HUKUM MENGAMALKAN HISAB DALAM MENENTUKAN MASUK DAN KELUARNYA BULAN RAMADHAN
Oleh
Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar
http://almanhaj.or.id/content/2497/slash/0

Allah Ta'ala berfirman:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

"Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di 
bulan itu, maka hendaklah dia berpuasa".[Baqarah: 185]

Nabi al-Musthafa Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits:

"صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِيَ عَلَيْكُمْ 
فَأَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ."

"Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal bulan Ramadhan) dan berbukalah 
(tidak berpuasa) karena melihatnya pula. Dan jika awan menaungi kalian, maka 
sempurnakanlah hitungan bulan Sya'ban menjadi 30 hari..." [1]

Kedua nash di atas dan juga yang lainnya menunjukkan secara jelas dan pasti 
bahwa titik fokus masuk dan keluarnya bulan Ramadhan itu ada pada ru'yah atau 
penyempurnaan hitungan bulan Sya'ban atau Ramadhan menjadi tiga puluh hari. 
Keduanya merupakan tanda yang sangat jelas yang dapat dilakukan dan difahami 
oleh setiap orang. Pada keduanya tidak terkandung kesulitan, kepayahan dan 
kesusahan. Demikian itulah yang berlaku pada semua taklif (beban) syari'at, di 
mana Allah Subhanahu wa Ta'ala menghilangkan kesulitan darinya.

Mahabenar Allah Yang Mahaagung yang telah berfirman:

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

"Dan sekali-kali Dia tidak menjadikan untukmu dalam agama suatu 
kesempitan..."[Al-Hajj: 78]

Orang-orang yang memfokuskan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan dengan hisab, 
pasti akan memberikan kesulitan dan keberatan kepada orang banyak. Hisab 
cenderung mempunyai tingkat kesalahan yang lebih besar. Yang demikian merupakan 
suatu hal tersembunyi yang tidak diketahui oleh setiap orang. Tidaklah mungkin 
Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan suatu perintah syari'at yang memberatkan 
para hamba-Nya. Mahatinggi Allah dari hal tersebut.

Para ulama telah menarik kesimpulan dari as-Sunnah, ijma maupun logika dalam 
hal tersebut.

Adapun dalil dari as-Sunnah adalah sebagai berikut:

1. Hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhuma, bahwa 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menyebut Ramadhan, lalu beliau 
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"لاَ تَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوْا حَتَّى تَرَوْهُ 
فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا لَهُ."

"Janganlah kalian berpuasa sehingga kalian melihat hilal (bulan Ramadhan) dan 
jangan pula kalian tidak berpuasa sehingga kalian melihatnya. Dan jika awan 
menyelimuti kalian, maka perkirakanlah untuknya."

2. Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma, dari Nabi 
Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

"إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا 
وَهَكَذَا."

"Sesungguhnya kami adalah umat yang buta huruf, tidak dapat menulis dan tidak 
pernah menghisab, [2] jumlah hari-hari dalam sebulan adalah begini dan begini 
(sambil memberi isyarat dengan kedua tangannya)."

Yakni, terkadang 29 dan terkadang 30 hari. [3]

Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, "Hadits-hadits yang penuh makna ini 
patut diterima dan menunjukkan beberapa hal:

Pertama, bahwa sabda beliau Shallallahu 'aliahi wa sallam : "Sesungguhnya kami 
adalah umat yang buta huruf, tidak dapat menulis dan tidak pernah menghisab 
(tidak mengetahui ilmu perbintangan)," merupakan berita yang mengandung 
larangan, di mana beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memberitahukan bahwa 
umat yang mengikutinya adalah umat yang tidak dapat menulis dan tidak 
mengetahui ilmu perbintangan, sehingga penulisan dan ilmu perbintangan [*] yang 
disebutkan itu dilarang..."[4]

Kedua, "Janganlah kalian berpuasa sehingga kalian melihatnya dan janganlah 
kalian berbuka sehingga kalian melihatnya juga." Larangan ini tidak lepas dari 
dua kemungkinan, bisa bersifat umum, baik puasa wajib, puasa sunnat, puasa 
nadzar, dan puasa qadha', maupun yang dimaksudkan adalah janganlah kalian 
berpuasa Ramadhan sehinga kalian melihatnya. Berdasarkan keduanya, maka telah 
dilarang berpuasa Ramadhan sebelum ru'yah, dan ru'yah itu hanya dilakukan 
secara inderawi dan menggunakan kasat mata. [5]

Sedangkan dalil dari ijma' adalah sebagai berikut:

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, "...Kita telah mengetahui dari ajaran 
Islam bahwa mengamalkan ru'yah hilal puasa, haji, iddah, ila' atau hukum-hukum 
lainnya yang berkaitan dengan hilal berdasarkan berita dari orang yang 
melakukan hisab dengan pernyataan bahwa dia telah melihat atau tidak melihat 
adalah tidak boleh. Cukup banyak nash dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam 
mengenai hal tersebut. Kaum muslimin telah sepakat mengenai hal tersebut, dan 
tidak diketahui adanya perbedaan pendapat mengenai hal itu dari sejak dahulu 
kala..." [6]

Adapun dalil logika adalah sebagai berikut:

Ketahuilah bahwa para muhaqqiq (peneliti) dari orang-orang yang melakukan hisab 
secara keseluruhan telah sepakat bahwasanya tidak mungkin melihat hilal itu 
dengan hisab secara tepat, di mana di dalamnya diputuskan bahwa dia melihat 
dengan pasti atau tidak melihat sama sekali secara umum. Bisa saja terkadang 
terjadi kesepakatan mengenai hal itu atau tidak, yang terjadi secara bertepatan 
pada beberapa tahun. [7]

Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, "...Al-Mazari mengatakan, Jumhur Fuqaha 
telah mengarahkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : 'Faqdiruu lahu,' 
kepada makna bahwa yang dimaksudkan adalah dengan menyempurnakan hitungan bulan 
menjadi 30 hari, sebagaimana yang dia tafsirkan di dalam hadits lain. Mereka 
mengatakan, 'Tidak boleh dimaksudkan bahwa perhitungan itu berdasarkan 
perhitungan hisab ahli falak, karena seandainya orang-orang itu dibebani hal 
itu, niscaya mereka akan merasa kewalahan, karena hal itu tidak dapat diketahui 
kecuali hanya oleh beberapa orang tertentu saja, sedangkan syari'at Islam dapat 
diketahui oleh banyak orang. Wallaahu a'lam..."[8]

Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah mengatakan, "...Yang dimaksud dengan hisab 
di sini adalah perhitungan bintang dan perjalanannya dan mereka tidak 
mengetahui hal tersebut, kecuali hanya sedikit orang saja. Oleh karena itu, 
hukum yang terkait dengan (awal atau akhir) puasa dan yang lainnya adalah 
dengan memakai ru'yah untuk menghilangkan kesulitan dari mereka dalam melakukan 
hisab perjalanan bintang yang cukup berat. Hukum itu terus berlaku pada puasa, 
meskipun setelah itu ada orang yang mengetahui hal tersebut. Bahkan, lahiriah 
hadits ini mengandung penolakan terhadap penyandaran hukum (penentuan bulan) 
pada hisab. Hal itu dijelaskan oleh sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di 
dalam hadits terdahulu: "Dan jika awan menaungi kalian, maka sempurnakanlah 
hitungan bulan Sya'ban menjadi 30 hari." Dan beliau Shallallahu 'alaihi wa 
sallam tidak mengatakan, "Maka tanyakanlah kepada ahli hisab." Dan hikmah dalam 
hal itu, bahwa jumlah hitungan pada saat berawan (mendung) dan hitungannya 
menjadi sama bagi orang yang hendak berpuasa sehingga perbedaan dan 
perselisihan itu dihilangkan dari mereka..."[9]

Ibnu Abidin mengatakan, "...Adapun ucapan, 'Dan tidak ada ibrah (pelajaran yang 
dapat dipetik) pada ucapan para penentu waktu (ahli hisab),' yakni dalam 
mewajibkan puasa kepada orang-orang bahkan dalam keadaan yang bertentangan 
dengan hasil ru'yatul hilal, ucapan mereka itu tidak bisa dianggap sebagai 
ijma' dan tidak boleh bagi ahli hisab untuk melakukan penghisaban 
sendiri..."[10]

Di dalam kitab Mawaahibul Jaliil, al-Hithab mengatakan, "...Ibnul Hajib 
mengatakan, menurut kesepakatan para ulama bahwa perhitungan para ahli nujum 
itu tidak perlu dianggap penting..."[11]

[Disalin dari buku Meraih Puasa Sempurna, Diterjemahkan dari kitab Ash-Shiyaam, 
Ahkaam wa Aa-daab, karya Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, 
Penerjemah Abdul Ghoffar EM, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/24) dan 
Shahiih Muslim (III/122))
[2]. Diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/24) dan 
Shahiih Muslim (III/122))
* Makna "nahsubu" adalah, "Kami tidak mengetahui tentang ilmu perbintangan 
(ilmu falak)." Lihat Fat-hul Baari (IV/127).-Penerbit.
[3]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahih al-Bukhari (III/25) dan 
Shahiih Muslim (III/124))
[*]. Ilmu perbintangan yang dilarang adalah ilmu yang digunakan untuk meramal 
nasib, keberuntungan dan yang lainnya berdasarkan pergerakan bintang. Sedangkan 
ilmu perbintangan yang dibolehkan adalah yang digunakan untuk mengetahui arah, 
mata angin dan lainnya.-red.
[4]. Majmuu’ Fataawaa Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah (XXV/164-165).
[5]. Ibid, (XXV/176-177).
[6]. Ibid, (XXV/132).
[7]. Ibid, XXV/183.
[8]. Shahiih Muslim bi Syarh an-Nawawi (VII/189).
[9]. Fat-hul Baari (IV/127).
[10]. Haasyiyah Ibni ‘Abidin (II/387).
[11]. Mawaahibul Jaliil (II/387) oleh al-Hithab.                                
          

Kirim email ke