MENGAPA MESTI TABAYYUN?

Oleh
Ustadz Syaikh Mudrika
http://almanhaj.or.id/content/3445/slash/0/mengapa-mesti-tabayyun/

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ
فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ
مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

Wahai orang- orang yang beriman, jika ada seorang faasiq datang kepada
kalian dengan membawa suatu berita penting, maka tabayyunlah
(telitilah dulu), agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya
pada suatu kaum atas dasar kebodohan, kemudian akhirnya kalian menjadi
menyesal atas perlakuan kalian.
[al-Hujurât/49:6].

MUQADDIMAH
Kehidupan bermasyarakat tidak lekang dari isu, gosip sampai adu domba
antar manusia. Keadaan ini diperkeruh oleh adanya sekelompok
masyarakat menjadikan gosip dan `aib serta `aurat (kehormatan) orang
lain sebagai komoditas perdagangan untuk meraup keuntungan dunia.
Bahkan untuk tujuan popularitas ada yang menjual gosip yang menyangkut
diri dan keluarganya.

Perilaku gosip yang telah menjadi penyakit masyarakat ini tidak
disadari oleh kebanyakan pecandunya, bahwasanya menyebarluaskan gosip
itu ibarat telah saling memakan daging bangkai saudaranya sendiri.
Allah Ta'ala menggambarkan demikian itu ketika melarang kaum beriman
saling ghibah (menggunjing), sebagaimana tersebut dalam al-Qur`ân:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ
إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ
بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ
مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ
رَحِيمٌ

Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka,
karena sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa. Jangan pula kalian
memata-matai dan saling menggunjing. Apakah di antara kalian ada yang
suka menyantap daging bangkai saudaranya sendiri? Sudah barang tentu
kalian jijik padanya. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya
Allaah Maha menerima taubat dan Maha Penyayang. [al-Hujurât/49:12].

Dari penyakit ini, syahwat akan meluas dan berkembang penyakit lain
yang tidak kalah bahayanya, di antaranya kebiasaan berbohong,
memutuskan silaturrahim, melakukan hajr (memboikot, mendiamkan),
at-tahazzub (kekelompokan), al-walâ` dan al-barâ` (suka dan benci)
yang tidak sesuai tempatnya, bahkan sampai bisa sampai pada tahapan
saling membunuh. Na'ûdzu billâhi min dzâlik.

Penyakit menggungjing ini tidak akan terobati selama Al-Qur`ân hanya
diperlakukan sebagai sekedar ilmu pengetahuan yang dibaca dan
dikhutbahkan di mimbar- mimbar, dan tidak menjadikannya sebagai
terapi. Padahal Allah Ta`ala berfirman:

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ

Dan kami turunkan Al-Qur`ân sebagai obat dan rahmah bagi kaum beriman.
[al-Isrâ`/17:82].

Allah Ta`ala juga berfirman:

إِنَّ هَٰذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ

Sesungguhnya Al-Qur`ân ini membimbing ke jalan yang paling lurus.
[al-Isrâ`/17:9]

Terapi dari Al-Qur`ân dengan satu kata inti, yaitu tabayyun. Allah
Ta'ala telah menyebutkannya dalam surat al-Hujurât/49 ayat 6 ini, dan
insyaa Allaah, akan dilakukan pembahasan yang ditinjau dari tiga sisi.
Wallâhul- Muwaffiq.

SABABUN- NUZÛL
Al-Hâfizh Ibnu Katsîr menyatakan, ayat ini dilatarbelakangi oleh suatu
kasus sebagaimana diriwayatkan dari banyak jalur. Yang terbaik, ialah
dari Imam Ahmad dalam Musnad-nya, dari jalur kepala suku
Banil-Mushthaliq, yaitu al-Hârits ibnu Dhirâr al-Khuzâ`i, ayah dari
Juwairiyah bintil-Hârits Ummil-Mu`minîn Radhiyallahu anhuma.

Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata : “Kami diberithu oleh Muhammad
ibnu Sâbiq, beliau berkata : aku diberithu 'Îsâ ibnu Dînâr, beliau
berkata : aku diberithu oleh ayahku, bahwa beliau mendengar langsung
penuturan al-Hârits ibnu Dhirâr al-Khuzâ`i Radhiyallahu anhu :

Al-Hârits mengatakan: “Aku mendatangi Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam . Beliau mengajakku ke dalam Islam, akupun menyetujuinya.
Aku katakan: 'Wahai, Rasûlullâh. Aku akan pulang untuk mengajak mereka
berislam, juga berzakat. Siapa yang menerima, aku kumpulkan zakatnya,
dan silahkan kirim utusan kepadaku pada saat ini dan itu, agar membawa
zakat yang telah kukumpulkan itu kepadamu'.”

Setelah ia mengumpulkan zakat tersebut dari orang yang menerima
dakwahnya, dan sampailah pula pada tempo yang diinginkan Rasûlillâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ternyata utusan tersebut menahan diri
dan tidak datang. Sementara itu al-Hârits mengira bahwa Allah dan
Rasul-Nya marah, maka ia pun segera mengumpulkan kaumnya yang kaya dan
mengumumkan: “Dulu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
menentukan waktu untuk memerintahkan utusannya agar mengambil zakat
yang ada padaku, sedangkan menyelisihi janji bukanlah kebiasaan
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidak mungkin utusannya
ditahan, kecuali karena adanya kemarahan Allah dan Rasûl-Nya. Maka
dari itu, mari kita mendatangi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam”.

Sebenarnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengutus
al-Walîd ibnu `Uqbah kepada al-Hârits untuk mengambil zakat tersebut,
tetapi di tengah jalan, al-Walîd ketakutan, sehingga ia pun kembalilah
kepada Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sembari mengatakan:
“Wahai, Rasûlallâh! Al-Hârits menolak menyerahkan zakatnya, bahkan
hendak membunuhku," maka marahlah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam lalu mengutus pasukan kepada al-Hârits. Sementara itu,
al-Hârits telah berangkat bersama kaumnya.

Tatkala pasukan berangkat dan meninggalkan Madinah, bertemulah
al-Hârits dengan mereka, kemudian terjadilah dialog:

Pasukan itu berkata: “Ini dia al-Hârits”.
Setelah al-Hârits mengenali mereka, ia pun berkata: “Kepada siapa
kalian diutus?"
Mereka menjawab: “Kepadamu”.
Dia bertanya: “Untuk apa?”

Mereka menjawab: “Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah mengutus al-Walîd ibnu `Uqbah, dan ia melaporkan bahwa
engkau menolak membayar zakat, bahkan ingin membunuhnya”.

Al-Hârits menyahut: “Tidak benar itu. Demi Allah yang telah mengutus
Muhammad dengan sesungguhnya; aku tidak pernah melihatnya sama sekali,
apalagi datang kepadaku”.

Setelah al-Hârits menghadap, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertanya: “(Benarkah) engkau menolak membayar zakat dan bahkan ingin
membunuh utusanku?”

Al-Hârits menjawab: “Itu tidak benar. Demi Allah yang mengutusmu
dengan sesungguhnya, aku tidak pernah melihatnya dan tidak pula datang
kepadaku. Juga, tidaklah aku berangkat kecuali setelah nyata
ketidakhadiran utusanmu. Aku justru khawatir jika ia tidak datang
karena adanya kemarahan Allah dan Rasul-Nya yang lalu," maka turunlah
ayat dalam surat al-Hujurât: [1]

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا

TAFSIR PER KALIMAT
1. يا أيّها الّذين آمنوا (wahai orang- orang yang beriman).
Ayat ini diawali dengan seruan kepada ahlul-îmân. Disamping kasus ini
terjadi di antara kaum beriman seperti yang kami paparkan di atas,
juga karena berkaitan dengan perintah yang tidak sah dilaksanakan
kecuali oleh orang yang beriman. Ayat ini, sekaligus menunjukkan bahwa
penyelewengan terhadap perintah ini dapat mengurangi kadar keimanan
seseorang. Oleh karena itu, mari kita mempersiapkan telinga dan hati,
seraya memohon kepada Allah agar melapangkan dada kita dengan nasihat
ayat ini.

2. إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا (jika ada orang fâsiq
yang datang kepadamu dengan membawa berita penting).
An-Naba`, artinya isu (kabar) penting. Adapun orang faasiq, ialah
pelaku fusuuq, yaitu orang yang keluar dari ketaatan kepada Allah.
Setiap kemaksiatan adalah fusuuq. Karena itu, faasiq diklasifikasikan
menjadi dua macam, yaitu fâsiq besar dan fâsiq kecil.

Fâsiq besar, identik dengan kufur besar, yang mengeluarkan pelakunya
dari agama Islam. Dinyatakan oleh Allaah Ta'ala dalam banyak ayat
al-Qur`ân:

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Sesungguhnya orang-orang munaafik itulah orang-orang yang fâsiq.
[at-Taubah/9:67].

Kita juga mengetahui, kemunafikan kaum munafikin pada zaman Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sering disebutkan dalam Al-Qur`ân
ialah kemunafikan i'tiqâdi (besar). Begitu pula tentang Fir'aun dan
para pengikutnya:

إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْمًا فَاسِقِينَ

Sesungguhnya mereka adalah kaum yang fâsiq. [al-Qashash/28:32].

Kefâsikan kecil, identik dengan dosa besar yang tidak mengeluarkan
pelakunya dari agama Islam. Seperti berbohong, mengadu domba,
memutuskan perkara tanpa melakukan tabayyun (penelitian terhadap
kebenaran beritanya) terlebih dahulu. Hal ini banyak pula disebutkan
Allah, di antaranya pada ayat-ayat berikut.

وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ۚ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ
فُسُوقٌ بِكُمْ

Dan janganlah pencatat maupun saksi (hutang-piutang) itu mencelakakan.
Dan jika kalian lakukan itu, maka itu menjerumuskan kalian dalam
kefasikan. [al-Baqarah/2:282].

فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا
جِدَالَ فِي الْحَجِّ

Maka barang siapa yang telah menentukan pada bulan- bulan tersebut
untuk berhajji, maka janganlah rafats, jangan pula melakukan fusûq,
jangan pula berdebat pada saat berhaji. [al-Baqarah/2:197].

Dalam menafsirkan kata (fusûq) dalam ayat di atas, para ulama
mengatakan, yaitu perbuatan maksiat [2]. Dan kefasikan yang dilakukan
oleh shahâbi (sahabat) dalam sababun-nuzûl ayat ini, yaitu
kebohongannya dalam menyampaikan berita.

Imam Al-Qurthubi[3] berkata: "Al-Walîd dinyatakan fâsiq, artinya berbohong”.[4]

Sehingga, dampak dari indikasi fâsiq menunjukkan bahwa apabila
kebohongan saja yang merupakan kefasikan kecil sudah mengharuskan kita
mewaspadai serta perlu untuk tabayyun, maka apalagi jika perbuatan itu
merupakan fâsiq besar.

3. فتبيّنوا (maka telitilah dulu).
Ada dua qirâ`ah pada kalimat ini. Jumhûr al-Qurrâ membacanya
"fatabayyanû", sedangkan al-Kissâ`i dan para qurrâ` Madinah membacanya
"fatatsabbatû".[5] Keduanya benar dan memiliki makna yang sama.[6]

Tentang kalimat ini, ath-Thabari memaknainya: “Endapkanlah dulu sampai
kalian mengetahui kebenarannya, jangan terburu-buru menerimanya ….”[7]

Syaikh al-Jazâ`iri mengatakan, artinya, telitilah kembali sebelum
kalian berkata, berbuat atau memvonis.[8]

4. أن تصيبوا قوما بجهالة (agar jangan sampai kalian menimpakan suatu
bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan).
Keterkaitan makna antara ketidaktahuan dengan kesalahan sangat erat,
sehingga kata "jahâlah" dimaknai kesalahan.

Imam Al-Qurthubi mengatakan, "bi jahâlah," maksudnya ialah secara
salah.[9] Adapun kesalahan yang terus dibela serta dicari-cari
pembenarannya dengan berbagai dalih, maka demikian ini merupakan sifat
dan kebiasaan kaum Nashara, sehingga Allah Ta'ala menyebut mereka
dengan azh-zhâllîn. Yaitu orang-orang yang tersesat sebagaimana
disebutkan dalam suurat al-Fâtihah.

Penjelasan dari satu pihak yang mengadu tanpa tabayyun kepada yang
diadukan, dapat menyebabkan keruhnya pandangan kita terhadap seseorang
yang asalnya bersih, sehingga kita berburuk sangka kepadanya, enggan
bertemu dan bahkan memboikotnya, dan akibat yang ditimbulkannyapun
meluas. Jika dalam perdagangan bisa menurunkan omzet, dalam pergaulan
menurunkan simpati, dalam dakwah menjadikan ummat tidak mau menerima
nasihat dan pelajaran yang disampaikannya, bahkan bisa sampai pada
anggapan bahwa semua yang diajarkannya dianggap tidak benar. Jika
demikian, maka yang mendapat kerugian ialah ummat.

5. فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ (kemudian kalian
menyesal atas perlakuan kalian).
Allah Ta'ala menyebutkan penyesalan ini akan menimpa seseorang yang
salah dalam menjatuhkan keputusan karena memandang suatu masalah
(perkara) tanpa tabayyun, dan bukan dari orang yang diisukan negatif.
Karena yang memvonis ini telah berbuat zhalim. Sedangkan yang tertuduh
tanpa bukti, ia berarti mazhlûm (terzhalimi). Padahal Rasûlillâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Mu'adz bin Jabal
Radhiyallahu anhu :

وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُوْمِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ
اللهِ حِجَابٌ

Dan hindarilah doa orang yang terzhalimi. Sesungguhnya tidak ada tabir
penghalang antara doa orang yang terzhalimi dengan Allah.[10]

ANTARA KEUMUMAN LAFAZH DAN KEKHUSUSAN SEBAB DALAM AYAT INI
Merupakan kaidah pokok di kalangan ahli tafsir, bahwa:

العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب

(yang menjadi patokan adalah keumuman indikasi lafazhnya, bukan
kekhususan sebabnya).[11]

Kaidah ini mengajarkan kepada kita, bahwa dalil-dalil yang berlatar
belakang kasus tertentu, tidak hanya berlaku untuk kasus tersebut pada
waktu itu saja. Tetapi juga berlaku terhadap kasus sejenis pada masa
sesudahnya, bahkan kasus-kasus yang tercakup dalam keumuman lafazh
tersebut. Dan tentunya, kasus yang sejenis menempati peringkat utama
terhadap pemberlakuan ayat tersebut.

Oleh karena itu, dalam ayat ini terdapat dua pedoman.

1. Kasus khusus, yaitu tentang kebohongan al-Walîd dan sunnah tabayyun
dari Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Jika tidak melakukan
tabayyun, bisa berakibat vonis murtad, peperangan dan pembunuhan.

2. Indikasi umum yang terkandung dalam dua kata bernada muthlak, yaitu
"fâsiq", dan "naba`".

Fâsiq, ini berkaitan dengan kualitas pembawa berita. Dalam istilah
ahli hadits disebut "rijâl" atau "sanad". Sedangkan "naba`" yang
berarti masalah penting, dan dalam istilah ahli hadits disebut matan
(substansi berita).

Pada poin ini, kesalahan sebagian orang ialah menyempitkan makna ayat
ini dengan mengatakan, jika yang membawa isu (kabar) tersebut atau
bahkan yang memberi vonis tersebut seorang ustadz, maka sudah pasti
benar, karena ia (ustadz itu) orang shâlih. Sebaliknya, apabila
–ternyata- vonis ustadz tersebut salah, karena berdasarkan persangkaan
tanpa tabayyun, apakah kita akan menyematkan pada ustadz tersebut
sebagai "fâsiq"?

Tatkala Penulis bertanya tentang hal ini kepada al-'Allâmah Syaikh
'Ali Hasan al-Halabi - hafizhahullâh- beliau menjawab dengan tegas:
“Engkau perhatikan sabab nuzûl ayat tersebut. Bukankah turun berkenaan
tentang shahâbi (sahabat Nabi)?"

Maksud beliau –hafizhahullâh-, bahwasanya shahâbi sudah tentu 'âdil
(legitimate), bahkan ta`dîl (legitimasi) para sahabat dari Allah ialah
"radhiyallâhu'anhum waradhû 'anhu". Artinya, Allah telah meridhai
mereka, dan mereka pun meridhai-Nya.

Kurang legitimate apa shahâbi? Tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tetap menyuruh Khâlid ibnul-Walîd agar melakukan tabayyun atau
tatsabbut (cross check), karena pengaduan al-Walîd ini akan berakibat
fatal. Kasus ini lebih utama dalam penerapan ayat di atas dari pada
keumuman lafazh.

Kesimpulan yang bisa diambil dari ayat ini sebagai berikut.
1. Ayat ini merupakan pelajaran adab bagi orang beriman dalam
menghadapi suatu isu atau berita yang belum jelas.

2. Pelaksanaan perintah tabayyun, merupakan ibaadah yang dapat
meningkatkan iman. Dan meninggalkan tabayyun dapat mengurangi iman.

3. Kewajiban tabayyun dibebankan kepada orang yang menerima kabar
berita dan akan menjatuhkan vonis terhadap pihak yang tertuduh.

4. Dilanggarnya perintah tabayyun, dapat berdampat pada kerusakan
hubungan pribadi dan masyarakat.

5. Penyesalan di dunia maupun akhirat akan ditimpakan kepada orang
yang menerima isu negatif, menyebarkannya, serta kepada orang yang
menjatuhkan vonis tanpa melakukan tabayyun terlebih dahulu.

Demikian, tafsir ringkas ini. Semoga Allah Azza wa Jalla memuliakan
kita dengan hidâyatut-taufîq, sehingga kita berlapang dada dengan
nasihat ini. Wa âkhiru da'wânâ, 'anil-hamdu lillâhi Rabbil 'âlamîn.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIII/1430H/2009M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Tafsîr al-Qur`ânil- 'Azhîm, Ibnu Katsiir, Maktabah ash-Shafâ,
Kairo, Mesir, Cetakan I, Tahun 1425/2004, (7/248).
[2]. Kitâbul-Iimaan, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, hlm 278. Kitab
Tauhîd, Dr. Shâlih al-Fauzân, Jilid 3, hlm. 26.
[3]. Al-Imâm Abu `Abdillâh, Muhammad ibnu Ahmad al-Anshâri al-Qurthubi.
[4]. Al-Jâmi' li Ahkâmil-Qur`ân, Dârul-Kutub al-'Ilmiyyah, Beiruut,
Libanon, 16/205.
[5]. Al-Jâmi' li Ahkâmil-Qur`ân, 1/ 205. Jâmi'ul-Bayân fî
Ta`wîlil-Qur`ân, 11/383.
[6]. Jâmi'ul-Bayân fî Ta`wîlil-Qur`ân, 11/383.
[7]. Ibid.
[8]. Aysarut-Tafâsiir, Maktabtul-Ulûm wal-Hikam, Madinah Nabawiyyah,
Cetakan ke-6, Tahun 1423 H/ 2003 M, hlm. 1259.
[9]. Jâmi'ul-Bayân fî Ta`wîlil-Qur`ân, 11/ 383.
[10]. Shahîh al-Bukhâri, al-Mazhâlim (9, 3/99).
[11]. Al-Burhân fî 'Ulûmil-Qur'ân, az-Zarkasyi, Maktabah Dârit-Turâts,
Kairo, 1/32


------------------------------------

Website anda http://www.almanhaj.or.id
Berhenti berlangganan: assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com
Ketentuan posting : http://milis.assunnah.or.id/aturanmilis/
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    assunnah-dig...@yahoogroups.com 
    assunnah-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke