DHARURIYYATUL-KHAMS (LIMA KEBUTUHAN PENTING YANG HARUS DIJAGA OLEH
KAUM MUSLIMIN)

Oleh
Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi Al-Atsari
http://almanhaj.or.id/content/3373/slash/0/dharuriyyatul-khams-lima-kebutuhan-penting-yang-harus-dijaga-oleh-kaum-muslimin/


Apa yang dimaksud dengan dharûriyyâtul-khams? Makna
dharûriyyâtul-khams, yaitu menyangkut lima kebutuhan penting yang
semestinya dijaga oleh kaum Muslimin. Dan dalam masalah ini, Al-Qur‘an
dan as-Sunnah telah memberikan perhatian yang besar. Berikut ini
ulasan berkaitan dengan pembahasan judul di atas. Kami angkat
berdasarkan ceramah Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi Al-Atsari pada
Daurah Syar’iyyah I yang diselenggarakan oleh Yayasan Imam Bukhari,
Jakarta, di Ciloto, Bogor, Jawa Barat, pada pertengahan bulan Februari
2007, dan mengacu dengan kitab Maqâshidusy- Syarî’ah ‘Inda Ibni
Taimiyyah, karya Dr. Yûsuf bin Muhammad Al-Badawi yang menjadi
pegangan Syaikh dalam daurah tersebut

Dharûriyyâtul-khams yang dimaksudkan, yaitu meliputi penjagaan
terhadap dîn (agama), jiwa, keturunan, akal, dan harta.

1. MENJAGA DIN (AGAMA).
Ini merupakan dharûriyyât yang terpenting dan berada pada urutan
tertinggi. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka
menyembah-Ku. [Adz-Dzâriyat/51: 56]

Demikian tujuan hakiki dari penciptaan makhluk. Untuk mencapai tujuan
inilah, maka para rasul diutus dan kitab-kitab diturunkan. Sebagaimana
firman-Nya.

رُسُلًا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى
اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ

“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan
pemberi peringatan agar supaya tidak alasan bagi manusia membantah
Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu”. [An-Nisâ/4: 165].

Begitu juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ
وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiaptiap umat (untuk
menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”.
[An-Nahl/16 : 36]

Agar Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaga din (agama) dari kerusakan,
karena din merupakan dharuriyat yang paling besar dan terpenting, maka
syari’at juga mengharamkan riddah (murtad), memberi sanksi kepada
orang yang murtad dan dibunuh. Sebagaimana sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ

“Barangsiapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia” [HR Bukhari]

Juga sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain.

لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ النَّفْسُ
بِالنَّفْسِ وَالثَّيِّبُ الزَّانِي وَ الْمُفَارِقُ لِدِينِهِ
التَّارِكُ لِلْجَمَاعَةِ

“Tidak halal darah seorang muslim (tidak boleh dibunuh, Red.), kecuali
dengan salah satu di antara tiga sebab yaitu jiwa dengan jiwa, orang
tua yang berzina (dibunuh dengan dirajam, Red.), orang yang murtad
meninggalkan agamanya dan jama’ahnya” [HR Bukhari]

Ini semua untuk menjaga din. Realisasinya dapat dilakukan dengan
beberapa cara, di antaranya dengan :

(a). Beriman kepada Allah Azza wa Jalla, mencintai-Nya,
mengagungkan-Nya, mengetahui Asmâ dan Sifat Allahl.
(b). Berpegang teguh dengan agama, mempelajarinya, lalu mendakwahkannya.
(c). Menjauhi dan memperingatkan dari perbuatan syirik dan riya’.
(d). Memerangi orang-orang yang murtad.
(e). Mengingatkan dari perbuatan bid’ah dan melawan ahlul bid’ah.[1]

2. MENJAGA JIWA (HIFZHUN-NAFSI).
Menjaga jiwa juga termasuk dharûriyatul-khamsi, dan din tidak akan
bisa tegak, jika tidak ada jiwa-jiwa yang menegakkannya. Kalau kita
ingin menegakkan din, artinya, kita harus menjaga jiwa-jiwa yang akan
menegakkan din ini. Untuk menjaga dan memuliakan jiwa-jiwa ini, Allah
Azza wa Jalla berfirman :

وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai
orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa” [Al-Baqarah/2:179]

Dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla menjadikan qishash sebagai salah
satu sebab kelestarian kehidupan, padahal qishash itu merupakan
kematian. Mengapa? Karena, dengan keberadaan hukum qishash, maka para
pelaku kriminal menjadi jera, kehidupan pun menjadi aman. Jadi,
qishash merupakan salah satu sebab terwujudnya kehidupan yang damai,
tenang, dan dalam naungan hidayah.

وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ
وَلَا يَزْنُونَ

“: (Di antara sifat hamba-hamba Allah Yang Maha Penyayang yaitu) tidak
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan
(alasan) yang benar, dan tidak berzina”. [Al-Furqân/25: 68]

Yang disebut dengan al-haq (kebenaran), yaitu harus dengan dalil dan
bukti. Jika tidak, berarti melakukan pembunuhan tanpa alasan yang
benar. Dan berdasarkan Al-Qur‘an dan as-Sunnah, melakukan pembunuhan
tanpa alasan yang benar, hukumnya terlarang.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda tentang penjagaan
terhadap jiwa:

مَنْ تَرَدَّى مِنْ جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهُوَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ
يَتَرَدَّى خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا

“Barangsiapa yang menjatuhkan dirinya dari gunung lalu dia membunuh
dirinya (mati), maka dia akan berada dalam Neraka Jahannam dalam
keadaan melemparkan diri selama-lamanya”. [HR Imam Bukhari]

Dalam hadits ini terdapat bantahan terhadap seseorang yang berpendapat
“saya bebas melakukan apa saja atas diri saya”. Perkataan seperti ini
merupakan perkataan keliru, karena di dalam Al- Qur`anul-Karim
disebutkan tentang ucapan yang benar, sebagai petunjuk bagi kaum
Mukminin jika tertimpa musibah. Allah Azza wa Jalla berfirman.

الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ
وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

“ (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka
mengucapkan, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” [Al-Baqarah/2:
156]

Inna lillahi (sesungguhnya kita milik Allah) dengan demikian, kita ini
milik Allah Azza wa Jalla, tidak boleh berbuat sewenang-wenang atas
diri kita, tidak boleh menyengaja melukai tangan sendiri lalu berkata
“ini tangan saya, saya bebas melakukan apa saja terhadapnya”. Apalagi
sampai mengatakan “ini adalah jiwaku, saya ingin membunuh diri atau
menjatuhkan diri dari gunung, atau menenggak racun”, maka semua ini
tidak boleh, karena termasuk berbuat sewenangwenang pada sesuatu yang
bukan miliknya.

Wahai Hamba Allah! Jiwa yang pada dirimu itu adalah milik Pencipta dan
Rabbmu, Dzat yang engkau ibadahi, yaitu Allah Azza wa Jalla . Engkau
tidak boleh berbuat sewenang-wenang padanya.

Dalam hadits “barangsiapa yang menjatuhkan dirinya dari gunung lalu
dia membunuh dirinya (mati), maka dia akan berada dalam Neraka
Jahannam dalam keadaan melemparkan diri selama-lamanya” terdapat
pelajaran yang bisa kita ambil. Bahwa orang tersebut kekal selamanya
dalam Neraka Jahannam, sedangkan di dalam Ahlu Sunnah wal-Jama’ah –di
antaranya terdapat kaidah- Perbuatan dosa-dosa besar termasuk dalam
kategori dosa-dosa yang bisa diampuni Allah Azza wa Jalla jika Allah
berkehendak. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ
ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

”Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya” [An-Nisâ/4: 48]

Bunuh diri, termasuk dalam bagian pertama ayat ini, ataukah bagian
yang kedua? Apakah bunuh diri termasuk syirik, ataukah berada di bawah
syirik? Jawabnya, bunuh diri termasuk dalam dosa di bawah dosa syirik.
Namun dalam hadits itu dijelaskan, dia kekal selamanya di neraka.
Lantas bagaimana jawabnya?

Para ulama mengatakan, pengertian hadits ini dibawa kepada orang yang
membunuh diri, karena ia menganggapnya halal, atau karena meremehkan
hukum syari’at, bukan karena maksiat semata, baik yang kecil maupun
yang besar. Akan tetapi, ini merupakan pelanggaran terhadap dasar
hukum syari’at, dia menentangnya dan menghalalkannya. Dalam kondisi
seperti itu, maka dosa maksiat ini menjadi dosa kekufuran.

Oleh karena itu, Abu Ja’far ath-Thahawi, di dalam kitab ‘aqidah beliau
yang masyhur, beliau mengatakan: “Kami tidak mengkafirkan ahlul-qiblah
(kaum Muslimin) dengan sebab dosa, selama dia tidak menganggapnya
halal.”

Pelaku perbuatan dosa ini, jika menganggapnya halal, maka dia menjadi
kafir, meskipun perbuatan dosa tersebut lebih kecil atau lebih sedikit
dari bunuh diri.

Secara ringkas, hifzhun-nafs dapat dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya:

(a). Pada saat darurat (sangat terpaksa), wajib memakan apa saja demi
menyambung hidup, meskipun yang ada saat itu sesuatu yang haram pada
asalnya.
(b). Memenuhi kebutuhan diri, berupa makanan, minuman dan pakaian.
(c). Mewajibkan pelaksanaan qishash (hukum bunuh bagi yang membunuh,
jika sudah terpenuhi syarat-syaratnya, Red.) dan mengharamkan
menyakiti atau menyiksa diri [2]

3. MENJAGA AKAL (HIFZHUL-AQLI).
Sarana untuk menjaga akal ialah ilmu.
Kalimat wahyu pertama kali yang sampai kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan menyentuh telinga beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ialah kalimat iqra’ (bacalah!), setelah itu kalimat:

عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ

“(Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. [Al-Alaq/96: 5]

Karena membaca merupakan jalan mendapatkan ilmu, meskipun bukan jalan
satu-satunya, akan tetapi dia merupakan jalan terpenting.

Dalam nash Al-Qur‘an yang lain, Allah berfirman,

وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا

“(dan katakanlah: “Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”
[Thaha/20 : 114]

Akan tetapi ilmu ini wajib diiringi dengan amal perbuatan. Ilmu bukan
sekedar untuk diketahui, namun dengan ilmu agar bertakwa, beramal
shalih, serta menjauhan diri dari perbuatan maksiat dengan landasan
takwa kepada Allah Azza wa Jalla . Karenanya dalam firman Allah surat
Al-Maidah ayat 91 disebutkan.

إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ
وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ
اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ ۖ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ

“Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan
kebencian di antara kamu, dan berjudi itu menghalangi kamu dari
mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan
pekerjaan itu)”.

Khamr dan perjudian telah menyebabkan manusia terhalang dari jalan
Allah k dan bisa menghilangkan akal (kesadaran), sedangkan akal sangat
dibutuhkan manusia untuk memahami perintah dan hukum-hukum syari’ah.

Dalam ayat ini, setelah Allah Azza wa jalla menjelaskan hukum syar’i
dan menjelaskan kewajiban, kemudian seolah-olah Allah Azza wa Jalla
hendak menggugah perhatian manusia. Allah Azza wa Jalla berfirman,
yang artinya: (maka berhentilah kamu [dari mengerjakan pekerjaan
itu]). Mengapa kalian tidak berhenti dari hal-hal yang kalian dilarang
darinya, berupa kebiasaan orang-orang Jahiliyah, yaitu khamr dan
perjudian? Sedangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
bersabda:.

كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ

“Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan semua khamr itu haram”.

Meskipun banyak pabrik membuat produk, lalu setan membuat
istilah-istilah untuk produk tersebut, namun kita memiliki kaidah yang
mencakup semua nama, meskipun nama tersebut baru dan dirubahrubah,
tetapi, setiap yang memabukkan adalah khamr, dan semua khamr itu
haram.

Dan bahwasanya, untuk menjaga kebaikan akal, maka syari’at
mengharamkan semua yang bisa merusaknya, baik yang maknawi (abstrak)
seperti perjudian, nyanyian, memandang sesuatu yang diharamkan, maupun
yang bersifat fisik seperti khamr, narkoba serta memberikan sanksi
kepada yang melakukannya.[3]

4. MENJAGA KETURUNAN (HIFZHUN-NASLI).
Di antara dharûriyyâtul-khams yang dipelihara dan dijaga dalam
syari’at, yaitu menjaga keturunan. Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk”. [Al-Isrâ/17: 32]

Bentuk penjagaan agar manusia menjauhkan manusia dari perbuatan zina,
maka syari’at memperbolehkan dan menganjurkan pernikahan poligami,
sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla menyebutkan.

فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ

“Maka kawinilah wanita wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga,
atau empat”[An-Nisâ/4: 3]

Nabi Shallallahu ‘alaihiwa sallam juga bersabda :

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ
فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ
فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah,
maka hendaklah dia menikah. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka
hendaklah dia melakukan puasa (sunat). Karena sesungguhnya puasa itu
menjadi obat bagi dia”.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ

“Seorang pezina tidak akan melakukan perbuatan zina, sedangkan dia
dalam keadaan beriman”.

Dalam sebagian riwayat dijelaskan, iman tercerabut darinya. Jika ia
berhenti dari berzina, maka keimanannya kembali kepadanya. Semua
nash-nash ini untuk menjaga keturunan.

Pemeliharaan keturunan ini, bisa dilihat dari beberapa hal berikut:
(a). Anjuran untuk melakukan pernikahan.
(b). Persaksian dalam pernikahan.
(c). Kewajiban memelihara dan memberikan nafkah kepada anak, termasuk
kewajiban memperhatikan pendidikan anak.
(d). Mengharamkan nikah dengan pezina.
(e). Melarang memutuskan untuk thalaq jika tidak karena terpaksa.
(f). Mengharamkan ikhtilâth. [4]

5. MENJAGA HARTA (HIFZHUL-MALI).
Bagian terakhir dari dharuriyâtul-khams yang dijaga oleh syari’at.
Yakni sesuatu yang menjadi penopang hidup, kesejahteraan dan
kebahagiaan, yaitu menjaga harta. Sebagaimana firman Allah Azza wa
Jalla:

وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ
لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ
قَوْلًا مَعْرُوفًا

“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna
akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan
Allah sebagai pokok kehidupan” [An-Nisâ‘/4 : 5]

Maksudnya, kemapanan keberadaan manusia ialah dengan harta. Oleh
karenanya terdapat perintah mengeluarkan zakat, shadaqah. Dan zakat
merupakan hak Allah k . Sehingga orang yang berhak menerimanya terjaga
dan harta yang mengeluarkannya juga menjadi bersih dan suci.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَعَنَ اللَّهُ السَّارِقَ يَسْرِقُ الْبَيْضَةَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ

“Allah Azza wa Jalla melaknat pencuri yang mencuri telur, lalu
tangannya dipotong”.

Dalam syari’at Allah yang bijak ini, juga terdapat larangan melakukan
perbuatan tabdzir (pemborosan). Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ
الشَّيَاطِينِ ۖ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا

“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan, dan
setan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya”. [Al-Isrâ : 26-27]

Begitu juga Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang isrâf
(berlebih-lebihan), sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya.

وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

“Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” [Al-An’am/6 :141]

Di antara cara dalam pemeliharaan harta ialah:
(a). Islam mewajibkan beramal dan berusaha.
(b). Memelihara harta manusia dalam kekuasaan mereka.
(c). Islam menganjurkan bershadaqah, memperbolehkan jual beli dan
hutang-piutang.
(d). Islam mengharamkan perbuatan zhalim terhadap harta orang lain dan
wajib menggantinya.
(e). Kewajiban menjaga harta dan tidak menyia-nyiakannya.[5]

Demikian beberapa nash dari Al-Qur‘an dan as- Sunnah, yang berkaitan
dengan dharûriyyâtul-khams .

Semoga Allah Azza wa Jalla memberikan kemudahan kepada kaum Muslimin
lainnya untuk memahaminya, sehingga semakin menambah dan mengokohkan
keyakinan terhadap kebenaran din, agama yang haq ini. Wallahu a’lam
bish-Shawab

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XI/1428/2007M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Maqâshidusy-Syarî’ah ‘Inda Ibni Taimiyyah, hlm. 448-458
[2]. Maqâshidusy-Syarî’ah ‘Inda Ibni Taimiyyah, hlm. 462-465.
[3]. Maqâshidusy-Syarî’ah ‘Inda Ibni Taimiyyah, hlm. 467-468.
[4]. Maqâshidusy-Syarî’ah ‘Inda Ibni Taimiyyah, hlm. 473-478.
[5]. Maqâshidusy-Syarî’ah ‘Inda Ibni Taimiyyah, hlm. 481-487.


------------------------------------

Website anda http://www.almanhaj.or.id
Berhenti berlangganan: assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com
Ketentuan posting : http://milis.assunnah.or.id/aturanmilis/
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    assunnah-dig...@yahoogroups.com 
    assunnah-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke