkah engkau tutup saja
(rahasia zina) atas anak perempuan itu!"

Kemudian Abu Bakar memerintahkan agar dilaksanakan hukum had (didera
sebanyak seratus kali) terhadap keduanya (laki-laki dan perempuan
yang berzina). Kemudian beliau menikahkan keduanya lalu beliau
memerintahkan agar keduanya diasingkan selama satu tahun.
[Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hazm di kitabnya Al-Muhalla juz 9 hal.
476 dan Imam Baihaqiy di kitabnya Sunanul Kubro juz 8 hal. 223 dari
jalan Ibnu Umar) [18]

Kedua : Fatwa Umar bin Khaththab
Fatwa Abu Bakar di atas sekaligus menjadi fatwa Umar bahkan fatwa
para shahabat. Ini disebabkan bahwa fatwa dan keputusan Abu Bakar
terjadi di hadapan para shahabat [19] atau diketahui oleh mereka
khususnya Umar. Dan semua para shahabat diam menyetujuinya dan tidak
ada seorang pun di antara mereka yang mengingkari fatwa tersebut.
Semua ini menunjukkan telah terjadi ijma di antara para shahabat
bahwa perempuan yang berzina kemudian hamil boleh bahkan harus
dinikahkan dengan laki-laki yang menzinainya dan menghamilinya. Oleh
karena itu kita melihat para shahabat berfatwa seperti di atas di
antaranya Umar bin Khaththab ketika beliau menjadi khalifah
sebagaimana riwayat di bawah ini.

Berkata Abu Yazid Al-Makkiy, "Bahwasanya ada seorang laki-laki nikah
dengan seorang perempuan. Dan perempuan itu mempunyai seorang anak
gadis yang bukan (anak kandung) dari laki-laki (yang baru nikah
dengannya) dan laki-laki itupun mempunyai seorang anak laki-laki yang
bukan (anak kandung) dari perempuan tersebut (yakni masing-masing
membawa seorang anak, yang laki-laki membawa anak laki-laki dan yang
perempuan membawa anak gadis). Lalu pemuda dan anak gadis tersebut
melakukan zina sehingga nampaklah pada diri gadis itu kehamilan. Maka
tatkala Umar datang ke Makkah diangkatlah kejadian itu kepada beliau.
Lalu Umar bertanya kepada keduanya dan keduanya mengakui (telah
berbuat zina). Kemudian Umar memerintahkan mendera keduanya
(dilaksanakan hukum had) [20]. Dan Umar sangat ingin mengumpulkan di
antara keduanya (dalam satu perkawinan) akan tetapi anak muda itu
tidak mau" [Dikeluarkan oleh Imam Baihaqiy (7/155) dengan sanad yang
shahih]

Ketiga : Fatwa Abdullah bin Mas'ud
Dari Hammam bin Harits bin Qais bin Amr An-Nakha'i Al-Kufiy.
"Artinya : Dari Hammaam bin Harits bin Qais bin Amr An-Nakha'i Al-
Kufiy dari Abdullah bin Mas'ud tentang, "Seorang anak laki-laki yang
berzina dengan seorang perempuan kemudian laki-laki itu hendak
menikahi perempuan tersebut?" Jawab Ibnu Mas'ud, "Tidak mengapa yang
demikian itu" [Dikeluarkan oleh Imam Baihaqiy (7/156) secara mu'allaq
dengan sanad yang shahih]

Dari Al-Qamah bin Qais (ia berkata) : Sesungguhnya telah datang
seorang laki-laki kepada Ibnu Mas'ud, lalu laki-laki itu
bertanya, "Seorang laki-laki berzina dengan seorang perempuan
kemudian keduanya bertaubat dan berbuat kebaikan, apakah boleh laki-
laki itu kawin dengan perempuan tersebut? " Kemudian Ibnu Mas'ud
membaca ayat ini.

"Artinya : Kemudian sesungguhnya Rabb-mu kepada orang-orang yang
mengerjakan kejahatan dengan kebodohan [21], kemudian sesudah itu
mereka bertaubat dan mereka berbuat kebaikan, sesungguhnya Rabb-mu
sesudah itu Maha Pengampun (dan) Maha Penyayang" [An-Nahl : 119]

Berkata Al-Qamah bin Qais, "Kemudian Ibnu Mas'ud mengulang-ulang ayat
tersebut berkali-kali sampai orang yang bertanya itu yakin bahwa Ibnu
Mas'ud telah memberikan keringanan dalam masalah ini (yakni beliau
membolehkannya)". [Dikeluarkan oleh Imam Baihaqiy (7/156). Kemudian
Imam Baihaqiy (7/156) juga meriwayatkan dari jalan yang lain yang
semakna dengna riwayat di atas akan tetapi di riwayat ini Ibnu Mas'ud
membaca ayat): [22]

"Artinya : Dan Dialah (Allah) yang menerima taubat dari hamba-
hambaNya dan memaafkan dari kesalahan-kesalahan (mereka) dan Dia
mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan" [Asy-Syura : 25] [23]

Dalam sebagian riwayat ini terdapat tambahan : Setelah Ibnu Mas'ud
membaca ayat di atas beliau berkata, "Hendaklah menikahinya!".

Keempat : Fatwa Ibnu Umar.
Ibnu Umar pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina
dengan seorang perempuan, apakah boleh dia menikahinya ? Jawab Ibnu
Umar, "Jika keduanya bertaubat dan keduanya berbuat kebaikan (yakni
beramal shalih)" [Dikeluarkan oleh Imam Ibnu Hazm di Al-Muhalla juz 9
hal. 475.

Kelima : Fatwa Jabir bin Abdullah
Berkata Jabir bin Abdullah, "Apabila keduanya bertaubat dan keduanya
berbuat kebaikan, maka tidak mengapa (tidak salah dilangsungkan
pernikahan di antara keduanya) –yakni tentang laki-laki yang berzina
dengan seorang perempuan kemudian dia ingin menikahinya-"
[Dikeluarkan oleh Ibnu Hazm (9/475), dikeluarkan juga oleh Imam
Abdurrazzaq (7/202) yang semakna dengan riwayat di atas]

Keenam : Fatwa Ibnu Abbas
Berkata Ubaidullah bin Abi Yazid , "Aku pernah bertanya kepada Ibnu
Abbas tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan
bolehkah dia menikahinya ?" Jawab beliau, "Ya", karena (nikah itu)
perbuatan halal" [Dikeluarkan oleh Baihaqiy (7/155) dengan sanad yang
shahih] [24]

Dari Ikrimah dari Ibnu Abbas : Tentang seorang laki-laki yang berzina
dengan seorang perempuan kemudian sesudah itu dia menikahinya ?
Beliau berkata, "Yang pertama itu zina sedangkan yang terakhir nikah
dan yang pertama itu haram sedangkan yang terakhir halal"
[Dikeluarkan Baihaqiy (7/155) [25] Dan dalam riwayat yang lain juga
dari jalan Ikrimah ada tambahan, "Tidak salah (yakni menikahinya)]

Berkata Said bin Jubair : Ibnu Abbas pernah ditanya tentang seorang
laki-laki dan seorang perempuan yang masing-masing dari keduanya
telah menyentuh yang lain dengan cara yang haram (yakni keduanya
telah berzina), kemudian nyatalah (kehamilan) bagi perempuan tersebut
lalu laki-laki itu menikahinya? Jawab Ibnu Abbas : "Yang pertama itu
zina sedangkan yang kedua nikah" [Dikeluarkan oleh Imam Baihaqiy
(3/267 dengan sanad yang hasan)]

Berkata Atha bin Abi Rabah : Berkata Ibnu Abbas tentang laki-laki
yang berzina dengan seorang perempuan, kemudian dia
menikahinya, "Yang pertama dari urusannya itu adalah zina, sedangkan
yang terakhir nikah" [Dikeluarkan Abdul Razzaq 7/202]

Dari Thawus, ia berkata : Diriwayatkan kepada Ibnu Abbas, "Seorang
laki-laki menyentuh perempuan dengan cara yang haram (yakni zina),
kemudian dia menikahinya?" Jawab beliau, "itu baik –atau beliau
mengatakannya- itu lebih bagus" [Dikeluarkan Abdurrazzaq 7/203]

Demikian juga fatwa para Tabi'in seperti Said bin Musayyab, Said bin
Jubair, Az-Zuhri dan Hasan Al-Bashri dan lain-lain Ulama. [Baihaqiy
7/155 dan Abdurrazzaq 7/203-207]

Dari keterangan-keterangan di atas kita mengetahui:
Pertama : Telah terjadi ijma Ulama yang didahului oleh ijmanya para
shahabat tentang masalah bolehnya perempuan yang berzina kemudian
hamil dinikahi oleh laki-laki yang menzinai dan menghamilinya.

Kedua : Mereka pun memberikan syarat agar keduanya bertaubat dan
berbuat kebaikan (beramal shalih) dengan menyesal dan membenci
perbuatan keduanya.

Adapun mengenai hukuman bagi yang berzina (hukum had) yang
melaksanakannya adalah pemerintah bukan orang perorang atau kelompok
perkelompok. Oleh karena di negeri kita ini sebagaimana negeri-negeri
Islam yang lainnya kecuali Saudi Arabia tidak dilaksanakan hukum-
hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala seperti hukum had dan lain-lain, ini
tidak menghalangi taubatnya orang yang mau bertaubat demikian juga
nikahnya dua orang yang berzina. Cukuplah bagi keduanya bertaubat dan
beramal shalih. Langsungkanlah pernikahan karena yang demikian itu
sangat bagus sekali sebagaimana dikatakan Ibnu Abbas. Bahkan laki-
laki yang menzinai dan menghamili seorang perempuan lebih berhak
terhadap perempuan tersebut sebelum orang lain [26] dengan syarat
keduanya mau dan ridha untuk nikah. Apabila salah satunya tidak mau
maka janganlah dipaksa hatta perempuan tersebut telah hamil [27].
Ini, kemudian pertanyaan yang kedua kepada siapakah anak tersebut
dinasabkan?

Jawabnya : Anak tersebut dinasabkan kepada ibunya bukan kepada laki-
laki yang menzinai dan menghamili ibunya (bapak zinanya) walaupun
akhirnya laki-laki itu menikahi ibunya dengan sah. Dan di dalam kasus
seperti ini –di mana perempuan yang berzina itu kemudian hamil lalu
dinikahi laki-laki yang menzinai dan menghamilinya- tidak dapat
dimasukkan ke dalam keumuman hadits yang lalu yaitu : "Anak itu
haknya (laki-laki) yang memiliki tempat tidur (suami yang sah) dan
bagi yang berrzina tidak mempunyai hal apapun (atas anak tersebut)".
Ini disebabkan karena laki-laki itu menikahi perempuan yang dia zinai
dan dia hamili setelah perempuan itu hamil bukan sebelumnya, meskipun
demikian laki-laki itu tetap dikatakan sebagai bapak dari anak itu
apabila dilihat bahwa anak tersebut tercipta dengan sebab air maninya
akan tetapi dari hasil zina. Karena hasil zina inilah maka anak
tersebut dikatakan sebagai anak zina yang bapaknya tidak mempunyai
hak apapun atasnya dari hal nasab, waris, dan kewalian dan nafkah
sesuai dengan zhahirnya bagian akhir dari hadits diatas yaitu : "….
Dan bagi (orang) yang berzina tidak mempunyai hak apapun (atas anak
tersebut)".

Berbeda dengan anak yang lahir dari hasil pernikahan yang sah, maka
nasabnya kepada bapaknya demikian juga tentang hukum waris, wali dan
nafkah tidak terputus sama sekali. Karena agama yang mulia ini hanya
menghubungkan anak dengan bapaknya apabila anak itu lahir dari
pernikahan yang sah atau lebih jelasnya lagi perempuan itu hamil dari
pernikahan yang sah bukan dari zina. Wallahu a'lam [28]

Sebagian orang di negeri kita ini ada yang mengatakan : Tidak boleh
perempuan yang hamil lantaran zina itu dinikahi hatta oleh laki-laki
yang menzinai atau menghamilinya sampai perempuan itu melahirkan
berdasarkan keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan perempuan-perempuan yang hamil itu `iddah mereka
sampai mereka melahirkan" [Ath-Thalaq : 4]

Kami jawab ; Cara pengambilan dalil seperti di atas sama sekali tidak
tepat dalam menempatkan keumuman ayat dan cenderung kepada pemaksaan
dalil.

Pertama : Ayat di atas untuk perempuan yang hamil dari hasil nikah
bukan untuk perempuan-perempuan yang hamil dari hasil zina. Karena di
dalam nikah itu terdapat thalaq, nafkah, tempat tinggal, `iddah,
nasab, waris dan kewalian. Sedangkan di dalam zina tidak ada semuanya
itu termasuk tidak adanya `iddah. Inilah perbedaan yang mendasar
antara pernikahan dengan perzinaan. Ayat di atas tetap di dalam
keumumannya terhadap perempuan-perempuan yang hamil yang dithalaq
suaminya maka `iddahnya sampai dia melahirkan sesuai keumuman ayat di
atas meskipun ayat yang lain (Al-Baqarah : 234) menegaskan bahwa
perempuan-perempuan yang kematian suaminya `iddahnya empat bulan
sepuluh hari. Akan tetapi perempuan tersebut ketika suaminya wafat
dalam keadaan hamil maka keumuman ayat di ataslah yang dipakai. Atau
ayat di atas tetap di dalam keumumannya oleh sebagian ulama terhadap
perempuan yang berzina lalu hamil kemudian dinikahi oleh laki-laki
yang bukan menghamilinya sebagaimana akan datang keterangannya di
kejadian kelima. Wallahu a'lam.

Kedua : Telah terjadi ijma' Shahabat bersama para ulama tentang
bolehnya bagi seorang laki-laki menikahi perempuan yang dia hamili
lantaran zina. Bacalah kembali keterangan-keterangan kami di muka
mengiringi apa yang telah dikatakan oleh Imam Ibnu Abdil Bar bahwa
dalam hal ini telah terjadi ijma' ulama. Dan anehnya tidak ada
seorang pun di antara mereka yang berdalil dengan ayat di atas untuk
melarang atau mengharamkannya kecuali setelah perempuan itu
melahirkan anaknya ?

Apakah kita mau mengatakan bahwa kita lebih pintar cara berdalilnya
dari para Shahabat dan seterusnya?

[Disalin dari kitab Menanti Buah Hati Dan Hadiah Untuk Yang Dinanti,
Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat, Penerbit Darul Qolam Jakarta,
Cetakan I – Th 1423H/2002M]
__________
Foote Note
[17]. Baca juga Kitaabul Kaafi fi Fiqhi Ahlil Madinah (Juz 2 hal.542)
oleh Imam Ibnu Abdil bar. Tafsir Fathul Qadir (1/446 tafsir surat An-
Nisaa ayat 23) oleh Imam Asy-Syaukani.
[18]. Baihaqiy meriwayatkan dari jalan yang lain bahwa perempuan
tersebut hamil (9/476) lihat juga Mushannaf Abdurrazzaq (12796).
[19]. Al-Muhalla Juz 9 hal 476.
[20]. Diriwayatkan Imam Abdurrazzaq (Mushannaf Abdurrazzaq (7/203-204
no. 12793) bahwa Umar mengundurkan hukuman kepada anak gadis tersebut
sampai dia melahirkan.
[21]. Kebodohan disini maksudnya perbuatan maksiat yang dilakukan
dengan sengaja. Karena setiap orang yang maksiat kepada Allah
dikatakan jahil (tafsir Ibnu Katsir 2/590)
[22]. Imma kejadian ini satu kali dan masing-masing rawi membawakan
satu ayat dari dua ayat yang dibaca Ibnu Mas'ud atau kejadian di atas
dua kali. Wallahu a'lam
[23]. Lihat riwayat yang semakna di Mushannaf Abdurrazzaq (7/205 no.
12798)
[24]. Al-Mushannaf Abdurrazaq (7/203)
[25]. Idem (7/202) maksud perkataan Ibnu Abbas di riwayat 1 s/d 4
ialah bahwa zina itu haram sedangkan nikah itu halal, maka zina yang
haram itu tidak bisa mengharamkan nikah yang memang halal. Karena
sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan sesuatu yang halal.
[26]. Abdurrazzaq (7/206-207)
[27]. Bacalah kembali riwayat Umar bin Khaththab
[28]. Fatawa Islamiyyah (Juz 2 hal.353 dan 354, 374-375). Majmu
Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (32/134-142). Al-Mughni Ibnu
Qudamah (Juz 9 hal.529-530). Al-Muhalla (Juz 10 hal.323) Fathul Baari
(Syarah hadits no. 6749). Tafsir Ibnu Katsir surat An-Nisaa ayat 23.
Dan lain-lain.

------------------------------------

Website anda http://www.almanhaj.or.id
Download MP3 -Free kajian Islam- http://assunnah.mine.nu
Berhenti berlangganan: [EMAIL PROTECTED]
Ketentuan posting : http://milis.assunnah.or.id/aturanmilis/
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke