SUDAHKAH KITA BERTAQWA?
Segala puji bagi Allah, Dzat yang paling berhak untuk kita takuti dan tempat
kita memohon ampunan. Salawat dan keselamatan semoga terus tercurah kepada
teladan terbaik, seorang hamba yang telah diampuni dosa-dosanya namun
senantiasa beristighfar dan bertaubat kepada-Nya minimal tujuh puluh kali
setiap harinya, semoga keselamatan juga terlimpah kepada para sahabatnya, dan
segenap pengikut setia mereka. Amma ba’du.
Taqwa merupakan sebab keberuntungan. Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Bertaqwalah kalian kepada Allah, mudah-mudahan kalian beruntung.” 
(QS. al-Baqarah: 189 lihat juga QS. Ali Imran: 130 dan 200).
Ini artinya, barangsiapa yang tidak bertaqwa kepada Allah maka dia tidak
menempuh jalan yang akan mengantarkan dirinya menuju keberuntungan (lihat Taisir
al-Karim ar-Rahman, hal. 88).
Hal ini -keberuntungan bagi orang yang bertaqwa- adalah sesuatu yang sangat
wajar dan mudah dipahami, karena orang yang bertaqwa akan mendapatkan
pertolongan dan pembelaan dari Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman (yang 
artinya), “Sesungguhnya Allah senantiasa bersama dengan
orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang suka berbuat ihsan/kebaikan.” 
(QS. an-Nahl: 128). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Bertaqwalah
kepada Allah, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah akan senantiasa bersama
dengan orang-orang yang bertaqwa.” (QS. al-Baqarah: 194). Yang
dimaksud dengan kebersamaan Allah di sini adalah pertolongan dan pembelaan
serta taufik dari-Nya, sebuah kebersamaan yang khusus bagi para rasul dan
pengikut setia mereka (lihat Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyah oleh 
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, hal. 38, lihat juga Taisir
al-Karim ar-Rahman, hal. 90)
Orang paling faqih/paham agama dalam pandangan ulama salaf adalah orang yang
paling bertaqwa. Suatu ketika, Sa’ad bin Ibrahim rahimahullah ditanya
mengenai siapakah orang yang paling faqih di antara penduduk Madinah? Maka
beliau menjawab, “Yaitu orang yang paling bertaqwa di antara mereka.” 
Sebagaimana dinukil oleh Ibnul Qayim dalam Miftah Dar as-Sa’adah (lihat Ta’liqat
Risalah Lathifah oleh Abul Harits at-Ta’muri, hal. 44). Lalu apakah
pengertian taqwa? Thalq bin Habib rahimahullah mengatakan, “Taqwa
adalah kamu mengerjakan ketaatan kepada Allah dengan bimbingan cahaya dari
Allah dengan mengharap pahala dari Allah, dan kamu meninggalkan kemaksiatan
kepada Allah dengan bimbingan cahaya dari Allah disertai rasa takut akan
siksaan dari Allah.” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [6/222])
Namun, mewujudkan ketaqwaan tak semudah mengucapkannya. Karena ia
membutuhkan ketekunan dan kesabaran serta ketelitian dalam mengoreksi diri dan
berjuang untuk memperbaikinya. Sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama, 
“Tidaklah
seseorang itu bisa menjadi orang yang bertaqwa sampai dia menjadi orang yang 
sangat
perhitungan terhadap dirinya sendiri melebihi ketelitian seorang pengusaha
terhadap rekan usahanya, dan juga sampai dia bisa mengetahui darimanakah
pakaiannya (halal atau haram), tempat makan dan minumnya.” (lihat Ma’alim
fi Thariq Thalab al-’Ilm, oleh Syaikh Abdul Aziz as-Sad-han hafizhahullah,
hal. 117).
Oleh sebab itu juga, tidak semestinya seorang larut dengan pujian yang
dialamatkan orang lain kepada dirinya. Sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian
ulama, “Orang yang berakal adalah yang mengenali jati dirinya sendiri dan
tidak tertipu oleh pujian orang-orang yang tidak mengerti seluk-beluk
-kekurangan- dirinya.” (lihat Ma’alim fi Thariq Thalab al-’Ilm, hal.
118). Perhatikanlah apa yang diucapkan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq 
radhiyallahu’anhu tatkala mendengar orang-orang memuji-muji dirinya. Beliau 
justru berdoa, “Ya
Allah, sesungguhnya Engkau lebih mengetahui diriku daripada aku sendiri, dan
aku lebih mengetahui diriku daripada mereka, maka ya Allah jadikanlah aku lebih
baik daripada apa yang mereka sangka, dan jangan Engkau hukum aku gara-gara
ucapan mereka, dan dengan rahmat-Mu maka ampunilah keburukan yang tidak mereka
ketahui -pada diriku-.” (lihat Ma’alim fi Thariq Thalab al-’Ilm,
hal. 119).
Salah satu cara untuk mengoreksi diri adalah dengan mengambil pelajaran dari
kesalahan-kesalahan yang menimpa orang lain, yaitu dengan mencari tahu
sebab-sebab yang mengantarkan mereka terjatuh ke dalam kesalahan tersebut
(lihat Ma’alim fi Thariq Thalab al-’Ilm, hal. 120). Sehingga, orang yang
berbahagia adalah yang bisa memetik pelajaran dari kejadian yang menimpa orang
lain, bukan justru dia sendiri yang menjadi bahan pelajaran bagi orang-orang di
sekelilingnya akibat kekeliruan yang dilakukannya. Ibnu Mas’ud 
radhiyallahu’anhu berkata, “Sesungguhnya orang yang berbahagia itu adalah yang 
bisa memetik
nasehat dari kejadian yang menimpa orang lain.” (al-Fawa’id, hal.
140)
Salah seorang pembesar tabi’in serta tokoh ahli ibadah bernama Mutharrif bin
Abdullah bin asy-Syikhkhir rahimahullah berdoa kepada Allah, “Ya
Allah, aku berlindung kepada-Mu agar jangan sampai ada orang lain yang lebih
berbahagia dengan ilmu yang Kau ajarkan kepadaku daripada diriku sendiri, dan
aku berlindung kepada-Mu agar jangan sampai aku menjadi bahan pelajaran bagi
orang selain diriku.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengomentari 
doa ini, “Ini adalah termasuk doa yang paling bagus.” (lihat Tsamrat al-’Ilmi 
al-’Amalu oleh Syaikh Prof. Abdurrazzaq bin
Abdul Muhsin al-Abbad al-Badr hafizhahullah, hal. 20)
Dari sini, kita bisa mengetahui betapa besar peran muhasabah/introspeksi
diri dalam mewujudkan ketaqwaan di dalam diri kita. Tidak mengherankan jika
Allah ta’ala menyebutkan kedua perkara ini secara beriringan untuk
mengingatkan kita tentang keterkaitan yang erat antara keduanya. Allah ta’ala 
berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah
kepada Allah, dan hendaknya setiap diri memperhatikan apa yang sudah dia
persiapkan untuk menyambut hari esok (hari kiamat). Dan bertaqwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha teliti terhadap segala amalan yang kalian
kerjakan.” (QS. al-Hasyr: 18)
Sementara, kita semua tahu bahwasanya pada hari kiamat kelak banyaknya harta
dan keturunan tidak akan memberikan manfaat sama sekali, kecuali bagi
orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat dari gelapnya syubhat
dan kotornya syahwat. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada 
hari itu -hari kiamat- tidak bermanfaat harta dan keturunan kecuali bagi orang
yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. asy-Syu’ara’: 88-89).
Maka ketaqwaan yang hakiki adalah ketaqwaan yang berakar dari dalam lubuk hati,
bukan sekedar ucapan yang indah dan penampilan yang mengagumkan. Ibnul Qayyim 
rahimahullah berkata, “Ketaqwaan yang hakiki adalah ketaqwaan dari dalam hati 
bukan
semata-mata ketaqwaan dengan anggota badan.” (al-Fawa’id, hal. 136).
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Yang demikian itu,
barangsiapa yang mengagungkan perintah-perintah Allah, sesungguhnya hal itu
lahir dari ketaqwaan di dalam hati.” (QS. al-Hajj: 32). Allah ta’ala juga 
berfirman (yang artinya), “Tidak akan sampai kepada Allah daging maupun
darahnya (kurban), akan tetapi yang akan sampai kepada-Nya adalah ketaqwaan
dari kalian.” (QS. al-Hajj: 37).
Pertanyaan paling mendasar bagi kita sekarang adalah, “Apakah kita masih
memiliki hati?”. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Carilah
hatimu pada tiga tempat; ketika mendengarkan bacaan al-Qur’an, pada saat berada
di majelis-majelis dzikir/ilmu, dan saat-saat bersendirian. Apabila kamu tidak
berhasil menemukannya pada tempat-tempat ini, maka mohonlah kepada Allah untuk
mengaruniakan hati kepadamu, karena sesungguhnya kamu sudah tidak memiliki hati
-yang hidup- lagi.” (al-Fawa’id, hal. 143). Allahul musta’aan…
Sumber: Muslim.or.id


________________________________


 

 

Kirim email ke