SUJUD SAHWI
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
http://almanhaj.or.id/content/1371/slash/0

Disebutkan dalam riwayat bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah lupa 
dalam shalat. Terdapat juga riwayat shahih yang menyebutkan bahwa beliau 
bersabda:

إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ أَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ، فَإِذَا نَسِيْتُ 
فَذَكِّرُوْنِيْ.

“Sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa seperti kalian. Aku lupa sebagaimana 
kalian juga lupa. Jika aku lupa, maka ingatkanlah aku.”[1]

Beliau mensyari'atkan sujud sahwi bagi umatnya dalam beberapa hukum sebagaimana 
kami ringkaskan sebagai berikut:[2]

1. Jika bangkit dari raka’at kedua pada shalat wajib tanpa tasyahhud awal
Dari ‘Abdullah bin Buhainah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah 
Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengimami kami shalat wajib. Pada dua 
raka’at (pertama) beliau bangkit tanpa duduk (tasyahhud awal). Orang-orang 
lantas ikut berdiri mengikutinya. Ketika beliau telah menyelesaikan shalatnya, 
sedang kami menunggu beliau salam, beliau bertakbir lalu sujud dua kali dalam 
keadaan duduk. Setelah itu, beliau mengucapkan salam. [3]

Dari al-Mughirah bin Syu'bah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah 
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنَ الرَّكْعَتَيْنِ فَلَمْ يَسْتَتِمَّ قَائِمًا 
فَلْيَجْلِسْ، فَإِذَا اسْتَتَمَّ قَائِمًا فَلاَ يَجْلِسْ وَيَسْجُدُ سَجْدَتَي 
السَّهْوِ.

"Jika salah seorang di antara kalian bangkit dari dua raka’at, dan belum 
berdiri dengan sempurna, maka hendaklah ia duduk. Namun, jika ia telah berdiri 
dengan sempurna, maka janganlah ia duduk. Dan hendaklah ia melakukan sujud 
sahwi dua kali."[4]

2. Jika shalat lima raka’at
Dari 'Abdullah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi 
wa sallam pernah shalat Zhuhur lima raka’at. Lalu ada yang berkata pada beliau, 
‘Apakah terjadi penambahan dalam shalat?’ Beliau berkata, ‘Mengapa?’ Dia 
menjawab, ‘Engkau shalat lima raka’at.’ Beliau kemudian sujud dua kali setelah 
salam.” [5]

3. Jika salam pada raka’at kedua atau ketiga
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam 
pernah salam pada raka’at kedua. Lalu berkatalah Dzul Yadain, "Apakah engkau 
mengqashar shalat atau lupa, wahai Rasulullah?" Rasulullah Shallallahu 'alaihi 
wa sallam bertanya, “Apakah benar yang dikatakan oleh Dzul Yadain?” Orang-orang 
menjawab, “Benar.” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu bangkit dan 
shalat dua raka’at lagi. Setelah itu beliau salam lalu bertakbir dan sujud 
sebagaimana sujudnya (dalam shalat), atau lebih panjang. Kemudian beliau 
bangun."[6]

Dari ‘Imran bin Hushain Radhiyallahu anhu, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa 
sallam shalat ‘Ashar. Kemudian beliau salam pada raka’at ketiga lalu masuk ke 
rumahnya. Seorang laki-laki yang dipanggil al-Khirbaq lalu mendatanginya. Dia 
memiliki tangan yang panjang. Lalu dia menyebutkan apa yang telah beliau 
lakukan. Beliau lantas keluar dengan marah sambil menyeret selendangnya hingga 
tiba di tempat orang-orang. Beliau bertanya, ‘Apakah benar yang dikatakan orang 
ini?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Kemudian beliau shalat satu raka’at kemudian 
salam. Setelah itu beliau sujud dua kali lalu salam lagi.” [7]

4. Jika lupa bilangan raka’at shalat
Dari Ibrahim, dari ‘Alqamah, ia mengatakan bahwa ‘Abdullah berkata, “Rasulullah 
Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat.” Ibrahim berkata: ‘Beliau menambah 
atau mengurangi [8].’ Ketika selesai salam, ada yang berkata kepadanya, ‘Wahai 
Rasulullah, apakah telah terjadi perubahan dalam shalat?’ Beliau bertanya, 
‘Mengapa?’ Mereka menjawab, ‘Anda shalat sekian raka’at.’ Dia berkata, ‘Beliau 
lalu memutar kakinya dan menghadap Kiblat. Kemudian beliau sujud dua kali dan 
salam. Setelah itu beliau menghadap kami dan bersabda:

إِنَّهُ لَوْ حَدَثَ فِي الصَّلاَةِ شَيْءٌ أَنْبَأْتُكُمْ بِهِ وَلكِنْ إِنَّمَا 
أَنَا بَشَرٌ، أَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ، فَإِذَا نَسِيْتُ فَذَكِّرُوْنِي وَإِذَا 
شَكَّ أَحَدُكُمْ 
فِي صَلاَتِهِ فَلْيَتَحَرَّ الصَّوَابَ، فَلْيَتِمْ عَلَيْهِ، ثُمَّ لِيَسْجُدْ 
سَجْدَتَيْنِ.

“Sesungguhnya, jika terjadi sesuatu pada shalat, niscaya kalian aku beritakan. 
Akan tetapi aku hanyalah seorang manusia. Aku lupa sebagaimana kalian juga 
lupa. Jika aku lupa, maka ingatkanlah aku. Jika salah seorang di antara kalian 
ragu-ragu dalam shalatnya, maka hendaklah dia berusaha mencari mana yang benar. 
Lalu menyempurnakannya, setelah itu hendaklah dia sujud dua kali.” [9]

“Mencari yang benar,” bisa dengan cara mengingat-ingat apa yang telah ia baca 
dalam shalat. Bisa jadi dia ingat telah membaca dua surat dalam dua raka’at. 
Akhirnya dia mengetahui bahwa dia telah shalat dua raka’at, bukan satu raka’at. 
Terkadang dia teringat telah melakukan tasyahhud awal. Sehingga dia mengetahui 
bahwa dia telah shalat dua raka’at, tidak satu raka’at. Dan dia telah shalat 
tiga raka’at, bukan dua raka’at. terkadang, dia ingat telah mem-baca 
al-Faatihah saja pada satu raka’at dan juga raka’at berikutnya. Akhirnya dia 
sadar bahwa dia telah shalat empat raka’at, tidak tiga raka’at. Dan begitulah 
seterusnya. Jika dia mencari yang benar dengan cara mengambil yang lebih dekat 
pada yang benar, maka hilanglah keraguan tadi. Dalam masalah ini, tidak ada 
perbedaan antara menjadi imam ataupun shalat sendiri. [10]

Jika dia telah berusaha mencari yang benar, namun dia belum bisa menentukan 
suatu kecenderungan, maka dia harus menguatkan perkara yang yakin, yaitu yang 
paling sedikit. Sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:

Dari Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwasanya 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِـيْ صَلاَتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى؟ ثَلاَثًا أَوْ 
أَرْبَعًـا؟ فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَـا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ 
يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ. فَإِنْ كَـانَ صَلَّى خَمْسًا 
شَفِعْنَ لَهُ صَلاَتُهُ، وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا ِلأَرْبَعٍ كَانَتَا 
تَرْغِيْمًا لِلشَّيْطَانِ.

“Jika salah seorang di antara kalian ragu dalam shalatnya. Sehingga dia tidak 
tahu berapa raka’at yang telah dia kerjakan. Tiga raka’at ataukah empat 
raka’at. Maka hendaklah ia tepis keraguan itu, dan ikutilah yang dia yakini. 
Setelah itu, hendaklah dia sujud dua kali sebelum salam. Jika ternyata dia 
mengerjakan lima raka’at, maka dia telah menggenapkan shalatnya. Namun, jika 
dia mengerjakan empat raka’at, maka dua sujud tadi adalah penghinaan bagi 
syaitan.” [11]

A. Hukum Sujud Sahwi
Hukum sujud sahwi adalah wajib. Karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam 
memerintahkannya. Sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits tadi. Dan juga 
karena beliau senantiasa melakukannya ketika lupa. Beliau tidak pernah 
meninggalkannya sama sekali.

B. Letak Sujud Sahwi
Pendapat yang paling baik adalah pembedaan antara menambah dan mengurangi, 
antara ragu dan berusaha mencari yang benar, juga antara ragu dan mengikuti 
yang diyakini. Semua nash-nash ini bisa diterapkan. Dan pembedaan ini sangat 
masuk akal.

Jika ada yang kurang dalam shalat, seperti meninggalkan tasyahhud awal, maka 
shalat memerlukan penambahan. Agar shalat menjadi sempurna, maka penambahannya 
dilakukan sebelum salam. Karena salam adalah penutup shalat.

Jika terjadi penambahan, seperti kelebihan satu raka’at -tidak pernah terkumpul 
dua tambahan dalam satu shalat-, maka sujud dilakukan setelah salam. Karena ia 
merupakan penghinaan bagi syaitan. Ia memiliki kedudukan sebagai satu shalat 
yang terpisah, yang dengannya shalat yang kurang menjadi sempurna. Sebab, Nabi 
Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan dua sujud seperti halnya satu raka’at.

Begitupula jika dia ragu dan berusaha mencari yang benar, maka dia harus 
menyempurnakan shalatnya, dan kedua sujud tadi sebagai penghinaan bagi syaitan. 
Maka, kedua sujud tadi dilakukan setelah salam. Demikian pula ketika dia 
selesai salam, sedangkan sebagian shalatnya belum dikerjakan kemudian dia 
menyempurnakannya, maka dia telah menyempurnakan shalatnya tadi sedangkan salam 
pada shalat tersebut merupakan tambahan. Sujud dalam kondisi semacam ini 
dikerjakan setelah salam. Karena ia merupakan penghinaan bagi syaitan. 

Adapun jika dia ragu dan tidak bisa menentukan mana yang benar, maka dalam 
kondisi semacam ini bisa jadi dia shalat empat raka’at atau lima raka’at. Jika 
dia shalat lima raka’at, maka kedua sujud tadi telah menggenapkan shalatnya. 
Dengan begitu dia seolah-olah shalat enam raka’at, bukan lima. Sujud ini 
dilakukan sebelum salam.

Pendapat yang kita kuatkan ini merupakan penerapan dari semua hadits-hadits 
tadi. Tidak ada satu hadits pun yang ditinggalkan. Sekalipun dengan menggunakan 
kias yang benar dalam masalah yang tidak terdapat nashnya. Juga dengan 
mengaitkan yang bukan nash dengan nash yang mirip dengannya.[12]

C. Sujud Sahwi Karena Meninggalkan Salah Satu Sunnah
Barangsiapa meninggalkan salah satu sunnah karena lupa, maka dia harus sujud 
sahwi.

Dasarnya adalah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

لِكُلِّ سَهْوٍ سَجْدَتَانِ.

“Jika terjadi kelupaan dalam shalat, maka harus sujud dua kali.” [13]

Hukum sujud dalam kondisi ini adalah sunnah, bukan wajib. Agar far'i (cabang) 
tidak bertambah dari hukum asalnya.[14]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis 
Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih 
Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu 
Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 2339)], Irwaa’ul Ghaliil (no. 
339).
[2]. Fiqhus Sunnah (I/190).
[3]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/92 no. 1224)], 
Shahiih Muslim (I/399 no. 570), Sunan an-Nasa-i (III/19), Sunan Abi Dawud 
(‘Aunul Ma’buud) (III/347 no. 1021), Sunan at-Tirmidzi (I/242 no. 389), Sunan 
Ibni Majah (I/381 no. 1206).
[4]. Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (II/109-110)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) 
(III/350 no. 1023), Sunan Ibni Majah (I/381 no. 1208). Yang harus diperha-tikan 
adalah, dalam hadits tidak dibedakam antara bangkit yang lebih dekat ke berdiri 
sehingga dia harus berdiri atau lebih dekat ke duduk sehingga ia harus duduk. 
Yang benar adalah sebagaimana dijelaskan dalam hadits bahwa jika ia teringat 
sebelum berdiri dengan sempurna, maka dia harus duduk, sekalipun dia telah 
hampir berdiri secara sempurna.
[5]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/93 no. 1226)], 
Shahiih Muslim (I/401 no. 572 (91)), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/325 
no. 1006), Sunan at-Tirmidzi (I/243 no. 390), Sunan Ibni Majah (I/380 no. 
1205), Sunan an-Nasa-i (III/31).
[6]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/98 no. 1228)], 
Shahiih Muslim (I/403 no. 573), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/311 no. 
995), Sunan at-Tirmidzi (I/247 no. 397), Sunan an-Nasa-i (III/30), Sunan Ibni 
Majah (I/383 no. 1214).
[7]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1001)], Shahiih Muslim (I/404 no. 
574), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/323 no. 1005), Sunan an-Nasa-i 
(III/ 26), Sunan Ibni Majah (I/384 no. 1215).
[8]. Ibrahim tadi ragu. Yang benar adalah beliau menambah. Sebagaimana 
di-sebutkan oleh Ibnul Atsir dalam kitab Jaami'ul Ushuul (V/541).
[9]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/503 no. 401)], 
Shahiih Muslim (I/400 no. 572), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/326 no. 
1007), Sunan an-Nasa-i (III/31), Sunan Ibni Majah (I/382 no. 1211).
[10]. Majmuu' al-Fataawaa karya Ibnu Taimiyyah (XXIII/13).
[11]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 632)], Shahiih Muslim (I/400 
no. 571), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/330 no. 1011), Sunan an-Nasa-i 
(III/27).
[12]. Majmuu' al-Fataawaa (XXIII/24).
[13]. Hasan: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 917)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul 
Ma’buud) (III/357 no. 1025), Sunan Ibni Majah (I/385 no. 1219).
[14]. As-Sailuul Jarraar (I/275).                                         

Kirim email ke