wa'alaikumsalam warohamtullahi wabarokatuh

berikut saya lampirkan artikel mengenai mudharobah

RUKUN MUDHARABAH


Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi


Mudharabah, sebagaimana juga jenis pengelolaan usaha lainnya, memiliki tiga 
rukun.

Pertama : Adanya dua pelaku atau lebih, yaitu investor (pemilik modal) dan 
pengelola (mudharib)
Kedua : Objek transaksi kerjasama, yaitu modal, usaha dan keuntungan.
Ketiga : Pelafalan perjanjian

Sedangkan Imam Asy-Syarbini di dalam Syarh Al-Minhaj menjelaskan, bahwa
rukun mudharabah ada lima, yaitu : Modal, jenis usaha, keuntungan,
pelafalan transaksi dan dua pelaku transaksi [1]. Ini semua ditinjau
dari perinciannya, dan semuanya tetap kembali kepada tiga rukun diatas.

RUKUN PERTAMA : ADANYA DUA PELAKU ATAU LEBIH
Kedua pelaku kerja sama ini adalah pemilik modal dan pengelola modal.
Pada rukun pertama ini, keduanya disyaratkan memiliki kompetensi (jaiz
al-tasharruf), dalam pengertian, mereka berdua baligh, berakal, rasyid
(normal) dan tidak dilarang beraktivitas pada hartanya. [2]

Sebagian ulama mensyaratkan, keduanya harus muslim atau pengelola harus
muslim. Sebab, seorang muslim tidak dikhawatirkan melakukan perbuatan
riba atau perkara haram. [3] Namun sebagian lainnya tidak mensyaratkan
hal tersebut, sehingga diperbolehkan bekerja sama dengan orang kafir
yang dapat dipercaya, dengan syarat harus terbukti adanya pematauan
terhadap pengelolaan modal dari pihak muslim, sehingga terbebas dari
praktek riba dan haram. [4]

[A]. Modal
Ada empat syarat modal yang harus dipenuhi.
[1]. Modal harus berupa alat tukar atau satuan mata uang (al-naqd).
Dasarnya adalah Ijma’. [5] atau barang yang ditetapkan nilainya ketika
akad menurut pendapat yang rajih. [6]
[2]. Modal yang diserahkan harus jelas diketahui. [7]
[3]. Modal diserahkan harus tertentu
[4]. Modal diserahkan kepada pihak pengelola, dan pengelola menerimanya 
langsung, dan dapat beraktivitas dengannya. [8]

Jadi dalam mudharabah, modal yang diserahkan, disyaratkan harus
diketahui. Dan penyerahan jumlah modal kepada mudharib (pengelola
modal) harus berupa alat tukar, seperti emas, perak dan satuan mata
uang secara umum. Tidak diperbolehkan berupa barang, kecuali bila nilai
tersebut dihitung berdasarkan nilai mata uang ketika terjadi akan
(transaksi), sehingga nilai barang tersebut menjadi modal mudharabah.

Conothnya, seorang memiliki sebuah mobil yang akan diserhak kepada
mudharib (pengelola modal). Ketika akad kerja sama tersebut disepakati,
maka mobil tersebut wajib ditentukan nilai mata uang saat itu, misalnya
disepakati Rp.80.000.000, maka modal mudharabah tersebut adalah
Rp.80.000.000.

Kejelasan jumlah modal ini menjadi syarat, karena untuk menentukan
pembagian keuntungan. Apabila modal tersebut berupa barang dan tidak
diketahui nilainya ketika akad, bisa jadi barang tersebut berubah harga
dan nilainya, seiring berjalannya waktu, sehingga dapat menimbulkan
ketidak jelasan dalam pembagian keuntungan.

[B]. Jenis Usaha
Jenis usaha disini ada beberapa syarat yang harus dipenuhi.
[1]. Jenis usaha tersebut di bidang perniagaan
[2]. Tidak menyusahkan pengelola modal dengan pembatasan yang
menyulitkannya. Misalnya, harus berdagang permata merah delima atau
mutiara yang sangat jarang sekali adanya. [9]
[3]. Asal dari usaha dalam mudharabah adalah di bidang perniagaan dan
yang terkait dengannya, serta tidak dilarang syariat. Pengelola modal
dilarang mengadakan transaksi perdagangan barang-barang haram, seperti
daging babi, minuman keras dan sebagainya. [10]
[4]. Pembatasan waktu penanaman modal. Menurut pendapat madzhab
Hambaliyah, dalam kerja sama penanaman modal ini, dipebolehkan
membatasi waktu usaha, [11] dengan dasar diqiyaskan (dianalogikan)
dengan system sponsorship pada satu sisi, dan dengan berbagai criteria
lain yang dibolehkan, pada sisi lainnya. [12]

[C]. Keuntungan
Setiap usaha yang dilakukan adalah untuk mendapatkan keuntungan.
Demikian juga dengan mudharabah. Namun dalam mudharabah pendapatan
keuntungan itu disyaratkan dengan empat syarat.
[1]. Keuntungan, khusus untuk kedua pihak yang bekerja sama, ayitu
pemilik modal (investor) dan pengelola modal. Seandainya sebagian
keuntungan disyaratkan untuk pihak ketiga, misalnya dengan menyatakan
“Mudharabah dengan pembagian 1/3 keuntungan untukmu, 1/3 keuntungan
untukku dan 1/3 lagi untuk isteriku atau orang lain”, maka tidak sah,
kecuali disyaratkan pihak ketiga ikut mengelola modal tersebut,
sehingga menjadi qiradh bersama dua orang. [13] Seandainya dikatakan
“Seapruh keuntungan untukku dan sepruhnya untukmu, namun separuh dari
bagianku untuk isteriku”, maka ini sah, karena ini akad janji hadiah
kepada isteri. [14]
[2]. Pembagian keuntungan untuk berdua, tidak boleh hanya untuk satu
pihak saja. Seandainya dikatakan : “Saya bekerja sama mudharabah
denganmu, dengan keuntungan sepenuhnya untukmu”, maka yang demikian ini
menurut madzhab Syafi’i tidak sah. [15]
[3]. Keuntungan harus diketahui secara jelas.
[4]. Dalam transaksi tersebut ditegaskan prosentase tertentu bagi
pemilik modal (investor) dan pengelola. Sehingga keuntungannya dibagi
sebagaimana telah ditentukan prosentasenya, seperti : setengah,
sepertiga atau seperempat. [16] Apabila ditentukan nilainya, contohnya
jika dikatakan, “Kita bekerja sama mudharabah dengan pembagian
keuntungan untukmu satu juta, dan sisanya untukku”, maka akad
mudharabah demikian ini tidak sah. Demikian juga bila tidak jelas
prosentasenya, seperti “Sebagian untukmu dan sebagian lainnya untukku”.

Adapun Dalam Pembagian Keuntungan Perlu Sekali Melihat Hal-Hal Berikut.
[1]. Keuntungan berdasarkan kesepakatan dua belah pihak, namun kerugian hanya 
ditanggung pemilik modal. [17]

Ibnu Qudamah di dalam Syrahul Kabir menyatakan, keuntungan sesuai
dengan kesepakatan berdua. Lalu dijelaskan dengan pernyataan,
maksudnya, dalam seluruh jenis sayrikah. Hal itu tidak terdapat
perselisihan dalam mudharabah murni.

Ibnu Mundzir menyatakan, para ulama bersepakat, bahwa pengelola berhak
memberikan syarat atas pemilik modal 1/3 keuntungan atau ½, atau sesuai
kesepakatan berdua setelah hal itu diketahui dengan jelas dalam bentuk
prosentase. [18]

[2]. Pengelola modal hendaknya menentukan bagiannya dari keuntungannya.
Apabila keduanya tidak menentukan hal tersebut, maka pengelola
mendapatkan gaji yang umum, dan seluruh keuntungan merupakan milik
pemilik modal (investor). [18]

Ibnu Qudamah menyatakan, di antara syarat sah mudharabah adalah,
penentuan bagian (bagian) pengelola modal, karena ia berhak mendapatkan
keuntungan dengan syarat sehingga tidak ditetapkan kecuali dengannya.
Seandainya dikatakan “ambil harta ini secara mudharabah” dan ketika
akan tidak dsiebutkan bagian untuk pengelola sedikitpun dari
keuntungan, maka keuntungan seluruhnya untuk pemilik modal. Demikian
pula kerugian ditanggung oleh pemilik modal. Adapun pengelola modal, ia
mendapatkan gaji sebagaimana umumnya. Inilah pendapat Ats-Tsauri,
Asy-Syafi’i, Ishaaq, Abu Tsaur dan Ashab Ar-Ra’i (Hanafiyah). [20].
Ibnu Qudamah merajihkan pendapat ini.

[3]. Pengelola modal tidak berhak menerima keuntungan sebelum
menyerahkan kembali modal secara sempurna. Berarti, tidak seorangpun
berhak mengambil bagian keuntungan sampai modal diserahkan kepada
pemilik modal. Apabila ada kerugian dan keuntungan, maka kerugian
ditutupi dari keuntungan tersebut, baik kerugian dan keuntungan dalam
satu kali, atau kerugian dalam satu perniagaan dan keuntungan dari
perniagaan yang lainnya. Atau yang satu dalam satu perjalnan niaga, dan
yang lainnya dari perjalanan lain. Karena makna keuntungan adalah,
kelebihan dari modal. Dan yang tidak ada kelebihannya, maka bukan
keuntungan. Kami tidak tahu ada perselisihan dalam hal ini. [21]

[4]. Keuntungan tidak dibagikan selama akad masih berjalan, kecuali apabila 
kedua pihak saling ridha dan sepakat. [22]

Ibnu Qudamah menyatakan, jika dalam mudharabah tampak adanya
keuntungan, maka pengelola tidak boleh mengambil sedikitpun darinya
tanpa izin pemilik modal. Dalam masalah ini, kami tidak menemukan
adanya perbedaan di antara para ulama.

Tidak Dapat Melakukannya Karena Tiga Hal
[a]. Keuntungan adalah cadangan modal, karena tidak bisa dipastikan
tidak adanya kerugian yang dapat ditutupi dengan keuntungan tersebut,
sehingga berakhir hal itu tidak menjadi keuntungan.
[b]. Pemilik modal adalah mitra usaha pengelola sehingga ia tidak memiliki hak 
membagi keuntungan tersebut untuk dirinya.
[c]. Kepemilikannya atas hal itu tidak tetap karena mungkin sekali keluar dari 
tangannya untuk menutupi kerugian.

Namun apabila pemilik modal mengizinkan untuk mengambil sebagiannya,
maka diperbolehkan karena hak tersebut milik mereka berdua. [23]

[5]. Hak mendapatkan keuntungan tidak akan diperoleh salah satu pihak sebelum 
dilakukan perhitungan akhir atas usaha tersebut.
Sesungguhnya hak kepemilikan masing-masing pihak terhadap keuntungan
yang dibagikan bersifat tidak tetap, sebelum berakhirnya pernjanjian
dan sebelum seluruh usaha bersama tersebut dihitung. Adapun sebelum
itu, keuntungan yang dibagikan itupun masih bersifat cadangan modal
yang digunakan menutupi kerugian yang bisa saja terjadi di kemudian,
sebelum dilakukan perhitungan akhir.

Perhitungan Akhir Untuk Menetapkan Hak Kepemilikan Keuntungan, Aplikasinya Bisa 
Dua Macam.
[a]. Perhitungannya di akhir usaha. Dengan cara ini, pemilik modal bisa
menarik kembali modalnya dan menyelesaikan ikatan kerjasama antara
kedua belah pihak.
[b]. Finish Cleansing terhadap kalkulasi keuntungan.Yakni dengan cara
asset yang dimilikinya dituangkan terlebih dahulu, lalu menetapkan
nilainya secara kalkulatif. Apabila pemilik modal mau, maka dia bisa
mengambilnya. Tetapi kalau ia ingin diputar kembali, berarti harus
dilakukan perjanjian usha baru, bukan meneruskan usaha yang lalu. [24]

RUKUN KETIGA : PELAFALAN PERJANJIAN (SHIGHAH TRANSAKSI)
Shighah adalah, ungkapan yang berasal dari kedua belah pihak pelaku
transaksi yang menunjukkan keinginan melakukannya. Shighah ini terdiri
dari ijab qabul

Transaksi mudharabah atau syarikah dianggap sah dengan perkataan dan perbuatan 
yang menunjukkan maksudnya. [25]

Demikian rukun-rukun yang harus dipenuhi dalam kerja sama mudharabah,
yang semestinya dipahami secara bersama oleh masing-masing pihak.
Sehingga terbangunlah mua’amalah yang shahih dan terhindar dari sifat
merugikan pihak lain. Wallahu a’lam

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun X/1427H/2006M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183]
__________
Foote Note
[1]. Lihat Takmilah al-Majmu Syarhu al-Muhadzab Imam an-Nawawi, oleh
Muhammad Najib al-muthi’i yang digabung dengan kitab Majmu Syarhu
al-Muhadzab (15/148).
[2]. Al-Fiqh Al-Muyassar, Bagian Fiqih Mu’amalah karya Prof Dr Abdullah
bin Muhammad ath-Thayar. Prof Dr Abdullah bin Muhammad al-Muthliq dan
Dr Muhammad bin Ibrahim Alimusaa, Cetakan Pertama, Th 1425H, hal. 169
[3]. Lihat al-Bunuk al-Islamiyah Baina an-Nadzariyat wa Tathbiq, karya
Prof Dr Abdullah bin Muhammad ath-Thayar., Cetakan Kedua, Th 1414H,
Muassasah al-Jurais, Riyadh, KSA, hal. 123
[4]. Lihat kitab Ma’la Yasa’u at_tajir Jahluhu, karya Prof.Dr Abdullah
al-Mushlih dan Prof.Dr Shalah ash-Shawi. Telah diterjemahkan dalam
edisi bahasa Indonesia, oleh Abu Umar Basyir, dengan judul Fiqih
Ekonomi Islam, Penerbit Darul Haq, Jakarta, Hal. 173
[5]. Lihat Maratib al-Ijma, karya Ibnu Hazm, tanpa tahun dan cetakan,
Penerbit Dar al-Kutub al-Ilmiyah. Beirut, hal.92 dan Takmilah al-Majmu,
op, cit (15/143)
[6]. Pendapat inilah yang dirajihkan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam asy-Syarhu 
al-Mumti, op.cit (4/258)
[7]. Al-Bunuk al-Islamiyah, op.cit hal.123 dan Takmilah al-Majmu op.cit (15/144)
[8]. Takmilah al-Mjamu, op.cit. (15/145)
[9]. Ibid (15/146-147)
[10]. Lihat Fiqih Ekonomi Keuangan Islam, op.cit. hal.176
[11]. Al-Mughni,karya Ibnu Qudamah, tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin
at-turki, Cetakan Kedua, Tahun 1412H, Penerbit Hajr, (7/177)
[12]. Fikih Ekonomi Keuangan Islam, op. cit.177
[13]. Lihat Juga al-mughni, op.cit (7/144)
[14]. Takmilah al-Majmu, op.cit. (15/160)
[15]. Inid (15/159)
[16]. Lihat Maratib al-Ijma, op.cit.hal.92, asy-Syarhu al-Mumti, op.cit. 
(4/259) dan Takmilah al-Majmu.op.cit. (15/159-160).
[17]. Masalah kerugian lihat artikel “Membagi Kerugian Dalam Mudharabah”.
[18]. Al-Mughn, op.cit. (7/138)
[19]. Al-Bunuk al-Islamiyah, op.cit.hal.123
[20]. Al-Mughni, op.cit. (7/140)
[21]. Ibid (7/165)
[22]. Al-Bunuk al-Islamiyah, op.cit. 123
[23]. Al-Mughni, op.cit. (7/172)
[24]. Fiqih Ekonomi Keuangan Islam, op.cit, hal. 181-182
[25]. Al-Fiqh Al-Muyassar, op.cit, hal. 169 

disalin dari http://www.almanhaj.or.id/content/2072/slash/0

dari pemahaman yang ana pahami:
1. jika dalam kurun waktu tertentu modal antum sudah kembali, dan perjanjian 
baru terjadi setelah modal antum kembali, maka pola kerjasama tersebut jika 
memenuhi hal2 spt diatas, tidaklah mengapa, maksudnya bukanlah riba, asal ada 
pelafalan perjanjian lagi dan antum setuju dengan hal tersebut.
3. penentuan keuntungan diawal bukanlah riba, namun mengapa perjanjian tersebut 
berubah, penjelasannya ada di point 4
4 .Ibnu Qudamah menyatakan, jika dalam mudharabah tampak adanya keuntungan, 
maka pengelola tidak boleh mengambil sedikitpun darinya tanpa izin pemilik 
modal. Dalam masalah ini, kami tidak menemukan adanya perbedaan di antara para 
ulama. namun jika ada ijin, dan jelas ternyata memang keuntungan memang besar, 
dan banyak menguntungkan dari pengelola modal dan pemilik modal tidaklah 
mengapa (tidak terlalu mempedulikan hal tersebut), maka tidaklah mengapa.
5. dari point ke 4 ana tidak tau apa yang mendasari perubahan tersebut, namun 
jika perubahan tersebut karena pengelola modal mengetahui keuntungannya 
ternyata besar, dan ingin mendapatkan keuntungan lebih, itu masalah lain asal 
pemilik modal tidak terlalu mempedulikan hal tersebut, berarti dia (pengelola 
modal) tamak, dan tidak ada hubungannya dengan masalah riba.

mohon koreksinya dari antum semua terhadap penjelasan antum.

akhi efrizon adalah sahabat/saudara ana di bekasi, dan hal ini sempat 
disampaikan lebih detail, jadi begitulah jawaban yang ana bisa sampaikan.

 
Adhitya Ramadian




________________________________
From: Efrizon <[EMAIL PROTECTED]>
To: assunnah@yahoogroups.com
Sent: Wednesday, October 15, 2008 1:44:42 PM
Subject: RE: [assunnah] Bisnis yang dijauhkan dengan riba


Assalammu'alaikum warrahmatullohi wabarokatuh

Mohon masukan, ana ditawarkan oleh ikhwan untuk kerjasama dalam bentuk usaha 
modal, sebelumnya kami mengadakan kerjasama dengan menggunakan system 
mudharabah yakni bagi hasil dengan pola 30% untuk Pemodal, 40% lagi untuk 
tenaga ahli dan administrasi lain serta 30% lagi untuk tenaga ahli di lapangan. 
prosentasi ini dibagi setelah dikeluarkan biaya-biaya lain sehingga setelah 
diperoleh hasil bersih maka baru dibagi.

Namun perkembangannya untuk pola kerjasama selanjutnya ikhwan tersebut meminta 
kepada ana dirubah pola kerjasamanya yakni akan dibagi 10% dari modal yang 
ditanam, dengan pola tersebut ana keberatan karena menurut ana pola tersebut 
cenderung ke menggunakan sistim riba.

Berkenaan hal tersebut di atas kami mohon masukan bagaimana sistim kerjasama 
yang syar'i dan terhindar dari riba.

Jazakumulloh khoiron katsiron atas jawabannya.

Wassalammu'alaikum warrahmatullohi wabarokatuh.

Efrizon
    


      

Kirim email ke