MALU, ADALAH AKHLAK ISLAM

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
http://almanhaj.or.id/content/3441/slash/0/malu-adalah-akhlak-islam/

عَنْ أَبِيْ مَسْعُوْدٍٍ اْلأَنْصَاريِ الْبَدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ((إِنَّ
مِـمَّـا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِِ النُّبُوَّةِ اْلأُوْلَى :
إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ ؛ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ)). رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.

Dari Abu Mas’ûd ‘Uqbah bin ‘Amr al-Anshârî al-Badri radhiyallâhu ‘anhu
ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui oleh manusia
dari kalimat kenabian terdahulu adalah, ‘Jika engkau tidak malu,
berbuatlah sesukamu.’”

TAKHRÎJ HADÎTS
Hadits ini shahîh diriwayatkan oleh: Al-Bukhâri (no. 3483, 3484,
6120), Ahmad (IV/121, 122, V/273), Abû Dâwud (no. 4797), Ibnu Mâjah
(no. 4183), ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmul Ausath (no. 2332), Abu
Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ' (IV/411, VIII/129), al-Baihaqi (X/192),
al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 3597), ath-Thayâlisi (no. 655),
dan Ibnu Hibbân (no. 606-at-Ta’lîqâtul Hisân).

PENJELASAN HADÎTS
A. Pengertian Malu
Malu adalah satu kata yang mencakup perbuatan menjauhi segala apa yang
dibenci.[1]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata, “Malu berasal dari kata hayaah
(hidup), dan ada yang berpendapat bahwa malu berasal dari kata
al-hayaa (hujan), tetapi makna ini tidak masyhûr. Hidup dan matinya
hati seseorang sangat mempengaruhi sifat malu orang tersebut. Begitu
pula dengan hilangnya rasa malu, dipengaruhi oleh kadar kematian hati
dan ruh seseorang. Sehingga setiap kali hati hidup, pada saat itu pula
rasa malu menjadi lebih sempurna.

Al-Junaid rahimahullâh berkata, “Rasa malu yaitu melihat kenikmatan
dan keteledoran sehingga menimbulkan suatu kondisi yang disebut dengan
malu. Hakikat malu ialah sikap yang memotivasi untuk meninggalkan
keburukan dan mencegah sikap menyia-nyiakan hak pemiliknya.’”[2]

Kesimpulan definisi di atas ialah bahwa malu adalah akhlak (perangai)
yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang
buruk dan tercela, sehingga mampu menghalangi seseorang dari melakukan
dosa dan maksiat serta mencegah sikap melalaikan hak orang lain.[3]

B. Keutamaan Malu
1. Malu pada hakikatnya tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan.
Malu mengajak pemiliknya agar menghias diri dengan yang mulia dan
menjauhkan diri dari sifat-sifat yang hina.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إِلاَّ بِخَيْـرٍ.

“Malu itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan semata-mata.”
[Muttafaq ‘alaihi]

Dalam riwayat Muslim disebutkan,

اَلْـحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ.

“Malu itu kebaikan seluruhnya.” [4]

Malu adalah akhlak para Nabi , terutama pemimpin mereka, yaitu Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih pemalu daripada
gadis yang sedang dipingit.

2. Malu Adalah Cabang Keimanan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َاْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً،
فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ
اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ َاْلإِيْمَانُ.

“Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang
yang paling tinggi adalah perkataan ‘Lâ ilâha illallâh,’ dan yang
paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan
malu adalah salah satu cabang Iman.”[5]

3. Allah Azza Wa Jalla Cinta Kepada Orang-Orang Yang Malu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ حَيِيٌّ سِتِّيْرٌ يُـحِبُّ الْـحَيَاءَ
وَالسِّتْرَ ، فَإِذَا اغْتَسَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ.

“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla Maha Pemalu, Maha Menutupi, Dia
mencintai rasa malu dan ketertutupan. Apabila salah seorang dari
kalian mandi, maka hendaklah dia menutup diri.”[6]

4. Malu Adalah Akhlak Para Malaikat.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلاَ أَسْتَحْيِ مِنْ رُجُلٍ تَسْتَحْيِ مِنْهُ الْـمَلاَ ئِكَةُ.

“Apakah aku tidak pantas merasa malu terhadap seseorang, padahal para
Malaikat merasa malu kepadanya.”[7]

5. Malu Adalah Akhlak Islam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ لِكُلِّ دِيْنٍ خُلُقًا وَخَلُقُ اْلإِسْلاَمِ الْـحَيَاءُ.

“Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah malu.”[8]

6. Malu Sebagai Pencegah Pemiliknya Dari Melakukan Maksiat.
Ada salah seorang Shahabat Radhiyallahu anhu yang mengecam saudaranya
dalam masalah malu dan ia berkata kepadanya, “Sungguh, malu telah
merugikanmu.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,

دَعْهُ ، فَإِنَّ الْـحَيَاءَ مِنَ الإيْمَـانِ.

“Biarkan dia, karena malu termasuk iman.”[9]

Abu ‘Ubaid al-Harawi rahimahullâh berkata, “Maknanya, bahwa orang itu
berhenti dari perbuatan maksiatnya karena rasa malunya, sehingga rasa
malu itu seperti iman yang mencegah antara dia dengan perbuatan
maksiat.”[10]

7. Malu Senantiasa Seiring Dengan Iman, Bila Salah Satunya Tercabut
Hilanglah Yang Lainnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اَلْـحَيَاءُ وَ اْلإِيْمَانُ قُرِنَا جَمِـيْعًا ، فَإِذَا رُفِعَ
أَحَدُهُمَا رُفِعَ اْلاَ خَرُ.

“Malu dan iman senantiasa bersama. Apabila salah satunya dicabut, maka
hilanglah yang lainnya.”[11]

8. Malu Akan Mengantarkan Seseorang Ke Surga.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اَلْـحَيَاءُ مِنَ اْلإِيْمَانِ وَ َاْلإِيْمَانُ فِـي الْـجَنَّةِ ،
وَالْبَذَاءُ مِنَ الْـجَفَاءِ وَالْـجَفَاءُ فِـي النَّارِ.

“Malu adalah bagian dari iman, sedang iman tempatnya di Surga dan
perkataan kotor adalah bagian dari tabiat kasar, sedang tabiat kasar
tempatnya di Neraka.”[12]

C. Malu Adalah Warisan Para Nabi Terdahulu
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda , “Sesungguhnya
salah satu perkara yang telah diketahui manusia dari kalimat kenabian
terdahulu…"

Maksudnya, ini sebagai hikmah kenabian yang sangat agung, yang
mengajak kepada rasa malu, yang merupakan satu perkara yang diwariskan
oleh para Nabi kepada manusia generasi demi generasi hingga kepada
generasi awal umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Di
antara perkara yang didakwahkan oleh para Nabi terdahulu kepada hamba
Allah Azza wa Jalla adalah berakhlak malu.[13]

Sesungguhnya sifat malu ini senantiasa terpuji, dianggap baik, dan
diperintahkan serta tidak dihapus dari syari’at-syari’at para nabi
terdahulu.[14]

D. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Adalah Sosok Pribadi Yang
Sangat Pemalu
Allah Azza wa Jalla berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ
إِلَّا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَىٰ طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ
وَلَٰكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا
وَلَا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ ۚ إِنَّ ذَٰلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي
النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِي مِنْكُمْ ۖ وَاللَّهُ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ
الْحَقِّ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah
Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk Makan dengan tidak
menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang
Maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik
memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan
mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar),
dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. [al-Ahzâb/ 33:53]

Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu berkata,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدَّ حَيَاءً مِنَ
الْعَذْرَاءِ فِـيْ خِدْرِهَا.

“Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih pemalu daripada gadis yang
dipingit di kamarnya.”[15]

Imam al-Qurthubi rahimahullâh berkata, “Malu yang dibenarkan adalah
malu yang dijadikan Allah Azza wa Jalla sebagai bagian dari keimanan
dan perintah-Nya, bukan yang berasal dari gharîzah (tabiat). Akan
tetapi, tabiat akan membantu terciptanya sifat malu yang usahakan
(muktasab), sehingga menjadi tabiat itu sendiri. Nabi n memiliki dua
jenis malu ini, akan tetapi sifat tabiat beliau lebih malu daripada
gadis yang dipingit, sedang yang muktasab (yang diperoleh) berada pada
puncak tertinggi.”[16]

E. Makna Perintah Untuk Malu Dalam Hadits Ini
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Jika engkau tidak
merasa malu, berbuatlah sesukamu.”

Ada beberapa pendapat ulama mengenai penafsiran dari perintah dalam
hadits ini, di antaranya:

1. Perintah Tersebut Mengandung Arti Peringatan Dan Ancaman
Maksudnya, jika engkau tidak punya rasa malu, maka berbuatlah apa saja
sesukamu karena sesungguhnya engkau akan diberi balasan yang setimpal
dengan perbuatanmu itu, baik di dunia maupun di akhirat atau
kedua-duanya. Seperti firman Allah Azza wa Jalla :

اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ ۖ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya Dia Maha melihat apa
yang kamu kerjakan.[Fushilat/41:40]

2. Perintah Tersebut Mengandung Arti Penjelasan.
Maksudnya, barangsiapa tidak memiliki rasa malu, maka ia berbuat apa
saja yang ia inginkan, karena sesuatu yang menghalangi seseorang untuk
berbuat buruk adalah rasa malu. Jadi, orang yang tidak malu akan larut
dalam perbuatan keji dan mungkar, serta perbuatan-perbuatan yang
dijauhi orang-orang yang mempunyai rasa malu. Ini sebagaimana sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.

“Barangsiapa berdusta kepadaku dengan sengaja, hendaklah ia menyiapkan
tempat duduknya di Neraka.”[17]

Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas bentuknya berupa
perintah, namun maknanya adalah penjelasan bahwa barangsiapa berdusta
terhadapku, ia telah menyiapkan tempat duduknya di Neraka.[18]

3. Perintah Tersebut Mengandung Arti Pembolehan.
Imam an-Nawawi rahimahullâh berkata, “Perintah tersebut mengandung
arti pembolehan. Maksudnya, jika engkau akan mengerjakan sesuatu, maka
lihatlah, jika perbuatan itu merupakan sesuatu yang menjadikan engkau
tidak merasa malu kepada Allah Azza wa Jalla dan manusia, maka
lakukanlah, jika tidak, maka tinggalkanlah.”[19]

Pendapat yang paling benar adalah pendapat yang pertama, yang
merupakan pendapat jumhur ulama.[20]

F. Malu Itu Ada Dua Jenis
1. Malu Yang Merupakan Tabiat Dan Watak Bawaan
Malu seperti ini adalah akhlak paling mulia yang diberikan Allah Azza
wa Jalla kepada seorang hamba. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,

اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إلاَّ بِخَيْرٍ.

“Malu tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan.”[21]

Malu seperti ini menghalangi seseorang dari mengerjakan perbuatan
buruk dan tercela serta mendorongnya agar berakhlak mulia. Dalam
konteks ini, malu itu termasuk iman. Al-Jarrâh bin ‘Abdullâh al-Hakami
berkata, “Aku tinggalkan dosa selama empat puluh tahun karena malu,
kemudian aku mendapatkan sifat wara’ (takwa).”[22]

2. Malu Yang Timbul Karena Adanya Usaha.
Yaitu malu yang didapatkan dengan ma’rifatullâh (mengenal Allah Azza
wa Jalla ) dengan mengenal keagungan-Nya, kedekatan-Nya dengan
hamba-Nya, perhatian-Nya terhadap mereka, pengetahuan-Nya terhadap
mata yang berkhianat dan apa saja yang dirahasiakan oleh hati. Malu
yang didapat dengan usaha inilah yang dijadikan oleh Allah Azza wa
Jalla sebagai bagian dari iman. Siapa saja yang tidak memiliki malu,
baik yang berasal dari tabi’at maupun yang didapat dengan usaha, maka
tidak ada sama sekali yang menahannya dari terjatuh ke dalam perbuatan
keji dan maksiat sehingga seorang hamba menjadi setan yang terkutuk
yang berjalan di muka bumi dengan tubuh manusia. Kita memohon
keselamatan kepada Allah Azza wa Jalla .[23]

Dahulu, orang-orang Jahiliyyah –yang berada di atas kebodohannya-
sangat merasa berat untuk melakukan hal-hal yang buruk karena dicegah
oleh rasa malunya, diantara contohnya ialah apa yang dialami oleh Abu
Sufyan ketika bersama Heraklius ketika ia ditanya tentang Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Abu Sufyan berkata,

فَوَ اللهِ ، لَوْ لاَ الْـحَيَاءُ مِنْ أَنْ يَأْثِرُوْا عَلَيَّ
كَذِبًا لَكَذَبْتُ عَلَيْهِ.

“Demi Allah Azza wa Jalla , kalau bukan karena rasa malu yang
menjadikan aku khawatir dituduh oleh mereka sebagai pendusta, niscaya
aku akan berbohong kepadanya (tentang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam).”[24]

Rasa malu telah menghalanginya untuk membuat kedustaan atas nama
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena ia malu jika dituduh
sebagai pendusta.

G. Konsekuensi Malu Menurut Syari’at Islam
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اِسْتَحْيُوْا مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ، مَنِ اسْتَحْىَ مِنَ اللهِ
حَقَّ الْـحَيَاءِ فَلْيَحْفَظِ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا
حَوَى وَلْيَذْكُرٍِِِِِِِِِِِِِِ الْـمَوْتَ وَالْبِلَى، وَمَنْ أَرَادَ
اْلأَخِِِِرَة تَرَكَ زِيْنَةَ الدُّنْيَا، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدِ
اسْتَحْيَا مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ.

Hendaklah kalian malu kepada Allah Azza wa Jalla dengan sebenar-benar
malu. Barang-siapa yang malu kepada Allah Azza wa Jalla dengan
sebenar-benar malu, maka hendaklah ia menjaga kepala dan apa yang ada
padanya, hendaklah ia menjaga perut dan apa yang dikandungnya, dan
hendaklah ia selalu ingat kematian dan busuknya jasad. Barangsiapa
yang menginginkan kehidupan akhirat hendaklah ia meninggalkan
perhiasan dunia. Dan barangsiapa yang mengerjakan yang demikian, maka
sungguh ia telah malu kepada Allah Azza wa Jalla dengan sebenar-benar
malu.[25]

H. Malu Yang Tercela
Qâdhi ‘Iyâdh rahimahullâh dan yang lainnya mengatakan, “Malu yang
menyebabkan menyia-nyiakan hak bukanlah malu yang disyari’atkan,
bahkan itu ketidakmampuan dan kelemahan. Adapun ia dimutlakkan dengan
sebutan malu karena menyerupai malu yang disyari’atkan.”[26] Dengan
demikian, malu yang menyebabkan pelakunya menyia-nyiakan hak Allah
Azza wa Jalla sehingga ia beribadah kepada Allah dengan kebodohan
tanpa mau bertanya tentang urusan agamanya, menyia-nyiakan hak-hak
dirinya sendiri, hak-hak orang yang menjadi tanggungannya, dan hak-hak
kaum muslimin, adalah tercela karena pada hakikatnya ia adalah
kelemahan dan ketidakberdayaan.[27]

Di antara sifat malu yang tercela adalah malu untuk menuntut ilmu
syar’i, malu mengaji, malu membaca Alqur-an, malu melakukan amar
ma’ruf nahi munkar yang menjadi kewajiban seorang Muslim, malu untuk
shalat berjama’ah di masjid bersama kaum muslimin, malu memakai busana
Muslimah yang syar’i, malu mencari nafkah yang halal untuk keluarganya
bagi laki-laki, dan yang semisalnya. Sifat malu seperti ini tercela
karena akan menghalanginya memperoleh kebaikan yang sangat besar.

Tentang tidak bolehnya malu dalam menuntut ilmu, Imam Mujahid
rahimahullah berkata,

لاَ يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ مُسْتَحْيٍ وَلاَ مُسْتَكْبِـرٌ.

Orang yang malu dan orang yang sombong tidak akan mendapatkan ilmu.[28]

Ummul Mukminin ‘Âisyah Radhiyallâhu ‘anha pernah berkata tentang sifat
para wanita Anshâr,

نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ اْلأَنْصَارِ ، لَـمْ يَمْنَعْهُنَّ
الْـحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِـي الدِّيْنِ.

Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshâr. Rasa malu tidak menghalangi
mereka untuk memperdalam ilmu Agama.[29]

Para wanita Anshâr radhiyallâhu ‘anhunna selalu bertanya kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika ada permasalahan agama
yang masih rumit bagi mereka. Rasa malu tidak menghalangi mereka demi
menimba ilmu yang bermanfaat.

Ummu Sulaim radhiyallâhu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah,
“Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! Sesungguhnya Allah
Azza wa Jalla tidak malu terhadap kebenaran, apakah seorang wanita
wajib mandi apabila ia mimpi (berjimâ’)?” Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab, “Apabila ia melihat air.”[30]

I. Wanita Muslimah Dan Rasa Malu
Wanita Muslimah menghiasi dirinya dengan rasa malu. Di dalamnya kaum
muslimin bekerjasama untuk memakmurkan bumi dan mendidik generasi
dengan kesucian fithrah kewanitaan yang selamat. Al-Qur-anul Karim
telah mengisyaratkan ketika Allah Ta’ala menceritakan salah satu anak
perempuan dari salah seorang bapak dari suku Madyan. Allah Ta’ala
berfirman,

فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ
أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا

“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua perempuan itu
berjalan dengan malu-malu, dia berkata, ‘Sesungguhnya ayahku
mengundangmu untuk memberi balasan sebagai imbalan atas (kebaikan)mu
memberi minum (ternak kami)…” [Al-Qashash/28: 25]

Dia datang dengan mengemban tugas dari ayahnya, berjalan dengan cara
berjalannya seorang gadis yang suci dan terhormat ketika menemui kaum
laki-laki; tidak seronok, tidak genit, tidak angkuh, dan tidak
merangsang. Namun, walau malu tampak dari cara berjalannya, dia tetap
dapat menjelaskan maksudnya dengan jelas dan mendetail, tidak grogi
dan tidak terbata-bata. Semua itu timbul dari fithrahnya yang selamat,
bersih, dan lurus. Gadis yang lurus merasa malu dengan fithrahnya
ketika bertemu dengan kaum laki-laki yang berbicara dengannya, tetapi
karena kesuciannya dan keistiqamahannya, dia tidak panik karena
kepanikan sering kali menimbulkan dorongan, godaan, dan rangsangan.
Dia berbicara sesuai dengan yang dibutuhkan dan tidak lebih dari itu.

Adapun wanita yang disifati pada zaman dahulu sebagai wanita yang suka
keluyuran adalah wanita yang pada zaman sekarang disebut sebagai
wanita tomboy, membuka aurat, tabarruj (bersolek), campur baur dengan
laki-laki tanpa ada kebutuhan yang dibenarkan syari’at, maka wanita
tersebut adalah wanita yang tidak dididik oleh Al-Qur-an dan adab-adab
Islam. Dia mengganti rasa malu dan ketaatan kepada Allah dengan sifat
lancang, maksiat, dan durhaka, merasuk ke dalam dirinya apa-apa yang
diinginkan musuh-musuh Allah berupa kehancuran dan kebinasaan di dunia
dan akhirat.[31] Nas-alullaah as-salaamah wal ‘aafiyah.

Setiap suami atau kepala rumah tangga wajib berhati-hati dan wajib
menjaga istri dan anak-anak perempuannya agar tidak mengikuti
pergaulan dan mode-mode yang merusak dan menghilangkan rasa malu
seperti terbukanya aurat, bersolek, berjalan dengan laki-laki yang
bukan mahram, ngobrol dengan laki-laki yang bukan mahram, pacaran, dan
lain-lain. Para suami dan orang tua wajib mendidik anak-anak perempuan
mereka di atas rasa malu karena rasa malu adalah perhiasan kaum
wanita. Apabila ia melepaskan rasa malu itu, maka semua keutamaan yang
ada padanya pun ikut hilang.

J. Buah Dari Rasa Malu
Buah dari rasa malu adalah ‘iffah (menjaga kehormatan). Siapa saja
yang memiliki rasa malu hingga mewarnai seluruh amalnya, niscaya ia
akan berlaku ‘iffah. Dan dari buahnya pula adalah bersifat wafa'
(setia/menepati janji).

Imam Ibnu Hibban al-Busti rahimahullaah berkata, “Wajib bagi orang
yang berakal untuk bersikap malu terhadap sesama manusia. Diantara
berkah yang mulia yang didapat dari membiasakan diri bersikap malu
adalah akan terbiasa berperilaku terpuji dan menjauhi perilaku
tercela. Disamping itu berkah yang lain adalah selamat dari api
Neraka, yakni dengan cara senantiasa malu saat hendak mengerjakan
sesuatu yang dilarang Allah. Karena, manusia memiliki tabiat baik dan
buruk saat bermuamalah dengan Allah dan saat berhubungan sosial dengan
orang lain.

Bila rasa malunya lebih dominan, maka kuat pula perilaku baiknya,
sedang perilaku jeleknya melemah. Saat sikap malu melemah, maka sikap
buruknya menguat dan kebaikannya meredup.[32]

Beliau melanjutkan, “Sesungguhnya seseorang apabila bertambah kuat
rasa malunya maka ia akan melindungi kehormatannya, mengubur
dalam-dalam kejelekannya, dan menyebarkan kebaikan-kebaikannya. Siapa
yang hilang rasa malunya, pasti hilang pula kebahagiaannya; siapa yang
hilang kebahagiaannya, pasti akan hina dan dibenci oleh manusia; siapa
yang dibenci manusia pasti ia akan disakiti; siapa yang disakiti pasti
akan bersedih; siapa yang bersedih pasti memikirkannya; siapa yang
pikirannya tertimpa ujian, maka sebagian besar ucapannya menjadi dosa
baginya dan tidak mendatangkan pahala. Tidak ada obat bagi orang yang
tidak memiliki rasa malu; tidak ada rasa malu bagi orang yang tidak
memiliki sifat setia; dan tidak ada kesetiaan bagi orang yang tidak
memiliki kawan. Siapa yang sedikit rasa malunya, ia akan berbuat
sekehendaknya dan berucap apa saja yang disukainya.”

FAWÂÎD HADÎTS
1. Malu adalah salah satu wasiat yang disampaikan oleh para Nabi terdahulu.
2. Sifat malu semuanya terpuji dan senantiasa disyari’atkan oleh para
Nabi terdahulu.
3. Hadits ini menunjukkan bahwa malu itu seluruhnya baik. Barangsiapa
banyak rasa malunya, banyak pula kebaikannya dan manfaatnya lebih
menyeluruh. Dan barangsiapa yang sedikit rasa malunya, sedikit pula
kebaikannya.
4. Malu adalah sifat yang mendorong pemiliknya untuk meninggalkan
perbuatan-perbuatan yang buruk.
5. Malu yang mencegah seseorang dari menuntut ilmu dan mencari
kebenaran adalah malu yang tercela.
6. Setiap agama memiliki akhlak dan akhlak Islam adalah malu.
7. Buah dari malu adalah ‘iffah (menjaga kehormatan) dan wafa' (setia).
8. Malu adalah bagian dari iman yang wajib.
9. Orang-orang Jahiliyyah dahulu memiliki rasa malu yang mencegah
mereka dari mengerjakan sebagian perbuatan jelek.
10. Allah Azza wa Jalla Maha Pemalu dan menyukai sifat malu serta
mencintai hamba-hamba-Nya yang pemalu.
11. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sosok pribadi yang
sangat pemalu.
12. Malaikat mempunyai sifat malu.
13. Lawan dari malu adalah tidak tahu malu (muka tembok), ia adalah
perangai yang membawa pemiliknya melakukan keburukan dan tenggelam di
dalamnya serta tidak malu melakukan maksiat secara terang-terangan.
Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ أُمَّـتِيْ مُعَافًى إِلاَّ الْـمُجَاهِرِيْنَ.

Setiap umatku pasti dimaafkan, kecuali orang yang melakukan maksiat
secara terang-terangan.[34]

14. Para orang tua wajib menanamkan rasa malu kepada anak-anak mereka.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1430H/2009M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Raudhatul ‘Uqalâ wa Nuzhatul Fudhalâ' (hal. 53)
[2]. Madârijus Sâlikîn (II/270). Lihat juga Fathul Bâri (X/522)
tentang definisi malu.
[3]. Lihat al-Haya' fî Dhau-il Qur-ânil Karîm wal Ahâdîts ash-Shahîhah (hal. 9).
[4]. Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 6117) dan Muslim (no. 37/60), dari
Shahabat ‘Imran bin Husain.
[5]. Shahîh: HR.al-Bukhâri dalam al-Adâbul Mufrad (no. 598), Muslim
(no. 35), Abû Dâwud (no. 4676), an-Nasâ-i (VIII/110) dan Ibnu Mâjah
(no. 57), dari Shahabat Abû Hurairah. Lihat Shahîhul Jâmi’ ash-Shaghîr
(no. 2800).
[6]. Shahîh: HR.Abû Dawud (no. 4012), an-Nasâ-i (I/200), dan Ahmad
(IV/224) dari Ya’la.
[7]. Shahîh: HR.Muslim (no. 2401).
[8]. Shahîh: HR.Ibnu Mâjah (no. 4181) dan ath-Thabrâni dalam
al-Mu’jâmush Shaghîr (I/13-14) dari Shahabat Anas bin Malik. Lihat
Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 940).
[9]. Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 24, 6118), Muslim (no. 36), Ahmad
(II/9), Abû Dâwud (no. 4795), at-Tirmidzî (no. 2516), an-Nasâ-i
(VIII/121), Ibnu Mâjah (no. 58), dan Ibnu Hibbân (no. 610) dari Ibnu
‘Umar radhiyallâhu ‘anhu.
[10]. Fathul Bâri (X/522).
[11]. Shahîh: HR.al-Hâkim (I/22), ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmush
Shaghîr (I/223), al-Mundziri dalam at-Targhîb wat Tarhîb (no. 3827),
Abû Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’ (IV/328, no. 5741), dan selainnya.
Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 3200).
[12]. Shahîh: HR.Ahmad (II/501), at-Tirmidzî (no. 2009), Ibnu Hibbân
(no. 1929-Mawârid), al-Hâkim (I/52-53) dari Abû Hurairah t . Lihat
Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 495) dan Shahîh al-Jâmi’ish
Shaghîr (no. 3199).
[13]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/497) dan Qawâ’id wa Fawâ-id
(hal. 179-180). Cet. I Dâr Ibni Hazm.
[14]. Lihat Syarh al-Arba’în (hal. 83) karya Ibnu Daqîq al-‘Îed.
[15]. Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 6119).
[16]. Fathul Bâri (X/522).
[17]. Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 110), Muslim (no. 30), dan selainnya
dengan sanad mutawâtir dari banyak para Shahabat.
[18]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/498) dan Qawâ’id wa Faawâid (hal. 180)
[19]. Fathul Bâri (X/523).
[20]. Lihat Madârijus Sâlikîn (II/270).
[21]. Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 6117) dan Muslim (no. 37).
[22]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/501).
[23]. Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id (hal. 181).
[24]. Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 7).
[25]. Hasan: HR.at-Tirmidzi (no. 2458), Ahmad (I/ 387), al-Hâkim
(IV/323), dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 4033). Lihat Shahîh
al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 935).
[26]. Fathul Bâri (X/522).
[27]. Lihat Qawâ’id wa Fawâid (hal. 182).
[28]. Atsar shahîh: Diriwayatkan oleh al-Bukhâri secara mu’allaq dalam
Shahîh-nya kitab al-‘Ilmu bab al-Hayâ' fil ‘Ilmi dan Ibnu ‘Abdil Barr
dalam al-Jâmi’ bayânil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/534-535, no. 879).
[29]. Atsar shahîh: Diriwayatkan oleh al-Bukhâri dalam Shahîhnya kitab
al-‘Ilmu bab al-Hayâ' fil ‘Ilmi secara mu’allaq.
[30]. Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 130) dan Muslim (no. 313).
Maksud hadits ini ialah, wajib bagi laki-laki dan wanita mandi janabat
apabila ia mimpi jimâ’ (bersetubuh) lalu keluar mani. Apabila ia mimpi
jima’ tetapi tidak keluar mani maka tidak wajib mandi. Adapun jika
suami-istri jimâ’ (bersetubuh) keduanya wajib mandi meskipun tidak
keluar mani.
[31]. Lihat al-Wâfi fî Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah (hal. 153).
[32]. Raudhatul ‘Uqalâ wa Nuzhatul Fudhalâ' (hal. 55).
[33]. Ibid (hal. 55).
[34]. Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 6096) dan Muslim (no. 2990) dari Abû Hurairah
Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 6096) dan Muslim (no. 2990) dari Abû Hurairah .


------------------------------------

Website anda http://www.almanhaj.or.id
Berhenti berlangganan: assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com
Ketentuan posting : http://milis.assunnah.or.id/aturanmilis/
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    assunnah-dig...@yahoogroups.com 
    assunnah-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke