From: syamsiyah.muni...@live.com
Date: Fri, 27 Apr 2012 11:20:19 +0000
Afwan,ana mau ikut tanya.
kalau begitu bolehkah kita meniatkan safar pada hari jum'at?
Tanpa ada niatan supaya tidak solat jum'at.
Jazaakumulloh khoir. 




Syukron atas jawabannya
>>>>>>>>>>>>>>>>
HUKUM BEPERGIAN PADA HARI JUM’AT
Oleh
Umar Abdul Mun’im Salim
http://almanhaj.or.id/content/797/slash/0

Tidak ada keterangan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang 
melarang seseorang mengdakan perjalanan pada hari Jum’at. Jadi boleh saja 
bepergian bila waktu shalat masih belum tiba. [1]

Dan ada keterangan-keterangan dari sahabat yang memperkuat hal tersebut.

Dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu bahwa dia melihat seorang laki-laki 
yang sudah tampak siap bepergian, maka berkatalah orang tadi, “Hari ini, hari 
Jum’at, dan kalau tidak karena hari Jum’at tentu aku sudah keluar”. Umar 
berkata, “Sesungguhnya shalat Jum’at itu tidak mencegah orang bepergian, maka 
pergilah selama belum tiba waktu matahari tergelincir.[2]

Diriwayatkan dari Nafi pembantu Ibnu Umar, bahwa anak dari Said bin Zaid bin 
Nufail –suatu saat- sedang berada di sebidang tanahnya didaerah Al-Aqiq yang 
jauhnya beberapa mil dari kota Madinah. Lalu ia bertemu dengan Ibnu Umar di 
siang hari Jum’at, kemudian dia memberitahukan tentang masalahnya, maka 
pergilah Umar padanya dan meninggalkan shalat Jum’at [3]

Dan ini adalah pendapat kebanyakan ulama. [4]

MUSAFIR DAN SHALAT JUM'AT
Tidak ada ketarangan shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa 
beliau melaksanakan shalat Jum'at saat dalam perjalanan, bahkan riwayat 
menyebutkan bahwa beliau menjama' (mengumpulkan) dua shalat –dhuhur dan ashar- 
saat di Arafah dan itu terjadi pada hari Jum'at [5]

Oleh karena itu ada keterangan-keterangan dari Shahabat yang menguatkannya.

Dari Hassan Al-Bashri diriwayatkan bahwa Anas bin Malik menetap di Naisabur 
selama satu tahun -atau dua tahun- di selalu shalat dua raka'at lalu salam dan 
dia tidak melaksanakan shalat jum'at [6]

Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu berkata "Tidak ada shalat Jum'at bagi Musafir"
[7]

[Disalin dari buku Hadyu Nabi Fi Yaumil Jum'ati Wal Yaltihaa Min Shahihil 
Sunnati, Edisi Indonesia Petunjuk Nabi Tentang Amalan Pada Malam dan Siang Hari 
Jum'at, Penulis Umar Abdul Mun'im Salim, Penerjemah Abu Okasha, Penerbit 
Pustaka Azzam]
_______
Footnote
[1]. Ibnul Mundzir –dalam kitab Al-Ausath (4/23) berkata, “Saya tidak 
mengetahui satu keterangan pasti yang melarang bepergian mulai awal siang hari 
Jum’at sampai tergelincir matahari di masa saat iti muadzin mulai 
mengumandangkan adzannya. Nah, bila muadzin mulai mengumandangkan adzan, maka 
wajib bagi orang yang mendengarnya untuk pergi ke shalat Ju’at. Dia tidak bisa 
lagi menghindar dari suatu kewajiban yang harus dia laksanakan. Bila dia 
menunda kepergiannya pada hari Jum’at sampai wakt Jum’at selesai, itulah yang 
lebih baik.

Saya berkata, “ada sebuah riwayat yang tidak kuat yang memakruhkan orang 
bepergian pada hari Jum’at. Yaitu riwayat yang dikeluarkan oleh Adz-Dzaruquthni 
dalam kitab Al-Afrad dari hadits Umar secara marfu : 

“Barangsiapa yang bepergian pada hari Jum’at, malaikat mendo’akan untuknya, 
semoga tidak ada yang menyertainya dalam perhalanan”. 

Ibnu Hajar berkata di dalam kitab At-Talkish (2/70), “Di dalam sanad hadits ini 
ada Ibnu Lahi’ah”

Saya berkata, “Ini menandakan bahwa hadits tersebut tidak termasuk hadits yang 
pantas dijadikan hujjah, apalagi dalam matannyaada perselisihan dengan riwayat 
yang lebih kuat”.

Ada riwayat lain yang senada yaitu dikeluarkan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi dalam 
kitab Asmaur Ruwah an Malik seperti yang tesebut pula dalam Nailul Authar 
(4/156) dengan jalur Al-Husain bin Alwan dari Malik dari Az-Zuhri dari Abu 
Salamah dari Abu Hurairah secara marfu.

“Barangsiapa yang bepergian pada hari Jum’at, dua malaikatnya akan mendo’a 
semoga tidak ada yang menyertai dalam perjalanannya dan semoga hajatnya tidak 
terpenuhi”.

Saya berkata, “Hadits ini dengan sanad tersebut adalah maudhu’ sebab Husain bin 
Alwan itu Taliful Hal (Keadaan/sifatnya tidak baik). Ibnu Main mengatakan dia 
itu pendusta,dan Ibnul Fallas mengatakan, ‘Dia lemah sekali’. Sementara Abi 
Hatim, An-Nasai dan Adz-Dzaruquthni mengatakan, ‘Dia itu hadits diringgalkan’. 
Bahkan Ibnu Hibban mengatakan, “Dia itu pernah membuat hadits palsu”. 
Adz-Dzahabi dalam Al-Mizan (1/53) mengatakan, “Dan di antara riwayat yang dia 
palsukan atas nama Malik… lalu Adz-Dzahabi menyebutkan hadits diatas.

[2]. Diekeluarkan oleh Abdur Razzaq dalam Al-Mushannaf (3/250) dan Ibnu Syaibah 
(1/442) –secara ringkas- dan Ibnul Mundzir dalam Al-Ausath (4/21) melalui jalur 
Al-Aswad bin Qays dari ayahnya dari Umar Radhiyallahu ‘anhu sanad hadits ini 
shahih. Abdur Razaq mempunyai jalur lain lagi untuk hadits ini. Dan telah 
diriwayatkan pula keterangan tentang kemakruhannya dari Ibnu Umar dan Aisyah 
Radhiyallahu ‘anha. Adapun hadits Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu dikeluarkan oleh 
Ibnul Mundzir (4/22) dengan lafazh.

“Janganlah kau pergi sehingga engkau shalat Jum’at dulu, lalu engkau boleh 
pergi kalau engkau ingin”.

Sanad hadits ini lemah, di dalamnya ada Abdul Aziz bin Ubaidillah bin Hamzah 
Al-Himshy, dia ini haditsnya lemah dan terkadang menyalahi riwayat perawi yang 
lebih kuat. Dan ternyata keterangan yang pasti dari Ibnu Umar bertentangan 
dengan pernyataan di atas.

Adapun hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah 
(1/443) dengan sanad yang shahih dari Ath-Tha dari Aisyah, dia berkata, “Bila 
engkau berada pada malam Jum’at maka janganlah engkau keluar hingga engkau 
sahalat Jum’at dulu”.

Dan dari Ath-Tha pula, Ibnul Mundzir mengeluarkan hadits ini dalam Al-Ausath 
(4/22). Tapi hal ini bertentangan dengan pendapat kebanyakan para shahabat. 
Diriwayatkan dari Abi Ubaidah, keterangan yang membolehkannya hal ini 
disebutkan oleh Abdur Razzaq (3/250), dan perawi-perawi yang ada di sanadnya 
–menurut mereka- adalah terpercaya 9tsiqah), hanya saja sanadnya terputus. 
Hadits ini diriwayatkan dari Abu Ubaidah oleh Shalih bin Kisan, dan periwayatan 
ini adalah mursal. Wallahu a’lam

Orang yang berpendapat membolehkan lebih sesuai dengan dasar masalah ini, 
karena memang tidak ada nash shahih yang melarang hari Jum’at. Wallahu a’lam

[3]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (1/443) dengan sanad yang shahih

[4]. Seperti yang dinukil Asy-Syaukani dalam Nailul Authar (4/157) dan Al-Iraqy 
dan ibnu Qudamah

[5]. Ibnul Mundzir Rahimahullah berkata : "Keterangan yang dapat dijadikan 
dalil gugurnya kewajiban shalat Jum'at bagi musafir yaitu bahwa Nabi 
Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam beberapa kali perjalanan-perjalanan beliau 
-sudah tentu- pernah ada yang bertetapan dengan hari Jum'at. Tetapi tidak ada 
keterangan yang sampai pada kami bahwa beliau melaksanakan shalat Jum'at 
sementara beliau dalam perjalanan. Bahkan keterangan yang pasti menunjukkan 
bahwa beliau melaksnakan shalat dhuhur di Padang Arafah pada saat hari Jum'at. 
Tindakan ini merupakan bahwa tidak ada shalat Jum'at bagi seorang musafir" 
[4/20]

[6]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Syaibah [1/442], Ibnul Munzdir [4/20] dengan 
sanad yang shahih

[7]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah [1/442], Ibnul Munzdir [4/19] dan 
Al-baihaqi dalam Al-Kubra [3/184] dengan sanad yang shahih 
 
Wallahu a'lam 

 


                                          

Kirim email ke