PERDAGANGAN MANUSIA (HUMAN TRAFFICKING)
Oleh
Ustadz Nurkholis Abu Riyal bin Mursidi
http://almanhaj.or.id/content/3113/slash/0

Manusia adalah makhluk Allah Azza wa Jalla yang dimuliakan, sehingga anak
Adam ini dibekali dengan sifat-sifat yang mendukung untuk itu, yaitu seperti
akal untuk berfikir, kemampuan berbicara, bentuk rupa yang baik serta hak
kepemilikan yang Allah Azza wa Jalla sediakan di dunia, yang tidak dimiliki
oleh makhluk-makhluk lainnya. Tatkala Islam memandang manusia sebagai
pemilik, maka hukum asalnya ia tidak dapat dijadikan sebagai barang yang
dapat dimiliki atau diperjual belikan. Hal ini berlaku jika manusia tersebut
berstatus merdeka.

SEJARAH HUMAN TRAFFICKING
Wallâhu a’lam, sejak kapan awal mulanya perdagangan manusia. Tapi sebenarnya
hal itu terjadi semenjak adanya perbudakan, dan perbudakan telah terjadi
pada umat terdahulu jauh sebelum Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam
diutus. Diantara salah satu sebab suburnya perbudakan waktu itu adalah
seringnya terjadi peperangan antar kabilah dan bangsa, di samping di sana
terdapat faktor lain seperti perampokan, perampasan, penculikan, kemiskinan,
ketidakmampuan dalam membayar hutang dan lain sebagainya, serta didukung
pula dengan adanya pasar budak pada masa itu.

Pada zaman Nabi Ibrâhîm Alaihissallam sudah terjadi perbudakan, hal ini
ditunjukkan oleh kisah Sarah yang memberikan jariyahnya (budak wanita) yaitu
Hajar kepada Nabi Ibrâhîm Alaihissallam untuk dinikahi.[1] Demikian pula
pada zaman Ya’qûb Alaihissallam, orang merdeka di masa itu bisa menjadi
budak dalam kasus pencurian, yaitu si pencuri diserahkan kepada orang yang
ia ambil hartanya untuk dijadikan budak.[2]

Kemudian Islam datang mengatur perbudakan ini walaupun tidak mutlak
melarangnya. Akan tetapi, hal itu dapat mengurangi perlahan-lahan. Untuk itu
Islam menganjurkan untuk membebaskan budak-budak yang beragama Islam,[3]
bahkan salah satu bentuk pembayaran kafârah adalah dengan membebaskan budak
Muslim.

Dewasa ini kita dapati maraknya eksploitasi manusia untuk dijual atau biasa
disebut dengan Human Trafficking, terutama pada wanita untuk perzinaan,
dipekerjakan tanpa upah dan lainnya, ada juga pada bayi yang baru dilahirkan
untuk tujuan adopsi yang tentunya ini semua tidak sesuai dengan syari’ah dan
norma-norma yang berlaku (‘urf). Kemudian bila kita tinjau ulang ternyata
manusia-manusia tersebut berstatus hur (merdeka).

PANDANGAN FIKIH ISLAM TENTANG PERDAGANGAN MANUSIA MERDEKA
Hukum dasar muâmalah perdagangan adalah mubâh kecuali yang diharamkan dengan
nash atau disebabkan gharâr (penipuan).[4] Dalam kasus perdagangan manusia,
ada dua jenis yaitu manusia merdeka (hur) dan manusia budak (‘abd atau
amah). Dalam pembahasan ini akan kami sajikan dalil-dalil tentang hukum
perdagangan manusia merdeka yang kami ambilkan dari al-Qur’ân dan Sunnah
serta beberapa pandangan ahli Fikih dari berbagai madzhab tentang masalah
ini.

Dalil Al-Qur’an:
Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ
وَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّمَّنْ
خَلَقْنَا تَفْضِيلًا

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di
daratan dan di lautan,Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami
lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang
telah Kami ciptakan. [5]

Sudut pandang pengambilan hukum dari ayat ini adalah; bahwa kemuliaan
manusia yang Allah Azza wa Jalla berikan kepada mereka yaitu dengan
dikhususkannya beberapa nikmat yang tidak diberikan kepada makhluk yang lain
sebagai penghormatan bagi manusia. Kemudian dengan nikmat itu manusia
mendapatkan taklîf (tugas) syari’ah seperti yang telah dijelaskan oleh
mufassirîn dalam penafsiran ayat tersebut di atas [6]. Maka hal tersebut
berkonsekwensi seseorang manusia tidak boleh direndahkan dengan cara
disamakan dengan barang dagangan, semisal hewan atau yang lainnya yang dapat
dijual-belikan. Imam al-Qurthûbi t berkata mengenai tafsir ayat ini “….dan
juga manusia dimuliakan disebabkan mereka mencari harta untuk dimiliki
secara pribadi tidak seperti hewan,...”[7].

Dalil Dari Sunnah
Disebutkan dalam sebuah hadits Qudsi Allah Azza wa Jalla mengancam keras
orang yang menjual manusia ini dengan ancaman permusuhan di hari Kiamat.
Imam al-Bukhâri dan Imam Ahmad meriwayatkan dari hadits Abu Hurairah
Radhiyallahu 'anhu :[8]

عَنْ أَبيْ هُريْرَةَ رَضِيَ اللّه عنه عَنْ النَّبِيِّ صلىاللّه عليه وسلم
قَاَلَ : قَالَ اللَّه : شَلاَشَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَومَ الْقِيَا مَةِ
رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ وَرَجُلٌ بَاعَ حَُرًافَأَكَلَ ثَمَنَهُ
وَرَجُلٌ اسْتَأ جَرَ أَ جِيرًا فَسْتَوْ فَىمِنْهُ وَلَمْ يُعْطِ أَجْرَهُ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, beliau bersabda: Allah Azza wa Jalla berfirman: “ Tiga golongan yang
Aku akan menjadi musuh mereka di hari Kiamat; pertama: seorang yang
bersumpah atas nama-Ku lalu ia tidak menepatinya, kedua: seseorang yang
menjual manusia merdeka dan memakan hasil penjualannya, dan ketiga:
seseorang yang menyewa tenaga seorang pekerja yang telah menyelesaikan
pekerjaan itu akan tetapi dia tidak membayar upahnya.

Dalam masalah ini Ulama bersepakat atas haramnya menjual orang yang merdeka
(Baiul hur), dan setiap akad yang mengarah ke sana, maka akadnya dianggap
tidak sah dan pelakunya berdosa.

Di antara pendapat mereka yaitu.

1. Hanafiyah
Ibnu Abidin rahimahullah berkata, “ Anak Adam dimuliakan menurut syari’ah,
walaupun ia kafir sekalipun (jika bukan tawanan perang), maka akad dan
penjualan serta penyamaannya dengan benda adalah perendahan martabat
manusia, dan ini tidak diperbolehkan…” [9]

Ibnu Nujaim rahimahullah berkata dalam Al-Asybah wa Nazhâir pada kaidah yang
ketujuh, “ Orang merdeka tidak dapat masuk dalam kekuasaan seseorang, maka
ia tidak menanggung beban disebabkan ghasabnya walaupun orang merdeka tadi
masih anak-anak” [10]

2. Malikiyah
Al-Hatthab ar-Ru’aini rahimahullah berkata, “ Apa saja yang tidak sah untuk
dimiliki maka tidak sah pula untuk dijual menurut ijma’ Ulama’, seperti
orang merdeka , khamr, kera, bangkai dan semisalnya “ [11]

3. Syâfi’iyyah:
Abu Ishâq Syairazit dan Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa menjual
orang merdeka haram dan bathil berdasarkan hadist di atas [12].

Ibnu Hajart menyatakan bahwa perdagangan manusia merdeka adalah haram
menurut ijma’ Ulama’ [13]

4. Hanâbilah
Ulama’ Hanabilah menegaskan batalnya baiul hur ini dengan dalil hadits di
atas dan mengatakan bahwa jual beli ini tidak pernah dibolehkan dalam Islam,
di antaranya adalah Ibnu Qudâmah [14], Ibnu Muflih al-Hanbali [15], Manshûr
bin Yûnus al-Bahuthi, dan lainnya.

5. Zhâhiriyyah
Madzhab ini menyebutkan bahwa semua yang haram dimakan dagingnya, haram
untuk dijual [16]

MAKELAR TENAGA KERJA
Dari keterangan di atas, telah jelas bagi kita bahwa Ulama bersepakat atas
haramnya penjualan manusia merdeka. Bahkan memperkerjakan orang merdeka
kemudian tidak menepati upah yang telah disepakati, maka perbuatan semacam
ini disamakan dengan memakan hasil penjualan manusia merdeka, yaitu berupa
ancaman yang terdapat dalam hadits tersebut di atas

شَلاَشَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَومَ الْقِيَا مَةِ

“ Tiga golongan yang Aku akan menjadi musuh mereka di hari Kiamat…”.

Begitu pula mereka yang menjadi makelar untuk memperkerjakan tenaga kerja,
upah pekerja tersebut diambil oleh para makelar itu, dan akhirnya si pekerja
tidak mendapatkan upah, atau karena adanya makelar tersebut mengakibatkan
upah pekerja menjadi berkurang dari upah yang telah disepakati dengan
majikan atau UMR. Syaikh Ibnu Utsaimîn rahimahullah dalam kitab Syarhul
Mumti’ ketika memberikan contoh masalah Ijârah Fâsidah (akad persewaan yang
rusak) menyebutkan bahwa menyewakan tenaga kerja merdeka tidak diperbolehkan
dengan alasan si pekerja tadi bukanlah milik (budak) si penyedia sewa
(makelar). Padahal syarat Ijârah (persewaan) adalah si penyedia persewaan
harus memiliki barang yang mau disewakan, dan di sini orang yang merdeka ini
tidak dimilikinya (bukan budaknya). Kemudian apabila akad persewaan ini
terjadi atas sepengetahuan musta’jir (penyewa/majikan) bahwa pekerja
tersebut bukan budak, maka sang majikan wajib mengganti upah mitsil
(standar) kepada pekerja tersebut. Akan tetapi apabila ia tidak mengetahui
penipuan ini, maka ia cukup membayar kesepakatan di muka tentang upah sewa
kepada pekerja tadi. Dan apabila upah tersebut kurang dari upah mitsil maka
penanggungnya adalah pihak penyedia tenaga.[17]

Maka bisa kita ambil kesimpulan bahwa tidak ada hak bagi makelar untuk
mengambil jatah upah tenaga kerja, karena mereka adalah manusia merdeka yang
memiliki hak kepemilikan, bukan untuk dimiliki orang lain; begitu pula hasil
kerjanya. Bila ia ingin mendapat upah, maka hendaknya di luar upah mereka.
Maka hal yang demikian termasuk memakan harta dengan batil.
Wallâhu a’lam bis shawâb

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIII/1431H/2010M. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]


------------------------------------

Website anda http://www.almanhaj.or.id
Berhenti berlangganan: assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com
Ketentuan posting : http://milis.assunnah.or.id/aturanmilis/
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    assunnah-dig...@yahoogroups.com 
    assunnah-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke