Assalamu'alaykum warohmatulloohi wabarokaatuh
 
Silahkan dikaji artikel berikut yg ana copas dari www.muslimah.or.id
 

Penulis: Ummu Hamzah
Muroja’ah: Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar
 
 
Bolehkah seorang wanita yang sedang haid masuk dan duduk di dalam masjid ?
 
Sebagian ulama melarang seorang wanita masuk dan duduk di dalam masjid dengan 
dalil:
 
لاَأُحِلُّ الْمَسْجِدُ ِلحَائِضٍُ وَلا َجُنُبٍ
 
“Aku tidak menghalalkan masjid untuk wanita yang haidh dan orang yang junub.” 
(Diriwayatkan oleh Abu Daud no.232, al Baihaqi II/442-443, dan lain-lain)
 
Akan tetapi hadits di atas merupakan hadits dho’if (lemah) meski memiliki 
beberapa syawahid (penguat) namun sanad-sanadnya lemah sehingga tidak bisa 
menguatkannya dan tidak dapat dijadikan hujjah. Syaikh Albani -rahimahullaah- 
telah menjelaskan hal tersebut dalam ‘Dho’if Sunan Abi Daud’ no. 32 serta 
membantah ulama yang menshahihkan hadits tersebut seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu 
al Qohthon, dan Asy Syaukani. Beliau juga menyebutkan ke-dho’if-an hadits ini 
dalam Irwa’ul Gholil’ I/201-212 no. 193.
 
Berikut ini sebagian dalil yang digunakan oleh ulama yang membolehkan seorang 
wanita haid duduk di masjid (Jami’ Ahkamin Nisa’ I/191-192):

Adanya seorang wanita hitam yang tinggal di dalam masjid pada zaman Nabi 
shallallahu’alaihi wa sallam. Namun tidak ada dalil yang menyatakan bahwa Nabi 
shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkannya untuk meninggalkan masjid ketika 
ia mengalami haidh. 
Sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam kepada ‘Aisyah radhiyallahu’anha, 
“Lakukanlah apa yang bisa dilakukan oleh orang yang berhaji selain thowaf di 
Baitullah.” Larangan thowaf ini dikarenakan thowaf di Baitullah termasuk 
sholat, maka wanita itu hanya dilarang untuk thowaf dan tidak dilarang masuk ke 
dalam masjid. Apabila orang yang berhaji diperbolehkan masuk masjid, maka hal 
tersebut juga diperbolehkan bagi seorang wanita yang haidh. 
 
Kesimpulan:
Wanita yang sedang haid diperbolehkan masuk dan duduk di dalam masjid karena 
tidak ada dalil yang jelas dan shohih yang melarang hal tersebut. Namun, 
hendaknya wanita tersebut menjaga diri dengan baik sehingga darahnya tidak 
mengotori masjid.
 
Bolehkah seorang wanita yang sedang haid membaca Al Qur’an (dengan hafalannya) ?
 
Sebagian ulama berpendapat bahwa wanita yang haid dilarang untuk membaca Al 
Qur’an (dengan hafalannya) dengan dalil:
 
لاَ تَقرَأِ الْحَا ءضُ َوَلاََ الْجُنُبُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْانِ
 
“Orang junub dan wanita haid tidak boleh membaca sedikitpun dari Al Qur’an.” 
(Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi I/236; Al Baihaqi I/89 dari Isma’il bin 
‘Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar)
 
Al Baihaqi berkata, “Pada hadits ini perlu diperiksa lagi. Muhammad bin Ismail 
al Bukhari menurut keterangan yang sampai kepadaku berkata, ‘Sesungguhnya yang 
meriwayatkan hadits ini adalah Isma’il bin Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dan aku 
tidak tahu hadits lain yang diriwayatkan, sedangkan Isma’il adalah munkar 
haditsnya (apabila) gurunya berasal dari Hijaz dan ‘Iraq’.”
 
Al ‘Uqaili berkata, “Abdullah bin Ahmad berkata, ‘Ayahku (Imam Ahmad) berkata, 
‘Ini hadits bathil. Aku mengingkari hadits ini karena adanya Ismail bin 
‘Ayyasi’ yaitu kesalahannya disebabkan oleh Isma’il bin ‘Ayyasi’.”
 
Syaikh Al Albani berkata, “Hadits ini diriwayatkan dari penduduk Hijaz maka 
hadits ini dhoif.” (Diringkas dari Larangan-larangan Seputar Wanita Haid dari 
Irwa’ul Gholil I/206-210)
 
Kesimpulan dari komentar para imam ahli hadits mengenai hadits di atas adalah 
sanad hadits tersebut lemah sehingga tidak dapat digunakan sebagai dalil untuk 
melarang wanita haid membaca Al Qur’an.
 
Hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha beliau berkata, “Aku datang ke Mekkah 
sedangkan aku sedang haidh. Aku tidak melakukan thowaf di Baitullah dan (sa’i) 
antara Shofa dan Marwah. Saya laporkan keadaanku itu kepada Rasulullah 
shallallahu’alaihi wa sallam, maka beliau bersabda, ‘Lakukanlah apa yang biasa 
dilakukan oleh haji selain thowaf di Baitullah hingga engkau suci’.” (Hadits 
riwayat Imam Bukhori no. 1650)
 
Seorang yang melakukan haji diperbolehkan untuk berdzikir dan membaca Al 
Qur’an. Maka, kedua hal tersebut juga diperbolehkan bagi seorang wanita yang 
haid karena yang terlarang dilakukan oleh wanita tersebut -berdasar hadits di 
atas- hanyalah thowaf di Baitullah. (Jami’ Ahkamin Nisa’ I/183)
 
Kesimpulan:
Wanita yang sedang haid diperbolehkan untuk berdzikir dan membaca Al Qur’an 
karena tidak ada dalil yang jelas dan shohih dari Rasulullah shallallahu’alaihi 
wa sallam yang melarang hal tersebut. Wallahu Ta’ala a’lam.
 
 
Bolehkah seorang wanita yang sedang haid menyentuh mushhaf Al Qur’an ?
Telah terjadi perselisihan pendapat di kalangan ulama. Ulama yang melarang hal 
tersebut berdalil dengan ayat:
 
لاَّ يَمَسَّةُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ
 
Artinya:
“Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (QS. Al Waqi’ah: 79)
يَمُسُّ maksudnya adalah menyentuh mushhaf al Qur’an. المُطَهَّرُونَ maksudnya 
adalah orang-orang yang bersuci.. Oleh karena itu tidak boleh menyentuh mushaf 
al Qur’an kecuali bagi orang-orang yang telah bersuci dari hadats besar atau 
kecil.
 
Mereka juga berdalil dengan hadits Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm 
dari bapaknya dari kakeknya bahwasanya Nabi shallallahu’alaihi wa sallam 
menulis surat kepada penduduk Yaman dan di dalamnya terdapat perkataan:
 
لاَّ يَمَسُّ الْقُرْاَنَ إِلاَّ طَا هِرٌ
 
“Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci.” (Hadits Al Atsram 
dari Daruqutni)
 
Sanad hadits ini dho’if namun memiliki sanad-sanad lain yang menguatkannya 
sehingga menjadi shahih li ghairihi (Irwa’ul Ghalil I/158-161, no. 122)
 
Ulama yang membolehkan wanita haid menyentuh mushhaf Al Qur’an memberikan 
penjelasan sebagai berikut:
 
إِنَّهُ لَقُرْءَانٌ كَرِيْمٌ فِي كِتَابٍ مَّكْنُو نٍ لاَّ يَمَسَّهُ إِلاَّ 
الْمُطَهَّرُونَ تَتِريلٌ مِّن رَّبِّ الْعَا لَمِينَ
 
Artinya:

“Sesungguhnya Al qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia pada kitab yang 
terpelihara. Tidak menyentuhya kecuali (hamba-hamba) yang disucikan. Diturunkan 
oleh Robbul ‘Alamin.” (QS. Al Waqi’ah: 77-80)
 
Kata ganti ﻪ (-nya pada “Tidak menyentuhnya”) kembali kepada ﻛﺘﺎﺏ ﻣﻜﻨﻮﻥ (Kitab 
yang terpelihara). Ibnu ‘Abbas, Jabir bin Zaid, dan Abu Nuhaik berkata, 
“(yaitu) kitab yang ada di langit”.
 
Adh Dhahhak berkata, “Mereka (orang-orang kafir) menyangka bahwa setan-setanlah 
yang menurunkan Al Qur’an kepada Muhammad shallallaahu’alaihi wa sallam, maka 
Allah memberitakan kepada mereka bahwa setan-setan tidak kuasa dan tidak mampu 
melakukannya.” (Tafsir Ath Thobari XI/659).
 
Mengenai ﺍﻟﻤُﻄَﻬَّﺮُﻭﻥَ menurut pendapat beberapa ulama, di antaranya:

Ibnu ‘Abbas berkata, “Adalah para malaikat. Demikian pula pendapat Anas, 
Mujahid, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Adh Dhahhak, Abu Sya’tsa’ , Jabir bin 
Zaid, Abu Nuhaik, As Suddi, ‘Abdurrohman bin Zaid bin Aslam, dan selain 
mereka.” [Tafsir Ibnu Katsir (Terj.)] 
Ibnu Zaid berkata, “yaitu para malaikat dan para Nabi. Para utusan (malaikat) 
yang menurunkan dari sisi Allah disucikan; para nabi disucikan; dan para rasul 
yang membawanya juga disucikan.” (Tafsir Ath Thobari XI/659) 
 
Imam Asy Syaukani berkata dalam Nailul Author, Kitab Thoharoh, Bab Wajibnya 
Berwudhu Ketika Hendak Melaksanakan Sholat, Thowaf, dan Menyentuh Mushhaf: 
“Hamba-hamba yang disucikan adalah hamba yang tidak najis, sedangkan seorang 
mu’min selamanya bukan orang yang najis berdasarkan hadits:
 
الْمُؤْمِنُ لاَ يَنْجُسُ
 
“Orang mu’min itu tidaklah najis.” (Muttafaqun ‘alaih)
 
Maka tidak sah membawakan arti (hamba) yang disucikan bagi orang yang tidak 
junub, haid, orang yang berhadats, atau membawa barang najis. Akan tetapi, 
wajib untuk membawanya kepada arti: Orang yang tidak musyrik sebagaimana dalam 
firman Allah Ta’ala yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis.” 
(QS. At Taubah: 28)
 
Di samping itu lafadz yang digunakan dalam ayat tersebut adalah dalam bentuk 
isim maf’ul-nya (orang-orang yang disucikan), bukan dalam bentuk isim fa’il 
(orang-orang yang bersuci). Tentu hal tersebut mengandung makna yang sangat 
berbeda.
Mengenai hadits “Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci”, 
Syaikh Nashiruddin Al Albani rahimahullah berkata, “Yang paling dekat -Wallahu 
a’lam- maksud “orang yang suci” dalam hadits ini adalah orang mu’min baik dalam 
keadaan berhadats besar, kecil, wanita haid, atau yang di atas badannya 
terdapat benda najis karena sabda beliau shallallahu’alaihi wa sallam: “Orang 
mu’min tidakah najis” dan hadits di atas disepakati keshahihannya. Yang 
dimaksudkan dalam hadits ini (yaitu hadits Tidak boleh menyentuh Al Qur’an 
kecuali orang yang suci) bahwasanya beliau melarang memberikan kuasa kepada 
orang musyrik untuk menyentuhnya, sebagaimana dalam hadits:
 
نَهَى أَنْ يُسَا فَرَ بِا لْقُرْانِ إِلَى أَرْضِ اْلعَدُو
 
“Beliau melarang perjalanan dengan membawa Al Qur’an menuju tanah musuh.” 
(Hadits riwayat Bukhori). (Dinukil dari Larangan-larangan Seputar Wanita Haid 
dari Tamamul Minnah, hal. 107).
 
Meski demikian, bagi seseorang yang berhadats kecil sedang ia ingin memegang 
mushaf untuk membacanya maka lebih baik dia berwudhu terlebih dahulu. Mush’ab 
bin Sa’ad bin Abi Waqash berkata, “Aku sedang memegang mushhaf di hadapan Sa’ad 
bin Abi Waqash kemudian aku menggaruk-garuk. Maka Sa’ad berkata, ‘Apakah engkau 
telah menyentuh kemaluanmu?’ Aku jawab, ‘Ya.’ Dia berkata, ‘Berdiri dan 
berwudhulah!’ Maka aku pun berdiri dan berwudhu kemudian aku kembali.” 
(Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al Muwaththa’ dengan sanad yang shahih)
 
Ishaq bin Marwazi berkata, “Aku berkata (kepada Imam Ahmad bin Hanbal), ‘Apakah 
seseorang boleh membaca tanpa berwudhu terlebih dahulu?’ Beliau menjawab, ‘Ya, 
akan tetapi hendaknya dia tidak membaca pada mushhaf sebelum berwudhu”.
Ishaq bin Rahawaih berkata, “Benar yang beliau katakan, karena terdapat hadits 
yang dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Beliau bersabda, ‘Tidak boleh 
menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci’ dan demikian pula yang diperbuat 
oleh para shahabat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.” (Dari Larangan-larangan 
Seputar Wanita Haid, dari Irwaul Gholil I/161 dari Masa’il Imam Ahmad hal. 5)
 
Abu Muhammad bin Hazm dalam Al Muhalla I/77 berkata, “Menyentuh mushhaf dan 
berdzikir kepada Allah merupakan ibadah yang diperbolehkan untuk dilakukan dan 
pelakunya diberi pahala. Maka barangsiapa yang melarang dari hal tersebut, maka 
ia harus mendatangkan dalil.” (Jami’ Ahkamin Nisa’ I/188).
 
Kesimpulan:
Wanita yang sedang haid diperbolehkan menyentuh mushhaf Al Qur’an karena tidak 
ada dalil yang jelas dan shohih yang melarang hal tersebut. Wallaahu Ta’ala 
A’lam.
 
Rujukan:

Larangan-larangan Seputar Wanita Haid, artikel Majalah As Sunnah 01/ IV/ 
1420-1999, Abu Sholihah Muslim al Atsari. 
Jami’ Ahkamin Nisa’, Syaikh Musthofa al ‘Adawi. 
Tafsir Al Qur’an Al ‘Adziim (Terj. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 8), Ibnu Katsir. 
 
***
Artikel www.muslimah.or.id


--- On Tue, 10/28/08, Tony Zatmiko <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

From: Tony Zatmiko <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: Bls: [assunnah] Re: OTT : Tanya: Bagaimana Hukumnya Wanita Non Muslim 
memegang Mushaf Alquran
To: assunnah@yahoogroups.com
Date: Tuesday, October 28, 2008, 12:05 AM






Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.

akh abu farhan.. sepengetahuan ana kalo wanita haid gak boleh menyentuh mushaf 
AlQuran, tp boleh membacanya.
bisa gak antum lampirkan statement dr buku rujukan tsb yg membolehkan wanita 
haidh boleh menyentuh mushaf, karna ana
gak punya bukunya.
afwan karna ana masih jahil, masi awam, musti banyak blajar dr ikhwan2 skalian.

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
tozat

____________ _________ _________ __
Dari: abu_farhan_ws <[EMAIL PROTECTED] com>
Kepada: [EMAIL PROTECTED] s.com
Terkirim: Selasa, 21 Oktober, 2008 15:54:06
Topik: [assunnah] Re: OTT : Tanya: Bagaimana Hukumnya Wanita Non Muslim 
memegang Mushaf Alquran

Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh,

1/ Sepengetahuan saya, tidak ada larangan bagi wanita non-muslim
memegang mushaf Al Qur'an.
2/ Muslimah yang sedang haidh pun boleh memegang mushaf Al Qur'an.
Silakan lihat kembali "Hukum Menyentuh atau Memegang Al Qur'an bagi
Orang Junub, Wanita Haid, dan Nifas", oleh Ust. Abdul Hakim bin Amir
Abdat yang dikirim ke milis ini sebelumnya. atau "Membaca Al-Qur'an
bagi Wanita Haid", oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin,
http://www.almanhaj .or.id/content/ 902/slash/ 0.
3/ Sebelum memutuskan untuk memeluk agama Islam, para wanita
non-muslim mestinya mempelajari Al Qur'an terlebih dahulu karena itu
kitab pedoman hidup bagi muslim. Mempelajari Al Qur'an berarti
kemungkinan besar memegang mushaf Al Qur'an. Apabila dilarang memegang
mushaf Al Qur'an, mereka tidak dapat memenuhi keingintahuan mereka
tentang ajaran Islam. Hal ini berarti menutup pintu dakwah. Maaf, ini
hanya pendapat saya yang dapat saja keliru.

Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Abu Farhan

--- In [EMAIL PROTECTED] s.com, muhammad yusuf <[EMAIL PROTECTED] > wrote:
>
> Assalamualaikum Warahmatullahiwabar okatu'..
>
> Semoga ikhwah semua selalu dalam naungan dan bimbingan Alloh
Subhanahu Wataalla. Amin.
> Ana mau tanya bagaimana Hukumnya wanita non muslim memegang Mushaf
Alquran sambil memegang kertasnya, hanya keingintahuan saja. terlebih
sekarang banyak Mushaf2 banyak dijual di tempat umum. mohon pendapat
Ikhwah semua.
>
> Syukuron dan Jazakallahu Khairan
> M.Yusuf | Marketing Corporate Wita Tour & Travel | 0856.89.76.191

____________ _________ _________ _________ _________ _________ _
Nama baru untuk Anda!
Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan di domain baru @ymail dan @rocketmail.
Cepat sebelum diambil orang lain!
http://mail. promotions. yahoo.com/ newdomains/ id/
 














      

Kirim email ke