BERHAJI DARI TALANGAN BANK
Oleh
Ustadz DR Muhammad Arifin Badri MA
http://almanhaj.or.id/content/3167/slash/0

PENDAHULUAN
Alhamdulillah , shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi 
Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Kiblat yang bermuara di Baitullah atau Ka’bah adalah arah-arah Anda setiap kali 
mendirikan shalat. Tentu arah ini memiliki arti tersendiri dalam hidup Anda. 
Dan sudah barang tentu hati Anda selalu merindukan untuk memiliki kesempatan 
beribadah kepada Allah langsung di hadapan Ka’bah. Wajar bila pertama kali Anda 
berkesempatan untuk beribadah kepada Allah langsung di hadapan Ka’bah, Anda tak 
kuasa menahan luapan rasa bahagia. Hati Anda berbunga-bunga, dan pikiran Anda 
terharu dan air matapun mengalir bercucuran. Betapa tidak, arah yang selama ini 
Anda agungkan ternyata bermuara pada bangunan sederhana, yaitu Ka’bah. Bangunan 
yang tersusun dari bebatuan hitam, yang sudah barang tentu tidak kuasa memberi 
Anda apapun.

Kesederhanaan Ka’bah menjadikan Anda menyadari bahwa selama ini ternyata Anda 
tidaklah menyembah bangunan Ka’bah. Selama ini sejatinya Anda sedang 
mengagungkan Tuhan Ka’bah, Pencipta dan Penguasa dunia beserta isinya.

فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَٰذَا الْبَيْتِالَّذِي أَطْعَمَهُم مِّن جُوعٍ وَآمَنَهُم 
مِّنْ خَوْفٍ 

“Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka’bah). Yang telah 
memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka 
dari ketakutan” [Al-Quraisy : 34]

Walau demikian, mata Anda tak akan pernah puas memandang Ka’bah, dan kerinduan 
akan selalu melekat dalam hati Anda untuk terus berkunjung dan beribadah di 
dekatnya.

Saudaraku! Fenomena yang Anda rasakan bersama Ka’bah ini sejatinya adalah efek 
langsung dari kobaran iman Anda kepada Allah Ta’ala. Anda menyadari bahwa 
Allah-lah yang memerintahkan Anda untuk meghadapkan wajah ke arahnya, karenanya 
Anda selalu rindu kepadanya.

Begitu kuat kerinduan Anda kepada Ka’bah hingga menjadikan Anda berusaha sekuat 
tenaga untuk dapat mengobati kerinduan Anda walau hanya sesaat atau minimal 
sekali seumur hidup Anda. Sedikit demi sedikit Anda menyisihkan dari hasil 
kucuran keringat Anda, agar dikemudian hari Anda berkesempatan menikmati 
kesejukan beribadah di sisi Baitullah Ka’bah. Bahkan mungkin Anda rela menjual 
berbagai aset Anda, atau bahkan berhutang agar dapat mewujudkan impian Anda ini.

BERHAJI DARI HASIL BERHUTANG
Kerinduan Anda kepada Ka’bah’ menjadikan banyak orang memutar otak dan mencari 
berbagai terobosan guna mewujudkannya. Dan diantara terobosan yang sekarang 
banyak ditawarkan ialah dengan mengikuti program arisan atau menggunakan dana 
talangan haji. Bagi banyak kalangan, program ini terasa bak hembusan angin 
surga yang mengobati kerinduan hatinya. Akibatnya, banyak dari mereka terbuai 
dan langsung menerimanya tanpa berpikir lebih dalam tentang hukum dan resikonya.

Andai mereka sedikit meluangkan waktu dan pikiranya guna menimbang-nimbang 
program ini, nisacaya mereka mewaspadainya, program-program semacam ini, walau 
pada awalnya terasa empuk, namun pada akhirnya terasa berat dan menyusahkan. 
Terlebih-lebih bila program dana talangan haji ditinjau dari hukum syar’inya.

Dana talangan haji yang sekarang sedang marak diterapkan di berbagai lembaga 
keuangan, adalah salah satu bentuk rekayasa melanggar hukum Allah Ta’ala. 
Praktek yang sekarang sedang menjamur di masyarakat ini sekilas berupa akad 
qardh (piutang) dan ijarah (sewa menyewa jasa). Dan tidak diragukan bahwa kedua 
akad ini bila dilakukan secara terpisah adalah halal.

Walau demikian, ketika kedua akad ini dilakukan secara bersamaan dan saling 
terkait, muncullah masalah besar. Yang demikian itu karena beberapa alasan :

1. Larangan Nabi

رواه أبو داود والترمذي لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ 

“Tidak halal menggabungkan antara piutang dengan akad jual-beli” [HR Abu Dawud 
3506 dan At-Tirmidzy 1234]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :”Pada hadits ini Nabi Shallallahu alaihi 
wa sallam melarang penggabungan antara piutang dengan jual beli. Dengan 
demikian bila Anda menggabungkan antara akad piutang dengan akad sewa-menyewa 
berarti Anda telah menggabungkan antara akad piutang dengan akad jual-beli atau 
akad yang serupa dengannya. Dengan demikian, setiap akad sosial semisal hibah 
pinjam-meminjam, hibah buah-buahan yang masih di atas pohonnya, diskon pada 
akan penggarapan ladang atau sawah, dan lainnya semakna dengan akad hutang 
piutang, yaitu tidak boleh digabungkan dengan akad jual-beli dan sewa-menyewa” 
[Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/62]

2. Riba Terselubung
Secara lahir kreditur tidak memungut tambahan atau riba atau bunga dari 
piutangnya, namun secara tidak langsung ia telah mendapatkannya, yaitu dari 
uang sewa yang ia pungut. Anda pasti menyadari bahwa sewa menyewa (jual jasa 
pengurusan administrasi haji) yang dilakukan oleh lembaga keuangan terkait 
langsung dengan akad hutang piutang. Biasanya, yang telah memiliki dana sendiri 
untuk biaya hajinya, tidak akan menggunakan layanan “dana talangan haji” ini. 
Dengan demikian, adanya talangan dana haji ini, menjadikan lembaga keuangan 
terkait dapat memasarkan jasanya dan pasti mendapatkan keuntungan dari 
jual-beli jasa tersebut.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan hal ini dengan berkata : “Kesimpulan 
dari hadits ini menegaskan bahwa : Tidak dibenarkan menggabungkan antara akad 
komersial dengan akad sosial. Yang demikian itu karena keduanya menjalin akad 
sosial disebabkan adanya akad komersial antara mereka. Dengan demikian akad 
sosial itu tidak sepenuhnya sosial. Namun akad sosial secara tidak langsung 
menjadi bagian dari nilai transaksi dalam akad komersial. 

Dengan demikian orang yang menghutangkan uang sebesar seribu dirham kepada 
orang lain, dan pada waktu yang sama kreditur tidak rela memberi piutang 
kecuali bila debitur membeli barangnya dengan harga mahal. Sebagaimana pembeli 
tidaklah rela membeli dengan harga mahal melainkan karena ia mendapatkan 
piutang dari penjual” [Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/63]

3. Memberatkan Masyarakat
Sistem setoran haji yang diterapkan oleh Departemen Agama dengan online, 
sehingga dapat dilakukan kapan saja, telah mendatangkan masalah besar. 
Masyarakat berlomba-lomba untuk melakukan pembayaran secepat mungkin, guna 
mendapatkan kepastian jadwal keberangkatan. Akibatnya , banyak dari mereka yang 
sejatinya belum mampu menempuh segala macam cara, karena khawatir kelak harus 
menanti lama. Banyak dari mereka yang memaksakan diri dengan cara menggunakan 
sistem dana talangan haji atau arisan.

Adanya praktek memaksakan diri ini tidak diragukan membebani masyarakat. 
Terlebih-lebih menjadikan agama Islam yang pada awalnya terasa mudah, sekarang 
menjadi terasa sulit nan berat. Untuk dapat berhaji harus menanti sekian lama, 
dan selama penantian banyak dari mereka yang harus tersiksa dengan cicilan 
piutang. Bahkan sepulang menunaikan ibadah hajipun, sering kali masih 
menanggung beban cicilan biaya perjalan hajinya.

Sudah barang tentu melaksanakan ibadah dengan cara memaksakan diri semacam ini 
tentu tidak selaras dengan syariat Islam.

“Wahai umat manusia, hendaknya kalian mengerjakan amalan yang kuasa kalian 
kerjakan, karena sejatinya Allah tidak pernah merasa bosan (diibadahi) walaupun 
kalian sudah merasakannya. Dan sesungguhnya amalan yang paling dicintai Allah 
ialah amalan yang dilakukan secara terus menerus, walaupun hanya sedikit” [HR 
Bukhari 1100 dan Muslim 785]

Dalam riwayat lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan pesan ini 
ketika mendengar cerita bahwa Khaula’ binti Tuwait senantiasa shalat malam dan 
tidak pernah tidur.

Dan dalam urusan haji Allah Ta’ala berfirman.

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang 
yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah” [Ali-Imran : 97]

PENUTUP
Semoga paparan singkat ini menjadi pelajaran bagi Anda untuk semakin bertambah 
yakin bahwa Islam adalah agama yang mudah dan tidak rela bila umatnya sengsara 
atau ditimpa kesusahan. Dengan demikian Anda dapat bersikap proposional dan 
terhindar dari hal-hal yang kurang selaras dengan syariat Islam, walau sekilas 
terasa empuk. Wallahu ‘alam bisshawab.


[Ustadz DR Muhammad Arifin Badri, MA, Alumnus Doktoral Universitas Islam 
Madinah, lulus dengan predikat summa cum laude, Pembina Komunitas Pengusaha 
Muslim Indonesia. Disalin dari Majalah Pengusaha Muslim Edisi 21 Volume 
2/Oktober 2011]                                      

Kirim email ke