From: yahya_abdurrah...@yahoo.co.id
Date: Wed, 7 Mar 2012 17:50:24 +0800  




Assalamu'alaikum
Mohon informasinya jika ada ikhwan/akhwat yang mengetahui hukum secara syar'i
mengenai proses inseminasi
syukron atas informasinya, jazakumullaahu khairan...
Yahya Abdurrahman
>>>>>>>>>>>>>>>

BAYI TABUNG
Oleh
Majlis al-Majma’ul-Fiqh al-Islami
http://almanhaj.or.id/content/2689/slash/0

Permasalahan bayi tabung termasuk permasalahan terkini yang paling menonjol. 
Permasalahan ini banyak menyita perhatian masyarakat umum, termasuk para Ulama 
kaum Muslimin. Permasalahan ini menjadi salah satu tema pembicaraan mereka pada 
pertemuan rutin mereka yang diadakan oleh Liga Muslim Dunia (Râbithatul-‘âlam 
al-Islâmi) di Mekah selama dua kali daurah (pertemuan). 

Majlis al-Majma’ul-Fiqh al-Islami (Islamic Fiqih Academy) pada daurah ke 
delapan yang diadakan di markaz Liga Muslim Dunia (Râbithatul-‘âlam al-Islâmi) 
di Mekah mulai hari sabtu 28 Rabî’ul akhîr sampai dengan tanggal 7 Jumâdil Ula 
1405 H, bertepatan dengan tanggal 19-27 Januari 1985, telah memperhatikan 
beberapa masukan dari anggota majelis seputar keputusan "boleh" yang ditetapkan 
oleh majelis yang berkaitan dengan inseminasi buatan dan bayi tabung. Keputusan 
itu dikeluarkan pada daurah ke tujuh yang diadakan dari tanggal 11 sampai 
dengan 16 Rabî’ul akhîr 1404 H. Teks keputusan tersebut adalah :

"Cara ke tujuh (dari inseminasi buatan-pent), di mana sperma dan sel telur 
diambil dari pasangan suami istri, setelah mengalami proses pembuahan pada 
tabung, sel telur yang sudah dibuahi itu dimasukkan ke dalam rahim istri yang 
lain dari pemilik sperma. Istri yang lain ini telah menyatakan kesediaannya 
untuk mengandung janin madunya yang diangkat rahimnya."

Majlis memandang hal itu boleh ketika diperlukan dan dengan ketentuan-ketentuan 
yang sudah disebutkan terpenuhi.

Inti masukan yang diberikan oleh sebagian anggota majelis terkait dengan 
keputusan di atas adalah :

Istri kedua yang dititipi sel telur yang sudah dibuahi, milik istri pertama ini 
ada kemungkinan hamil dari hasil berhubungan dengan sang suami, sebelum 
rahimnya diisi sel telur yang sudah dibuahi tersebut. Kemudian dia akan 
melahirkan bayi kembar dan akhirnya tidak bisa membedakan antara bayi dari sel 
telur yang dititipi dengan bayi dari hasil hubungan badannya dengan sang suami. 
Sebagaimana juga tidak bisa membedakan mana ibu dari bayi yang berasal dari sel 
telur yang dititipkan dan mana ibu dari bayi yang berasal dari hubungan 
intimnya. Terkadang bisa saja satu dari calon bayi yang masih berupa segumpal 
darah ('Alaqah) atau segumpal daging (Mudhghah) itu mati. Ia tidak bisa keluar 
kecuali bersama kelahiran calon bayi yang satunya yang tidak diketahui, apakah 
yang gugur ini bayi yang berasal dari sel telur yang dititipkan itu ataukah 
berasal dari hubungan intim. Kemungkin-kemungkinan ini menyebabkan terjadinya 
percampuran nasab dari sisi ibu, mana ibu yang sebenarnya dari dua bayi ini, 
juga mengakibatkan kerancuan hukum yang menjadi konsekuensinya. Ini juga 
menuntut al-Majma' untuk tidak memberikan hukum tertentu tentang jenis keadaan 
tersebut.

Pada daurah itu juga, majelis mendengarkan penjelasan dari para dokter ahli 
kandungan dan kebidanan yang hadir saat itu. Mereka menguatkan adanya 
kemungkinan hamil yang kedua dari hasil hubungan intim dengan sang suami ketika 
sedang mengandung janin yang berasal dari sel telur yang dititipi. Sehingga 
akan terjadi percampuran nasab sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Setelah mendiskusikan masalah ini, majelis menetapkan untuk mencabut kembali 
keputusan "boleh" pada cara ketiga dari tiga cara yang diperbolehkan. Cara 
ketiga ini disebutkan pada cara (inseminasi buatan) urutan ketujuh dari 
keputusan al-Majma’ul-Fiqh al-Islâmiy yang dikeluarkan pada daurah ketujuh 
tahun 1404 H. Dengan ditariknya keputusan boleh ini, maka keputusan al-Majma’ul 
Fiqh al-Islâmi tentang inseminasi buatan dan bayi tabung adalah sebagai berikut 
:

الْحَمْدُ للهِ وَحْدَهُ وَالصَّلاَةُ وَ السَّلاَمُ عَلَى سَيَِدَنا وَ 
نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَ عَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ 
وَ بَعْدُ :

Setelah memperhatikan dan mendiskusikan makalah yang disampaikan oleh salah 
anggota Râbithatul-‘âlam al-Islâmi yaitu yaitu Muhammad az-Zarqa’ tentang 
at-talqîhus shinâ’i (inseminasi buatan) dan bayi tabung, sebuah permasalahan 
yang banyak menyibukkan banyak orang, bahkan termasuk permasalahan zaman ini 
yang paling menonjol di dunia; anggota majelis mendengarkan hasil yang telah 
dicapai oleh terobosan ilmu dan teknologi ini di masa ini dalam menghasilkan 
anak dan mengatasi masalah kemandulan. 

Dari penjelasan yang cukup memuaskan itu, akhir angota majelis mengetahui bahwa 
inseminasi buatan adalah usaha untuk mendapatkan anak tanpa melalui proses yang 
alami, tanpa melalui proses hubungan badan. Inseminasi buatan ini secara garis 
besar dilakukan dengan dua metode :

1. Pembuahan atau inseminasi terjadi dalam rahim yaitu dengan cara menginjekkan 
sperma lelaki pada bagian yang sesuai dari rahim wanita
2. Inseminasi diluar rahim, dengan cara memproses antara sperma dan sel teluar 
wanita pada tabung kemudian setelah terjadi pembuahan baru dimasukkan ke dalam 
rahim wanita.

Pada inseminasi buatan ini mesti terjadi penyingkapan aurat seorang wanita bagi 
orang yang melakukan proses ini.

Dari materi yang disampaikan oleh panelis dan dari diskusi, anggota majelis 
dapat mengetahui bahwa cara-cara yang ditempuh untuk melakukan inseminasi 
buatan ini, baik inseminasi yang terjadi di dalam rahim ataupun yang diluar 
rahim itu ada tujuh cara, sesuai dengan keadaan yang berbeda-beda. Inseminasi 
buatan yang dilakukan di dalam rahim ditempuh dengan dua cara, sedangkan 
inseminasi di luar itu dilaksanakan dengan lima cara sebagaimana kenyataan di 
lapangan, tanpa memandang hukum halal atau haramnya menurut syari'at. 

INSEMINASI DI DALAM RAHIM ADA DUA CARA :
Cara pertama :
Sperma seorang suami diambil lalu diinjeksikan pada tempat yang sesuai dalam 
rahim sang istri sehingga sperma itu akan bertemu dengan sel telur yang 
dipancarkan sang istri dan berproses dengan cara yang alami sebagaimana dalam 
hubungan suami istri. Kemudian setelah pembuahan itu terjadi, dengan idzin 
Allah k , dia akan menempel pada rahim sang istri. Cara ini ditempuh, jika sang 
suami memiliki problem sehingga spermanya tidak bisa sampai pada tempat yang 
sesuai dalam rahim.

Cara kedua :
Sperma seorang lelaki diambil lalu diinjeksikan pada rahim istri orang lain 
sehingga terjadi pembuahan di dalam rahim, kemudian selanjutnya menempel pada 
dinding rahim sebagaimana pada cara pertama. Metode digunakan karena sang suami 
mandul, sehingga sperma diambilkan dari lelaki lain.

INSEMINASI DI LUAR RAHIM ADA LIMA CARA :
Cara pertama :
Sperma seorang suami dan sel telur istrinya, diambil lalu diletakkan pada 
sebuah tabung sehingga sperma tadi bisa membuahi sel telur istrinya dalam 
tabung tersebut. Kemudian pada saat yang tepat, sperma dan sel telur yang sudah 
berproses itu (zigote) dipindahkan ke rahim sang istri, pemilik sel telur, 
supaya bisa berkembang sebagaimana layaknya janin-janin yang lain. Ketika masa 
mengandung sudah berakhir, sang istri akan melahirkannya sebagai seorang anak 
biasa, laki ataupun wanita. Inilah bayi tabung yang telah dihasilkan oleh 
penemuan ilmiyah yang Allah k mudahkan. Proses melahirkan seperti ini telah 
menghasilkan banyak anak, baik laki maupun perempuan atau bahkan ada yang lahir 
kembar. Berita keberhasilan ini telah tersebar melalui berbagai media massa.

Metode ditempuh ketika sang istri mengalami masalah pada saluran sel telurnya. 

Cara kedua :
Pembuahan di luar yang diproses pada tabung antara sperma yang diambil dari 
seorang suami dan sel telur yang diambil dari sel telur wanita lain yang bukan 
istrinya, dikenal dengan sebutan donatur. Kemudian setelah terjadi pembuahan 
baru dimasukkan ke rahim istri pemilik sperma.

Cara ini dilakukan ketika sel telur sang istri terhalang atau tidak berfungsi, 
akan tetapi rahimnya masih bisa berfungsi untuk tempat perkembangan janin.

Cara ketiga :
Pembuahan di luar yang diproses pada tabung-tabung antara sperma laki-laki dan 
sel telur dari wanita bukan suami-istri. Kemudian setelah pembuahan terjadi, 
baru ditanam pada rahim wanita yang sudah berkeluarga.

Cara ini dilakukan ketika ada pasangan suami-isteri yang sama-sama mandul, 
tetapi ingin punya anak; sedangkan rahim sang istri masih bisa berfungsi 
sebagai tempat pertumbuhan janin.

Cara keempat : 
Pembuahan di luar yang diproses pada tabung antara dua benih pasangan suami 
istri. Kemudian setelah pembuahan itu berhasil, baru ditanamkan pada rahim 
wanita lain (bukan istrinya) yang bersedia mengandung janin pasangan suami 
istri tersebut.

Cara ini dilakukan ketika sang istri tidak mampu mengandung, karena ada 
kelainan pada rahimnya, sementara organnya masih mampu memproduksi sel telur 
dengan baik. Cara ini juga ditempuh ketika sang istri tidak mau hamil dengan 
berbagai alasan. Maka dia meminta atau menyewa wanita lain untuk mengandung 
bayinya.

Cara kelima :
Yaitu cara yang disebutkan di awal pembahasan ini. Dimana sperma dan sel telur 
diambil dari pasangan suami istri, lalu setelah mengalami proses pembuahan pada 
tabung, sel telur yang sudah dibuahi itu dimasukkan ke dalam rahim istri lain 
dari pemilik sperma. Istri yang lain ini telah menyatakan kesediaannya untuk 
mengandung janin madunya yang diangkat rahimnya.-pent 

Inilah cara-cara inseminasi buatan yang diterapkan untuk mengatasi berbagai 
permasalahan terkait dengan proses kehamilan.

Majelis juga sudah memperhatikan berita-berita yang terbesar bahwa proses 
seperti ini memang benar-benar sudah terjadi di Eropa dan Amerika, memanfaatkan 
hasil penemuan ilmiyah ini dengan berbagai tujuan. Di antara tujuan itu adalah 
tujuan bisnis, ada juga untuk tujuan yang mereka sebut dengan "Usaha 
memperbaiki keturunan manusia". Ada juga untuk memenuhi keinginan sebagian 
wanita yang tidak berkeluarga untuk menjadi ibu atau keinginan wanita yang 
sudah berkeluarga namun tidak bisa hamil dengan sebab-sebab tertentu pada 
dirinya atau pada suaminya. Majelis sudah memperhatikan berbagai instansi yang 
merealisasikan berbagai tujuan ini; misalnya pengadaan bank sperma. Sebuah 
tempat penyimpanan sperma berteknologi sehingga bisa tahan lama. Sperma-sperma 
ini diambil dari orang-orang tertentu atau tidak tentu, sebagai sumbangan atau 
untuk mendapatkan imbalan.

HUKUM SYARI'AT TENTANG HAL INI
Setelah memperhatikan materi yang disampaikan panelis dan mendapatkan informasi 
tambahan yang memadai dari sumber-sumber yang bisa dipertanggung jawabkan 
seperti berita yang disebarluaskan melalui media massa serta melalui diskusi 
dalam menerapkan kaidah-kaidah syari’ah dalam masalah ini, akhirnya majelis 
memutuskan beberapa hal berikut : 

Pertama : Hukum-hukum yang bersifat umum :
1. Dalam kondisi bagaimanapun, seorang wanita Muslimah tidak diperbolehkan 
membuka aurat dihadapan orang yang tidak halal berhubungan badan dengannya, 
kecuali untuk tujuan yang diperbolehkan syariat.

2. Keinginan wanita untuk sembuh dari suatu penyakit yang dideritanya atau 
ketidaknormalan (abnormal) pada tubuhnya yang menyebabkannya merasa terganggu, 
dianggap sebagai sebuah tujuan yang dibenarkan syari’at. Untuk tujuan 
pengobatan seperti ini, wanita tersebut boleh membuka auratnya kepada selain 
suaminya. Tentunya hal ini dilakukan sesuai dengan kebutuhan.

3. Ketika membuka aurat seorang wanita dihadapan selain orang yang halal 
berhubungan badan dengannya hukumnya mubah (diperbolehkan) untuk sebuah tujuan 
yang syar`i, maka wajib yang melakukan pengobatan itu adalah dokter perempuan 
Muslimah jika memungkinkan. Kalau tidak ada, maka dokter perempuan yang bukan 
muslimah. Kalau tidak ada, baru dokter laki-laki Muslim dan kalau tidak ada, 
baru menggunakan tenaga dokter laki-laki yang bukan muslim.

Saat proses pengobatan, tidak diperbolehkan berkhalwat (berdua-duaan) antara 
dokter laki-laki dengan sang pasien wanita; ia harus didampingi oleh suami 
pasien atau wanita lain. 

Kedua : Hukum inseminasi (pembuahan) buatan
1. Keinginan seorang wanita yang sudah berkeluarga yang tidak bisa hamil dan 
keinginan sang suami untuk mendapatkan anak dianggap sebagai sebuah tujuan yang 
dibenarkan syari’at. Tujuan ini bisa dijadikan alasan untuk melakukan 
pengobatan (jika terkendala-pent) dengan cara-cara inseminasi buatan yang 
dibenarkan syari’at.

2. Cara (inseminasi buatan yang) pertama (yaitu sperma diambilkan dari seorang 
lelaki yang sudah berkeluarga lalu diinjeksikan ke dalam rahim sang istri yang 
dijelaskan pada saat menguraikan cara pembuahan yang terjadi di dalam rahim) 
merupakan cara yang diperbolehkan menurut syari’at dengan tetap memperhatikan 
ketentuan-ketentuan umum yang disebutkan di atas. Ini dilakukan setelah 
dipastikan bahwa sang istri memerlukan proses ini supaya bisa hamil.

3. Cara ketiga (kedua benih, sperma dan sel telur diambil dari pasangan suami 
istri; kemudian proses pembuahannya dilakukan pada tabung. Setelah terjadi 
pembuahan, sel telur yang sudah dibuahi itu dimasukkan ke rahim wanita pemilik 
sel telur tadi), awalnya cara ini merupakan cara yang bisa diterima menurut 
tinjauan syari’at. Namun cara ini tidak bisa lepas sama sekali dari berbagai 
hal yang bisa menimbulkan keragu-raguan. Maka sebaiknya cara ini tidak ditempuh 
kecuali ketika sangat terpaksa sekali serta ketentuan-ketentuan umum yang di 
atas sudah terpenuhi.

4. Pada dua cara yang diperbolehkan ini, majelis Majma’ul Fiqh al Islâmi 
menetapkan bahwa nasab si anak dihubungkan ke pasangan suami istri pemilik 
sperma dan sel telur, kemudian diikuti dengan hak waris serta hak-hak lainnya 
sebagaimana pada penetapan nasab. Ketika nasab ditetapkan pada pasangan suami 
istri, maka hak waris serta hak-hak lainnya juga ditetapkan antara si anak 
dengan orang yang memiliki hubungan nasab dengannya.

5. Sedangkan cara-cara inseminasi buatan lainnya dalam proses pembuahan di 
dalam dan di luar rahim yang telah dijelaskan di depan; merupakan cara-cara 
yang diharamkan dalam syari’at Islam, tidak ada alasan untuk memperbolehkan 
salah satunya. Karena kedua benih, sperma dan sel telur dalam proses tersebut 
tidak berasal dari satu pasangan suam istri. Atau karena wanita yang menyatakan 
kesediaannya untuk mengandung janin tersebut adalah wanita ajnabiyah (orang 
lain).

Demikian keputusan ini, dan dengan memperhatikan berbagai kemungkinan yang 
terjadi pada inseminasi buatan secara umum, termasuk pada dua cara yang 
diperbolehkan secara syar’i di atas; seperti kemungkinan terjadinya penyampuran 
sperma atau sel telur yang sudah dibuahi pada tabung, terutama ketika 
inseminasi buatan ini sudah banyak dilakukan dan tersebar luar, maka majelis 
Majma’ul Fiqh al Islâmi memberikan nasehat kepada orang-orang yang ingin 
berpegang teguh dengan agama mereka untuk tidak melakukan cara-cara ini. 
Kecuali ketika sangat terpaksa disertai dengan extra hati-hati dan kewaspadaan 
yang tinggi agar jangan sampai terjadi percampuran sperma atau sel telur yang 
sudah dibuahi.

Inilah pandangan majelis Majma' Fiqh al Islami tentang masalah ini yang sangat 
berkaitan dengan agama. Dengan memohon kepada Allah k agar apa yang ditetapkan 
ini benar. Wallahu a’lam. 

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02//Tahun XIII/1431H/2010M. Penerbit 
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton 
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016] 


                                          

Kirim email ke