BUAH KEIMANAN KEPADA QADHA DAN QADHAR

Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd



21. Mengetahui Hikmah Allah Azza Wa Jalla
Iman kepada qadar dengan cara yang benar akan mengungkap bagi manusia hikmah
Allah Azza wa Jalla dalam apa yang ditentukan-Nya, berupa kebaikan dan
keburukan. Lantas dia mengetahui bahwa di balik pemikirannya dan
imajinasinya ada Dzat yang lebih agung, lebih tahu, dan lebih bijaksana.

Karena itu, seringkali sesuatu terjadi dan kita tidak menyukainya, padahal
hal itu baik bagi kita, dan seringkali kita melihat sesuatu memiliki
maslahat secara zhahirnya, sehingga kita pun menyukai dan menginginkannya,
tetapi hikmah tidak menghendakinya. Sebab, Dzat yang mengatur manusia lebih
tahu tentang kemasla-hatannya dan akibat perkaranya. Bagaimana tidak,
sedangkan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Artinya : …Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik ba-gimu,
dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu,
Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." [Al-Baqarah: 216]

Di antara rahasia ayat ini dan hikmahnya adalah, bahwa ayat ini mengharuskan
hamba untuk pasrah kepada Dzat Yang mengetahui berbagai akibat urusannya dan
ridha dengan apa yang ditentukan-Nya atasnya, karena dia mengharapkan
kepada-Nya akibat baik (dari urusan)nya.

Di antara rahasia lainnya, dia tidak mencela Rabb-nya dan tidak meminta
kepada-Nya sesuatu yang mana ia tidak memiliki pengetahuan mengenainya,
karena mungkin kemudharatan bagi dirinya terletak di dalamnya, sedangkan ia
tidak mengetahui. Ia tidak me-milihkan kepada Rabb-nya, tetapi ia meminta
kepada-Nya akibat yang baik dalam apa yang dipilihkan-Nya untuknya. Baginya,
tidak ada yang lebih bermanfaat daripada hal itu.

Karena itu, di antara belas kasih Allah kepada hamba-Nya ialah mungkin jiwa
hamba menginginkan salah satu hal keduniaan, yang mana ia menganggap dengan
hal itu dia dapat mencapai tujuannya. Tapi Allah mengetahui bahwa itu
merugikan dan menghalanginya dari apa yang bermanfaat baginya, lalu Dia pun
menghalangi antara dirinya dengan keinginannya itu, sehingga hamba tersebut
tetap dalam keadaan tidak suka, sementara itu ia tidak mengetahui bahwa
Allah telah berbelas kasih kepadanya, di mana Dia mengokohkan perkara yang
bermanfaat baginya dan memalingkan perkara yang merugikan darinya. [1]

Betapa banyak manusia -sebagai contoh- yang menyesal, ketika ketinggalan
waktu take off pesawat terbang, dan ternyata penyesalan tersebut hanya
sementara. Kemudian dikabarkan tentang jatuhnya pesawat (yang telah lepas
landas) dan semua penumpangnya tewas.

Betapa banyak manusia yang sesak dan sempit dadanya karena kehilangan
sesuatu yang disukai atau datangnya sesuatu yang me-nyedihkan. Ketika
perkara itu tersingkap dan rahasia takdir itu diketahui, Anda pasti
melihatnya dalam keadaan senang gembira, karena akibatnya ternyata baik
baginya.

Sungguh indah ucapan orang yang mengatakan:
Betapa banyak kenikmatan yang tidak Anda anggap sedikit
dengan bersyukur kepada Allah atasnya
bersembunyi dalam lipatan sesuatu yang tidak disukai [2]

Ucapan lainnya:
Perkara-perkara itu berjalan sesuai ketentuan qadha'
dan dalam lipatan kejadian, yang disukai dan yang tidak disukai

Mungkin menyenangkanku sesuatu yang dulunya aku hindari
dan mungkin buruk bagiku sesuatu yang dulunya aku harapkan [3]

22. Membebaskan Akal Dari Khurafat Dan Kebathilan.
Di antara kepastian iman kepada qadar ialah mengimani bahwa apa yang telah
terjadi, apa yang sedang terjadi, dan apa yang akan terjadi di alam semesta
ini adalah berdasarkan pada qadar (ketentuan) Allah Azza wa Jalla. Dan bahwa
qadar Allah adalah rahasia yang tersembunyi, tidak ada yang mengetahuinya
kecuali Dia, dan Dia tidak memperlihatkannya kepada seorang pun kecuali
kepada siapa yang diridhai-Nya dari Rasul-Nya. Sesungguhnya Dia menjadikan
penjagapenjaga (Malaikat) di muka dan di belakangnya.

Dari titik tolak ini, anda melihat orang yang beriman kepada qadar tidak
bersandar kepada para dajjal dan pesulap (pendusta), serta tidak pergi
kepada para dukun, peramal dan orang-orang "pintar". Ia tidak bersandar
kepada ucapan-ucapan mereka, tidak pula tertipu dengan penyimpangan mereka
dan kedustaan mereka. Ia hidup dalam keadaan terbebas dari kesesatan
ucapan-ucapan tersebut dan dari semua khurafat dan kebathilan itu.
Labid bin Rabi'ah Radhiyallahu 'anhu berkata:

Sungguh para dukun dan peramal tidak tahu
apa yang Allah akan perbuat
Bertanyalah kepada mereka, jika kalian mendustakanku
kapankah seorang pemuda merasakan kematian atau kapankah hujan akan turun
[4]

23. Ketenangan Hati Dan Ketentraman Jiwa.
Perkara-perkara ini termasuk dari buah keimanan kepada qadar, dan ini
termasuk di antara sekian banyak manfaat yang telah disebutkan sebelumnya.
Ini merupakan hal yang dicari-cari, tujuan yang didambakan, dan puncak
tujuan yang dimaksud, karena semua manusia mencarinya dan berusaha
meraihnya. Tapi, sebagaimana dikatakan:

Semua orang dalam hidup ini mencari buruan
hanya saja, perangkapnya berbeda-beda

Tidak ada yang mengetahui perkara-perkara ini, tidak ada yang merasakan
manisnya, dan tidak ada yang mengetahui hasil-hasilnya, kecuali orang yang
beriman kepada Allah beserta qadha' dan qadar-Nya. Orang yang beriman kepada
qadar hatinya tenang, jiwanya tentram, keadaannya tenang, dan tidak banyak
berpikir mengenai keburukan yang bakal datang. Kemudian, jika keburukan
tersebut datang, hatinya tidak terbang tercerai-berai, tetapi dia tabah
terhadap hal itu dengan mantap dan sabar. Jika sakit, sakitnya tidak
menambah keraguannya. Jika sesuatu yang tidak disukai datang kepadanya, dia
menghadapinya dengan ketabahan, sehingga dapat meringan-kannya. Di antara
hikmahnya ialah agar manusia tidak menghimpun pada dirinya antara kepedihan
karena khawatir terhadap datangnya keburukan dengan kepedihan karena
mendapatkan keburukan.

Tetapi dia berbahagia, selagi sebab-sebab kesedihan itu jauh darinya. Jika
hal itu terjadi, maka dia menghadapinya dengan keberanian dan keseimbangan
jiwa.

Anda melihat pada diri orang-orang khusus dari kalangan umat Islam, dari
kalangan ulama 'amilin (ulama yang mengamalkan ilmunya) dan ahli ibadah yang
taat lagi mengikuti Sunnah, berupa ketenangan hati dan ketentraman jiwa yang
tidak terbayangkan dalam benak dan tidak pula terbayang dalam imajinasi.
Mereka dalam hal ini memiliki derajat yang tinggi dan kedudukan yang
sempurna.

Inilah Amirul Mukminin, 'Umar bin 'Abdil 'Aziz rahimahullahu mengatakan,
"Aku tidak mendapatkan kegembiraan kecuali dalam hal-hal yang sudah diqadha'
dan diqadarkan." [5]

Syaikhul Islam, Abul 'Abbas Ahmad Ibnu Taimiyyah rahimahullahu me-ngatakan,
"Sesungguhnya di dunia ini ada Surga, yang barangsiapa tidak pernah
memasukinya maka dia tidak akan memasuki Surga akhirat." [6]

Beliau mengatakan dengan pernyataan yang terkenal, ketika dimasukkan dalam
penjara, "Apakah yang akan diperbuat para musuhku terhadapku, sedangkan
Surgaku dan tamanku ada dalam dadaku, ke mana aku pergi maka ia selalu
bersamaku, tidak pernah berpisah denganku. Dipenjarakannya aku adalah
khulwah (menyepi), pembunuhan terhadapku adalah syahadah (mati sebagai
syahid), dan pengusiranku dari negeriku adalah wisata." [7]

Bahkan Anda melihat ketentraman hati, ketenangan hidup, dan keyakinan yang
mantap pada kaum muslimin yang awam, yang tidak Anda dapatkan pada para
tokoh pemikir, penulis dan dokter dari kalangan non muslim. Betapa banyak
para dokter dari kalangan non muslim -sebagai contoh- yang heran, ketika
menangani pengobatan pasien muslim. Tampak olehnya bahwa pasien tersebut
men-derita penyakit yang berbahaya, misalnya kanker. Anda melihat dokter ini
bingung bagaimana cara memberitahukan kepada pasien tentang penyakitnya.
Anda melihatnya ragu-ragu, dan Anda meli-hatnya mulai membuka pembicaraan
serta membuat beberapa prolog. Semua itu dilakukan karena takut pasien akan
shok karena mendengarkan kabar ini.

Namun, ketika dokter memberitahukan kepadanya akan penyakitnya dan
menjelaskan penyakitnya kepadanya, ternyata pasien ini menerima kabar ini
dengan jiwa yang ridha, dada yang lapang, dan ketenangan yang mengagumkan.

Keimanan kaum muslimin kepada qadha' dan qadar telah mencengangkan banyak
kalangan non muslim, lalu mereka menulis tentang perkara ini untuk
mengungkapkan ketercengangan mereka dan mencatatkan kesaksian mereka tentang
kekuatan tekad kaum muslimin, kebesaran jiwa mereka, dan penyambutan mereka
yang baik terhadap berbagai kesulitan hidup.

[Disalin dari kitab Al-Iimaan bil Qadhaa wal Qadar, Edisi Indoensia Kupas
Tuntas Masalah Takdir, Penulis Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Penerjemah
Ahmad Syaikhu, Sag. Penerbit Pustaka Ibntu Katsir]
__________
Foote Note
[1]. Lihat, al-Mawaahibur Rabbaaniyyah minal Aayaatil Qur-aan, Ibnu Sa'di,
hal. 151.
[2]. Jannatur Ridhaa' fit Tasliim limaa Qaddara wa Qadhaa', (III/52).
[3]. Jannatur Ridhaa' fit Tasliim limaa Qaddara wa Qadhaa', (III/52).
[4]. Diiwaan Labid bin Rabi-ah, hal. 90.
[5]. Jaami'ul 'Uluum wal Hikam, Ibnu Rajab, (I/287) dan lihat, Siirah 'Umar
bin 'Abdil 'Aziz, Ibnu 'Abdilhakam, hal. 97.
[6]. Al-Waabilush Shayyib minal Kalimith Thayyib, Ibnul Qayyim, hal. 69 dan
asy-Syahaadatuz Zakiyyah fii Tsanaa-il A-immah 'alaa Ibni Taimiyyah, karya
Mar'il Karami al-Hanbali, hal. 34.
[7]. Dzail Thabaqaatil Hanaabilah, Ibnu Rajab, (II/402) dan lihat,
al-Waabilush Shayyib, hal. 69.


Ini adalah kesaksian yang benar dari kaum yang tidak beriman kepada Allah
serta kepada qadha' dan qadar-Nya.

Di antara orang-orang yang menulis tentang masalah ini ialah penulis
terkenal, R.N.S. Budly, penulis buku Angin di Atas Padang Pasir dan
ar-Rasuul, serta 14 buku lainnya. Dan juga orang yang mengemukakan
pendapatnya yaitu Del Carnegie dalam bukunya, Tinggalkan Kegalauan dan
Mulailah Kehidupan, dalam artikel yang berjudul, Aku Hidup Dalam Surga
Allah.

Budly menuturkan:

"Pada tahun 1918 aku meninggalkan dunia yang telah aku kenal sepanjang
hidupku, dan aku merambah ke arah Afrika utara bagian barat, di mana aku
hidup di tengah-tengah kaum badui di padang pasir. Aku habiskan waktu di
sana selama tujuh tahun. Selama waktu itu aku memperdalam bahasa badui, aku
memakai pakaian mereka, makan dari makanan mereka, berpenampilan ala mereka,
dan hidup seperti mereka. Aku mempunyai kambing-kambing, dan aku tidur
sebagaimana mereka tidur dalam tenda. Aku mendalami studi Islam sehingga aku
berhasil menyusun sebuah buku tentang Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam
yang berjudul ar-Rasuul. Tujuh tahun yang aku habiskan bersama kaum badui
yang hidup berpindah-pindah (nomaden) tersebut merupakan tahun-tahun
kehidupanku yang paling menyenangkan, dan aku mendapatkan kedamaian,
ketentraman, dan ridha terhadap kehidupan ini.

Aku belajar dari bangsa 'Arab padang pasir bagaimana mengatasi kegelisahan,
karena mereka sebagai muslim, beriman kepada qadha' dan qadar. Dan keimanan
ini membantu mereka untuk hidup dalam rasa aman, dan mengambil kehidupan ini
pada tempat pengambilan yang mudah dan gampang. Mereka tidak terburu-buru
pada suatu perkara, dan tidak pula menjatuhkan diri mereka di tengah-tengah
kesedihan karena gelisah terhadap suatu masalah.

Mereka beriman bahwa apa yang telah ditakdirkan pasti akan terjadi, dan
seorang dari mereka tidak akan tertimpa suatu musibah kecuali apa yang telah
ditentukan Allah untuknya.

Ini bukan berarti bahwa mereka pasrah atau pasif, dengan wajah sedih dan
berpangku tangan, sekali-kali tidak."

Kemudian, setelah itu, dia mengatakan:

"Biarkan aku membuatkan untukmu suatu permisalan terhadap apa yang aku
maksudkan: Pada suatu hari angin bertiup kencang yang membawa pasir-pasir
padang pasir, melintasi laut tengah, dan menghantam lembah Raun di Prancis.
Angin ini sangat panas, sehingga aku merasakan seakan-akan rambutku terlepas
dari tempat tumbuhnya, karena terjangan hawa panas, dan aku merasa
seolah-olah aku didorong menjadi gila.

Tetapi bangsa 'Arab tidak mengeluh sama sekali. Mereka menggerakkan
pundak-pundak mereka seraya mengatakan dengan ucapan mereka yang menyentuh,
"Qadha' yang telah tertulis."

Tetapi, angin kencang tersebut memotifasi mereka untuk be-kerja dengan
semangat yang besar. Mereka menyembelih kambing-kambing muda sebelum panas
membinasakan kehidupannya, ke-mudian mereka menggiring ternak ke arah
selatan menuju air.

Mereka melakukan hal ini dengan diam dan tenang, tidak tampak suatu keluhan
pun dari salah seorang mereka.

Ketua suku, asy-Syaikh, mengatakan, 'Kita tidak kehilangan sesuatu yang
besar, sebab kita diciptakan untuk kehilangan segala sesuatu. Tetapi puji
dan syukur kepada Allah, karena kita masih mempunyai sekitar 40% dari ternak
kita, dan dengan segala kemampuan kita, kita akan memulai aktifitas kita
kembali".

Kemudian Budly mengatakan, "Ada kejadian lainnya. Kami menempuh padang pasir
dengan mobil pada suatu hari, lalu salah satu ban mobil pecah, sedangkan
sopir lupa membawa ban serep. Aku pun dikuasai kemarahan, kegelisahan, serta
kesedihan. Aku bertanya kepada sahabat-sahabatku dari kalangan 'Arab badui,
'Apakah yang bisa kita lakukan?'

Mereka mengingatkanku bahwa kemarahan sama sekali tidak ada gunanya, bahkan
itu dapat mendorong manusia kepada tindakan gegabah dan bodoh.

Kemudian mobil berjalan mengangkut kami hanya dengan tiga roda. Tetapi tidak
lama kemudian mobil tidak bisa berjalan, dan saya tahu bahwa bensinnya
habis.

Anehnya, tidak seorang pun dari sahabat-sahabatku dari kalangan 'Arab badui
yang marah, dan mereka tetap tenang, bahkan mereka berlalu menyusuri jalan
dengan berjalan kaki."

Setelah Budly mengemukakan pengalamannya bersama bangsa 'Arab gurun, dia
mengomentari dengan pernyataan: "Tujuh tahun yang aku habiskan di padang
pasir di tengah-tengah bangsa 'Arab nomaden telah memuaskanku, bahwa
orang-orang yang stres, orang-orang yang sakit jiwa, dan orang-orang mabuk
yang dipelihara oleh Amerika dan Eropa, mereka tidak lain hanyalah korban
pera-daban yang menjadikan "sesuatu yang sementara" sebagai landa-sannya.

Saya tidak mengalami kegelisahan sedikit pun ketika tinggal di gurun pasir,
bahkan di sanalah, di Surga Allah, saya mendapatkan ketentraman, qana'ah,
dan ridha."

Akhirnya, dia menutup pernyataannya dengan ucapannya: "Ringkasnya, setelah
berlalu tujuh belas tahun sesudah meninggalkan padang pasir, saya tetap
mengambil sikap bangsa 'Arab berkenaan dengan ketentuan Allah, sehingga saya
menghadapi kejadian-kejadian yang saya tidak berdaya di dalamnya dengan
ketenangan, ketundukan, dan ketentraman.

Watak yang saya ambil dari bangsa 'Arab ini telah berhasil dalam
menentramkan syarafku, yang lebih banyak dibandingkan apa yang dihasilkan
oleh ribuan obat-obat penenang dan klinik-klinik kesehatan." [8]

[Disalin dari kitab Al-Iimaan bil Qadhaa wal Qadar, Edisi Indoensia Kupas
Tuntas Masalah Takdir, Penulis Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Penerjemah
Ahmad Syaikhu, Sag. Penerbit Pustaka Ibntu Katsir]
__________
Foote Note
[8]. Da'il Qalaq wabdaa-il Hayaah, Del Carnegie, hal. 291-295 dan lihat,
al-Iimaan bil Qadhaa' wal Qadar wa Atsaruhu 'alal Qalaq an-Nafsi, karya
Tharifah bin Su'ud asy-Syuwai'ir, hal. 74-75.



Pada 18 November 2008 11:23, Lisda <[EMAIL PROTECTED]> menulis:

>   Assalaamu'alaikum warohmatullohi wabarokaatuh ...
>
> Saya Lisda, saya sudah bekerja di perusahan yang sekarang ini selama 4
> tahun.
> kemudia tanggal 4 december bulan depan adalah Last day saya bekerja.
> rasanya sedih sekali untuk meninggalkan tempat yang saya sayangi ini,
> meninggalkan teman-teman dan sodara yang saya sayangi rasanya berat sekali.
> sampai saya menangis tak sengaja.
>
> Perusahaan tidak menjadikan saya karyawan tetap karna perusahaan akan
> pindah ke China.
> saya selalu berdoa kepada Alloh untuk selalu memberikan yang terbaik untuk
> saya. dan saya pun sama sekali tidak ragu bahwa Alloh sangat Menyayangi
> saya.
> TApi saya Manusia biasa terkadang saya juga sedih saat harus berpisah.
>
> Pertanyaan saya, Apakah ada ayat atau hadist yang menceritakan tentang
> suatu perpisahan?
> atau bagaimana menghadapi suatu perpisahan agar tidak merasa sedih??
> Saya tunggu nasehatnya.....(agar hati saya tidak merasa sedih & terhibur)
>
> wassalaamu 'alaikum warohmatullohi wabarokaatuh.....
>  
>

Kirim email ke