Ana dapat penjelasan ttg Bank Syari'ah dari milis pengusaha muslim sbb :

MENCARI SOLUSI BANK SYARIAH

Oleh
Ustadz Muhammad Arifin Badri
http://www.almanhaj.or.id/content/2599/slash/0

Segala puji hanya milik Allah Ta'ala, Dzat yang telah melimpahkan berbagai 
kenikmatan kepada kita. Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan 
kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga, dan seluruh 
sahabatnya. Amin.

Syariat Islam –segala puji hanya milik Allah- bersifat universal, mencakup 
segala urusan, baik yang berkaitan dengan masalah ibadah maupun muamalah, 
sehingga syariat Islam benar-benar seperti difirmankan Allah Subhanahu wa 
Ta'ala.

"Pada hari ini, telah Aku sempurnakan untukmu agama mu, dan telah aku cukupkan 
atasmu kenikmatan-Ku, dan Aku ridha Islam menjadi agamamu".[al-Mâ`idah/5:3]

Al-hamdulillah, fakta ilahi ini mulai disadari kembali oleh umat Islam, 
sehingga kini, kita mulai mendengar berbagai seruan untuk menerapkan syariat 
ilahi ini dalam segala aspek kehidupan. Termasuk wujud dari kesadaran ini, 
yakni berdirinya berbagai badan keuangan (perbankan) yang mengklaim dirinya 
berazaskan syariat. Fenomena ini patut mendapatkan perhatian, partisipasi dan 
dukungan dari kita, agar laju perkembangan dan langkahnya tetap lurus 
sebagaimana yang digariskan syariat Islam. Dan pada kesempatan ini, saya ingin 
sedikit berpartisipasi, yaitu dengan menyebutkan beberapa hal, yang menurut 
hemat saya perlu dikritisi.

Semoga yang saya lakukan ini, mendapat tanggapan dan respon positif dari 
saudara-saudara kita yang berkepentingan dalam masalah ini.

TINJAUAN PERTAMA : PERANAN GANDA PERBANKAN SYARIAT
Perbankan syariat yang ada telah mengklaim bahwa mudharabah merupakan asas bagi 
berbagai transaksi yang dijalankannya, baik transaksi antara nasabah pemilik 
modal dengan perbankan, maupun transaksi antara pihak perbankan dengan nasabah 
pelaku usaha. Akan tetapi, pada penerapannya, saya mendapatkan suatu 
kejanggalan, yaitu peran status ganda perbankan yang saling bertentangan.

Untuk menjelaskan permasalahan ini, cermatilah skema berikut. [Ma'af Skema 
Peran Perbankan Syariah belum bisa ditampilkan]

Bank berperan sebagai pelaku usaha, yaitu ketika berhubungan dengan nasabah 
sebagai pemilik modal. Namun dalam sekejap status ini berubah, yaitu bank 
berperan sebagai pemodal ketika pihak perbankan berhadapan dengan pelaku usaha 
yang membutuhkan dana untuk mengembangkan usahanya.

Status ganda yang diperankan perbankan ini membuktikan bahwa akad yang 
sebenarnya dijalankan oleh perbankan selama ini adalah akad utang piutang, dan 
bukan akad mudharabah. Yang demikian itu, karena, bila ia berperan sebagai 
pelaku usaha, maka status dana yang ada padanya adalah amanah yang harus dijaga 
sebagaimana layaknya menjaga amanah lainnya. Dan yang dimaksud dengan amanah 
dari pemodal, ialah mengelola dana tersebut dalam usaha nyata yang akan 
mendatangkan hasil (keuntungan), sehingga bank, tidak semestinya menyalurkan 
modal yang ia terima dari nasabah (pemodal) ke pengusaha lain dengan akad 
mudharabah. Sehingga, bila ia berperan sebagai pemodal, maka ini mendustakan 
kenyataan yang sebenarnya, yaitu sebagian besar dana yang dikelola adalah milik 
nasabah.

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, "Hukum kedua: tidak dibenarkan bagi pelaku 
usaha (mudharib) untuk menyalurkan modal yang ia terima kepada pihak ke tiga 
dengan perjanjian mudharabah. Bila ia melakukan hal itu atas seizin pemodal, 
sehingga ia keluar dari akad mudharabah (pertama) dan berubah status menjadi 
perwakilan bagi pemodal pada akad mudharabah kedua ini, maka itu dibenarkan. 
Akan tetapi ia tidak dibenarkan untuk mensyaratkan untuk dirinya sedikitpun 
dari keuntungan yang diperoleh. Bila ia tetap mensyaratkan hal itu, maka akad 
mudharabah kedua bathil"[1].

Ucapan senada juga diutarakan oleh Imam Ibnu Qudamah al-Hambali rahimahullah, 
ia berkata, "Tidak dibenarkan bagi pelaku usaha untuk menyalurkan modal (yang 
ia terima) kepada orang lain dalam bentuk mudharabah, demikian penegasan Imam 
Ahmad. . . . Pendapat ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, asy-Syafi'i dan aku 
tidak mengetahui ada ulama' lain yang menyelisihinya".[2]

Dalam akad mudharabah, bila perbankan memerankan peranan ganda semacam ini, 
atas seizin pemodal sedangkan ia tidak ikut serta dalam menjalankan usaha yang 
dilakukan oleh pelaku usaha kedua, maka bank tidak berhak mendapatkan bagian 
dari keuntungan, karena statusnya hanyalah sebagai perantara (calo). Para 
ulama' menjelaskan bahwa alasan hukum ini adalah: karena hasil/ keuntungan 
dalam akad mudharabah hanyalah hak pemilik modal dan pelaku usaha, sedangkan 
pihak yang tidak memiliki modal, dan tidak ikut serta dalam pelaksanaan usaha, 
maka ia tidak berhak untuk mendapatkan bagian dari hasil.[3]

TINJAUAN KEDUA : BANK TIDAK MEMILIKI USAHA RIIL
Badan-badan keuangan yang menamakan dirinya sebagai perbankan syariah seakan 
tidak sepenuh hati dalam menerapkan sistem perekonomian Islam. Badan-badan 
tersebut berusaha untuk menghindari sunnatullah yang telah Allah Ta'ala 
tentukan dalam dunia usaha. Sunnatullah tersebut berupa pasangan sejoli yang 
tidak mungkin dipisahkan, yaitu untung dan rugi. Operator perbankan syariah 
senantiasa menghentikan langkah syariat pada tahap yang aman dan tidak berisiko.

Oleh karena itu, perbankan syariah yang ada –biasanya- tidak atau belum 
memiliki usaha nyata yang dapat menghasilkan keuntungan. Semua jenis produk 
perbankan yang mereka tawarkan hanyalah sebatas pembiayaan dan pendanaan. 
Dengan demikian, pada setiap unit usaha yang dikelola, peran perbankan hanya 
sebagai penyalur dana nasabah.[4]

Sebagai contoh nyata dari produk perbankan yang ada ialah mudharabah. Operator 
perbankan tidak berperan sebagai pelaku usaha, akan tetapi sebagai penyalur 
dana nasabah. Hal ini mereka lakukan, karena takut dari berbagai resiko usaha, 
dan hanya ingin mendapatkan keuntungan. Bila demikian ini keadaannya, maka 
keuntungan yang diperoleh atau dipersyaratkan oleh perbankan kepada nasabah 
pelaksana usaha adalah haram, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama, di 
antaranya sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam an-Nawawi di atas.

TINJAUAN KETIGA : BANK TIDAK SIAP MENANGGGUNG KERUGIAN.
Andai kita menutup mata dari kedua hal di atas, maka masih ada masalah besar 
yang menghadang langkah perbankan syariah di negeri kita. Hal tersebut ialah, 
ketidaksiapan operator perbankan untuk ikut menanggung resiko mudharabah yang 
mereka jalin dengan para pelaku usaha. Bila pelaku usaha mengalami kerugian, 
walaupun tanpa disengaja, niscaya kita dapatkan perbankan segera ambil langkah 
seribu dengan cara meminta kembali modal yang telah ia kucurkan dengan utuh. 
Hal ini menjadi indikasi bahwa akad antara perbankan dengan nasabah pelaku 
usaha bukanlah mudharabah, akan tetapi hutang-piutang yang berbunga alias riba.

Para ulama' dari berbagai mazhab telah menegaskan bahwa pemilik modal tidak 
dibenarkan untuk mensyaratkan agar pelaku usaha memberikan jaminan seluruh atau 
sebagian modalnya. Sehingga apa yang diterapkan pada perbankan syari'ah, yaitu 
mewajibkan atas pelaku usaha untuk mengembalikan seluruh modal dengan utuh bila 
terjadi kerugian usaha adalah persyaratan yang batil [5]. Dan dalam ilmu fiqih, 
bila pada suatu akad terdapat persyaratan yang batil, maka solusinya ada adalah 
satu dari dua hal berikut:

1. Akad beserta persyaratan tersebut tidak sah, sehingga masing-masing pihak 
terkait harus mengembalikan seluruh hak-hak lawan akadnya.
2. Akad dapat diteruskan, akan tetapi dengan meninggalkan persyaratan tersebut.

Sebagai contoh misalnya Bank Syariah Yogyakarta mengucurkan modal kepada Pak 
Ahmad –misalnya- sebesar Rp. 100.000.000,- dengan perjanjian bagi hasil 60% 
banding 40%. Setelah usaha berjalan dan telah jatuh tempo, Pak Ahmad mengalami 
kecurian, atau gudangnya terbakar atau yang serupa, sehingga modal yang ia 
terima dari bank hanya tersisa Rp. 20.000.000,-. Dalam keadaan semacam ini, 
Bank Syariah Yogyakarta akan tetap meminta agar Pak Ahmad mengembalikan 
modalnya utuh, yaitu Rp. 100.000.000,-.

Mungkin operator perbankan syariat akan berdalih, bahwa dalam dunia usaha, uang 
kembali seperti semula tanpa ada keuntungan adalah kerugian. Dengan demikian 
perbankan telah ikut serta menanggung kerugian yang terjadi. Maka kita katakan: 
Alasan serupa juga dapat diutarakan oleh pelaksana usaha: dalam dunia usaha, 
seseorang bekerja tanpa mendapatkan hasil sedikit pun adalah kerugian. Andai ia 
bekerja pada suatu perusahaan, niscaya ia akan mendapatkan gaji yang telah 
disepakati, walau perusahaan sedang merugi. Bahkan dalam akad mudharabah dengan 
perbankan syariat, pelaku usaha merugi dua kali, yaitu: Pertama, ia telah 
bekerja banting tulang, peras keringat, dan pada akhirnya tidak mendapatkan 
hasil sedikitpun. Kedua, ia masih juga harus menutup kekurangan yang terjadi 
pada modal yang pernah ia terima dari bank.

Contoh lain dari produk perbankan syariat ialah bai' al-Murabahah. Bentuknya 
kurang lebih demikian; bila ada seseorang yang ingin memiliki motor, ia dapat 
mengajukan permohonan ke salah satu perbankan syariah agar Bank tersebut 
membelikannya. Selanjutnya pihak bank akan mengkaji kelayakan calon nasabahnya 
ini. Bila permintaannya diterima, maka bank akan segera mengadakan barang yang 
dimaksud dan segera menyerahkannya kepada pemesan, dengan ketentuan yang 
sebelumnya telah disepakati.[6]

Sekilas akad ini tidak bermasalah, akan tetapi bila kita cermati lebih seksama, 
maka akan nampak dengan jelas bahwa pihak bank berusaha untuk menutup segala 
risiko. Oleh karenanya, sebelum bank mengadakan barang yang dimaksud, bank 
telah membuat kesepakatan jual-beli dengan segala ketentuannya dengan nasabah. 
Dengan demikian, bank telah menjual barang yang belum ia miliki, dan itu adalah 
terlarang.

"Dari sahabat Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'anhu ia menuturkan: Rasulullah 
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barang siapa yang membeli bahan 
makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya" 
Ibnu 'Abbas berkata: Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti 
bahan makanan" [Muttafaqun 'alaih].

Pemahaman Ibnu 'Abbas ini didukung oleh riwayat Zaid bin Tsabit Radhiyallahu 
'anhu, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits berikut:

"Dari sahabat Ibnu 'Umar, ia mengisahkan: "Pada suatu saat saya membeli minyak 
di pasar, dan ketika saya telah selesai membelinya, ada seorang lelaki yang 
menemuiku dan menawar minyak tersebut, kemudian ia memberiku keuntungan yang 
cukup banyak, maka akupun hendak menyalami tangannya (guna menerima tawaran 
dari orang tersebut). Tiba-tiba, ada seseorang dari belakangku yang memegang 
lenganku. Maka aku pun menoleh, dan ternyata ia adalah Zaid bin Tsabit, 
kemudian ia berkata: 'Janganlah engkau menjual minyak itu di tempat engkau 
membelinya, hingga engkau pindahkan ke tempatmu, karena Rasulullah Shallallahu 
'alaihi wa sallam melarang dari menjual kembali barang di tempat barang 
tersebut dibeli, hingga barang tersebut dipindahkan oleh para pedagang ke 
tempat mereka masing-masing'." [HR Abu Dawud dan al-Hakim] [7]

Para ulama menyebutkan hikmah dari larangan ini, di antaranya ialah karena 
barang yang belum diterimakan kepada pembeli bisa saja batal, karena suatu 
sebab, misalnya barang tersebut hancur terbakar, atau rusak terkena air dan 
lain-lain, sehingga ketika ia telah menjualnya kembali ia tidak dapat 
menyerahkannya kepada pembeli kedua tersebut.

Hikmah kedua, seperti yang dinyatakan oleh Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'anhu 
ketika muridnya, yaitu Thawus mempertanyakan sebab larangan ini:

"Saya bertanya kepada Ibnu 'Abbas: "Bagaimana kok demikian?" Ia menjawab: "Itu, 
karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual dirham dengan dirham, sedangkan 
bahan makanannya ditunda".[8]

Ibnu Hajar menjelaskan perkataan Ibnu 'Abbas di atas sebagaimana berikut: "Bila 
seseorang membeli bahan makanan seharga 100 dinar –misalnya- dan ia telah 
membayarkan uang tersebut kepada penjual, sedangkan ia belum menerima bahan 
makanan yang ia beli, kemudian ia menjualnya kembali kepada orang lain seharga 
120 dinar dan ia langsung menerima uang pembayaran tersebut, padahal bahan 
makanan masih tetap berada di penjual pertama, maka seakan-akan orang ini telah 
menjual/menukar uang 100 dinar dengan harga 120 dinar. Dan berdasarkan 
penafsiran ini, maka larangan ini tidak hanya berlaku pada bahan makanan 
saja".[9]

TINJAUAN KEEMPAT : SEMUA NASABAH MENDAPATKAN BAGI HASIL.
Perbankan syariah mencampuradukkan seluruh dana yang masuk kepadanya. Sehingga 
tidak dapat diketahui nasabah yang dananya telah disalurkan dari nasabah yang 
dananya masih beku di bank. Walau demikian, pada setiap akhir bulan, seluruh 
nasabah mendapatkan bagian dari hasil/keuntungan.

Hal ini menjadi masalah besar dalam metode mudharabah yang benar-benar Islami. 
Sebab yang menjadi pertimbangan dalam membagikan keuntungan kepada nasabah 
adalah keuntungan yang diperoleh dari masing-masing dana nasabah. Sehingga 
nasabah yang dananya belum disalurkan, tidak berhak untuk mendapatkan bagian 
dari hasil. Sebab keuntungan yang diperoleh adalah hasil dari pengelolaan modal 
nasabah selain mereka. Pembagian hasil kepada nasabah yang dananya belum 
tersalurkan jelas-jelas merugikan nasabah yang dananya telah disalurkan.

Inilah fakta perbankan syariah yang ada di negeri kita. Oleh karena itu, tidak 
mengherankan bila perbankan syariah dihantui oleh over likuiditas. Yaitu suatu 
keadaan dimana bank kebanjiran dana masyarakat/nasabah, sehingga tidak mampu 
menyalurkan seluruh dana yang terkumpul dari nasabahnya. Keadaan ini memaksa 
perbankan syariat untuk menyimpan dana yang tidak tersalurkan tersebut di Bank 
Indonesia (BI) dalam bentuk Sertifikat Wadi`ah. Sebagai contoh, pada periode 
Januari 2004 dilaporkan, perbankan syariat berhasil mengumpulkan dana dari 
nasabah sebesar 6,62 triliun rupiah, akan tetapi, dana yang berhasil mereka 
gulirkan hanya 5,86 triliun rupiah.[10]

TINJAUAN KELIMA : METODE BAGI HASIL YANG BERBELIT-BELIT
Bila kita datang ke salah satu kantor perbankan syariah yang terdekat dengan 
rumah kita, niscaya kita akan mendapatkan suatu brosur yang menjelaskan tentang 
metode pembagian hasil. Untuk dapat memahami metode pembagian hasil tersebut 
bukanlah suatu hal yang mudah, terlebih-lebih bagi yang taraf pendidikannya 
rendah.

Berikut adalah metode bagi hasil yang diterapkan oleh salah satu perbankan 
syariah di Indonesia:

Bagi hasil nasabah = dana/saldo nasabah x E x Rasio/nisbah nasabah
................................ 1000 ................................... 100

E = pendapatan rata-rata investasi dari setiap 1000 rupiah dari dana nasabah.

Dapat dilihat dengan jelas,bahwa salah satu pengali dalam perhitungan hasil 
pada skema di atas adalah total modal (dana) nasabah. Adapun dalam akad 
mudharabah, maka yang dihitung adalah keuntungan atau hasilnya, oleh karenanya 
akad ini dinamakan bagi hasil.

Muhammad Nawawi al-Bantaani berkata, "Rukun mudharabah kelima adalah 
keuntungan. Rukun ini memiliki beberapa persyaratan, di antaranya, keuntungan 
hanya milik pemodal dan pelaku usaha. Hendaknya mereka berdua sama-sama 
memilikinya, dan hendaknya bagian masing-masing dari mereka ditentukan dalam 
prosentase."[11]

Inilah yang menjadikan metode penghitungan hasil dalam mudharabah yang 
benar-benar syar'i sangat simpel, dan mudah dipahami. Berikut skema pembagian 
hasil dalam akad mudharabah:

Bagi hasil nasabah = keuntungan bersih x nisbah nasabah x nisbah modal nasabah 
dari total uang yang dikelola oleh bank.

Perbedaan antara dua metode di atas dapat dipahami dengan jelas melalui contoh 
berikut.

Pak Ahmad menginvestasikan modal sebesar Rp. 100.000.000,- dengan perjanjian 50 
% untuk pemodal dan 50 % untuk pelaku usaha (bank), dan total uang yang 
dikelola oleh bank sejumlah 10.000.000.000,- (10 miliar). Dengan demikian, 
modal Pak Ahmad adalah 1 % dari keseluruhan dana yang dikelola oleh bank.

Pada akhir bulan, bank berhasil membukukan laba bersih sebesar 1.000.000.000 (1 
miliar). Operator bank -setelah melalui perhitungan yang berbelit-belit pula- 
menentukan bahwa pendapatan investasi dari setiap Rp. 1.000,- adalah Rp 11,61.

Bila kita menggunakan metode perbankan syariat, maka hasilnya adalah sebagai 
berikut:

100.000.000 x 11,61 x 50 = Rp. 580.500,-
...... 1000 ................ 100

Dengan metode ini, Pak Ahmad hanya mendapatkan bagi hasil sebesar Rp 580.500,- 
saja.

Sedangkan bila kita menggunakan metode mudharabah yang sebenarnya, maka 
hasilnya sebagai berikut:

1.000.000.000 x 1 x 50 = 5.000.000,-
..................... 100 100

Dengan metode penghitungan hasil mudharabah yang sebenarnya, Pak Ahmad berhak 
mendapatkan bagi hasil sebesar Rp: 5.000.000,-. Metode pembagian yang 
diterapkan oleh bank berbelit-belit dan merugikan nasabah.

Yang lebih rumit lagi adalah metode bank dalam menentukan pendapatan rata-rata 
investasi dari setiap 1000 rupiah. Berikut salah satu contoh dari metode yang 
diterapkan oleh salah satu perbankan syariat di Indonesia:

E = (total dana nasabah – Giro Wajib Minimum) x Total pendapatan x 1000
...................... Total Investasi .......................... Total dana 
nasabah

Metode perhitungan bagi hasil yang berbelit-belit ini, membuktikan bahwa 
perbankan syariat yang ada tidak menerapkan metode mudharabah yang sebenarnya. 
Dari sedikit pemaparan di atas, kita dapat simpulkan bahwa perbankan syariat 
yang ada hanyalah sekedar nama besar tanpa ada hakikatnya. Bahkan yang terjadi 
sebenarnya hanyalah upaya mempermainkan istilah-istilah syari'ah.

SOLUSI PERBANKAN
Untuk menyiasati beberapa kritik di atas, maka berikut beberapa usulan yang 
mungkin dapat diterapkan oleh perbankan yang benar-benar ingin menerapkan 
sistem perbankan yang Islami.

1. Pemilahan Nasabah Berdasarkan Tujuan Masing-Masing.
Secara global, kita dapat mengelompokkan nasabah yang menyimpan dananya di bank 
menjadi dua kelompok besar. Kelompok pertama, nasabah yang semata-mata 
bertujuan untuk mengamankan hartanya. Kelompok kedua, nasabah yang bertujuan 
mencari keuntungan dengan menginvestasikan dananya melalui jalur perbankan yang 
ada.

Masing-masing kelompok nasabah ini memiliki hak dan kewajiban yang 
berbeda-beda, sebagaimana yang telah dijabarkan di atas. Berdasarkan pemilahan 
ini pula, pihak operator perbankan dapat menentukan hak dan kewajibannya 
terhadap masing-masing kelompok. Dana yang berhasil dikumpulkan oleh bank dari 
nasabah jenis pertama dapat dimanfaatkan dalam membiayai berbagai usaha yang 
menguntungkan, dan sepenuhnya keuntungan yang diperoleh menjadi milik bank. 
Dari hasil investasi dengan dana nasabah jenis pertama ini, bank dapat 
membiayai operasionalnya. Bahkan tidak menutup kemungkinan, bahwa bank akan 
mendapat keuntungan yang surplus bila dibanding dana oprasionalnya.

Di antara keuntungan pemilahan ini, perbankan akan terhindar dari over 
likuidasi, karena bank tidak akan pernah menerima dana investasi, melainkan 
setelah membuka peluang usaha yang benar-benar halal dan dibenarkan. 
Sebagaimana pihak perbankan tidak berkewajiban untuk memberikan keuntungan 
kepada nasabah, kecuali bila dananya benar-benar telah disalurkan dan 
menghasilkan keuntungan. Dengan cara ini pula, prinsip mudharabah benar-benar 
akan dapat diterapkan, sehingga penghitungan hasil akan dapat ditempuh dengan 
metode yang simpel dan transparan, yaitu dengan mengalikan jumlah keuntungan 
yang berhasil dibukukan dengan nisbah masing-masing nasabah.

2. Perbankan Terjun Langsung ke Sektor Riil.
Sebagaimana telah diketahui bersama, bahwa untuk menjalankan operasional, suatu 
bank pasti membutuhkan dana yang tidak sedikit. Oleh karena itu, agar bank 
terkait dapat memenuhi kebutuhannya ini, ia harus memiliki berbagai unit usaha 
nyata yang dapat menghasilkan keuntungan. Tidak sepantasnya perbankan hanya 
mencukupkan diri dengan menjadi pihak penyalur dana semata, tanpa terjun 
langsung dalam usaha nyata. Dengan demikian, keuntungan yang didapatkan oleh 
bank benar-benar keuntungan yang halal dan bukan hasil menghutangkan dana 
kepada pihak ketiga. Selama perbankan tidak terjun langsung dalam dunia usaha 
nyata dan hanya mencukupkan dirinya sebagai penyalur dana nasabah, maka riba 
tidak akan pernah dapat dihindarkan.

Dengan cara ini, keberadaan perbankan syariah akan benar-benar menghidupkan 
perekonomian umat Islam. Karena dengan cara ini, perbankan pasti membuka 
lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat. Sebagaimana perbankan Islami akan 
menjadi produsen sekaligus konsumen bagi produk-produk yang beredar di 
masyarakat.

Sebagai konsekuensi dari hal ini, tentu kedua belah pihak yaitu nasabah yang 
menginvestasikan dananya ke proyek-proyek perbankan dan juga pihak operator 
bank siap untuk menanggung segala risiko dunia usaha. Pemodal menanggung 
kerugian dalam bentuk materi, dan pelaku usaha menanggung kerugian skiil.

3. Perbankan Menerapkan Mudharabah Sepihak.
Pada saat sekarang ini, amanah dan kepercayaan susah untuk didapatkan, bahkan 
yang sering terjadi di masyarakat kita ialah sebaliknya; pengkhianatan dan 
kedustaan. Oleh karena itu, sangat sulit bagi kita, terlebih lagi bagi suatu 
badan usaha untuk menerapkan sistem mudharabah dengan sepenuhnya. Untuk 
mensiasati keadaan yang memilukan ini, saya mengusulkan agar perbankan syari'at 
yang ada menerapkan mudharabah sepihak.

Yang saya maksud dengan mudharabah sepihak ialah, perbankan menerima modal dari 
masyarakat untuk menjalankan berbagai unit usaha yang ia kelola, akan tetapi 
perbankan tidak menyalurkan modalnya ke masyarakat dengan skema mudharabah. 
Dengan cara ini, dana nasabah yang disalurkan ke perbankan syari'ah dapat 
dipertanggungjawabkan dengan jelas, dan perbankan terhindar dari berbagai 
kejahatan pihak-pihak yang tidak memiliki amanah dan rasa takut kepada Allah 
Ta'ala.

Pada akhirnya, apa yang kami paparkan di atas adalah semata-mata sebatas ilmu 
yang kami miliki. Sehingga bila didapatkan kebenaran, maka itu adalah murni 
berasal dari taufik dan 'inayah Allah Ta'ala. Sebaliknya, bila terdapat 
kesalahan, maka itu bersumber dari setan dan kebodohan saya.

Semoga kita mendapatkan taufiq dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, sehingga dapat 
meninggalkan riba beserta seluruh piranti dan perangkapnya, dan dimudahkan 
untuk mendapatkan rizki yang halal.
Wallahu a'lam bish-shawab.

[Penulis adalah Kandidat Doktor Fiqih, Fakultas Syariah Universitas Islam 
Madinah - Saudi Arabia]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan 
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton 
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Raudhah ath-Thalibin, Imam an-Nawawi (5/132). Silakan baca juga at-Tahzib, 
Imam al-Baghawi (4/392), Mughnil-Muhtâj, asy-Syarbini (2/314) dan 
Syarikatul-Mudharabah fil-Fiqhil-Islâmi, Dr. Sa'ad bin Gharir bin Mahdi 
as-Silmu (hlm. 202).
[2]. Al-Mughni, Ibnu Qudamah al-Hambali, 7/156.
[3]. Lihat al-'Aziz, ar-Rafi'i (6/27-28), Raudhah ath-Thalibin, Imam an-Nawawi 
(5/132), al-Mughni, Ibnu Qudamah (7/158), Mughnil-Muhtâj, asy-Syarbini (2/314) 
dan Syarikatul-Mudharabah fil-Fiqhil- Islâmi, Dr. Saad bin Gharir as-Silmy 
(hlm. 202).
[4]. Metode ini membuat kita kesulitan untuk mendapatkan perbedaan yang berarti 
antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional. Dan mungkin inilah yang 
menjadikan negara-negara kafir pun ikut berlomba mendirikan perbankan syariah. 
Bahkan beberapa negara kafir tersebut –misalnya Singapura- telah 
memproklamirkan diri sebagai pusat perekonomian syariah (perbankan syariah). 
Oleh karena itu, tidak mengherankan bila Majalah Modal melansir pernyataan 
bapak Muhaimin Iskandar (Wakil Ketua DPR RI): "Tidak ada istilah ekonomi 
syariah dan ekonomi non syari'ah, karena itu hanya soal penamaan saja". Lihat 
Majalah Modal, Edisi 18/II April 2004, hlm. 19.
[5]. Lihat al-Mughni, Ibnu Qudamah (7/145), al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah 
al-Kuwaitiyyah (38/64).
[6]. Bank Syariah, dari Teori ke Praktek, Muhammad Syafi'i Antonio, hlm. 171.
[7]. Walaupun pada sanadnya ada Muhammad bin Ishak, akan tetapi ia telah 
menyatakan dengan tegas bahwa ia mendengar langsung hadits ini dari gurunya, 
sebagaimana hal ini dinyatakan dalam kitab at-Tahqîq. Lihat Nasbu ar-Rayah 
(4/43) dan at-Tahqîq (2/181).
[8]. Riwayat Bukhari dan Muslim.
[9]. Fat-hul-Bâri, Ibnu Hajar al-Asqalani, 4/348-349.
[10]. Majalah Modal, Edisi 19/II-MEI 2004, hlm. 25.
[11]. Nihayatu az-Zain, Muhammad Nawawi al-Jawi, hlm. 254


Pada 10 Februari 2010 09:07, Hasbullah <ahasbul...@gmail.com> menulis:
> Assalamu 'alaykum warohmatulloh
> Ana mau tanya apakah perbedaan antara bank syariah dan bank konvensional
> (dalam hal pinjaman dana)
> karena kalau ana bandingkan koq rata-rata bank syariah menerapkan bagi
> hasil (buat bank) yang lebih
> tinggi dari bunga bank konvensional. sebagai contoh misalnya ana pinjam
> uang di bank syariah untuk
> pembelian rumah 50jt dengan sistem bagi hasil (rata2) sekitar 11%
> pertahun yang akan dilunasi selama 10 tahun
> sehingga jatuhnya biaya yang ana harus keluarkan ke bank 50 jt + bagi
> hasil (50jt * 11% *10 tahun) = 105jt
> bandingkan dengan bank konvensional dengan sistem anuitas bunga 14%
> (rata2) total yang harus dibayar hanya sekitar 100jt
> Seandainya kita ingin melunasi utang kita di bank syariah maka yang
> harus dibayar adalah 105jt dikurangi yang telah kita bayar
> (jauh lebih besar dibandingkan yang konvensional)
>
> Sistem penerapan syariahnya dimana? Bukannya penerapan syariah
> seharusnya lebih membantu ummat?
>
> wassalamu 'alaykum warohmatulloh
>
> hasbullah


------------------------------------

Website anda http://www.almanhaj.or.id
Berhenti berlangganan: assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com
Ketentuan posting : http://milis.assunnah.or.id/aturanmilis/

INFO:
Saat ini domain assunnah.mine.nu telah diambil alih (direbut) oleh pihak yang 
tidak diketahui. Isi dan kandungannya tidak ada hubungannya dengan pengelola 
sebelumnya.
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    assunnah-dig...@yahoogroups.com 
    assunnah-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke