[Catatan Admin]
Mohon bila antum tidak berkeberatan, untuk ke depannya dapat langsung men-copy 
paste isi artikel dimaksud ke dalam email, sehingga anggota milis Assunnah yang 
tidak memiliki akses ke internet/website, dapat langsung memperoleh manfaat 
dari artikel pada link tersebut. Di bagian bawah email dari akh Muh. Sa'adus 
Sulton telah kami copy paste artikel tersebut. Afwan, untuk tulisan arab tidak 
dapat di-copy paste, karena email hanya dalam format text. Demikian tambahan 
informasi dari kami, semoga dapat dimengerti, wallahu'alam
---------------


Wa'alaikumussalaam warohmatullohi wa barokaatuh.

Yang ustadz tersebut sebutkan adalah bid'ah dari segi bahasa. Antum bisa 
memahami lebih lanjut di link berikut :
http://akhisaad.blogspot.com/2008/04/yang-bukan-bidah.html

Semoga bermanfaat.

---------------
Berikut copy artikel dari link di atas:
---------------
Bismillahirrohmanirrohim Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala 
Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam Wa ba'du

YANG BUKAN BID'AH

Disusun: Ummu Ziyad

Muroja'ah: Ustadz Aris Munandar

Banyak perkataan terlontar, dari orang yang belum paham (atau mungkin salah 
paham) tentang bid'ah. Inti perkataannya menunjukkan bahwa bid'ah itu sesuatu 
yang boleh dikerjakan. Untuk itulah pada artikel ini penulis akan membahas 
berbagai kerancuan yang sering terdengar di kalangan masyarakat. Dan untuk 
memperjelas artikel sebelumnya, maka pada artikel ini insya Allah akan disertai 
beberapa contoh. Semoga Allah memudahkan.

Untuk memudahkan pemahaman, berikut ini beberapa poin penting yang ada pada 
artikel sebelumnya dan masih akan dibahas kembali pada artikel ini.

1. Makna bid'ah secara bahasa diartikan mengadakan sesuatu tanpa ada contoh 
sebelumnya.
2. Makna bid'ah secara istilah adalah suatu cara baru dalam beragama yang 
menyerupai syari'at dimana tujuan dibuatnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam 
beribadah kepada Allah.
3. Tiga unsur yang selalu ada pada bid'ah adalah; (a) mengada-adakan, (b) 
perkara baru tersebut disandarkan pada agama, (c) perkara baru tersebut bukan 
bagian dari agama.
4. Setiap bid'ah adalah sesat.

Kerancuan Pertama: Antara Adat dan Ibadah

Dalam pembahasan tentang bid'ah, terdapat kerancuan (syubhat) yang sering 
dilontarkan oleh orang-orang yang kurang jeli semacam kata-kata, "Kalau begitu, 
Nabi naik onta, kamu naik onta juga saja." atau kata-kata "Ini bid'ah, itu 
bid'ah, kalau begitu makan nasi juga bid'ah, soalnya gak ada perintahnya dari 
nabi", dan komentar-komentar senada lainnya.

Jawaban Saudariku... perlulah engkau membedakan, antara sebuah ibadah dan 
sebuah adat. Sebuah amalan ibadah, hukum asalnya adalah haram, sampai ada dalil 
syar'i yang memerintahkan seseorang untuk mengerjakan. Sedangkan sebaliknya, 
hukum asal dalam perkara adat adalah boleh, sampai ada dalil yang menyatakan 
keharamannya.

Contoh dalam masalah ibadah adalah ibadah puasa. Hukum asalnya adalah haram. 
Namun, karena telah ada dalil yang mewajibkan kita wajib puasa Ramadhan, atau 
dianjurkan puasa sunnah senin kamis maka ibadah puasa ini menjadi 
disyari'atkan. Namun, coba lihat puasa mutih (puasa hanya makan nasi tanpa 
lauk) yang sering dilakukan orang untuk tujuan tertentu. Karena tidak ada dalil 
syar'i yang memerintahkannya, maka seseorang tidak boleh untuk melakukan puasa 
ini. Jika ia tetap melaksanakan, berarti ia membuat syari'at baru atau dengan 
kata lain membuat perkara baru dalam agama (bid'ah).

Contoh masalah adat adalah makan. Hukum asalnya makan adalah halal. Kita 
diperbolehkan (dihalalkan) memakan berbagai jenis makanan, misalnya nasi, 
sayuran, hewan yang disembelih dengan menyebut nama Allah. Di sisi lain, 
ternyata syari'at menjelaskan bahwa kita diharamkan untuk memakan bangkai, 
darah atau binatang yang menggunakan kukunya untuk memangsa. Jadi, meskipun 
misalnya Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam tidak makan nasi, bukan berarti 
orang yang makan nasi mengadakan bid'ah. Karena hukum asal dari makan itu 
sendiri boleh.

Catatan Penting! Akan tetapi di sisi lain, ada orang yang mengkhususkan perkara 
adat ini menjadi ibadah tersendiri. Ini adalah terlarang. Maka, harus dilihat 
kembali penerapan dari kaedah bahwa hukum asal sebuah ibadah adalah haram 
sampai ada dalil yang mensyari'atkannya.

Contoh dalam masalah ini adalah masalah pakaian. Pakaian termasuk perkara adat, 
dimana orang diberi kebebasan dalam berpakaian (tentu saja dengan batasan yang 
telah dijelaskan dalam Islam). Namun, ada orang-orang yang mengkhususkan cara 
berpakaian dengan alasan bahwa cara berpakaian tersebut diatur dalam Islam, 
sehingga meyakininya sebagai ibadah. Contohnya adalah harus menggunakan pakaian 
terusan bagi wanita atau harus menggunakan pakaian wol (biasa dilakukan 
orang-orang sufi). Karena perkara adat ini dijadikan perkara ibadah tanpa 
didukung oleh dalil-dalil syar'i, maka cara berpakaian dengan keyakinan semacam 
ini menjadi terlarang.

Berbeda dengan orang yang menjadikan perkara adat atau perkara mubah lainnya 
menjadi bernilai ibadah dan menjadikannya sebagai perantara bagi sebuah ibadah 
yang disyari'atkan atau melakukan perkara adat tersebut sesuai dengan tuntunan 
dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka ini diperbolehkan. Contoh 
dalam masalah ini adalah makan. Makan adalah perkara adat. Hukum asalnya adalah 
diperbolehkan. Namun perkara adat ini dapat menjadi ibadah ketika seseorang 
makan dengan cara-cara yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaih wa 
sallam (baca artikel Adab Makan di muslimah.or.id) atau makan ini dapat menjadi 
ibadah ketika seseorang niatkan untuk melakukan ibadah lain yang memang telah 
disyari'atkan. Misalnya, seseorang makan agar kuat melakukan sholat dzuhur, 
atau seorang bapak sarapan pagi dengan niat kuat bekerja dalam rangka memenuhi 
tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga. Contoh lainnya adalah tidur. 
Tidur memang dapat menjadi ibadah ketika seseorang tidur sesuai tuntunan dari 
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (lihat artikel Adab Tidur di 
muslimah.or.id) atau ketika diniatkan tidur itu untuk melakukan ibadah lain 
yang memang telah ada tuntunannya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 
sallam. Misalnya tidur di awal malam agar kuat sholat tahajjud di sepertiga 
malam yang terakhir.

Semoga Allah mempermudah kita untuk memahami dua hal yang berbeda ini! Sungguh 
indah perkataan Abul Ahwash ketika ia berkata kepada dirinya sendiri,

"Wahai Sallam, tidurlah kamu menurut sunnah. Itu lebih baik daripada kamu 
bangun malam untuk melakukan bid'ah." (Al Ibanah no. 251, Lihat Membedah Akar 
Bid'ah).

Kerancuan Kedua: Antara Bid'ah dan Mashalih Mursalah

Kerancuan lain yang sering muncul adalah berkaitan dengan hal-hal yang biasa 
dipergunakan dalam agama, semacam mikrofon, mushaf al-Qur'an, sekolah Islam dan 
lain sebagainya. Seakan-akan perkara-perkara tersebut sesuai dengan ciri-ciri 
bid'ah, terutama karena perkara tersebut disandarkan pada agama. Sehingga ada 
orang yang berkata, "Berarti pake mik sewaktu adzan ga boleh dong. Kan zaman 
nabi ga pake mik.."

Jawaban Pada poin ini, perlu bahasan yang lebih rinci lagi berkaitan dengan 
mashalih mursalah. Syathibi dalam kitabnya al I'tishom telah menjelaskan 
perbedaan antara mashalih mursalah dengan bid'ah yang akan dapat dimengerti 
oleh orang yang mau memahami. Berikut ini perbedaan tersebut dengan penyesuaian 
dari penulis.

Pertama, Ketentuan mashalih mursalah sesuai dengan maksud-maksud syari'at, 
sehingga dalam penetapannya tetap memperhatikan dalil-dalil syari'at.

Misalnya: pengumpulan mushaf Al Qur'an. Karena pengumpulan ini sifatnya sesuai 
dengan maksud syari'at dan sesuai dengan dalil-dalil syari'at maka pengumpulan 
mushaf Al-Qur'an bukanlah bid'ah walaupun Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 
sallam tidak memerintahkan untuk mengumpulkannya. Karena pengumpulan mushaf 
Al-Qur'an bertujuan untuk menjaga sumber syari'at. Allah ta'ala berfirman,

?????? ?????? ?????????? ????????? ???????? ???? ????????????

"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami 
benar-benar memeliharanya." (Al Hijr [15]: 9)

Namun coba perhatikan, terdapat perkara yang dibuat-buat, dimana seseorang 
mulai menyebutkan 'khasiat-khasiat' baru dari baris-baris yang ada dalam 
lembaran Al Qur'an. Sehingga orang mencetak dalam satu lembar harus ada 18 
baris atau 16 baris dengan keyakinan-keyakinan yang tidak ada dalilnya dalam 
syari'at. Maka yang seperti ini tidak termasuk dalam mashalih mursalah.

(Contoh yang lainnya antara lain ILMU NAHWU dan ILMU SHOROF untuk mempelajari 
bahasa Arab [tambahan dari saya (Sa'ad) sendiri] )

Kedua, Mashalih mursalah lingkupnya adalah pada perkara-perkara yang dapat 
dipahami oleh akal.

Contohnya adalah penggunaan mikrofon di masjid-masjid. Kita ketahui mikrofon 
berguna untuk memperjelas suara sehingga dapat didengar sampai jarak yang jauh. 
Hal ini termasuk perkara adat dimana kita boleh mempergunakannya. Hal ini 
semisal kacamata yang dapat memperjelas huruf-huruf yang kurang jelas bagi 
orang-orang tertentu. Sebagaimana perkataan Syaikh As Sa'di rahimahullah kepada 
orang berkacamata yang mengatakan bahwa pengeras suara adalah bid'ah, beliau 
berkata, "Wahai saudaraku, bukankah kamu tahu bahwa kaca mata dapat membuat 
sesuatu yang jauh menjadi dekat dan memperjelas pandangan. Demikian juga halnya 
pengeras suara, dia memperjelas suara, sehingga seorang yang jauh dapat 
mendengar, para wanita di rumah juga bisa mendengar dzikrullah dan 
majlis-majlis ilmu. Jadi mikrofon merupakan keikmatan Allah Subhanahu wa Ta'ala 
kepada kita, maka hendaknya kita menggunakannya untuk menyebarkan kebenaran." 
(Mawaqif Ijtima'iyyah min Hayatis Syaikh Abdurrahman As-Sa'di, Muhammad As 
Sa'di dan Musa'id As Sa'di. Lihat Majalah Al Furqon edisi 5 tahun 7)

Berbeda halnya dengan bid'ah. Amalan-amalan bid'ah tidak dapat dipahami oleh 
akal. Hal ini dikarenakan bid'ah merupakan amalan ibadah yang berdiri sendiri. 
Padahal tidaklah amalan ibadah dapat dipahami oleh akal. Semisal, mengapa 
sholat fardhu ada lima, dan mengapa jumlah raka'aatnya berbeda-beda. Atau 
mengapa ada dzikir yang berjumlah 33. Maka semua ibadah ini tidak dapat 
dipahami maksudnya oleh akal.

Ketiga, Mashalih mursalah diadakan untuk menjaga perkara yang sifatnya vital 
(dharuri), serta menghilangkan permasalahan berat yang biasanya muncul dalam 
perkara agama.

Perkara dharuri yang dimaksud misalnya adalah agama. Sebagaimana contoh 
pertama, maka penyusunan mushaf Al Qur'an kita dapat pahami berkaitan untuk 
menjaga agama agar kemurnian Al Qur'an tetap terjaga.

Coba bedakan dengan bid'ah. Sebagaimana penulis sebutkan pada artikel 
sebelumnya, bahwa bid'ah dibuat untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada 
Allah sehingga bid'ah justru menambah beban bagi seorang muslim. Contohnya 
adalah mengadakan peringatan isra mi'raj, maulid atau yang semacamnya sehingga 
menambah beban seseorang untuk mengeluarkan dana dan tenaga untuk mengadakan 
acara tersebut. Padahal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah 
memerintahkan untuk merayakan hal-hal tersebut.

Kerancuan Ketiga: Antara Bid'ah dan Niat Baik

Setelah melihat contoh-contoh mashalih mursalah di atas, mungkin saja terbersit 
kembali di benak seseorang: "Tapi kan aku niatnya baik..."

Jawaban: Saudariku...perlulah kita ketahui berbagai macam dalih dan kedurhakaan 
Yahudi dikarenakan dalih niat baik, namun mereka menghalalkan segala cara untuk 
niat baiknya itu. Sungguh banyak hadits yang menjelaskan bahwa sekedar niat 
baik itu tidaklah cukup. Niat baik (ikhlas) itu harus dibarengi dengan 
cara-cara yang sesuai dengan tuntunan yang diajarkan oleh Rasulullah 
shallallahu 'alaihi wa sallam. Salah satu contohnya adalah dalam hadits berikut.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Datang tiga orang ke rumah 
istri-istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka bertanya tentang ibadah 
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Tatkala mereka diberitahu tentang ibadah 
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, seakan-akan mereka merasa bahwa ibadah 
tersebut sedikit, maka mereka berkata, "Dimana kita jika dibanding dengan Nabi 
shalalllahu 'alahi wa sallam? Ia telah dimaafkan dosa-dosanya oleh Allah baik 
yang telah lalu maupun yang akan datang."

Seorang di antara mereka berkata, "Adapun aku, maka aku akan sholat malam 
selama-lamanya."

Yang lainnya berkata, "Saya akan puasa dahr(setiap hari) dan aku tidak akan 
pernah buka."

Dan berkata yang lainnya, "Aku akan menjauhi para wanita, dan aku tidak akan 
menikah selama-lamanya."

Lalu datanglah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata, "Apakah 
kalian yang telah berkata demikian dan demikian? Ketahuilah demi Allah 
sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan paling bertakwa kepada 
Allah daripada kalian, namun aku berpuasa dan berbuka, aku sholat dan tidur, 
dan aku menikahi para wanita. Barangsiapa yang benci terhadap sunnahku, maka 
dia bukan dari golonganku." (HR. Bukhari no 5063 & Muslim 1401)

Lihatlah kesungguhan dan niat baik ketiga orang tersebut dalam beribadah. 
Namun, niat mereka langsung dibantah oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 
sallam. Bahkan jika mereka tetap melakukan niatan tersebut, maka sama saja 
mereka membenci sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena niat 
baik mereka tidak diikuti dengan cara yang benar yang telah diajarkan oleh 
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Maka yang benar dalam sebuah ibadah adalah tidak sekedar memperhatikan niat 
semata, namun juga cara melakukannya. Sebagaimana dikatakan oleh Fudhail bin 
'Iyad ketika menafsirkan firman Allah,

"Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya." (Al 
Mulk: 2)

Beliau rahimahullah berkata, "Maksudnya, ikhlas dan benar dalam melakukannya. 
Sebab amal yang dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar maka tidak akan 
diterima. Dan jika benar, tetapi tidak ikhlas maka amalnya juga tidak diterima. 
Adapun amal yang ikhlas adalah amal yang dilakukan karena Allah, sedang amal 
yang benar adalah bila dia sesuai dengan sunnah Rasulullah." (Hilyatul Auliya' 
: VIII/95. Lihat Membedah Akar Bid'ah)

Kerancuan Keempat: Antara Bid'ah dan Maksiat

Banyak orang menganggap seseorang melakukan bid'ah lebih baik daripada 
seseorang melakukan maksiat. Mereka menganggap bahwa orang yang melakukan 
bid'ah itu sudah dekat dengan agama, jadi tidak perlu dipermasalahkan dengan 
amalan-amalannya. "Daripada mencuri atau minum minuman keras", kata mereka.

Jawaban: Sungguh pemikiran seperti ini harus dikoreksi dengan beberapa alasan:

Pertama, karena telah banyak hadits yang menjelaskan bahayan bid'ah, padahal 
orang yang melakukan bid'ah tersebut menanggap mereka melakukan ibadah dengan 
penuh kesungguhan yang sangat. Akan tetapi amat disayangkan, amalan mereka 
tidak diterima bahkan mendapat adzab dari Allah Subhanhu wa Ta'ala. Sebagaimana 
Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam jelaskan tentang kelompok khawarij yang 
salah satu ciri mereka adalah sangat banyak beribadah,

"Salah seorang dari kalian merasa shalatnya lebih rendah nilainya daripada 
shalat mereka (kelompok khawarij), puasanya lebih rendah nilainya daripada 
puasa mereka, tilawahnya lebih rendah nilainya daripada tilawah mereka. Mereka 
membaca Al Qur'an tetapi tidak melewati kerongkongan mereka (tidak 
memahaminya). Mereka telah melesat keluar dari Islam sebagaimana anak panah 
melesat dari busurnya..." (HR. Bukhari)

Kedua, kita ketahui orang yang melakukan maksiat menyadari bahwa kegiatan yang 
dilakukannya terlarang dalam agama dan berdosa, sehingga ketika diingatkan 
mereka mengakui kesalahannya tersebut walau belum mampu meninggalkan maksiat 
yang dilakukannya. Berbeda dengan pelaku bid'ah, mereka menganggap bahwa amalan 
yang mereka lakukan adalah ibadah, apalagi mereka menjalankannya dengan penuh 
kesungguhan. Sehingga jika diperingatkan, mereka akan sulit meninggalkannya 
karena menganggap itu adalah sebuah kebenaran. Atau ketika menyadari bahwa itu 
adalah perkara yang baru dalam agama maka mereka mengatakan bahwa amalan 
(bid'ah) yang mereka lakukan adalah bid'ah hasanah, padahal tidaklah maksud 
dari kata-kata tersebut melainkan mengatakan semua bid'ah adalah hasanah.

Contoh dalam masalah ini adalah ketika orang melakukan kemaksiatan mencuri, ia 
menyadari ada larangannya dalam Islam. Maka, ia menyadari sedang melakukan 
dosa. Namun, jika seseorang diperingatkan untuk tidak melakukan yasinan, maka 
serta merta kerenyit muka tak senang muncul dan mengatakan, "Masa baca Qur'an 
dilarang."Padahal maksud dari orang yang memberikan nasihat, bukan melarang 
seseorang membaca Al-Qur'an. Namun yang terlarang adalah mengkhususkan membaca 
surat Yasin pada hari-hari tertentu dengan keyakinan itu adalah ibadah. 
Benarlah ucapan Imam Sufyan Ats Tsauri,

"Bid'ah lebih disukai iblis daripada maksiat.

Sebab maksiat orang mudah untuk meninggakannya,

sedang bid'ah orang sulit untuk meninggalkannya."

(dinukil dari Musnad Ibnul Ja'd oleh syaikh Ali Hasan)

Kerancuan Kelima: Bid'ah Tarawih?

Satu lagi kerancuan yang sering kali muncul ketika membahas tentang bid'ah 
adalah ibadah sholat tarawih. Banyak orang mengira, tarawih tidak pernah 
dilakukan di masa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka berkeyakinan 
demikian, apalagi dengan adanya perkataan Umar radhiyallahu 'anhu ketika 
melihat orang-orang beribadah sholat tarawih berjama'ah, ia berkata, 
"Sebaik-baik bid'ah adalah ini."

Jawaban: Sesungguhnya wahai saudariku... Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 
sallam pernah melakukan ibadah sholat malam di bulan Ramadhan, baik sendirian 
maupun berjama'ah. Sebagaimana dalam hadits berikut,

?? ????? ??? ???? ???? ?? ???? ???? ??? ???? ???? ? ??? ??? ?? ?????? ??? ????? 
???? ?????? ???? ?? ??? ?? ??????? ???? ?????? ?? ??????? ?? ?????? ??????? ?? 
??????? ??? ???? ????? ???? ???? ???? ??? ???? ???? ? ??? ? ???? ???? ???: (?? 
???? ???? ?????? ??? ?????? ?? ?????? ????? ??? ??? ???? ?? ???? ?????) ??? 
???? ?? ?????.

"Dari sahabat 'Aisyah -radhiallahu 'anha- bahwasannya Rasulullah shallallahu 
'alaihi wa sallam pada suatu malam menjalankan sholat di m asjid, maka ada 
beberapa orang yang mengikuti shalat beliau, kemudian pada malam selanjutnya 
beliau shalat lagi, dan orang-orang yang mengikuti shalat beliau-pun bertambah 
banyak. Kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau keempat, dan beliau 
shallallahu 'alaihi wa sallam tidak keluar menemui mereka, pada pagi harinya 
beliau bersabda: "Sungguh aku telah mengetahui apa yang kalian lakukan (yaitu 
berkumpul menanti shalat berjamaah ) dan tidaklah ada yang menghalangiku untuk 
keluar menemui kalian, melainkan karena aku khawatir bila (shalat tarawih) 
diwajibkan atas kalian." Dan itu terjadi pada bulan Ramadhan." (HR. Bukhari dan 
Muslim)

Sebenarnya dalil ini sudah cukup untuk menunjukkan bahwa tarawih bukanlah 
bid'ah. Namun, untuk menjawab kerancuan yang timbul dari perkataan Umar 
radhiyallahu 'anhu, maka jawabannya bisa dari dua sisi:

1. Maksud Umar adalah bid'ah dengan makna secara bahasa, yaitu mengadakan 
sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. Hal ini disebabkan sejak wafatnya 
Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, sholat tarawih berjama'ah tersebut 
belum pernah dilakukan kembali ketika masa kekhalifahan Abu Bakar radhiyallahu 
'anhu.
2. Jika pun maksud perkataan Umar radhiyallahu 'anhu tersebut bid'ah secara 
istilah, maka perkataan tersebut tidaklah dapat diterima karena bertentangan 
dengan hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu 
'alaihi wa sallam bersabda,

?? ???? ?????

"Seluruh bid'ah sesat..." (HR. Muslim 2/592)

Sungguh tidak akan habis kerancuan yang dilontarkan ketika seseorang lebih 
mengikuti hawa nafsunya daripada kebenaran yang telah dijelaskan oleh Nabi kita 
shallallahu 'alaihi wa sallam. Semoga dengan kaedah-kaedah yang disebutkan pada 
artikel ini dapat membentengi kita dari kerancuan lain yang menyambar-nyambar 
hati.

Allah Ta'ala berfirman,

"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan 
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu." (Al 
Maidah: 3).

Ingatlah pula, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda 
bersabda,

"Tidak tersisa sesuatu pun yang mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka 
melainkan telah dijelaskan kepadamu." (HR. Thabrani, sanadnya shahih).

Maka cukupkanlah dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi 
wa sallam, karena yang demikian juga sudah sangat menyibukkan jika kita telah 
mengetahui dan mengamalkannya. Ataupun jika baru sedikit sunnah Nabi yang kita 
ketahui, maka istiqomahlah menjalankannya, karena yang demikian adalah amal 
yang paling dicintai Allah (HR. Bukhari dan Muslim). Ya Allah, berikanlah 
ketakwaan pada diri kami, bersihkanlah jiwa kami dari hawa nafsu karena 
Engkau-lah sebaik-baik pembersih jiwa.

Maraji':

1. Kajian kitab Ushulus Sunnah karya Imam Ahmad oleh Al Ustadz Aris Munandar
2. Membedah Akar Bid'ah. Syaikh Ali Hasan Al Halabi Al Atsari. Pustaka Al 
Kautsar cet ke-4 2005
3. Ringkasan Al I'tisham Imam Asy Syathibi, Syaikh Abdul Qadir As Saqqaf. Media 
Hidayah cet ke-1 2003

Sumber: muslimah.or.id
Subhanakallohumma wa bihamdihi, asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa 
astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin
---------------



Pada tanggal 22/12/08, Syamsir Alamsyah <alam_acco...@yahoo.com> menulis:
> assalamu'alaikum
> kalau kita berjumpa seseorang yang kita tidak tau dia itu muslim atau
> bukan...bagaimana salam kita?bukankah kita diperintahkan tebarkan salam baik
> kepada orang yg dikenal maupun tidak..
> kemarin ana diskusi sama seorang ustadz yg anti banget sama salafi...
> ana sebelumnya tidak tau..jadi bertanya saja..bagaimana hukum berdoa bersama
> sesudah sholat? apakah termasuk bid'ah? dia bilang..antum kacau pikirannya,
> sedikit2 bid'ah...sekarang ana tanya, di zaman rasulullah tidak ada mesjid
> dengan keramik, sekarang kita dengan keramik? apakah itu bid'ah? karena
> tidak ada contoh di zaman rasulullah..terus zaman nabi tidak ada baju koko
> dan sarung kotak2..sekarang banyak yg pake itu..apakah bid'ah? antum berdoa
> dengan dengan tuntunan rasulullah? ana bilang seringnya pake bahasa
> indonesia malah..nah kata ustadznya...apakah itu bid'ah? kan tidak ada
> contoh di zaman rasulullah...
> ana bingung....mohon bantuannya untuk menambah ilmu ana yg sangat sedikit
> ini..
> jazakallah
>


--
"Al-'Ilmu Qoblal Qoul wal 'Amal"

Ilmu Dulu Sebelum Berkata dan Berbuat

------------------------------------

Website anda http://www.almanhaj.or.id
Berhenti berlangganan: assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com
Ketentuan posting : http://milis.assunnah.or.id/aturanmilis/

INFO:
Saat ini domain assunnah.mine.nu telah diambil alih (direbut) oleh pihak yang 
tidak diketahui. Isi dan kandungannya tidak ada hubungannya dengan pengelola 
sebelumnya.
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:assunnah-dig...@yahoogroups.com 
    mailto:assunnah-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke