From: zulfad...@gunnebo.com
Date: Mon, 1 Aug 2011 01:54:59 +0000
Assalamu 'alaykum wa Rahmatullahi wa Barakatuh.
Mohon penjelasan utk pertanyaan berikut.
Jk seorang suami bercerai dgn istrinya atas kemauan istri, maka bagaimanakah 
pembagian harta dengan mantan istrinya? Jika:

4. Jk anak-anak diasuh bersama stlh bercerai, bgmn kah sebaiknya teknis 
pemberian nafkah utk anak agar tdk diselewengkan oleh mantan istri?
5. Sampai umur brp kah kewajiban seorang ayah menafkahi anak-anaknya dr istri 
yg telah dia ceraikan?
Jk memungkinkan mohon disertakan dalil-dalil pendukung sesuai syari'at.
Jazakallahu khair in advance.
Zulfadhli
Bekasi
>>>>>>>

Ibu, adalah yang paling berhak menggenggam hak asuh anak dibandingkan 
pihak-pihak lainnya. Al Imam Muwaffaquddin Ibnu Qudamah mengatakan, jika suami 
isteri mengalami perceraian dengan meninggalkan seorang anak (anak yang masih 
kecil atau anak cacat), maka ibunyalah yang paling berhak menerima hak hadhonah 
(mengasuh) daripada orang lain. Kami tidak mengetahui adanya seorang ulama yang 
berbeda pendapat dalam masalah ini. 

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, bahwasanya ada seorang wanita pernah mendatangi 
Rasulullah mengadukan masalahnya. Wanita itu berkata: 

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ ابْنِي هَذَا كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءً وَثَدْيِي 
لَهُ سِقَاءً وَحِجْرِي لَهُ حِوَاءً وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِي وَأَرَادَ أَنْ 
يَنْتَزِعَهُ مِنِّي

"Wahai Rasulullah. Anakku ini dahulu, akulah yang mengandungnya. Akulah yang 
menyusui dan memangkunya. Dan sesungguhnya ayahnya telah menceraikan aku dan 
ingin mengambilnya dariku". 

Mendengar pengaduan wanita itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun 
menjawab: 

أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي

"Engkau lebih berhak mengasuhnya selama engkau belum menikah". [2]

Hadits ini menunjukkan, bahwa seorang ibu paling berhak mengasuh anaknya ketika 
ia diceraikan oleh suaminya (ayah si anak) dan menginginkan merebut hak 
asuhnya. 
 
KAPAN ANAK MENENTUKAN PILIHAN?
Pada usia yang telah ditentukan syari'at, anak berhak menentukan pilihan untuk 
hidup bersama dengan ibu atau ayahnya. Dalam hal ini harus terpenuhi dua 
syarat. 

Pertama : Ayah dan ibunya harus layak mendapatkan tanggung jawab mengasuh 
anaknya (ahlil hadhonah). Artinya, salah satu faktor yang menghalangi seseorang 
boleh pengasuh anaknya tidak boleh melekat padanya. 

Kedua : Si anak sudah 'aqil (berakal). Jika ia mempunyai cacat, maka ia tetap 
berada di bawah pengawasan ibunya. Pasalnya, karena wanita lebih sayang, lebih 
bertanggung jawab, dan lebih mengetahui kebutuhan-kebutuhan anak. 
 
PERBEDAAN ANTARA ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
Seorang anak laki-laki, ia dihadapkan pada pilihan untuk menentukan. Yaitu, ia 
hidup bersama ayahnya atau ibunya, apabila ia sudah berusia tujuh tahun. Ketika 
telah berusia tujuh tahun, berakal, maka ia memutuskan pilihannya, dan kemudian 
tinggal bersama dengan orang pilihannya, ayah atau ibunya. Demikian ini 
keputusan yang telah diambil oleh Khalifah 'Umar dan 'Ali. 
 
Anak perempuan, saat ia berusia tujuh tahun, hak pengasuhannya beralih ke 
ayahnya, sampai ia menikah. Pasalnya, sang ayah akan lebih baik pemeliharaan 
dan penjagaan terhadapnya. Selain itu, seorang ayah lebih berhak menerima 
wilayah (tanggung jawab) anak perempuan. Namun, bukan berarti ibunya tidak 
boleh menjenguknya. Sang ayah bahkan dilarang menghalang-halangi ibu sang anak 
yang ingin menengoknya itu, kecuali jika menimbul hal-hal yang tidak baik atau 
perbuatan haram. 
 
Selengkapnya silakan baca di HAK PENGASUHAN ANAK DALAM ISLAM 
http://almanhaj.or.id/content/2556/slash/0
 
3). Nafkah Bagi Isteri Yang Dicerai.

Berdasarkan kesepakatan para ulama, perlu diperhatikan beberapa catatan penting 
menyangkut nafkah isteri yang dicerai.[15]

Jika isteri dicerai sebelum terjadinya persetubuhan, maka sang isteri tidak 
berhak mendapat nafkah, karena tidak ada masa iddah baginya, bedasarkan firman 
Allah Azza wa Jalla.

"Hai orang-orang yang beriman apabila kamu menikahi wanita-wanita beriman, 
kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali 
tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta untuk menyempurnakannya". 
[Al Ahzab : 49].

Wajib atas suami memberikan nafkah kepada isteri yang dithalak raj’i [16]. 
Ibnu Abdil Barr berkata,”Tidak ada perselisihan diantara ulama, bahwa wanita 
yang dithalak raj’i berhak mendapat nafkah dari suaminya, baik mereka dalam 
keadaan hamil ataupun tidak; karena mereka masih berstatus sebagai isteri yang 
berhak mendapat nafkah, tempat tinggal serta harta warisan selama mereka dalam 
masa ‘iddah.”

Wanita hamil yang dithalak ba’in [17] ataupun yang suaminya meninggal, wajib 
diberikan nafkah sampai ia melahirkan anaknya, berdasarkan firman Allah Azza wa 
Jalla.

"Dan jika mereka (isteri-isteri yang dicerai itu) sedang hamil, maka berikanlah 
kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan". [Ath Thalaq : 6].[18]

Jadi wanita yang dithalak ba’in dalam keadaan hamil, ia berhak mendapatkan 
nafkah karena sebab kehamilannya tersebut, (bukan karena ‘iddahnya) sampai ia 
melahirkan. 

Dan jika sang isteri menyusui anak suaminya tersebut setelah dicerai, maka ia 
berhak mendapat upah, berlandaskan firman Allah Azza wa Jalla.

"Maka jika mereka menyusukan anak-anakmu untukmu, maka berikanlah mereka 
upahnya, dan musyawarahkanlah segala sesuatudengan baik". [Ath Thalaq : 6]

Sebagaimana dikatakan oleh Imam Adh Dhahak,”Jika sang suami mencerai isterinya, 
dan ia memiliki anak dari isterinya itu, kemudian isterinya tersebut menyusui 
anaknya, maka sang isteri berhak mendapat nafkah dan pakaian dengan cara yang 
ma’ruf.”[19]

Adapun jika sang isteri tidak sedang hamil (ketika dithalak ba’in), maka ia 
tidak berhak mendapat nafkah dari suaminya. 

Berdasarkan hadits dari Fatimah binti Qais, ketika ia diceraikan suaminya. 
Kemudian ketika ia meminta nafkah, suaminya menolak memberinya. Akhirnya ia 
meminta fatwa kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang hal ini. Maka 
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

لَيْسَ لَكِ عَلَيْهِ نَفَقَةٌ وَ لاَ سَكَنَى

"Tidak ada lagi kewajiban atas suamimu untuk memberimu nafkah dan tempat 
tinggal". [20] 
 
Selengkapnya silakan baca NAFKAH UNTUK SANG ISTERI 
http://almanhaj.or.id/content/2628/slash/0
Wallahu 'alam





                                          

Reply via email to