HARI ASYURA 10 MUHARRAM ANTARA SUNNAH DAN BID’AH *
Oleh
Ustadz Aris Munandar bin S.Ahmadi
http://almanhaj.or.id/content/2034/slash/0

SEJARAH DAN KEUTAMAAN PUASA ASYURA
Sesungguhnya hari Asyura (10 Muharram) meski merupkan hari bersejarah dan 
diagungkan, namun orang tidak boleh berbuat bid'ah di dalamnya. Adapun yang 
dituntunkan syariat kepada kita pada hari itu hanyalah berpuasa, dengan dijaga 
agar jangan sampai tasyabbuh dengan orang Yahudi.

أَنَّ عَائِشَةَ رَضِي الهُِ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ 
قُرَيْشٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ رَسُولُ الهِن صَلَّى الهَُ عَلَيْهِ 
وَسَلَّمَ يَصُومُهُ فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ …

"Orang-orang Quraisy biasa berpuasa pada hari asyura di masa jahiliyyah, 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melakukannya pada masa jahiliyyah. 
Tatkala beliau sampai di Madinah beliau berpuasa pada hari itu dan 
memerintahkan umatnya untuk berpuasa." [1]

قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى الهُم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى 
الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا هَذَا يَوْمٌ 
صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى الهُل بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ 
مُوسَى شُكْرًا قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ نَحْنُ نَصُوْمُهُ 
تَعْظِيْمًا لَهُ 

"Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, kemudian beliau melihat 
orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Beliau bertanya :"Apa ini?" 
Mereka menjawab :"Sebuah hari yang baik, ini adalah hari dimana Allah 
menyelamatkan bani Israil dari musuh mereka, maka Musa berpuasa pada hari itu 
sebagai wujud syukur. Maka beliau Rasulullah menjawab :"Aku lebih berhak 
terhadap Musa daripada kalian (Yahudi), maka kami akan berpuasa pada hari itu 
sebagai bentuk pengagungan kami terhadap hari itu." [2]

Dua hadits ini menunjukkan bahwa suku Quraisy berpuasa pada hari Asyura di masa 
jahiliyah, dan sebelum hijrahpun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah 
melakukannya. Kemudian sewaktu tiba di Madinah, beliau temukan orang-orang 
Yahudi berpuasa pada hari itu, maka Nabi-pun berpuasa dan mendorong umatnya 
untuk berpuasa.

Diriwayatkan pada hadits lain.

وَهَذَا يَوْمُ اسْتَوَتْ فِيهِ السَّفِينَةُ عَلَى الْجُودِيِّ فَصَامَهُ نُوحٌ 
شُكْرًا لِلَّهِ تَعَالَى 

“Ia adalah hari mendaratnya kapal Nuh di atas gunung “Judi” lalu Nuh berpuasa 
pada hari itu sebagai wujud rasa syukur”[3]

عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِي الهُل عَنْهُ قَالَ كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ يَوْمًا 
تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَتَتَّخِذُهُ عِيدًا فَقَالَ رَسُولُ الهِ صَلَّى الهُه 
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوهُ أَنْتُمْ 

“Abu Musa berkata : “Asyura adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan 
mereka menjadikannya sebagai hari raya, maka Rasulllah Shallahu ‘alaihi wa 
sallam bersabda : “Puasalah kalian pada hari itu” [4]

وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ 
الْمَاضِيَةَ 

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa di hari Asyura, 
maka beliau menjawab : “Puasa itu bisa menghapuskan (dosa-dosa kecil) pada 
tahun kemarin” [5]

CARA BERPUASA DI HARI ASYURA
1. Berpuasa selama 3 hari tanggal 9, 10, dan 11 Muharram
Berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam 
Ahmad dengan lafadz sebagaimana telah disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam 
al-Huda dan al-Majd Ibnu Taimiyyah dalam al-Muntaqa 2/2:

خَالِفُوا الْيَهُودَ وَصُومُوا يَوْمًا قَبْلَهُ وَ يَوْمًا بَعْدَهُ 

"Selisihilah orang Yahudi dan berpuasalah sehari sebelum dan setelahnya."

Dan pada riwayat ath-Thahawi menurut penuturan pengarang Al-Urf asy-Syadzi:

صُومُوهُ وَصُومُوا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا وَ لاَ تُشَبِّهُوَا 
بِالْيَهُوْدِ

"Puasalah pada hari Asyura dan berpuasalah sehari sebelum dan setelahnya dan 
janganlah kalian menyerupai orang Yahudi."

Namun di dalam sanadnya ada rawi yang diperbincangkan. Ibnul Qayyim berkata 
(dalam Zaadud Ma'al 2/76):"Ini adalah derajat yang paling sempurna." Syaikh 
Abdul Haq ad-Dahlawi mengatakan:"Inilah yang Utama."

Ibnu Hajar di dalam Fathul Baari 4/246 juga mengisyaratkan keutamaan cara ini. 
Dan termasuk yang memilih pendapat puasa tiga hari tersebut (9, 10 dan 11 
Muharram) adalah Asy-Syaukani (Nailul Authar 4/245) dan Syaikh Muhamad Yusuf 
Al-Banury dalam Ma’arifus Sunan 5/434

Namun mayoritas ulama yang memilih cara seperti ini adalah dimaksudkan untuk 
lebih hati-hati. Ibnul Qudamah di dalam Al-Mughni 3/174 menukil pendapat Imam 
Ahmad yang memilih cara seperti ini (selama tiga hari) pada saat timbul 
kerancuan dalam menentukan awal bulan.

2. Berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram
Mayoritas hadits menunjukkan cara ini:

صَامَ رَسُولُ الهِع صَلَّى الهُت عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ 
بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ الهِس إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ 
وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ الهَِ صَلَّى الهُم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا 
كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ 
قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ الهَِ صَلَّى 
الهَُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari Asyura dan 
memerintahkan berpuasa. Para shahabat berkata:"Ya Rasulullah, sesungguhnya hari 
itu diagungkan oleh Yahudi." Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
bersabda: "Di tahun depan insya Allah kita akan berpuasa pada tanggal 9.", 
tetapi sebelum datang tahun depan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
telah wafat."[6]

Dalam riwayat lain : 

لَئِنْ بَقِيتُ إِلَى قَابِلٍ لأَصُومَنَّ التَّاسِعَ 

"Jika aku masih hidup pada tahun depan, sungguh aku akan melaksanakan puasa 
pada hari kesembilan."[7].

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata (Fathul Baari 4/245) :"Keinginan beliau untuk 
berpuasa pada tanggal sembilan mengandung kemungkinan bahwa beliau tidak hanya 
berpuasa pada tanggal sembilan saja, namun juga ditambahkan pada hari 
kesepuluh. Kemungkinan dimaksudkan untuk berhati-hati dan mungkin juga untuk 
menyelisihi kaum Yahudi dan Nashara, kemungkinan kedua inilah yang lebih kuat, 
yang itu ditunjukkan sebagian riwayat Muslim”

عَنْ عَطَاء أَنَّهُ سَمِعَ ابْنِ عَبَاسٍ يَقُوْلُ: وَخَالِفُوا الْيَهُودَ 
صُومُوا التَّاسِعَ وَ الْعَاشِرَ 

"Dari 'Atha', dia mendengar Ibnu Abbas berkata:"Selisihilan Yahudi, berpuasalah 
pada tanggal 9 dan 10”.

3. Berpuasa Dua Hari yaitu tanggal 9 dan 10 atau 10 dan 11 Muharram

صُومُوا يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَخَالِفُوا الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا 
أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا

"Berpuasalah pada hari Asyura dan selisihilah orang Yahudi, puasalah sehari 
sebelumnya atau sehari setelahnya”

Hadits marfu' ini tidak shahih karena ada 3 illat (cacat):
-. Ibnu Abi Laila, lemah karena hafalannya buruk.
-. Dawud bin Ali bin Abdullah bin Abbas, bukan hujjah
-. Perawi sanad hadits tersebut secara mauquf lebih tsiqah dan lebih hafal 
daripada perawi jalan/sanad marfu'

Jadi hadits di atas Shahih secara mauquf sebagaimana dalam as-Sunan 
al-Ma'tsurah karya As-Syafi'i no 338 dan Ibnu Jarir ath-Thabari dalam Tahdzibul 
Atsar 1/218.

Ibnu Rajab berkata (Lathaiful Ma'arif hal 49):"Dalam sebagian riwayat 
disebutkan atau sesudahnya maka kata atau di sini mungkin karena keraguan dari 
perawi atau memang menunjukkan kebolehan…."

Al-Hafidz berkata (Fathul Baari 4/245-246):"Dan ini adalahl akhir perkara 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dahulu beliau Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam suka menyocoki ahli kitab dalam hal yang tidak ada perintah, lebih-lebih 
bila hal itu menyelisihi orang-orang musyrik. Maka setelah Fathu Makkah dan 
Islam menjadi termahsyur, beliau suka menyelisihi ahli kitab sebagaimana dalam 
hadits shahih. Maka ini (masalah puasa Asyura) termasuk dalam hal itu. Maka 
pertama kali beliau menyocoki ahli kitab dan berkata :"Kami lebih berhak atas 
Musa daripada kalian (Yahudi).", kemudian beliau menyukai menyelisihi ahli 
kitab, maka beliau menambah sehari sebelum atau sesudahnya untuk menyelisihi 
ahli kitab."

Ar-Rafi'i berkata (at-Talhish al-Habir 2/213) :"Berdasarkan ini, seandainya 
tidak berpuasa pada tanggal 9 maka dianjurkan untuk berpuasa pada tanggal 11"

4. Berpuasa pada 10 Muharram saja
Al-Hafidz berkata (Fathul Baari 4/246) :"Puasa Asyura mempunyai 3 tingkatan, 
yang terendah berpuasa sehari saja, tingkatan diatasnya ditambah puasa pada 
tanggal 9, dan tingkatan diatasnya ditambah puasa pada tanggal 9 dan 11. 
Wallahu a'lam."

BID’AH-BID’AH DI HARI ASYURA
1. Shalat dan dzikir-dzikir khusus, sholat ini disebut dengan sholat Asyura 
2. Mandi, bercelak, memakai minyak rambut, mewarnai kuku, dan menyemir rambut. 
3. Membuat makanan khusus yang tidak seperti biasanya. 
4. Membakar kemenyan. 
5. Bersusah-susah dalam kehausan dan menampakkan kesusahannya itu. 
6. Doa awal dan akhir tahun yang dibaca pada malam akhir tahun dan awal tahun 
(Sebagaimana termaktub dalam Majmu' Syarif) 
7. Menentukan berinfaq dan memberi makan orang-orang miskin 
8. Memberi uang belanja lebih kepada keluarga. 
9. As-Subki berkata (ad-Din al-Khalish 8/417):"Adapun pernyataan sebagian orang 
yang menganjurkan setelah mandi hari ini (10 Muharram) untuk ziarah kepada 
orang alim, menengok orang sakit, mengusap kepala anak yatim, memotong kuku, 
membaca al-Fatihah seribu kali dan bersilaturahmi maka tidak ada dalil yg 
menunjukkan keutamaan amal-amal itu jika dikerjakan pada hari Asyura. Yang 
benar amalan-amalan ini diperintahkan oleh syariat di setiap saat, adapun 
mengkhususkan di hari ini (10 Muharram) maka hukumnya adalah bid'ah."

Ibnu Rajab berkata (Latha’iful Ma’arif hal. 53) : “Hadits anjuran memberikan 
uang belanja lebih dari hari-hari biasa, diriwayatkan dari banyak jalan namun 
tidak ada satupun yang shahih. Di antara ulama yang mengatakan demikian adalah 
Muhammad bin Abdullah bin Al-Hakam Al-Uqaili berkata :”(Hadits itu tidak 
dikenal)”. Adapun mengadakan ma’tam (kumpulan orang dalam kesusahan, semacam 
haul) sebagaimana dilakukan oleh Rafidhah dalam rangka mengenang kematian 
Husain bin Ali Radhiyallahu ‘anhu maka itu adalah perbuatan orang-orang yang 
tersesat di dunia sedangkan ia menyangka telah berbuat kebaikan. Allah dan 
RasulNya tidak pernah memerintahkan mengadakan ma’tam pada hari lahir atau 
wafat para nabi maka bagaimanakah dengan manusia/orang selain mereka”

Pada saat menerangkan kaidah-kaidah untuk mengenal hadits palsu, Al-Hafidz Ibnu 
Qayyim (al-Manar al-Munif hal. 113 secara ringkas) berkata : “Hadits-hadits 
tentang bercelak pada hari Asyura, berhias, bersenang-senang, berpesta dan 
sholat di hari ini dan fadhilah-fadhilah lain tidak ada satupun yang shahih, 
tidak satupun keterangan yang kuat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
selain hadits puasa. Adapun selainnya adalah bathil seperti.

مَنْ وَ سَّعَ عَلَى عِيَالِهِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ 
سَائِرَ سَنَتِهِ 

“Barangsiapa memberi kelonggaran pada keluarganya pada hari Asyura, niscaya 
Allah akan memberikan kelonggaran kepadanya sepanjang tahun”.

Imam Ahmad berkata : “Hadits ini tidak sah/bathil”. Adapun hadits-hadits 
bercelak, memakai minyak rambut dan memakai wangi-wangian, itu dibuat-buat oleh 
tukang dusta. Kemudian golongan lain membalas dengan menjadikan hari Asyura 
sebagai hari kesedihan dan kesusahan. Dua goloangan ini adalah ahli bid’ah yang 
menyimpang dari As-Sunnah. Sedangkan Ahlus Sunnah melaksanakan puasa pada hari 
itu yang diperintahkan oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi 
bid’ah-bid’ah yang diperintahkan oleh syaithan”.

Adapun shalat Asyura maka haditsnya bathil. As-Suyuthi dalam Al-Lali 2/29 
berkata : “Maudhu’ (hadits palsu)”. Ucapan beliau ini diambil Asy-Syaukani 
dalam Al-Fawaid Al-Majmu’ah hal.47. Hal senada juga diucapkan oleh Al-Iraqi 
dalam Tanzihus Syari’ah 2/89 dan Ibnul Jauzi dalam Al-Maudlu’ah 2/122

Ibnu Rajab berkata (Latha’ful Ma’arif) : “Setiap riwayat yang menerangkan 
keutamaan bercelak, pacar, kutek dan mandi pada hari Asyura adalah maudlu 
(palsu) tidak sah. Contohnya hadits yang dikatakan dari Abu Hurairah 
Radhiyallahu ‘anhu secara marfu.

غْتَسَلَ وَ تَطَهَّرَ فِي يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ لَمْ يَمْرَضْ فِي سَنَتِهِ إِلاَّ 
مَرَضَ الْمَوْتِ

“Barangsiapa mandi dan bersuci pada hari Asyura maka tidak akan sakit di tahun 
itu kecuali sakit yang menyebabkan kematian”.

Hadits ini adalah buatan para pembunuh Husain.
Adapun hadits,

ِمَنِ اكْتَحَلَ بِالإِثْمِدِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ لَمْ تَرْمِدْ عَيْنُهُ أَبَدًا

“Barangsiapa bercelak dengan batu ismid di hari Asyura maka matanya tidak akan 
pernah sakit selamanya”

Maka ulama seperti Ibnu Rajab, Az-Zakarsyi dan As-Sakhawi menilainya sebagai 
hadits maudlu (palsu).

Hadits ini diriwayatkan Ibnul Jauzi dalam Maudlu’at 2/204. Baihaqi dalam 
Syu’abul Iman 7/379 dan Fadhail Auqat 246 dan Al-Hakim sebagaimana dinukil 
As-Suyuthi dalam Al-Lali 2/111. Al-Hakim berkata : “Bercelak di hari Asyura 
tidak ada satu pun atsar/hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan 
hal ini adalah bid’ah yang dibuat oleh para pembunuh Husain Radhiyallahu ‘anhu.

Demikianlah sedikit pembahasan tentang hari Asyura. Semoga kita bisa 
meninggalkan bid’ah-bid’ahnya. Amin

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun V/1421H/2001M. Diterbitkan 
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton 
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296] 
_______
Footnote
[*]. Diolah oleh Aris Munandar bin S Ahmadi, dari kitab Rad’ul Anam Min 
Muhdatsati Asyiril Muharram Al-Haram, karya Abu Thayib Muhammad Athaullah 
Hanif, tahqiq Abu Saif Ahmad Abu Ali
[1]. Hadits Shahih Riwayat Bukhari 3/454, 4/102-244, 7/147, 8/177,178, Ahmad 
6/29, 30, 50, 162, Muslim 2/792, Tirmidzi 753, Abu Daud 2442, Ibnu Majah 1733, 
Nasa’i dalam Al-Kubra 2/319,320, Al-Humaidi 200, Al-Baihaqi 4/288, Abdurrazaq 
4/289, Ad-Darimy 1770, Ath-Thohawi 2/74 dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya 5/253
[2]. Hadits Shahih Riwayat Bukhari 4/244, 6/429, 7/274, Muslim 2/795, Abu Daud 
2444, Nasa’i dalam Al-Kubra 2/318, 319, Ahmad 1/291, 310, Abdurrazaq 4/288, 
Ibnu Majah 1734, Baihaqi 4/286, Al-Humaidi 515, Ath-Thoyalisi 928
[3]. Hadits Riwayat Ahmad 2/359-360 dengan jalan dari Abdusshomad bin Habib 
Al-Azdi dari bapaknya dari Syumail dari Abu Hurairah, Abdusshomad dan bapaknya 
keduanya Dha’if.
[4]. Hadits Shahih Riwayat Bukahri 4/244, 7/274, Muslim 2/796, Nasa’i dalam 
Al-Kubra 2/322 dan Al-Baihaqi 4/289
[5]. Hadits Shahih Riwayat Muslim 2/818-819, Abu Daud 2425, Ahmad 5/297, 308, 
311, Baihaqi 4.286, 300 Abdurrazaq 4/284, 285
[6]. Hadits Shahih Riwayat Muslim 2/796, Abu Daud 2445, Thabary dalam Tahdzibul 
Atsar 1/24, Baihaqi dalam Al-Kubra 4/287 dan As-Shugra 2/119 serta Syu’abul 
Iman 3506 dan Thabrabi dalam Al-Kabir 10/391
[7]. Hadits Shahih Muslim 2/798, Ibnu Majah 736, Ahmad 1/224, 236, 345, Baihaqi 
4/287, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushanafnya 3/58, Thabrani dalam Al-Kabir 10/401, 
Thahawi 2/77 dan lain-lain
[8]. Abdurrazaq 4/287, Thahawi dalam Syarh Ma’anil Atsar 2/78, Baihaqi dalam 
Sunan Kubra 4/287 dan dalam Syu’abul Iman 3509 dari jalan Ibnu Juraij, Atha 
telah mengabariku …. Sanadnya shahih. Ada juga muttabi dalam riwayat Qasim 
Al-Bhagawi dalam Al-Hadits Ali Ibnil Ja’di 2/886 dengan sanad shahih
[9]. Hadits Dhaif, riwayat Ahmad 1/241, Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya 2095, 
Thahawi 2/78, Bazar 1052 dalam Kasyfil Atsar, Baihaqi 4/278, Thobary dalam 
Tahdzibul Atsar 1/215, Ibnu Adi dalam Al-Kamil 3/88                             
          

Kirim email ke