JUAL BELI PRODUK YANG MENGANDUNG GELATIN DARI BABI

Oleh
Ustadz DR Erwandi Tarmidzi MA
http://almanhaj.or.id/content/3437/slash/0/jual-beli-produk-yang-mengandung-gelatin-dari-babi/

Gelatin merupakan protein yang diperoleh dari hidrolisis kolagen yang
secara alami terdapat pada tulang atau kulit binatang seperti ; ikan,
sapi dan babi.

Gelatin yang diperoleh dari babi merupakan gelatin yang paling luas
dipakai dalam industri pangan dan obat-obatan, mengingat gelatin yang
didapat dari hewan ini paling murah dibanding hewan lainnya.

Dalam industri pangan, gelatin dipakai sebagai salah satu bahan baku
pembuatan ; permen lunak, jeli, es krim, susu formula, roti, daging
olahan, minuman yang dicampur susu dan soup.

Dalam industri obat-obatan gelatin dipakai sebagai salah satu bahan
baku pembuatan vaksin, cangkang kapsul, pil, krim, pasta gigi, sabun
dan obat gosok.

Sebagian Negara mewajibkan para produsen untuk mencantumkan kode
komposisi bahan baku dari barang olahan, kode gelatin yang berasal
dari babi, antara lain : 101, 101A, 120, 150, 153, 160A, 160B, 161A,
161C, 163, 200, 270, 304, 310-312, 326, 327, 334, 336, 337, 350, 353,
422, 430, 436, 162, 470, 478, 481, 483, 491, 495, 542, 572, 575, 631,
904A. [1]

Sebelum menjelaskan hukum gelatin dari babi, harus dijelaskan terlebih
dahulu hukum istihalah (perubahan suatu wujud menjadi wujud lain),
seperti : wujud babi berubah menjadi garam, apakah garam tersebut
hukumnya halal atau menjadi haram. Terdapat perbedaan pendapat para
ulama mazhab dalam hal ini.

Para ulama mazhab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa bila seekor babi
jatuh ke dalam tambak pembuatan garam lalu mati dan berubah menjadi
garam, maka garam tersebut hukumnya halal. Karena zat babi telah
berubah menjadi garam dan garam hukumnya adalah halal.[2]

Al-Hashkafi (ulama mazhab Hanafi, wafat 1088H) berkata : “Tidak
termasuk najis abu bekas pembakaran najis, juga garam yang berasal
dari bangkai keledai ataupun babi…, karena wujudnya telah berubah. Ini
yang difatwakan dalam mazhab” [3]

Para ulama mazhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa garam yang
berasal dari perubahan wujud babi hukumnya tetap haram, karena zat
babi adalah najis sekalipun najis tersebut berubah bentuk menjadi zat
lain hukumnya tetap najis.

Ar-Ramli (ulama mazhab Syafi’i, wafat : 1004H) berkata : “Zat yang
najis tidak berubah hukumnya secara mutlak …, dengan cara wujud najis
berubah menjadi wujud lain, seperti ; bangkai babi yang jatuh ke dalam
tambak garam, kemudian berubah menjadi garam” [4]

Ibnu Qudamah (ulama mazhab Hanbali, wafat : 620H) berkata : “Pendapat
yang terkuat dalam mazhab (Hanbali) bahwa najis tidak menjadi suci
dengan cara perubahan wujud kecuali khamar berubah menjadi cuka dengan
sendirinya, adapun selain itu tidak menjadi suci, seperti ; najis yang
dibakar sehingga menjadi abu, begitu juga bangkai babi yang jatuh ke
dalam tambak garam sehingga berubah wujud menjadi garam” [5]

Dari dua pendapat ulama tentang hukum garam yang berasal dari babi
dapat di-takhrij hukum gelatin yang berasal dari kulit dan tulang
babi.

Para ulama yang bermazhab Syafi’i dan Hanbali tentu akan mengharamkan
gelatin yang diperoleh dari babi sekalipun zat gelatin tersebut
berbeda bentuk fisik dan sifat kimianya dengan kolagen babi yang
merupakan asal dari gelatin.

Adapun para ulama yang bermazhab Hanafi dan Maliki, atau yang
mendukung pendapat bahwa perubahan wujud dari suatu zat menjadi zat
lain hukumnya juga akan berubah, namun mereka juga berbeda pendapat
tentang kehalalan gelatin yang diperoleh dari babi.

Pendapat Pertama.
Gelatin yang berasal dari babi hukumnya halal, pendapat ini merupakan
hasil seminar Forum Fiqh dan Medis di Kuwait pada tanggal 25-5-1995,
dan di dukung oleh DR.Nazih Hamad, DR.Muhammad Al-Harawy dan Basim
Al-Qarafy. [6]

Penganut pendapat ini beralasan bahwa gelatin adalah zat baru yang
tidak ada persamaan fisik dan sifat kimianya dengan kolagen yang
berasal dari babi, sekalipun gelatin berasal dari kolagen babi, dan
dalam kaidah fiqh bahwa zat baru hukumnya berbeda dengan hukum zat
asalnya, bilamana hukum kolagen adalah haram maka hukum gelatin adalah
halal.

Bukti bahwa gelatin berbeda dengan kolagen adalah : Gelatin berwarna
bening, mudah larut di air dan mudah membeku, tidak demikian halnya
dengan kolagen. Kemudian, gelatin yang diperoleh dari babi sama sekali
tidak dapat dibedakan dengan gelatin dari hewan lainnya, berbeda
dengan kolagen, yang sangat mudah dibedakan antara kolagen babi dan
lainnya. [7]

Tanggapan.
Argumen pendapat ini tidak kuat, karena ternyata gelatin yang berasal
dari babi sangat mudah untuk diketahui melalui tes kimia sederhana,
ini menunjukan bahwa proses perubahan wujud tidak terjadi dengan
sempurna. [8]

Pendapat Kedua.
Gelatin yang berasal dari babi hukumnya haram dan najis, pendapat ini
merupakan keputusan berbagai Lembaga Fiqh internasional, diantaranya:

1. Majma Al-Fiqh Al-Islami (OKI) keputusan no: 23 (11/3) tahun 1986
sebagai jawaban atas pertanyaan dari Al-Ma’had Al-Alami Lil Fikri
Islami di Washington yang berbunyi :

Soal ke-XII : Di sini (Amerika) terdapat ragi dan gelatin yang
diekstrak dari babi dalam persentase yang sangat kecil, apakah boleh
menggunakan ragi dan gelatin terebut?

Jawab : Seorang muslim tidak dibenarkan menggunakan ragi dan gelatin
yang berasal dari babi, karena ragi dan gelatin (halal) yang diperoleh
dari tumbuh-tumbuhan dan hewan yang disembelih sesuai syariat
mencukupi kebutuhan mereka” [9]

2. Keputusan Al-Majma Al-Fiqhiy Al-Islamy di bawah (Rabitah Alam
Islami) yang berpusat di Mekkah (no. 3, rapat tahunan ke 15) tahun
1998, yang berbunyi:
“Himpunan Fiqh Islami yang bernaung di bawah Rabitah Alam Islami dalam
rapat tahunan ke-15 setelah mendiskusikan dan mengkaji bahwa :
“gelatin adalah sebuah zat yang banyak digunakan untuk pembuatan
makanan dan obat-obatan, berasal dari kulit dan tulang hewan ;
Memutuskan :
“Boleh menggunakan gelatin yang berasal dari sesuatu yang mubah, dari
hewan yang disembelih dengan cara yang sesuai dengan ajaran Islam. Dan
tidak dibolehkan menggunakan gelatin yang diperoleh dari sesuatu yang
haram, seperti ; gelatin dari kulit dan tulang babi dan dari benda
haram lainnya”.

Himpunan Fiqh Islami menghimbau Negara-Negara Islam untuk memproduksi
gelatin yang halal’. [10]

3. Fatwa Dewan Ulama Besar Kerajaan Arab Saudi (no fatwa : 8039), yang
berbunyi : “Gelatin yang diperoleh dari sesuatu yang haram seperti
babi, hukumnya haram” [11].

Dan pendapat ini didukung oleh sebagian besar para ulama fiqh kontemporer

Para ulama ini beralasan bahwa gelatin bukanlah zat baru yang
merupakan perubahan wujud dari kolagen, akan tetapi gelatin telah ada
pada kolagen babi sebelum dipisahkan, ini menunjukkan bahwa proses
yang terjadi hanyalah pemisahan dan sekedar pergantian nama dan bukan
perubahan wujud secara mutlak.

Dari dua pendapat di atas sikap seorang muslim hendaklah memilih yang
lebih baik untuk diri dan agamanya, yaitu menghindari segala produk
yang menggunakan gelatin babi sebagai salah satu bahan bakunya, karena
bagaimanapun juga, asal gelatin ini adalah babi dan babi telah
diharamkan Allah di dalam Al-Qur’an, adapun proses perubahan wujud
menjadi zat lain masih diragukan maka hukumnya kembali kepada hukum
asal babi yaitu haram, sesuai dengan kaidah hadits Nabi “
Tinggalkanlah yang meragukan kepada hal yang tidak meragukan”.

Dengan demikian, menjual segala barang/produk yang salah satu bahan
dasarnya adalah gelatin babi hukumnya haram, dan hasil keuntungannya
merupakan harta haram, demikian juga diharamkan seorang dokter untuk
memberikan resep obat-obatan yang mengandung gelatin babi.

Sekalipun keberadaan gelatin hanya sebagai bahan campuran, hukumnya
juga tetap haram, berdasarkan sabda Nabi:

إِذَا وَقَعَتْ الْفَارَةُ فِي السَّمْنِ فَإِنْ كَانَ جَامِدًا
فَأَلْقُوهَا وَمَا حَوْ لَهَا وَإِنْ كَانَ مَا ئِعًا فَلا تَقْرَ بُوهُ

“Apabila seekor tikus (mati) jatuh ke minyak samin, jika minyak samin
itu beku maka buang bangkai tikus dan bagian minyak samin yang beku
yang terkena (najisnya), dan jika minyak samin itu cair maka jangan
engkau dekati!” [HR Abu Daud dan Nasa’i, derajat hadits ini Hasan]

Dari hadits di atas dipahami bahwa haram mendekati minyak cair yang
bercampur najis, dan menjual minyak yang najis berarti mendekatinya
maka hukumnya jelas haram.

Begitu juga haram hukumnya menjual makan olahan dan obat-obatan yang
telah bercampur najis (babi), karena tidak dapat dipisahkan lagi
antara najis (babi) dan bahan baku lainnya yang halal.

VAKSIN YANG MENGANDUNG GELATIN BABI
Sebagaimana telah diketahui bahwa gelatin babi hukumnya adalah najis,
lalu bagaimanakah hukum melakukan vaksinasi untuk kekebalan tubuh
terhadap penyakit tertentu, seperti vaksin meningitis yang merupakan
persyaratan untuk mendapatkan visa dan umrah?

Laporan dari berbagai sumber memang dinyatakan bahwa vaksin meningitis
mengandung gelatin babi. Gelatin babi hukumnya najis serta haram
hukumnya dimasukkan ke dalam tubuh. Maka hukum melakukan vaksin ini
adalah haram.

Namun hukum haram ini bisa berubah dalam kondisi tertentu, yaitu :
bila tidak terdapat alternatif lain pengganti vaksin yang mengandung
gelatin babi dan kuat dugaan orang yang tidak mendapat vaksin ini akan
terserang penyakit berbahaya yang berakibat kepada cacat permanen atau
bahkan kematian. Maka dalam kasus ini dapat digolongkan dalam kondisi
darurat.

Allah berfirman.

وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ

“Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang
diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya”
[Al-An’am : 119]

Ini berarti, Allah menghalalkan bagi hamba-Nya sesuatu yang dia
haramkan dalam kondisi darurat. l

Akan tetapi jika terdapat alternatif lain pengganti gelatin babi
seperti gelatin sapi maka seyogyanyalah pihak yang berwenang di sebuah
Negara berpenduduk mayoritas Islam untuk memberikan pelayanan yang
paripurna terhadap rakyatnya.

[Disalin dari Majalah Pengusaha Muslim Edisi 19 Volume 2/Agustus 2011,
Alamat Redaksi Gang Timor Timur D-9 Jalan Kaliurang Km 6.5 Yogyakarta,
Telp. 0274-8378008]
_______
Footnote
[1]. Badriyah Al-Haritsy, An-Nawazil fil Athimah1, thesis di
Univ.Al-Imam Muhammad bin Saud, Riyadh, halaman 504
[2]. Al-Mausuah Al-Kuwaytiyyah 10/278
[3]. Al-Durr Al-Mukhtar 1/217
[4]. Nihayatul Muhtaj 1/247
[5]. Al-Mughni 1/60
[6]. Nawazil fil Athimah 1/499, Basim Al-Qarafi, Nawazil Fithaharah,
thesis di Univ. Al-Imam Muhammad bin Saud, Riyadh 1/378
[7]. Ibid
[8]. Nawazil fil Athimah 1/500
[9]. Journal Fiqh Council, edisi III, vol 1409H, halaman 47
[10]. Qararat Al-Majma Al-Fiqhiy Al-Islami, hal.316
[11]. Journal Al-Buhuts Al-Islamiyah, edisi XX, vol. 1407H, hal 178


------------------------------------

Website anda http://www.almanhaj.or.id
Berhenti berlangganan: assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com
Ketentuan posting : http://milis.assunnah.or.id/aturanmilis/
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    assunnah-dig...@yahoogroups.com 
    assunnah-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke