MENOLAK KEMUNKARAN DAN BID’AH

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
http://almanhaj.or.id/content/3378/slash/0/menolak-kemunkaran-dan-bidah/

عَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهَا قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم
: مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.
(رواه البخاري ومسلم) وَ فِيْ رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ : مَنْ عَمِلَ
عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

Diriwayatkan dari Ummul-Mu'minin, Ummu 'Abdillah, ‘Aisyah x ia
berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
“Barangsiapa yang menciptakan hal baru dalam perkara (ibadah) yang
tidak ada dasar hukumnya, maka ia ditolak”. (HR al Bukhari dan
Muslim). Dalam hadits riwayat Muslim: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: “Barangsiapa melakukan amalan, yang tidak didasari
perintah kami, maka ia ditolak”.

BIOGRAFI PERAWI HADITS
Beliau adalah Ummul-Mu'minin, ‘Aisyah binti Abu Bakar ash-Shiddiq
Radhiyallahu anhuma, isteri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang dinikahi di Mekkah pada saat berusia enam tahun. Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam hidup bersamanya di Madinah ketika ia berusia
sembilan tahun, yaitu pada tahun kedua Hijriyyah dan beliau tidak
menikah dengan gadis selainnya.

Dia adalah isteri yang paling dicintai di antara isteri-isteri beliau
yang lainnya. Dia adalah wanita yang dibebaskan oleh Allah dari berita
bohong yang menimpanya dengan wahyu yang diturunkan kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dia banyak menghafal hadits, dan
termasuk wanita yang paling pandai. Pada suatu hari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepadanya, bahwa Malaikat
Jibril Alaihissallam menitip salam kepadanya.

Pada saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia, ia
berusia delapan belas tahun. Dikabarkan bahwa ia adalah wanita
termulia dan akan menjadi isteri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam di surga. ‘Aisyah wafat pada tahun 58 Hijriyyah dalam usia 67
tahun, dan dikuburkan di pemakaman Baqi’.[1]

TAKHRIJUL-HADITS
1. Shahih al Bukhari, kitab ash-Shulhi, bab Idzas Tholahu ‘ala Shulhi
Jaurin, no. 2550.
2. Shahih Muslim, kitab al Aqhdiyah, bab Naqdhil-Ahkamil Bathilah wa
Raddi Muhdatsatil-Umur (no. 1718 (17, 18).
3. Sunan Abi Dawud, kitab as-Sunnah, bab Fi Luzumis-Sunnah, no. 4606.
4. Sunan Ibni Majah dalam al Muqaddimah, no. 14.
5. Musnad Imam Ahmad (VI/73, 146, 180, 240, 256, 270).
6. Shahih Ibni Hibban, no. 26 dan 27.

AHAMMIYATUL HADITS (URGENSI HADITS)
Imam an-Nawawi (wafat tahun 676 H) t berkata,"Hadits ini perlu dihafal
dan dijadikan dalil untuk menolak segala kemunkaran."

Ibnu Daqiqil-‘Id (wafat tahun 702 H) rahimahullah berkata,"Hadits ini
adalah salah satu pedoman penting dalam agama Islam, yang merupakan
jawami’ul kalim (kalimat yang pendek namun penuh arti) yang
dikaruniakan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Hadits ini
dengan tegas menolak setiap perkara bid’ah, dan setiap perkara (dalam
urusan agama) yang direkayasa. Sebagian ahli ushul fiqih menjadikan
hadits ini sebagai dasar kaidah, bahwa setiap yang terlarang
dinyatakan sebagai hal yang merusak."[2]

Ibnu Rajab al Hanbali (wafat tahun 795 H) rahimahullah berkata,"Hadits
ini adalah salah satu prinsip dasar yang agung dari prinsip-prinsip
dasar Islam, dan menjadi barometer dari setiap amal perbuatan yang
zhahir (terlihat). Sebagaimana hadits,'Innamal-a’malu
binniyat…(sesungguhnya seluruh amal perbuatan tergantung dengan
niatnya…)'. merupakan barometer dari setiap perbuatan dari segi batin
(niat)".

Sesungguhnya setiap amal perbuatan yang tidak ditujukan untuk mencari
ridha Allah, maka amal tersebut tidak berpahala. Demikian pula halnya
dengan segala amal perbuatan yang tidak atas dasar perintah Allah dan
Rasul-Nya juga tertolak dari pelakunya. Siapa saja yang menciptakan
hal-hal baru dalam agama yang tidak diizinkan oleh Allah dan
Rasul-Nya, maka bukanlah termasuk perkara agama sedikit pun. [3]

Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani rahimahullah berkata,"Hadits ini
termasuk bagian dari prinsip-prinsip dasar Islam dan merupakan satu
kaidah dari kaidah-kaidah Islam.”[4]

FIQHUL HADITS (KANDUNGAN HADITS)
1. Pelaksanaan Syari’at Islam Harus Dilakukan Dengan Cara Ittiba’
(Mengikuti), Bukan Ibtida’ (Mengada-ngada).
Melalui hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjaga
kemurnian Islam dari tangan orang-orang yang melampaui batas. Hadits
ini merupakan jawami’ul kalim (kalimat singkat namun penuh makna),
yang mengacu pada berbagai nash al Qur`an yang menyatakan, bahwa
keselamatan seseorang hanya akan diraih dengan mengikuti petunjuk
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , tanpa menambah ataupun
mengurangi, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ
اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Katakanlah (wahai Muhammad): “Jika kalian semua mencintai Allah, maka
ikutilah aku; tentu Allah akan mencintai kalian dan mengampuni
dosa-dosa kalian, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". [Ali
‘Imran/3:31].

Juga firman-Nya:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ
وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat
termasuk orang-orang yang rugi. [Ali ‘Imran/3:85]

Juga dalam firman-Nya,

وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا
السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ

Dan sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah, dan
janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang sesat) karena dapat
mencerai-beraikan kalian dari jalan-Ku. [al An’am/6:153].

Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahihnya bahwa dalam khutbahnya,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَالْهَدْيِ هَدْيُ
مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ
مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.

Sebaik-baik ucapan adalah Kitabullah (al Qur`an) dan sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Seburuk-buruk perkara adalah yang dibuat-buat, dan semua yang
dibuat-buat adalah bid’ah, sedangkan semua bid’ah adalah sesat.

Dalam riwayat al Baihaqi dan an-Nasa-i terdapat tambahan:

وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.

Dan semua kesesatan masuk neraka.

2. Berbagai Perbuatan Yang Tertolak.
Hadits ini merupakan dasar yang jelas, bahwa semua perbuatan yang
tidak didasari oleh perintah syari’at adalah tertolak. Hadits ini juga
menunjukkan, bahwa semua perbuatan—baik yang berhubungan dengan
perintah maupun larangan—terikat dengan hukum syari’at. Karenanya,
sungguh sangat sesat perbuatan yang keluar dari ketentuan syari’at;
seolah-olah perbuatanlah yang menghukumi syari’at, dan bukan syari’at
yang menghukumi perbuatan. Oleh karena itu, setiap muslim wajib
menyatakan, perbuatan-perbuatan yang ada di luar ketentuan syari’at
adalah bathil dan tertolak.

Perbuatan-perbuatan yang ada di luar ketentuan syari’at ini terbagi
dua. Pertama, dalam masalah ibadah. Kedua, dalam masalah mu'amalah.

Pertama : Dalam masalah ibadah.
Hukum asal ibadah, pada asalnya adalah dilarang, kecuali yang
dicontohkan oleh syari’at. Setiap orang yang mendekatkan diri kepada
Allah Ta’ala dengan suatu ibadah, maka harus ada dalil shahih yang
menunjukkan disyari’atkannya ibadah tersebut. Jika ibadah yang
dilakukan seseorang keluar dari hukum syari’at, maka perbuatan
tersebut tertolak. Ini masuk dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ
بِهِ اللَّهُ

Apakah mereka mempunyai sekutu selain Allah yang menetapkan aturan
agama bagi mereka yang tidak diizinkan (diridhai) Allah?
[asy-Syura/42:21].

Contohnya, mendekatkan diri kepada Allah dengan mendengar nyanyian,
menari, melihat wanita, atau berbagai perbuatan lainnya yang tidak
berdasar pada syari’at. Mereka inilah orang-orang yang dibutakan
hatinya oleh Allah, sehingga tidak bisa melihat kebenaran; bahkan
kemudian selalu mengikuti langkah-langkah setan. Mereka mengklaim,
bahwa mereka bisa mendekatkan diri kepada Allah melalui kesesatan yang
mereka ada-adakan.

Mereka ini, tidak jauh berbeda dengan orang-orang Arab Jahiliyah yang
menciptakan satu bentuk ibadah dan pendekatan diri kepada Allah,
sedangkan Allah tidak menurunkan hujjah (ilmu) atasnya. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا كَانَ صَلَاتُهُمْ عِنْدَ الْبَيْتِ إِلَّا مُكَاءً وَتَصْدِيَةً ۚ
فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ

Dan shalat mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan
dan tepuk tangan. Maka rasakanlah adzab disebabkan karena kekafiranmu
itu. [al Anfal/8:35].

Terkadang suatu perbuatan disyari’atkan dalam suatu ibadah, tetapi
tidak menjadi ibadah yang benar pada waktu dan tempat yang lain.

Sebagai contoh, berdiri dalam shalat adalah amal (perbuatan) ketaatan
yang disyari’atkan. Akan tetapi, sengaja berdiri di bawah sengatan
terik matahari ketika melakukan puasa tidaklah disyari’atkan. Pernah,
pada masa Nabi Muhammad ada orang yang berpuasa sambil berdiri di
bawah sengatan terik matahari. Ia tidak duduk dan tidak berteduh. Lalu
Rasulullah menyuruhnya untuk duduk dan berteduh sambil terus
menyempurnakan puasanya.[5]

Para ulama telah sepakat, suatu ibadah tidaklah sah, kecuali apabila
terkumpul dua syarat. Yaitu ikhlas karena Allah dan mutaba’ah
(mengikuti contoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ).
Hendaknya diketahui, bahwasanya mutaba’ah (ittiba) tidak akan
terwujud, melainkan bila amal itu sesuai dengan syari’at Islam dalam
enam perkara: (a) sebabnya, (b) jenisnya, (c) kadar
(bilangan/ukuran)nya, (d) kaifiyat (cara)nya, (e) waktunya, dan (f)
tempatnya.

a. Sebabnya.
Jika seseorang melakukan suatu ibadah kepada Allah dengan sebab yang
tidak disyariatkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan tidak
diterima. Misalnya, ada orang yang melakukan shalat tahajud pada malam
27 bulan Rajab, dengan dalih bahwa malam itu adalah malam mi’raj
Rasulullah (dinaikkan ke atas langit). Shalat tahajud adalah ibadah,
tetapi karena dikaitkan dengan sebab tersebut, maka ia menjadi bid’ah.
Karena ibadah tadi didasarkan atas sebab yang tidak ditetapkan dalam
syari'at. Syarat ini sangat penting, karena dengan demikian akan dapat
diketahui beberapa macam amal yang dianggap termasuk sunnah, namun
sebenarnya adalah bid’ah.

b. Jenisnya.
Maksudnya, ibadah harus sesuai dengan syari’at dalam jenisnya. Jika
tidak, maka tidak diterima. Misalnya, seorang yang menyembelih kuda
untuk kurban. Maka penyembelihan ini tidak sah, karena menyalahi
ketentuan syari’at dalam jenisnya. Yang boleh dijadikan kurban yaitu
unta, sapi, dan kambing.

c. Kadar (bilangan/ukuran)nya.
Jika ada seseorang yang menambah bilangan raka’at shalat, yang
menurutnya penambahan itu diperintahkan, maka shalat tersebut adalah
bid’ah dan tidak diterima, karena tidak sesuai dengan ketentuan
syari'at dalam hal jumlah bilangan raka'atnya. Jadi apabila ada orang
shalat Zhuhur lima raka'at, umpamanya, maka shalatnya tidak sah.

d. Kaifiyat (cara)nya.
Seandainya ada orang yang shalat, dia sujud terlebih dahulu sebelum
ruku, maka shalatnya tidak sah dan tertolak, karena tidak sesuai
dengan cara yang ditentukan syari’at.

e. Waktunya.
Apabila ada orang yang menyembelih binatang kurban atau hadyu pada
hari pertama bulan Dzulhijjah, maka sembelihan (kurban)nya tidak sah,
karena waktu pelaksanaannya di luar ketentuan ajaran Islam. Contoh
lain, orang yang shalat sebelum masuk waktunya, maka shalatnya tidak
diterima.

f. Tempatnya.
Andaikata ada orang yang beri’tikaf di tempat selain masjid, maka
i’tikafnya. tidak sah. Sebab, tempat i’tikaf hanyalah di masjid.[6]

Kedua : Dalam masalah mu’amalah.
Hukum asal dalam mu'amalah adalah dihalalkan, kecuali mu'amalah yang
diada-adakan; yang memang ada keterangan dari syari’at yang
menunjukkan diharamkannya mu'amalah tersebut.

Keterangannya sebagai berikut:
a. Berbagai akad yang dilakukan manusia yang dilakukan sebagai ganti
dari akad syari’at yang sah.
Contohnya, kejadian pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
. Suatu saat ada orang yang bertanya kepada Rasulullah dan
menginginkan agar hukuman zina diubah dengan denda, maka Rasulullah
menolaknya. Lebih lengkapnya, kejadian tersebut diriwayatkan oleh Imam
al Bukhari dan Imam Muslim dalam sebuah hadits yang menyatakan, bahwa
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi seseorang. Orang
itu berkata: “Anakku bekerja pada si Fulan, lalu ia berzina dengan
isterinya. Saya telah membayar denda sebanyak seratus kambing dan
seorang pembantu." Mendengar penuturannya, maka Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Seratus kambing dan pembantu dikembalikan
kepadamu, dan hukuman bagi anakmu seratus kali cambukan dan diasingkan
selama satu tahun”.

b. Akad yang dilarang menurut syari’at, seperti:
- Pernikahan yang haramkan oleh Allah dengan sebab kerabat, atau
nasab, atau menggabungkan dua saudara. Maka akadnya adalah bathil
(tidak sah).
- Hilangnya salah satu syarat dalam akad, seperti nikah tanpa wali,
baik gadis maupun janda, maka akad nikahnya tidak sah.
- Akad yang diharamkan oleh Allah Ta’ala, seperti jual-beli khamr
(minuman keras), bangkai, babi, patung, anjing, riba, dan semua
jual-beli yang dilarang menurut syari’at, maka akadnya bathil dan
tertolak.
- Akad yang di dalamnya ada kezhaliman atau penipuan, maka
dikembalikan kepada yang dizhalimi, dan lainnya.

Demikian juga semua akad (transaksi) yang dilarang oleh syara’, atau
dua orang yang melakukan akad mengabaikan salah satu rukun atau syarat
akad, maka akad tersebut bisa batal dan tertolak. Permasalahan ini,
tentang sah dan tidaknya serta tertolak dan tidaknya, secara lebih
rinci bisa dibaca di kitab-kitab fiqih.

3. Perbuatan Yang Diterima.
Dalam kehidupan, ada perkara-perkara yang sifatnya baru dan tidak
bertentangan dengan syari’at, bahkan sesuai atau cenderung didukung
dasar-dasar syari’at. Maka perkara-perkara tersebut diterima. Hal
inilah yang disebut dengan maslahat mursalah. Para sahabat banyak
mencontohkan hal ini. Seperti menghimpun al Qur`an pada masa Abu
Bakar, penyeragaman (bacaan) al Qur`an pada masa ‘Utsman bin ‘Affan
dengan mengirimkan salinan-salinan mushaf ke berbagai penjuru disertai
para qari’.

Contoh lainnya, penulisan ilmu nahwu, tafsir, sanad hadits dan
berbagai ilmu lainnya, baik teori maupun yang bersifat empiris yang
sangat bermanfaat bagi manusia, dan dapat mendorong terwujudnya
pelaksanaan hukum Allah di muka bumi ini.

Dari uraian di atas bisa disimpulkan, bahwa perkara-perkara yang
sifatnya baru dan bertentangan dengan syari’at, maka perkara tersebut
tergolong bid’ah yang tercela dan sesat. Namun perkara yang sifatnya
baru dan tidak bertentangan dengan syari’at, tetapi bahkan sesuai dan
didukung syari'at, maka perkara tersebut baik dan diterima.

Dari perkara-perkara itu ada yang sunnah, ada juga yang sifatnya
fardhu kifayah. Bid’ah yang sesat pun bervariasi; ada yang makruh dan
ada yang haram, tergantung bahaya yang ditimbulkan dan
ketidaksesuaiannya dengan nilai-nilai Islam. Bahkan dalam melakukan
perbuatan bid’ah tersebut, seseorang bisa terjerumus pada kekufuran
dan kesesatan. Misalnya, orang yang bergabung dengan aliran sesat,
yang mengingkari wahyu dan syari’at Allah, mengajak untuk menerapkan
hukum buatan manusia, menuduh penerapan hukum Allah merupakan
keterbelakangan. Atau orang yang bergabung dengan jama'ah-jama'ah sufi
yang meremehkan berbagai kewajiban, atau mempunyai paham wihdatul
wujud ataupun hulul (manunggaling kawulo gusti) dan berbagai perilaku
sesat lainnya; maka perbuatan ini jelas-jelas kufur, dan dapat
mengeluarkan pelakunya dari Islam; tentunya, setelah terpenuhi syarat
dan tidak ada penghalang yang membuat dia keluar dari Islam.

Yang juga termasuk bid’ah sayyi’ah atau sesat, yaitu pengagungan
terhadap suatu benda dan minta keberkahan kepada benda tersebut dengan
keyakinan, bahwa benda yang ia agungkan bisa memberi manfaat. Misalnya
mengagungkan pohon, batu atau lainnya. Pernah, suatu saat para sahabat
lewat di samping pohon bidara yang diagung-agungkan orang-orang
musyrik.

Diriwayatkan dari Abu Waqid al Laitsi Radhiyallahu anhu , ia berkata:

Kami keluar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke
Hunain, dan kami adalah orang-orang yang baru masuk Islam. Ketika itu
orang-orang musyrik memiliki sebatang pohon bidara yang disebut dzatu
anwath. Mereka selalu mendatanginya dan menggantungkan senjata-senjata
perang mereka pada pohon itu. Kami pun berkata: “Ya, Rasulullah.
Buatkanlah kami dzatu anwath sebagaimana mereka orang musyrik
mempunyai dzatu anwath.” Rasulullah bersabda:

سُبْحَانَ اللهِ هَذَا كَمَا قَالَ قَوْمُ مُوسَى اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا
كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَرْكَبُنَّ سُنَّةَ
مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ.

[Subhanallaah, hal ini seperti perkataan kaum Nabi Musa (Bani Israil
kepada Musa),‘Buatkanlah untuk kami sesembahan, sebagaimana mereka
memiliki sesembahan'. –QS al A’raf/7 ayat 138- Demi Rabb yang diriku
berada di tangan-Nya, kamu benar-benar mengikuti tradisi orang-orang
sebelum kamu]. [HR at-Tirmidzi no. 2181. Beliau berkata,"Hadits ini
hasan shahih.”].

Dalam hal ini mereka tidak kafir, karena mereka baru masuk Islam. Dan
perkataan tersebut, mereka ucapkan karena ketidaktahuan.

Hadits kedua, “Barangsiapa melakukan amalan, yang tidak didasari
perintah kami, maka ia (amalan tersebut) ditolak”, karena sebagian
ahli bid’ah membantah hadits pertama “Barangsiapa yang menciptakan hal
baru dalam perkara (ibadah) yang tidak ada dasar hukumnya, maka ia
ditolak”. Mereka berargumen, kami tidak pernah menciptakan hal baru.
Apa yang kami lakukan, telah kami dapatkan dari orang-orang sebelum
kami.

Maka dengan penyebutan hadits kedua ini, argumentasi mereka tidak bernilai.
1. Dari hadits di atas bisa kita pahami, barangsiapa yang mereka-reka
satu amalan, maka dosanya, ia sendiri yang menanggung dan amalan
tersebut tertolak.

2. Setiap orang yang mengadakan sesuatu yang baru dalam ibadah,
seperti doa dan dzikir tertentu yang tidak ada Sunnahnya dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka ia telah berdosa dari empat segi.
a. Meninggalkan doa dan dzikir yang disyari’atkan.
b. Menambah-nambah syari’at Islam.
c. Mensunnahkan sesuatu yang tidak disyari’atkan.
d. Mengelabui orang awam, yang menurut mereka, bahwa hal itu boleh
dikerjakan.[7]

KESIMPULAN
Wajib atas setiap penuntut ilmu untuk berhati-hati, dan tidak
terburu-buru dalam menghukumi suatu amal ditolak (tidak diterima)
berdalil dengan hadits ini. Wajib atasnya untuk melihat dan mencari
pendapat ulama tentang hukum dalam suatu masalah. Dia harus memahami
kaidah dan prinsip yang dipakai oleh para ulama dalam menentukan suatu
amal diterima atau ditolak.[8] Wallahu A’lam.

FAWAIDUL HADITS (MANFAAT HADITS)
1. Hadits ini sebagai barometer (timbangan) amal yang zhahir.
2. Perbuatan bid'ah adalah diharamkan dalam agama.
3. Amal perbuatan yang dibangun di atas bid’ah, maka ia tertolak.
4. Bahwasanya larangan terhadap sesuatu, cenderung karena adanya
dampak kerusakan sesuatu tersebut.
5. Semua perbuatan yang diada-adakan dalam Islam yang tidak ada
tuntunan dari syari’at, maka perbuatan itu tertolak, meskipun
dilakukan dengan niat yang baik.
6. Amal shalih yang dilakukan tidak mengikuti ketentuan syari’at,
seperti enam perkara di atas (yaitu sebab, jenis, kadar, kaifiyat,
waktu, dan tempat), maka amalnya bathil dan tidak sah.
7. Bahwasanya agama Islam adalah agama yang sempurna, dan tidak ada
kekurangan padanya.
8. Kewajiban umat Islam adalah ikhlas dalam beribadah kepada Allah dan
ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
9. Syarat diterimanya amal adalah ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti
contoh Rasulullah).

MARAJI’
1. Syarah al Arba’in li Ibni Daqiqil ‘Id, Cet. Th. 1427 H, Dar Ibni Hazm.
2. Jami’ul-‘Ulum wal-Hikam, tahqiq Syaikh Syu’aib al-Arnauth dan Ibrahim Baajis.
3. Al Wafi fi Syarhil-Arba’in an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthafa al
Bugha dan Muhyiddin Mostu, Cet. VIII, Th. 1413 H, Maktabah Dar
at-Turats.
4. Qawa-id wa Fawa-id minal-Arba’in an-Nawawiyyah, karya Nazhim
Muhammad Sulthan, Cet. I, Th. 1408 H, Dar as-Salafiyyah.
5. Syarah al Arba’in, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin,
Cet. III, Th. 1425 H, Dar Tsurayya lin-Nasyr.
6. Fat-hul Qowiyyil Matin fi Syarh al Arba’in wa Tatimmatul-Khamsin,
karya Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Hamd al ‘Abbad al Badr, Cet. I, Th.
1424 H, Dar Ibni ‘Affan.
7. Tash-hihud-Du’a`, karya Syaikh Bakr Abu Zaid.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XI/1428/2007M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat biografi lengkap beliau dalam kitab Thabaqat Ibnu Sa’ad
(juz 6, no. 4120) dan al Hafizh Ibnu Hajar al 'Asqalani, al Ishabah fi
Tamyizish-Shahabah (IV/359-360, no. 704).
[2]. Syarah Arba’in li Ibni Daqiqil-‘Id, Cetakan Dar Ibn Hazm, 1427 H, hlm. 43
[3]. Jami’ul-‘Ulum wal-Hikam (I/176), tahqiq Syaikh Syu’aib al Arnauth
dan Ibrahim Bajis.
[4]. Fat-hul Bari (V/302-303).
[5]. HR al Bukhari, Abu Dawud, dan ath-Thahawi dalam Musykilul-Atsar.
Lihat kitab al Wafii fi Syarhi al-Arba’in an-Nawawiyyah, hlm. 31-32
dan Qawa-id wa Fawa-id, hlm. 76.
[6]. Lihat al Ibda’ fi Kamalisy Syara’ wa Khatharil Ibtida’, hlm.
20-23 dan Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin t , Syarah Arba’in,
hlm. 114-118.
[7]. Lihat Syaikh Bakr bin ‘Abdillah Abu Zaid, Tash-hihud-Du’a’, hlm. 44
[8]. Lihat Qawaid wa Fawaid minal Arbain an-Nawawiyyah, hlm. 80.


------------------------------------

Website anda http://www.almanhaj.or.id
Berhenti berlangganan: assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com
Ketentuan posting : http://milis.assunnah.or.id/aturanmilis/
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    assunnah-dig...@yahoogroups.com 
    assunnah-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke