Wa'alaykumussala warahmatullahi wabarakatuh,
 
Coba anti simak artikel dibawah ini, isnya-Allah bisa membantu.

http://www.almanhaj.or.id/content/2009/slash/0

HUKUM TINGGAL ATAU DIAM DI MASJID BAGI ORANG JUNUB, PEREMPUAN HAID DAN NIFAS


Oleh
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat



"Artinya : ... Sesungguhnya aku tidak halalkan masjid ini bagi perempuan yang 
haidh dan orang yang junub." 

DLA'IF. Riwayat Abu Dawud (no. 232), Ibnu Khuzaimah (no. 1327), Baihaqiy 
(2/442-443) dan Ad Duulaabiy di kitabnya Al Kuna wal Asmaa' (1/150-151), dan 
jalan Abdul Wahid bin Ziyad (ia berkata): Telah menceritakan kepada kami Aflat 
bin Khalifah, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Jasrah binti Dajaajah, 
dari 'Aisyah marfu' (Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda seperti di 
atas)

Saya berkata ; Sanad hadits ini dla’if, di dalamnya terdapat Jasrah binti 
Dajaajah seorang rawi yang dla’if.

Berkata Bukhari, "Pada Jasrah terdapat keanehan-keanehan." (Yakni, pada 
riwayat-riwayatnya terdapat keanehan-keanehan).[1] Berkata Baihaqiy, "Hadits 
ini tidak kuat."[2] Berkata Al-Khathaabiy, "Hadits ini telah dilemahkan oleh 
jama'ah (ahli hadits)." [3] Berkata Abdul Haq, "Hadits ini tidak tsabit (kuat) 
dari jurusan isnadnya." Berkata Ibnu Hazm di kitabnya Al Muhallah (2/186) 
tentang seluruh jalan hadits ini, "Semuanya ini adalah batil." 

Syaikhul Imam Al Albani telah melemahkan hadits ini di kitabnya Irwaaul Ghalil 
(no. 193). Dan beliau pun mengatakan bahwa telah terjadi perselisihan atau 
perbedaan di dalam sanadnya. Di atas Aflat meriwayatkan dari Jasrah dari 
'Aisyah. Dalam riwayat yang lain Jasrah meriwayatkan dari Ummu Salamah 
sebagaimana riwayat di bawah ini.

"Artinya : Sesungguhnya masjid ini tidak halal bagi orang yang junub dan 
perempuan haidh." 

DLA'IF. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 645) dari jalan Ibnu Abi Ghaniyyah, 
dari Abil Khaththaab Al Hajariy, dari Mahduh Adz Dzuhliy, dari Jasrah ia 
berkata: Telah mengkabarkan kepadaku Ummu Salamah, marfu' (Rasulullah 
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda seperti di atas). 

Imam Abu Zur'ah Ar Raaziy berkata, "Yang benar adalah riwayat Jasrah dari 
Aisyah." [4] Berkata Imam Ibnu Hazm di kitabnya Al Muhalla (2/186), "Adapun 
Mahduh telah gugur riwayatnya, ia telah meriwayatkan dari Jasrah 
riwayat-riwayat yang mu'dhal. Sedangkan Abul Khaththaab Al Hajariy majhul." 

Saya berkata: Abul Khaththaab dan Mahduh dua orang rawi yang majhul sebagaimana 
diterangkan Al Hafizh Ibnu Hajar di Taqrib-nya (2/231 dan 417). 
Saya berkata: Selain dua riwayat dha'if di atas dan yang kedua lebih lemah dari 
yang pertama, yang mereka jadikan dalil tentang haramnya bagi orang yang junub 
dan perempuan haidh dan nifas untuk tinggal atau diam di masjid, mereka pun 
berdalil dengan bebera atsar dla’if dibawah ini.

[1]. Perkataan Ibnu Abbas tentang firman Allah surat An-Nisaa ayat 43.
Berkata Ibnu Abbas, “Tidak boleh engkau masuk masjid sedangkan engkau dalam 
keadaan junub kecuali sekedar lewat dan jangan engkau duduk” [Riwayat Baihaqiy 
: 2/443]

Saya berkata : Sanad riwayat ini dla’if, karena Abu Ja’far Ar-Raazi yang ada di 
sanadnya seorang rawi yang dla’if karena buruk hafalannya dan dia telah 
dilemahkan oleh para Imam diantaranya Imam Ahmad bin Hambal, Abu Zur’ah, 
Nasa’i, Al-Fallas dan lain-lain. Dan telah datang riwayat dari Ibnu Abbas 
dengan sanad yang shahih yang menyalahi riwayat dla’if di atas.

Telah berkata Ibnu Abi Syaibah di kitab-kitab Al-Mushannaf, “Telah menceritakan 
kepada kami Waaki, dari Ibnu Abi Arubah, dari Qatadah, dari Abi Mijlaz, dari 
Ibnu Abbas tentang firman Allah di atas beliau mengatakan (menafsirkan) ; (Yang 
dimaksud dengan ‘aabiri sabil) ialah musafir yang tidak memperoleh air lalu dia 
bertayamum” [5]

[2]. Kemudian Imam Baihaqiy meriwayatkan lagi (2/443) dari jalan Abu Ubaidah 
bin Abdullah, dari Ibnu Mas’ud bahwa dia telah memberikan keringanan bagi orang 
yang junub untuk sekedar lewat di dalam masjid (yakni tidak duduk atau tinggal 
di masjid)

Saya berkata ; Sanad ini dla’if, karena Abu Ubaidah bin Abdullah bin Mas’ud 
tidak pernah berjumpa dengan bapaknya yaitu Abdullah bin Mas’ud. Dengan 
demikian maka sanad ini munqathi (terputus).

[3]. Kemudian Imam Baihaqiy meriwayatkan lagi (2/443) dari jalan Hasan bin Abi 
Ja’far Al-Azdiy, dari Salm Al-Alawiy, dari Anas bin Malik tentang firman Allah 
di atas dia berkata, “ Sekedar lewat dan tidak duduk (di masjid)”.

Saya berkaa ; Sanad in pun dla’if, karena.

Pertama : Salm bin Qais Al-Alawiy seorang rawi yang dla’if sebagaimana 
dikatakan oleh Al-Hafidzh Ibnu Hajar di Taqribnya (1/314).

Kedua ; Hasan bin Abi Ja’far Al-Jufriy Abu Sa’id Al-Azdiy, telah dilemahkan 
oleh Jama’ah ahli hadits. [Taqribut Tahdzib 1/164, Tahdzibit Tahdzib 2/260-261. 
Mizanul I’tidal 1/482-483]

Saya berkata :Telah sah dari Ali bin Abi Thalib bahwa beliau menafsirkan ayat 
diatas dengan orang musafir, beliau berkata, “Diturunkan ayat ini berkenaan 
dengan orang musafir. Dan tidak juga bagi orang yang junub kecuali orang yang 
mengadakan perjalanan sehingga dia mandi. Beliau berkata ; Apabila seorang 
(musafir) itu junub lalu dia tidak memperoleh air, dia tayamum lalu shalat 
sampai dia mendapatkan air. Dan apabila dia telah mendapatkan air (hendaklah) 
dia mandi’ [Riayat Baihaqiy 1/216 dan Ibnu Jarir di kitab Tafsirnya juz 5 hal. 
62 dan lain-lain sebagaimana telah dijelaskan oleh Ibnu Katsir di Tafsirnya 
1/501 dan Imam Suyuthi di tafsirnya Ad-Durul Mantsur 2/165]

Setelah kita mengetahui bahwa seluruh riwayat yang melarang orang yang junub 
dan perempuan haid/nifas berdiam atau tinggal di masjid semuanya dla’if. 
Demikian juga tafsir ayat 43 surat An-Nisaa yang melarang orang yang junub dan 
perempuan haid berdiam atau tinggal di masjid semuanya dla’if tidak ada satupun 
yang sah (shahih atau hasan). Bahkan tafsir yang shahih dan sesuai dengan 
maksud ayat ialah tafsir dari Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Abbas di atas. Yaitu, 
musafir yang terkena janabah dan dia tidak mendapatkan air lalu dia tayammum 
sampai dia memperoleh air. Jadi yang dimaksud dengan firman Allah ‘aabiri sabil 
ialah musafir. Bukanlah yang dimaksud orang yang masuk ke dalam masjid sekedar 
melewatinya tidak diam atau tinggal di dalamnya. Tafsir yang demikian selain 
tidak sesuai dengan susunan ayat dan menyalahi tafsir shahabat dan sejumlah 
dalil di bawah ini yang menjelaskan kepada kita bahwa orang yang junub dan 
perempuan yang haid atau nifas
 boleh diam atau tinggal di masjid.

Dalil Pertama
Dari 'Aisyah, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda 
kepadaku, "Ambilkanlah untukku sajadah kecil [6] di masjid." Jawabku, 
"Sesungguhnya aku sedang haidh." Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam 
bersabda, "Sesungguhnya haidhmu itu tidak berada di tanganmu." 

Shahih riwayat Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah dan Ahmad dan 
Iain-lain.

Pengambilan dalil dari hadits yang mulia ini ialah bahwa Rasulullah shallallahu 
'alaihi wa sallam telah memerintahkan 'Aisyah masuk ke dalam masjid walaupun 
sedang haidh. Dan ketegasan jawaban beliau kepada 'Aisyah menunjukkan bahwa 
haidhmu tidak menghalangimu masuk ke dalam masjid karena haidhmu tidak berada 
di tanganmu. 

Ada yang mengatakan, bahwa hadits di atas hanya menunjukkan bolehnya bagi 
perempuan haidh sekedar masuk ke dalam masjid atau melewatinya untuk satu 
keperluan kemudian segera keluar dari dalam masjid bukan untuk diam dan tinggal 
lama di dalam masjid. 

Saya jawab: Subhaanallah! Inilah ta'thil, yaitu menghilangkan sejumlah faedah 
yang ada di dalam hadits 'Aisyah di atas. Kalau benar apa yang dikatakannya 
tentu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan pengecualian 
kepada 'Aisyah bahwa dia hanya boleh masuk ke dalam masjid dalam waktu yang 
singkat atau melewatinya sekedar mengambil sajadah kecil beliau dan tidak boleh 
diam dan tinggal lama di dalam masjid. Akan tetapi beliau shallallahu 'alaihi 
wa sallam bersabda secara umum masuk ke dalam masjid tanpa satupun 
pengecualian. Padahal saat itu 'Aisyah sangat membutuhkan penjelasan dari 
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang memerintahkannya masuk ke dalam 
masjid dalam keadaan haidh. Sedangkan mengakhirkan penjelasan dari waktu yang 
dibutuhkan tidak diperbolehkan menurut kaidah ushul yang telah disepakati. Oleh 
karena itu wajib bagi kita menetapkan dan mengamalkan keumuman sabda beliau 
shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu diperbolehkan
 bagi perempuan haidh untuk masuk ke dalam masjid secara mutlak, baik sebentar 
atau lama bahkan tinggal atau menetap di dalamnya sebagaimana ditunjuki oleh 
dalil ketiga dan keempat. 

Dalil Kedua
Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya orang 
mu’min itu tidak najis”.

Shahih riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad 
dan lain-lain dari jalan Abu Hurairah, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu 
‘alaihi wa sallam pernah menjumpaiku di salah satu jalan dari jalan-jalan yang 
ada di Madinah, sedangkan aku menyingkir pergi dan segera aku mandi kemudian 
aku datang (menemui beliau), lalu beliau bersabda, “Kemana engkau tadi wahai 
Abu Hurairah?” Jawabku, “Aku tadi dalam keadaan junub, maka aku tidak suka 
duduk bersamamu dalam keadaan tidak bersih (suci)”, Maka beliau bersabda, 
“Subhanallah! Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis” (Dalam riwayat yang 
lain beliau bersabda, “Sesungguhnya orang muslim itu tidak najis) [7]

Dalil Ketiga
Dan' Aisyah (ia berkata), "Sesungguhnya ada seorang budak perempuan hitam 
kepunyaan salah satu suku dari bangsa Arab. Lalu mereka memerdekakannya, 
kemudian ia pun tinggal bersama mereka..." 

Berkata 'Aisyah, "Lalu perempuan itu datang kepada Rasulullah shallallahu 
'alaihi wa sallam dan masuk Islam." 

Berkata 'Aisyah, "Dan perempuan itu mempunyai kemah kecil di masjid (yakni 
sebagai tempat tinggalnya)..." 

Shahih riwayat Bukhari (no. 439). 

Pengambilan dalil dari hadits yang mulia ini jelas sekali tentang bolehnya bagi 
perempuan haidh untuk tinggal lama atau diam di masjid. Karena Rasulullah 
shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah memberikan pengecualian kepada 
perempuan di atas yang tinggal di masjid dan mempunyai kemah untuk dia tidur 
dan menurut dalil keempat perempuan itu bekerja sebagai pembersih masjid, bahwa 
'kalau datang hari-hari haidhmu hendaklah engkau jangan tinggal di masjid.' 
Kalau sekiranya perempuan haidh itu tidak boleh tinggal atau diam di masjid 
tentu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan pengecualian 
seperti di atas. Akan tetapi beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah 
menetapkan dan membolehkan perempuan tersebut untuk tinggal di masjid bahkan 
mempunyai kemah sendiri secara umum dan mutlak tanpa satupun pengecualian. 
Padahal beliau shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui dan kita pun mengetahui 
bahwa perempuan setiap bulannya akan melalui
 hari-hari haidh. 

Dalil di atas bersama dalil keempat di bawah ini merupakan setegas-tegas dalil 
dan hujjah tentang bolehnya bagi perempuan haidh dan nifas untuk diam dan 
tinggal lama di masjid. Dan Imam Bukhari yang meriwayatkan hadits di atas di 
kitab shahihnya telah memberikan bab dengan judul: "Bab:Tidurnya perempuan di 
masjid" 

Al Hafizh Ibnu Hajar di dalam mensyarahkan bab di atas mengatakan bahwa yang 
dimaksud ialah, "Tinggal atau diamnya perempuan di dalam masjid." 

Dalil Keempat
Dari Abu Hurairah (ia berkata): Bahwasanya ada seorang laki-laki hitam -atau 
seorang perempuan hitam- [8] yang biasa membersihkan kotoran di masjid mati. 
Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya tentangnya, mereka menjawab, 
"la telah mati." Beliau bersabda, "Kenapakah kamu tidak memberitahukan kepadaku 
tentang (kematian)nya, tunjukkanlah kepadaku kuburnya." Lalu beliau mendatangi 
kubur laki-laki itu -atau kubur perempuan itu- kemudian beliau menshalatinya. 

Shahih riwayat Bukhari (no.458, 460 dan 1337). 

Pengambilan dalil dari hadits yang mulia ini sama dengan yang sebelumnya karena 
orangnya satu, yaitu seorang perempuan hitam yang masuk Islam kemudian tinggal 
dan menetap di masjid dan bekerja sebagai pembersih masjid

Dalil Kelima
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Aku pernah melihat tujuh puluh orang laki-laki 
dari penduduk Suffah tidak seorang pun di antara mereka yang mempunyai baju, 
imma kain atau selimut yang mereka ikat ke tengkuk mereka. Maka diantaranya 
(yakni di antara pakaian itu) ada yang sampai mata kaki, lalu mereka 
berkerobong dengan tangannya khawatir auratnya” [Shahih riwayat Bukhari no. 442]

Pengambilan dalil dari hadits yang mulia ini jelas sekali tentang bolehnya bagi 
orang yang junub untuk tinggal lama atau diam di masjid. Karena Rasulullah 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memberikan pengecualian kepada para 
shahabat yang tinggal di suffah (teras masjid), bahwa ‘kalau salah seorang kamu 
junub hendaklah dia jangan tinggal di masjid’. Kalau sekiranya orang yang junub 
itu tidak boleh tinggal atau diam di masjid tentu Rasulullah Shallallahu 
‘alaihi wa sallam telah memberikan pengecualian seperti di atas. Akan tetapi 
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan dan membolehkan para 
shahabat yang tinggal di suffah untuk tetap tinggal di masjid secara umum dan 
mutlak tanpa satupun pengecualian. Padahal beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
mengetahui dan kita pun mengetahui bahwa adakalanya seseorang itu terkena 
janabah.

Dalil Keenam
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah 
mengutus pasukan berkuda kearah Najd, lalu pasukan itu datang membawa seorang 
tawanan laki-laki dari Bani Hanifah yang bernama Tsumaamah bin Utsaal. Kemudian 
mereka mengikatnya di salah satu dari tiang-tiang masjid, lalu Nabi Shallallahu 
‘alaihi wa sallam keluar menemuinya dan beliau bersabda, “Lepaskan (ikatan) 
Tsumaamah”. Kemudian ia (yakni Tsumaamah) pergi ke sebuah pohon kurma yang 
berada di dekat masjid, lalu dia mandi kemudian masuk ke dalam masjid dan 
mengucapkan, “Syhadu allaa ilaaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah”

Shahih riwayat Bukhari (no. 462, 469, 2422, 2423 dan 4372)

Pengambilan dalil dari hadits yang mulia ini ialah, kalau orang kafir saja yang 
tidak pernah mandi janabah dibolehkan masuk ke dalam masjid apalagi seorang 
muslim, tentunya lebih utama dan lebih berhak masuk ke dalam masjid meskipun 
dalam keadaan junub atau dia seorang perempuan yang sedang haid atau nifas 
(yakni mimbaabil aula). Yang mana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
telah menegaskan, “Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis” [Lihatlah dalil 
kedua].

[Disalin dari buku Tiga Hukum Bagi Perempuan Haid Dan Junub (Menyentuh/Memegang 
Al-Qur’an, Membacanya Dan Tinggal Atau Diam Di Masjid, Penulis Abdul Hakim bin 
Amir Abdat, Penerbit Darul Qalam – Jakarta]
__________
Foote Note
[1]. Tahdzibut Tahdzib (12/406) dan Nasbur Raayah (1/194). 
[2]. Al-Majmu Syarah Muhadzdzab (2/160) oleh Imam An Nawawi. 
[3]. Tafsir Ibnu Katsir (1/501) dan Nasbur raayah (1/144) dan Al-Majmu Syarah 
Muhadzdzab (2/160). 
[4]. Tafsir Ibnu Katsir (1/501).Talkhisul Habir (1/140). Nasbur Raayah 
(1/194-195). 
[5]. Demikian keterangan Imam Ibnu Turkamaaniy atas komentar beliau terhadap 
kitab Sunanul Kubranya Imam Baihaqiy yang saya nukil dengan ringkas dan 
mengambil maknanya.
[6]. Al Khumrah ialah sajadah kecil yang cukup hanya untuk sujud. 
[7]. Kejadian yang sama juga terjadi pada Hudzaifah sebagaimana diriwayatkan 
oleh Muslim, Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad dan lain-lain.
[8]. Yang benar adalah seorang perempuan hitam yang tinggal di masjid dan 
pekerjaannya membersihkan masjid sebagaimana ditunjuki oleh dalil ketiga dan 
beberapa riwayat yang dijelaskan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam mensyarahkan 
hadits ini (no.458) di Fathul Baari







Wassalamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh, ibnu alkherid 



----- Original Message ----
From: BISMILLAH PULSA <[EMAIL PROTECTED]>
To: assunnah@yahoogroups.com
Sent: Sunday, September 21, 2008 7:21:02 AM
Subject: [assunnah] wanita haid masuk masjid boleh/tidak


assalamu'alaikum
ana mau tanya, kalo wanita haid ikut kajian di masjid, bagaimana
hukumnya. apakah boleh, atau tidak masuk ke masjid, dan kalo boleh
sampai batas manakah masuk ke masjidnya. dulu ana pernah dengar dari
ustad, kalo ke dalam masjidnya artinya di tempat utamanya itu tidak
boleh, kalo di luar atau terasnya itu boleh,.ana mohon penjelasan dari
akhi/ukhti beserta hadist yang shohih.
wassalamu'alaikum.
Ummu Afwan
 


      

Reply via email to