MEMBEDAKAN ANTARA KETEGASAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT)
Oleh
Ustadz Anas Burhanuddin
http://www.almanhaj.or.id/content/2605/slash/0

Pembicaraan tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) menjadi topik yang 
belakangan hangat dibicarakan. Media massa, lembaga swadaya masyarakat 
khususnya yang mengusung isu gender, lembaga bantuan hukum dan lembaga 
peradilan begitu tersibukkan dengan topik yang sebenarnya lama ini. Bahkan 
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah mengesahkan sebuah 
undang–undang khusus Antikekerasan dalam Rumah Tangga. 

Pembicaraan tentang KDRT yang terjadi di masyarakat kadang mengandung 
kebenaran. Tapi tidak jarang pembicaraan tersebut bermuatan hal-hal yang 
bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang luhur. Isu KDRT tidak jauh dari 
induk semangnya, yaitu isu hak asasi manusia (HAM) yang dikomentari oleh Mufti 
Kerajaan Saudi Arabia Syaikh 'Abdul-Aziz bin 'Abdullah Alu Syaikh 
-hafizhahullah- dengan mengatakan: "Sesungguhnya isu tentang HAM di berbagai 
belahan dunia pada zaman ini adalah kalimat haq urida biha bathil (kalimat yang 
benar, tapi dimaksudkan untuk hal yang salah)''. 

Yang menjadi kewajiban seorang muslim adalah kembali kepada petunjuk yang telah 
digariskan oleh Islam dalam setiap aspek kehidupan. Islam dengan 
kesempurnaannya tidak melalaikan aspek ini. Kedudukan antara suami, isteri dan 
anggota keluarga yang lain telah dijelaskan dalam agama kita. Demikian juga 
dengan hak dan kewajiban serta aturan-aturan yang harus diikuti oleh 
masing-masing. 

Tulisan ini berusaha mendudukkan masalah KDRT pada tempatnya, dengan merujuk 
kepada Al-Qur`aan dan as-Sunnah dan penjelasan para ulama. Pada hakikatnya, 
pembicaraan tentang KDRT mencakup hubungan suami dengan isteri, orang tua 
dengan anak, dan majikan dengan dengan pekerja. Namun tulisan ini hanya akan 
menyoroti yang pertama saja, yaitu berkenaan hubungan antara suami dengan 
isteri. 

Ketegasan kadang mengandung unsur kekerasan. Dalam batas-batas tertentu, unsur 
kekerasan tersebut dibolehkan secara syar'i. Dalam tulisan ini, ketegasan yang 
dimaksud, yaitu sikap tegas yang dalam Islam boleh dilakukan untuk mengatur 
kehidupan rumah tangga, meskipun kadang mengandung unsur kekerasan. Adapun KDRT 
dimaksudkan sebagai hal-hal yang secara syar'i dilarang dilakukan untuk 
keperluan tersebut.

KEDUDUKAN SUAMI DAN ISTERI DALAM KELUARGA
Islam menjadikan suami sebagai kepala keluarga. Allah Ta'ala berfirman: 

"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah 
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), 
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka" 
[an-Nisâ`/4:34]

Ketika menafsirkan ayat ini, al-Alusi berkata: "Tugas mereka (para suami) 
adalah mengurus para isteri sebagaimana penguasa mengurus rakyat dengan 
perintah, larangan dan sebagainya".[1]

Sedangkan al-Qurthubi berkata: "قََوَّام adalah wazan فَعَّال –yang dipakai 
untuk mubalaghah (memberi makna lebih)- dari ) القيام على الشيءmengurusi 
sesuatu), dan menguasai sendiri (istibdad) urusannya, serta memiliki hak 
menentukan dalam menjaganya. Maka kedudukan suami dari isterinya ialah sampai 
pada batasan ini, yaitu mengurusnya, mendidiknya, berhak menahannya di rumah, 
melarangnya keluar, dan isteri wajib taat serta menerima perintahnya selama itu 
bukan maksiyat".[2]

HAK DAN TUGAS SUAMI DALAM RUMAH TANGGA 
Islam telah menjelaskan hak masing-masing suami dan isteri. Syariat Islam 
memberikan suami hak yang besar atas isterinya. Sampai-sampai Nabi Shallallahu 
'alaihi wa sallam bersabda: 

لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ 
يَسْجُدْنَ لأَزْوَاجِهِنَّ لِمَا جَعَلَ اللَّهُ لَهُمْ عَلَيْهِنَّ مِنَ 
الْحَقِّ.

"Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada orang lain, 
niscaya akan aku perintahkan para isteri untuk sujud kepada para suami mereka, 
karena besarnya hak yang Allah berikan kepada para suami atas mereka" [HR Abu 
Dawud, 2142. At-Tirmidzi, 1192; dan Ibnu Majah 1925. Dishahîhkan Syaikh 
al-Albâni dalam Irwa`ul-Ghalil, 7/54]

Demikianlah Islam mendudukkan, dan inilah jalan kebahagiaan. Sebuah keluarga 
akan bahagia jika memahami dan mengikuti petunjuk ini. Pasangan yang serasi 
ialah pasangan yang membangun hubungan mereka di atas pilar ini. Sebaliknya, 
emansipasi yang banyak diserukan banyak kalangan pada zaman ini hanyalah 
fatamorgana yang seakan indah di mata, namun pahit dirasa; karena menyelisihi 
sunnah yang telah diatur oleh Sang Pencipta.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membahas hak-hak suami secara panjang 
lebar. Namun kiranya perlu disebut beberapa contoh untuk menggambarkan besarnya 
hak tersebut, sehingga kita bisa mengukur hal-hal apa saja yang bisa 
dikategorikan sebagai KDRT.

Di antara hak suami, yaitu wajibnya isteri untuk menaatinya, termasuk ketika 
suami mengajak berhubungan. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah 
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَلَمْ تَأْتِهِ، فَبَاتَ 
غَضْبَانَ عَلَيْهَا، لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

"Jika seorang suami mengajak isterinya berhubungan dan isteri menolak, lalu 
suami marah kepadanya sepanjang malam, para malaikat melaknat isteri itu sampai 
pagi" [HR al-Bukhâri, 5193, dan Muslim, 1436]

Hadits ini menunjukkan, menolak ajakan suami untuk berhubungan tanpa udzur 
merupakan dosa besar. Hingga seorang isteri tidak boleh berpuasa sunat saat 
suaminya ada, tanpa seijin suami. Juga tidak boleh mengijinkan orang lain masuk 
rumah tanpa ijin suami, sebagaimana diriwayatkan Abu Hurairah bahwa Nabi 
Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:

لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ، 
وَلاَ تَأْذَنَ فِى بَيْتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ ، وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ نَفَقَةٍ 
عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّهُ يُؤَدَّى إِلَيْهِ شَطْرُه

"Tidak halal bagi seorang isteri untuk berpuasa[3], sedangkan suaminya hadir, 
kecuali dengan ijinnya. Dan ia tidak boleh mengijinkan orang lain masuk rumah 
suami tanpa ijin darinya. Dan jika ia menafkahkan sesuatu tanpa ada perintah 
dari suami, maka suami mendapat setengah pahalanya"[4] [HR al-Bukhâri, 5195, 
dan Muslim, 1026]

Tentunya hak-hak di atas tidak dapat diwujudkan tanpa tugas dan kewajiban 
setiap pasangan suami istri. Khususnya suami yang berkedudukan sebagai kepala 
rumah tangga yang memimpin lajunya bahtera rumah tangga. Di antara tugas 
terpenting suami, ialah membimbing istri dan keluarganya meraih keridhaan Allah 
dengan menerapkan syariat dalam semua aspek kehidupan keluarga. Membimbing dan 
mengarahkan sang istri untuk berjalan lurus di atas syari'at, meluruskan 
kesalahan dan nusyuz (sikap melanggar kewajiban) yang mungkin terjadi padanya
. 
Tidak dapat dipungkiri, dalam kehidupan suatu rumah tangga terkadang muncul 
polemik dan problem yang muncul dari istri atau suami sendiri. Disinilah peran 
dan tugas suami dalam menanggulangi dan mengobatinya sehingga tidak membuat 
rumah tangganya pecah berantakan. Kedewasaan dan kepiawaian suami dalam 
menghadapinya memberikan pengaruh dalam kesinambungan dan keutuhan rumah tangga 
tersebut. Terkadang kelembutan menjadi solusi pemecahannya, dan terkadang juga 
diperlukan ketegasan maupun sedikit hukuman dalam menghilangkannya atau 
mengurangi bahaya yang mungkin muncul dari problem tersebut. Disinilah sang 
suami harus mengetahui batas kelembutan dan ketegasan dalam mengahadapi problem 
hubungan rumah tangga.

PENTINGNYA KETEGASAN SUAMI
Di atas telah dibahas tentang kedudukan suami dalam rumah tangga dan tugasnya. 
Tentunya hal seperti ini memerlukan ketegasan, agar kehidupan rumah tangga bisa 
berjalan dengan baik, sebagaimana seorang penguasa harus memiliki ketegasan 
dalam menjalankan roda pemerintahannya. Tanpa ketegasan, bisa jadi anggota 
keluarga akan meremehkan aturan-aturan dan norma dalam keluarga. Kehidupan 
rumah tangga menjadi tidak teratur, sehingga hilanglah hikmah yang dimaksudkan 
dari disyariatkannya kepemimpinan dalam keluarga. Keberadaan suami dan bapak 
menjadi tidak ada artinya. Dengan demikian, tidak terwujudkan tanggung jawab 
yang diamanatkan sebagaimana terdapat dalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa 
sallam :

كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، الإِمَامُ رَاعٍ 
وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِى أَهْلِهِ وَهْوَ مَسْئُولٌ 
عَنْ رَعِيَّتِهِ ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِى بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ 
عَنْ رَعِيَّتِهَا، وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِى مَالِ سَيِّدِهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ 
رَعِيَّتِهِ - قَالَ وَحَسِبْتُ أَنْ قَدْ قَالَ - وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِى مَالِ 
أَبِيهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ 
رَعِيَّتِهِ

"Setiap dari kalian adalah penanggung jawab, dan masing-masing akan ditanya 
tentang tanggungjawabnya. Penguasa adalah penanggung jawab atas rakyatnya, dan 
akan ditanya tentangnya. Suami menjadi penanggung jawab dalam keluarganya, dan 
akan ditanya tentangnya. Isteri adalah penanggung jawab di rumah suaminya, dan 
akan ditanya tentang tanggung jawabnya. Pembantu bertanggung jawab atas harta 
tuannya dan akan ditanya tentangnya," (Ibnu Umar berkata: dan saya kira Nabi 
Shallallahu 'alaihi wa sallam juga berkata): "Dan anak adalah penanggung jawab 
atas harta bapaknya dan akan ditanya tentangnya, dan setiap kalian adalah 
penanggung jawab, dan masing-masing akan ditanya tentang tanggung jawabnya". 
[HR al-Bukhâri, 893, dan Muslim, 4828] 

Hendaklah setiap muslim merenungkan hadits ini dan mengamalkannya dengan 
bertanggung jawab atas setiap amanat yang diemban, dan menyiapkan jawaban untuk 
pertanyaan Allah pada hari saat harta dan keturunan tiada lagi berguna. 
Allahumma sallim sallim. 

BENTUK KETEGASAN SUAMI
Ketegasan yang dilakukan suami dan kepala keluarga harus melihat kepada manfaat 
dan permasalahan yang terjadi. Juga jangan sampai berlebihan, sehingga justru 
berbuah kekerasan. Jadikanlah ketegasan tersebut sebagai obat dalam mencegah 
munculnya nusyuz dan pelanggaran syari'at dalam rumah tangga. Jangan sampai 
suami membiarkan istri berbuat pelanggaran agama hanya dengan dalih khawatir 
melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), sebab membiarkan istri berbuat 
maksiat tanpa ada teguran dan tindakan terapinya merupakan perbuatan tercela 
dan diancam Allah dengan siksaan yang berat. Sebagaimana dijelaskan dalam sabda 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

ثَلَاثَةٌ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ 
الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ وَالْمَرْأَةُ الْمُتَرَجِّلَةُ وَالدَّيُّوثُ 

"Tiga orang yang Allah tidak melihat mereka pada hari Kiamat, (yaitu) orang 
yang durhaka kepada kedua orang tuanya, perempuan yang menyerupai lelaki 
(tomboy) dan ad-dayûts" [HR an-Nasâ`i, dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam 
Silsilah ash-Shahîhah, 2/229]. 

Tentang ad-dayyûts ini, telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa 
sallam ketika beliau ditanya:

يَا رَسُوْلَ اللهِ أَمَّا مُدْمِنُ الْخَمْرِ فَقَدْ عَرَفْنَاهُ فَمَا 
الدَّيُّوْثُ قَالَ الَّذِيْ لاَ يُبَالِيْ مَنْ دَخَلَ عَلَى أَهْلِهِ 

"Wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, adapun pecandu khamr, kami 
telah mengerti. Akan tetapi apa yang dimaksud ad-dayûts itu?" Beliau 
Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: "Dia ialah (laki-laki) yang tidak 
memperdulikan siapa yang menemui istrinya". [HR ath-Thabrani dan dishahîhkan 
Syaikh al-Albaani dalam Shahîh at-Targhib wat-Tarhib, no. 2071 (2/227)]

Lebih tegas lagi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

وَ الدَّيُّوْثُ الَّذِيْ يُقِرُّ فِيْ أَهْلِهِ الْخَبَثَ .

"Dan ad-dayûts, ialah yang membiarkan kemaksiatan dalam keluarganya". [HR Ahmad 
dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Shahîh al-Jami' ash-Shaghir, no. 5363] 

Melarang istri dari perbuatan dosa dan maksiat termasuk ketegasan suami dan 
bukan termasuk KDRT, walaupun terkadang nampak mengekang kebebasan istri. 
Demikian juga termasuk ketegasan suami ialah menghukum istri bila melanggar.

BILAMANA SUAMI MENGHUKUM ISTERI? 
Secara faktual, sangat jarang bahkan mungkin tidak ada; sebuah keluarga 
berjalan tanpa adanya percikan problem atau permasalahan. Oleh karena itu, kita 
dituntut untuk siap menghadapi berbagai guncangan yang timbul. Tak jarang istri 
melakukan pelanggaran, sehingga membuat sang suami merasa tidak nyaman, gelisah 
atau marah. Disinilah Allah menjelaskan bolehnya suami menghukum istri, 
sebagaimana dalam firman-Nya:

"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah 
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), 
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka. 
Sebab itu, maka wanita yang shalih, ialah yang taat kepada Allah lagi 
memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara 
(mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah 
mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu 
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi 
Maha Besar" [an-Nisâ`/4:34]

Al-Alûsi berkata: "Ayat di atas dipakai untuk berdalil bahwasanya seorang suami 
boleh menghukum isteri dan melarangnya keluar rumah, dan bahwasanya seorang 
isteri wajib taat kepadanya kecuali jika (suami) memerintahnya berbuat maksiat 
kepada Allah". 

Hukuman itu bisa berupa mendiamkannya atau memukulnya dalam batas-batas yang 
telah diatur Islam. Hal ini dimaksudkan agar isteri kembali kepada jalan yang 
benar, sebagaimana sebagian rakyat juga tidak menjadi baik kecuali jika hukuman 
diterapkan.

SALING MENASIHATI, DAN MEMULAI DENGAN HUKUMAN YANG PALING RINGAN
Terjadinya kesalahan merupakan hal yang lumrah terjadi pada anak Adam, baik 
dalam kehidupan rumah tangga maupun yang lain. Untuk itu Islam mengajarkan 
umatnya untuk saling mengingatkan, saling menasihati dan amar ma'ruf nahi 
munkar. 

Saling menasihati sebagai perwujudan bukti cinta yang hakiki. Karenanya 
orang-orang terdekat ialah yang paling berhak mendapatkannya. Sebuah keluarga 
muslim harus membiasakan diri dengan sunnah ini. 

Jika isteri salah dengan tidak taat kepada suami misalnya, suami diperintahkan 
untuk menasihatinya terlebih dahulu. Allah Ta'ala berfirman: 

"Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz, maka nasihatilah mereka, 
diamkanlah mereka di tempat tidur dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka 
menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. 
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar" [an-Nisâ`/4:34]

Nusyuz ialah meninggalkan ketaatan kepada suami atau menentangnya, baik dengan 
perkataan maupun perbuatan[5]. Syaikh Abdur-Rahman as-Sa'di berkata: "Hendaklah 
ia menghukumnya dengan hukuman yang paling ringan dahulu, dimulai dengan 
menasihatinya, yaitu dengan menjelaskan hukum Allah tentang ketaatan-ketaatan 
kepada suami, juga hukum menentangnya, menyemangatinya untuk taat, dan 
menakutinya dari maksiat".[6] 

MENDIAMKAN ISTERI 
Jika isteri kembali kepada ketaatan dengan nasihat saja, maka itulah yang 
diharapkan, wal-hamdulillah. Jika tidak, suami dibolehkan untuk mendiamkan 
(hajr) isterinya seperti diperintahkan dalam ayat di atas. Bagi sebagian 
wanita, model hajr seperti ini bisa sangat tepat untuk mengembalikan mereka 
kepada ketaatan. Mereka merasa sangat terpukul saat didiamkan suami dan tidak 
diajak berhubungan. Namun sebaiknya hal tersebut dilakukan di dalam rumah saja, 
sebagaimana disebutkan dalam hadits Hakam bin Mu'awiyah bahwa Nabi Shallallahu 
'alaihi wa sallam bersabda:

ولا يهجُرْ إلا في البيت

"Hendaknya suami tidak mendiamkan isterinya kecuali di rumah". [HR Abu Daawud, 
an-Nasaa`i dan Ibnu Maajah. Dishahîhkan oleh Ibnu Hibban, al-Hakim dan Syaikh 
al-Albâni]. 

Maksudnya, ialah mendiamkannya, tetapi keduanya tetap satu rumah; suami tidak 
meninggalkan rumah atau mengusir isterinya ke rumah lain.

Dikisahkan, saat marah kepada salah satu isterinya yang kebetulan mendapat 
giliran bermalam (mabit), 'Umar bin 'Abdul-'Aziz, tetap bermalam di rumahnya, 
tetapi ia tidak berbicara dengan isterinya dan tidak menatapnya[7]. Hal ini 
karena mendiamkan isteri dengan keluar rumah sangat menyakitkan. Seorang isteri 
bisa merasa sangat sedih ketika ditinggal suaminya untuk suatu keperluan, 
apalagi jika hal itu dilakukan sebagai hukuman[8]. Kecuali jika diperlukan, 
boleh bagi suami untuk mendiamkan isterinya dengan keluar rumah, sebagaimana 
dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. 

Al-Bukhaari berkata:

باب هِجْرَةِ النَّبِىِّ n نِسَاءَهُ فِى غَيْرِ بُيُوتِهِنَّ. ثم روى عن أم سلمة 
أَنَّ النَّبِىَّ n حَلَفَ لاَ يَدْخُلُ عَلَى بَعْضِ أَهْلِهِ شَهْرًا.

"Bab bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendiamkan para isteri beliau di 
luar rumah," kemudian al-Bukhâri meriwayatkan dari Ummu Salamah bahwa Nabi 
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersumpah untuk tidak masuk ke rumah sebagian 
isteri beliau selama sebulan". [Shahîh al-Bukhâri, 5202. Lihat al-Maktabah 
asy-Syamilah]

Suami hendaklah mempertimbangkan dengan matang bentuk dan waktu hajr yang 
dilakukan dengan melihat besar kecilnya kesalahan, kebutuhan dan manfaat yang 
diharapkan dari hajr tersebut. 

BATASAN MEMUKUL ISTERI 
Ayat 34 surat an-Nisâ` di atas menjelaskan bolehnya seorang suami memukul 
isterinya jika diperlukan. Ummu Kultsum binti Abu Bakr ash-Shiddiq 
meriwayatkan: 

كَانَ الرِّجَالُ نُهُوا عَنْ ضَرْبِ النِّسَاءِ ثُمَّ شَكُوهُنَّ إِلَى رَسُولِ 
اللَّهِ n فَخَلَّى بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ ضَرْبِهِنَّ

"Awalnya para suami dilarang untuk memukul para isteri. Kemudian mereka 
melaporkan isteri-isteri mereka kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa 
sallam, maka beliau membolehkan memukul mereka".[HR al-Baihaqi, 7/304]

Maksudnya, ialah pukulan yang ringan. Ketika menafsirkan ayat di atas, 
al-Bukhaari mengatakan, maksudnya ialah pukulan yang ghairu mubarrih (tidak 
melukai). 

Kemudian al-Bukhâri meriwayatkan dari 'Abdullah bin Zam'ah, bahwasanya Nabi 
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 

لاَ يَجْلِدُ أَحَدُكُمُ امْرَأَتَهُ جَلْدَ الْعَبْدِ ، ثُمَّ يُجَامِعُهَا فِى 
آخِرِ الْيَوْمِ

"Janganlah seorang di antara kalian mencambuk isterinya sebagaimana mencambuk 
budak, kemudian berhubungan dengannya di akhir hari" [Shahîh al-Bukhâri, 5204. 
Lihat al-Maktabah asy-Syamilah] 

Hendaklah pukulan juga tidak dilakukan di wajah. Dalam hadits tentang hak-hak 
isteri atas suami, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ولا يَضرِبِ الوَجْهَ ، وَلاَ يُقبِّحْ

"Janganlah suami memukul wajah, dan jangan mengatakan qabbahakillah (semoga 
Allah menjadikanmu jelek)" [HR Abu Dawud, an-Nasâi dan Ibnu Majah, dishahîhkan 
Ibnu Hibban, al-Hakim dan Syaikh al-Albâni]

CONTOH-CONTOH KDRT 
Dari sini jelas dapat dibedakan antara ketegasan dan hukuman dengan KDRT, sebab 
KDRT merupakan tindakan yang berlebihan dari ukuran dan ketetapan syari'at. 
Oleh karena itu hendaklah dilihat kembali semua kasus KDRT yang ada, 
menimbangknya dengan syari'at Islam yang memiliki kelengkapan dan keindahan, 
sehingga tidak salah dalam memutuskan dan menyimpulkannya. Terlebih pada zaman 
jauhnya kaum muslimin dari agamanya dan isu-isu kesamaan gender sedang 
dipropagandakan pada semua sendi untuk semakin menjauhkan kaum muslimin dari 
agamanya. 

Dari penjelasan di atas, bisa disimpulkan beberapa contoh yang bisa 
dikategorikan sebagai KDRT, antara lain: 

1. Menjadikan pukulan atau hajr sebagai jalan pertama dalam menyelesaikan 
masalah rumah tangga. 
2. Mengeluarkan kata-kata yang tidak baik, seperti qabbahakillah (semoga Allah 
menjadikanmu jelek). 
3. Mendiamkan isteri di luar rumah tanpa keperluan. 
4. Memukul wajah. 
5. Memukul di luar batas kewajaran.

Ingatlah syari'at islam tidak membolehkan dan tidak mensyariatkan kecuali untuk 
kebaikan manusia seluruhnya, dan tidak melarang kecuali perkara yang merusak 
dan mengganggu manusia. Karena itu, marilah kembali merujuk kepada Islam dalam 
melihat dan mengamalkan semua amalan keseharian kita. Sebagai penutup kita 
perlu memperhatikan dua hal dibawah ini.

Pertama, Sabar Menghadapi Isteri.
Bahtera rumah tangga tidak dapat berjalan dengan baik jika pasangan suami 
isteri tidak memiliki kesabaran di antara mereka. Hal ini juga diperintahkan 
Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firmanNya:

"Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai 
mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal 
Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak" [an-Nisâ`/4:19]. 

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 

لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِىَ مِنْهَا 
آخَرَ

"Janganlah seorang mukmin membenci mukminah. Jika ia tidak suka dengan salah 
satu perangainya, tentu ia suka perangai yang lainnya" [Muslim, 2672]

Tidak semestinya suami menjadikan setiap kesalahan istri sebagai sebab untuk 
melampiaskan amarah. Hendaklah kita mencontoh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa 
sallam yang oleh isteri beliau, 'Aisyah Radhiyallahu 'anha disifati sebagai 
berikut: 

مَا ضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ شَيْئًا قَطُّ بِيَدِهِ وَلَا امْرَأَةً وَلَا 
خَادِمًا إِلَّا أَنْ يُجَاهِدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا نِيلَ مِنْهُ شَيْءٌ 
قَطُّ فَيَنْتَقِمَ مِنْ صَاحِبِهِ إِلَّا أَنْ يُنْتَهَكَ شَيْءٌ مِنْ مَحَارِمِ 
اللَّهِ فَيَنْتَقِمَ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ 

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , sama sekali tidak pernah memukul 
sesuatu dengan tangan beliau, tidak juga pernah memukul wanita atau pembantu, 
kecuali dalam jihad fi sabilillah. Dan tidaklah beliau pernah disakiti kemudian 
membalas dendam; tetapi jika salah satu larangan Allah dilanggar, beliau 
membalas karena Allah" [HR Muslim, 2328]

Al-Alusi rahimahullah berkata: "Dan jelas, bahwasanya menahan diri dan sabar 
terhadap isteri lebih baik daripada memukul mereka, kecuali jika ada alasan 
yang kuat".[9]

Kedua, Islam Menghormati dan Memuliakan Wanita.
Keterangan di atas menunjukkan bahwa Islam melarang KDRT, kecuali jika 
diperlukan untuk mewujudkan maslahat yang lebih besar, dan dengan 
batasan-batasan yang ketat. Hal seperti ini, kita istilahkan dengan ketegasan. 
Islam memberikan kedudukan sangat mulia kepada wanita. Banyak hal yang 
menunjukkan penghormatan tersebut. 

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan orang yang paling baik dalam umat 
ini ialah yang paling baik memperlakukan isterinya. Beliau Shallallahu 'alaihi 
wa sallam bersabda:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ 
خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا

"Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang terbaik akhlaknya; dan 
orang-orang terbaik di antara kalian ialah yang paling baik akhlaknya terhadap 
isteri mereka" [HR at-Tirmidzi, 1195. Dishahihkan Syaikh al-Albâni dalam 
Silsilah al-Ahadits ash-Shahîhah, 284]

Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

وَلَنْ يَضْرِبَ خِيَارُكُمْ

"Dan orang-orang terbaik di antara kalian tidak akan memukul" [HR al-Baihaqi, 
7/304] 

Salah seorang rawi hadits ini mengatakan: 

وَكَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم خَيْرَهُمْ كَانَ لاَ يَضْرِبُ

"Dan Rasulullah adalah yang terbaik di antara mereka, beliau tidak memukul". 
[Riwayat Ibnu Abi Syaibah, 5/223]

Hadits-hadits ini hendaklah menjadi pendorong munculnya rasa takut pada diri 
seorang muslim. Komitmen sebagian muslimin terhadap pokok-pokok ajaran 
Ahlus-Sunnah terkadang tidak diiringi dengan akhlak yang baik, termasuk kepada 
keluarga, khususnya isteri. KDRT masih sering terdengar dari rumah kita. 
Padahal Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan hal ini sebagai parameter 
kedudukan kita di sisi Allah. Yang tidak berakhlak baik kepada isteri bukanlah 
golongan terbaik dalam umat ini. 

Semoga Allah mengilhami kita untuk terus memperbaiki diri. Wallahu a'lam.

Maraaji`:
- Al-Jâmi' li Ahkâmil Qur'ân, Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, tahqîq 
Abdurrazzaq al-Mahdi, Maktabah ar-Rusyd, 1420 H. 
- Durus Yaumiyyah.
- Fathul-Bâri, Ibnu Hajar al-'Asqalâni, Tahqîq: Abu Qutaibah al-Fariyabi, Dar 
Thaybah,1426 H. 
- Nahwa Akhlaqissalaf fi Dhauil Kitab was-Sunnah, Salim bin 'Id al-Hilali. 
- Rûhul Ma'âni fi Tafsîril Qur'ânil-'Azhîm was-Sab'il Matsâni, Syihâbuddîn 
al-Alusi, Dârul-Kutub al-'Ilmiyyah.
- Taisirul-Karimir-Rahman, Abdur-Rahman as-Sa'di, Muassasah ar-Risalah. 
- Al-Maktabah asy-Syamilah, Divisi Rekaman Masjid Nabawi.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XI/1429H/2008M. Diterbitkan 
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton 
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote 
[1]. Rûhul Ma'âni, 3/23.
[2]. Al-Jâmi' li Ahkâmil-Qur`ân, 5/163.
[3]. Ibnu Hajar berkata: "Yakni puasa selain Ramadhan, atau puasa wajib diluar 
Ramadhan jika waktunya sempit". Lihat Fathul-Bari, 11/624. 
[4]. Dalam sebagian riwayat disebutkan secara tegas "" فله نصف أجره . Lihat 
Fathul-Bari, 11/629.
[5]. Lihat Taisirul-Karimir-Rahman, hlm. 177.
[6]. Ibid.
[7]. 'Umdatul-Qari, Badruddin al-'Aini.
[8]. Ibid.
[9]. Rûhul-Ma'ani, 3/23.                                          

Kirim email ke