Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh,
Ana juga ingin mengemukakan pendapat; semoga bisa diterima.
Apa yang dicontohkan oleh akh Joy Riziki di bawah dengan menampilkan
tulisan dari situs Almanhaj, adalah terkait dengan penyembelihan, jadi
lebih pada makan berwujud daging.
Dari apa yang saya tahu selama ini, memang banyak orang yang berpendapat
bahwa label "Haram" lebih sesuai daripada label "Halal". Mungkin untuk
Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim, ini memang cocok; tetapi
sekarang ini masalah label Halal sudah menjadi kebutuhan internasional,
sehingga umat Islam yang tinggal di negara mayoritas kafir perlu juga
mengetahui apakah makanan yang akan dikonsumsinya "Halal" - jelas kita
tidak bisa berasumsi bahwa semua makanan asalnya HALAL, seperti yang
dikatakan akh Joy.
Kembali ke Indonesia, di luar masalah kehalalan daging hasil sembelihan,
sangat banyak praktek yang sudah sangat umum dilakukan di negara
mayoritas Muslim ini, yang menjadikannya *tidak lagi*bisa dikatakan
"pada umumnya halal". Contohnya adalah dalam pembuatan roti/kue serta
cara memasak makan yang sangat populer semacam mie, nasi goreng dsb.
Dalam pembuatan roti/kue, sangat biasa bagi sebagian besar orang (karena
tidak tahu dan juga karena sengaja demikian) untuk memakai "Rum" yang
pada dasarnya adalah Khamr. Pada proses memasak mie atau nasie goreng,
bahkan para tukang mie/nasi goreng keliling pun sudah terbiasa dipakai
yang namanya "bumbu penyedap" yang dibuat dari arak beras alias khamr.
Sebagai contoh juga, bahkan adik ana sendiri dulu selalu menambahkan Rum
bila membuat kue semacam brownies dan sejenisnya - karena tidak tahu.
Nah, banyak bakery, bahkan bakery yang sangat terkenal dan tokonya ada
di-mana2 dengan simbolnya yang khas, kalau ditanya apakah ada yang
memakai Rum, jawabannya ya sebagian ada dan ada yang tidak. Tambah lagi
produk yang mengandung keju, yang masih juga ada (terutama yang diimpor)
yang tidak dijamin kehalalannya. Nah, bagaimana orang awam membedakan
mana yang pakai Rum (khamr) atau keju yang halal, dengan mana yang tidak
kalau tidak dengan menanyakan? Ini berlaku juga untuk bakery lain yang
jumlahnya entah berapa, tetapi sebagian besar pemilik dan pembuatnya
adalah non-muslim yang tidak peduli tehadap kehalalan produknya, tetapi
ingin produknya enak, sedap dan diminati banyak orang, apapun juga caranya.
Apakah kalau kita sudah tahu bahwa praktek menambahkan khamr dalam
masakan atau dalam pembuatan produk bakery *sudah menjadi keumuman
*(atau minimal banyak sekali dilakukan orang), bertanya atau
mempertanyakan bahan yang dipakai juga merupakan tindakan berlebihan?
Pengertian halal atau haram di Indonesia (bahkan dikalangan umat Islam
awam) adalah hanya mengandung babi atau tidak. Sebagian besar masih
belum tahu bahwa selain kandungan daging babi masih banyak lagi unsur
haram yang mengancam umat ini.
Nah, menurut Islam, makanan yang kita santap bukan hanya harus halal
tetapi juga harus baik (halalan thoyiban). Tentunya akh Joy tidak
terlau asing dengan banyaknya kandungan formaldehyde atau zat berbahaya
lain (zat pewarna berlogam berat) dalam makanan yang diperdagangkan
secara luas. Bahkan pemerintah pun berupaya keras mencegah hal ini.
Nah, syarat mendapatkan label atau halal dari LPPOM -MUI adalah sudah
mendapat ijin Depkes. Depkeslah yang menangani masalah thoyibnya
makanan atau tidak. Berarti kalau sudah ada label halal, sudah
"terjamin" juga ke-thoyiban makanan tersebut.
Ana tidak peduli dengan siapa yang seharusnya mengeluarkan lebel halal -
tetapi *mengingat situasi dan kondisi di Indonesia* (praktek memasak dan
membuat makanan yang subhat) saya berpendapat bahwa label halal sangat
perlu dan dalam hal tertentu menanyakan status kehalalan makan yang
diberikan kepada kita (dengan cara yang pantas) merupakan hal sebaiknya
kita lakukan guna menjaga diri kita dari makanan haram.
Wallahua'lam
Semoga tulisan yang terpaksa panjang ini ada manfaatnya - Afwan bila
tidak berkenan.
Barokallahu fiikum,
Wassalamu'alaikum warahmatullah,
On 8/24/11 12:46 PM, Joy Rizki PD wrote:
Wassalamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh
Izin menyumbang saran
Pertama
=======
Asal dari semua makanan adalah boleh dan halal
sampai ada dalil yang menyatakan haramnya.
Allah -Ta'ala- berfirman:
"Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu".
(QS. Al-Baqarah: 29)
Ayat ini menunjukkan bahwa segala sesuatu -termasuk makanan-
yang ada di bumi adalah nikmat dari Allah,
maka ini menunjukkan bahwa hukum asalnya adalah halal dan boleh,
karena Allah tidaklah memberikan nikmat kecuali yang halal dan baik.
Dalam ayat yang lain:
"Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya
atasmu,
kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya".
(QS. Al-An'am: 119)
Maka semua makanan yang tidak ada pengharamannya dalam syari'at
berarti adalah halal
[Majmu' Fatawa Ibni Taimiyah (21/535)].
Kedua
=====
Asal makanan kaum muslimin adalah halal,
tanpa perlu kita pertanyakan lagi kehalalannya
kecuali jelas bagi kita adanya zat yang haram
Ketiga
======
Indonesia adalah negara Islam
dengan penduduk muslim terbesar sedunia
dari 228 juta manusia, 86% atau 196 juta adalah muslim
maka hukum asalah makanan mereka adalah halal
Apakah ketika kita diundang makan ketetangga muslim
atau kerumah teman, atau kerumah sepupu jauh
kemudian sebelum memasukan makanan kemulut
kita bertanya:
"Apakah ini makanan halal?"
"Apakah ini sudah diberi label halal MUI?"
"Ini bukan makanan haram kan?"
Insya Allah tidak demikian
karena tentu saja akan memberatkan semua orang
Maka demikian pula
makanan produksi kaum muslimin Indonesia
sebetulnya hukum asalnya haram
kecuali yg jelas halal
Maka saran saya
sebaiknya untuk makanan produk dalam negeri
MUI bukan memberi label Halal
(karena hukum asal makanan muslimin adalah halal)
tetapi MUI memberi labeb Haram
untuk produk2 yg jelas haram
Sedangkan untuk makanan import dari negeri kafir
barulah MUI memberi label Halal bagi yg memang halal
karena umumnya makanan mereka haram
Kepada pertanyaan antum:
Kalau makanan itu produk yg terbungkus rapi
antum bisa cek kandungannya
jika jelas tidak tercantum zat yang haram
maka jelas itu halal
(bagaimana kita bisa mengharamkan makanan
yg jelas tidak mengandung zat haram?)
walaupun MUI tidak (sempat?) melabeli halal
(karena masalah izin, registrasi dll)
Dan makanan halal boleh dimakan, disedekahkan
dihadiahkan dan disumbangkan
Sedangakn yg haram, antum buang saja
jangan diberikan walaupun kepada orang kafir
kecuali kepada binatang, Wallahu'alam
Wassalamu'alaykum warahmatullah
Sumber lain:
(http://www.almanhaj.or.id/content/390/slash/0)
HUKUM MAKAN DAGING YANG TIDAK DIKETAHUI APAKAH DISEMBELIH DENGAN MENYEBUT
NAMA ALLAH ATAUKAH TIDAK ? DAN HUKUM BERGAUL DENGAN ORANG-ORANG KAFIR
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa yang kita lakukan
apabila dihidangkan kepada kita daging untuk dimakan sedangkan kita tidak
tahu apakah disembelih atas nama Allat atau tidak ? Bagaimana pendapat
Syaikh tentang bergaul dengan kaum kafir ?
Jawaban.
Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari yang bersumber dari 'Aisyah Radhiyallahu
'anhu : "Bahwasanya ada suatu kaum yang berkata kepada Nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam sesungguhnya ada satu kelompok manusia yang
datang kepada kami dengan membawa daging, kami tidak tahu apakah
disembelih
atas nama Allah ataukah tidak ? Maka beliau menjawab : "Sebutlah nama
Allah
oleh kamu atasnya dan makanlah". Aisyah menjawab, "Mereka pada saat itu
masih baru meninggalkan kekufuran" [Riwayat Imam Al-Bukhari, Hadits no.
2057]
Maksudnya, mereka baru masuk Islam. Dan orang seperti mereka kadang-kadang
tidak banyak mengetahui hukum-hukum secara rinci yang hanya diketahui oleh
orang-orang yang sudah lama tinggal bersama kaum Muslimin. Namun begitu
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan kepada mereka (para
penanya) agar pekerjaan mereka diselesaikan oleh mereka sendiri, seraya
bersabda : "Sebutlah nama Allah oleh kamu atasnya", yang maksudnya
adalah :
Bacalah bismillah atas makanan itu lalu makanlah.
Adapun apa yang dilakukan oleh orang lain selain anda, dari
orang-orang yang
perbuatannya dianggap sah, maka harus diyakini sah, tidak boleh
dipertanyakan. Sebab mempertanyakannya termasuk sikap berlebihan. Kalau
sekiranya kita mengharuskan diri kita untuk mempertanyakan tentang hal
seperti itu, maka kita telah mempersulit diri kita sendiri, karena adanya
kemungkinan setiap makanan yang diberikan kepada kita itu tidak mubah
(tidak
boleh), padahal siapa saja yang mengajak anda untuk makan, maka boleh jadi
makanan itu adalah hasil ghashab (mengambil tanpa diketahui
pemiliknya) atau
hasil curian, dan boleh jadi berasal dari uang yang haram, dan boleh jadi
daging yang ada di makanan tidak disebutkan nama Allah (waktu disembelih).
Maka termasuk dari rahmat Allah kepada hamba-hambaNya adalah bahwasanya
suatu perbuatan, apabila datangnya dari ahlinya, maka jelas ia
mengerjakannya secara sempurna hingga bersih dari dzimmah (beban) dan
tidak
perlu menimbulkan kesulitan bagi orang lain.
From: assunnah@yahoogroups.com <mailto:assunnah%40yahoogroups.com>
[mailto:assunnah@yahoogroups.com <mailto:assunnah%40yahoogroups.com>] On
Behalf Of abu.tha...@ymail.com <mailto:abu.thariq%40ymail.com>
Sent: Tuesday, 23 August 2011 15:04
To: assunnah@yahoogroups.com <mailto:assunnah%40yahoogroups.com>
Subject: [assunnah] Tanya : Makanan tanpa label halal
Assalamu'alaikum warrahamatullohi wabarokatuh,
Bagaimanakah hukum nya makanan yang tidak ada stempel / label halal dari
MUI ? Apakah boleh di sedekahkan / dihadiahkan / disumbangkan ?
Mohon penjelasannya.
Wassalamu'alaikum warrahmatullohi wabarokatuh
Jazakallahu khair
Abu thariq
--
Iskandar
Development Program Management Consultant
Jalan Salman No.9 Kebon Jeruk,
Jakarta Barat 11530
iskanda...@gmail.com - 0811914065